Indonesia Akan Punya Ibu Kota Negara Baru. Apa yang Membedakan dengan Jakarta?

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Gembar gembor pemindahan ibu kota sudah santer terdengar sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana tersebut pada Agustus 2019 silam. Rencana pemindahan yang disampaikan pada sidang parlemen itu meninggalkan banyak tanya tentang urgensi lepas status Jakarta sebagai ibu kota negara. Tak sedikit yang meragukan keberhasilan pemindahan pusat pemerintahan Indonesia yang diketahui akan terletak di Provinsi Kalimantan Timur tersebut. Pro dan kontra kembali terdengar, manakala Presiden Jokowi memilih nama Nusantara untuk Ibu Kota Negara (IKN) baru.

Namun, untuk terus meyakinkan masyarakat, pemerintah secara konsisten tetap berupaya untuk mensosialisasikan urgensi pemindahan IKN melalui suara-suara media dan produk dokumen yang diharap mampu mengedukasi semua kalangan. Satu di antaranya adalah publikasi Buku Saku Pemindahan Ibu Kota Negara yang diproduksi oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia pada Juli 2021. Pada buku saku tersebut, pemerintah banyak bercerita tentang urgensi pemindahan ibu kota dan mengapa provinsi Kalimantan Timur dianggap paling mumpuni untuk mengemban tugas berat menggantikan DKI Jakarta nantinya.

Wacana pemindahan ibu kota negara sudah dimulai sejak masa kepemerintahan Presiden Soekarno. Tepatnya pada tahun 1957, Soekarno menggagas pemindahan IKN ke Palangkaraya saat meresmikan kota tersebut sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Namun rencana tersebut tidak terealisasikan hingga tahun 1997, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No. 1 Tahun 1997 tentang kordinasi pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota madiri yang pada awalnya direncanakan sebagai pusat pemerintahan. Wacana tersebut kembali meredup seiring dengan pergantian kepemimpinan, sampai pada tahun 2019 Presiden Joko Widodo menghidupkan lagi semangat pindah ibu kota ke Pulau Borneo.

Saat ini, Rancangan Undang-Undang IKN (RUU IKN) yang digarap oleh Panitia Khusus (Pansus) telah disetujui pengesahannya menjadi Undang-Undang melalui Rapat Paripurna DPR RI pada 18 Januari 2022. Hal ini seakan menegaskan bahwa pemerintah benar-benar serius untuk melepastugaskan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Nantinya, Undang-Undang IKN tersebut akan diturunkan menjadi beberapa Peraturan Presiden yang mengatur mengenai: Penetapan Kawasan Strategis Nasional Calon IKN; Otorita Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan IKN; Rencana Induk Pembangunan IKN; Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional IKN; dan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional IKN.

Terlepas dari mantapnya keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota, banyak keraguan dan pertanyaan terkait urgensi dari pemindahan itu sendiri. Apakah Jakarta sudah tidak mampu? Bukankah hanya akan menjadi pemborosan anggaran semata? Akan berhasilkah proyek ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak sekali-dua kali terlontar.

Melalui narasinya, pemerintah menegaskan bahwa banyak sekali urgensi yang harus dipertimbangkan hingga akhirnya Kalimantan benar-benar diputuskan sebagai lokasi IKN baru. Salah satu alasan yang paling utama adalah pemerataan kependudukan dan perekonomian. Diketahui sekitar 57% penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa. Hal tersebut secara tidak langsung membuat kontribusi ekonomi pulau jawa mencapai angka 59% terhadap PDB Nasional. Hal ini memperlihatkan ketimpangan distribusi penduduk dan perputaran ekonomi yang berpusat di Pulau Jawa. Atas dasar hal tersebutlah pemerintah menginisiasi perpindahan IKN ke Kalimantan yang baru dihuni sekitar 6,1% atau sekitar 16,23 juta jiwa penduduk Indonesia.

Alasan lainnya yang tidak kalah penting adalah daya dukung lingkungan di Pulau Jawa, khususnya DKI Jakarta yang sudah masuk ke tahap mengkhawatirkan. Seperti yang sudah diketahui bersama bahwa Pulau Jawa memang sedang mengalami krisis ketersediaan air bersih. Belum lagi maraknya konversi lahan besar-besaran di Pulau Jawa yang menyebabkan tidak seimbangnya ekosistem kehidupan. Hal-hal tersebut merupakan dampak dari fenomena urbanisasi yang sangat tinggi hingga merembet ke hal-hal lainnya seperti kemacetan, tidak baiknya kualitas udara, banjir dan lain sebagainya.

Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, maka Kalimantan Timur dianggap mampu menggantikan posisi Jakarta sebagai IKN dengan segala problematikanya. Di Kalimantan Timur masih tersedia lahan yang luas untuk pembangunan, secara geografis Kalimantan Timur cukup strategis karena terletak di tengah-tengah kepulauan Indonesia, daya dukung air tanah dan baku masih memadai, minim terhadap ancaman bencana alam dan lain sebagainya.

Gambar 1

Kriteria Pemilihan Kalimantan Timur

Sumber: Buku Saku IKN, Bappenas 2021

Adapun Visi IKN yang ideal dan ingin diwujudkan oleh pemerintah Indonesia dengan balutan nama Nusantara adalah menjadi kota paling berkelanjutan di dunia, menjadi simbil identitas bangsa Indonesia, dan menjadi penggerak ekonomi Indonesia di masa yang akan datang.

Untuk mewujudkan visi IKN tersebut, pemerintah merencanakan membagi pengembangannya menjadi 4 tahap yang akan berakhir pada tahun 2045 atau sekitar 23 tahun dari sekarang. Tahap pertama adalah pemindahan tahap awal ke KIKN. Tahap kedua merupakan tahap membangun IKN sebagai area inti yang tangguh. Tahap ketiga adalah membangun seluruh infrastruktur & ekosistem 3 kota untuk percepatan pembangunan Kalimantan Timur. Hingga tahap ke-empat, upaya mengkokohkan reputasi sebagai ‘Kota Dunia Untuk Semua’ dimulai.

Gambar 2

Tahapan Perwujudan IKN

Sumber: Buku Saku IKN, Bappenas 2021

Melihat urgensi dan narasi yang dibangun oleh pemerintah terkait pemindahan IKN, akankah pro dan kontra dapat berjalan selaras sehingga pemindahan dapat berjalan sebagaimana yang direncanakan?

Daftar Pustaka

KPPN/Bappenas. 2021. Buku Saku Pemindahan Ibu Kota Negara.

DPR RI. 2021. UU IKN Sebagai Landasan Hukum Ibu Kota Baru. https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/37053/t/UU+IKN+Sebagai+Landasan+Hukum+Ibu+Kota+Baru

DPR RI. 2021. DPR Setujui RUU IKN Jadi UU. https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/37041/t/DPR+Setujui+RUU+IKN+jadi+UU

Aspek Lingkungan Hidup dalam Kehidupan Perkotaan

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Dalam kehidupan perkotaan, masyarakat beserta kegiatan yang ada di dalamnya umumnya cenderung akan bertambah sebagai imbas adanya urbanisasi. Kegiatan urbanisasi yang ada di wilayah perkotaan akan menimbulkan beragam aktivitas yang cenderung mendorong adanya perilaku konsumtif serta pertumbuhan ekonomi. Masyarakat tentu akan mengkonsumsi sumber daya yang ada di perkotaan dalam jumlah yang massif. Hal ini tentu dapat berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan apabila tidak dibarengi dengan perencanaan yang matang serta tindakan pengendalian yang tegas. Penipisan lapisan ozon, pencemaran limbah, polusi, dan hal-hal negatif lainnya dapat terjadi. Beragam permasalahan terkait lingkungan tersebut berdampak pada kondisi lingkungan hidup perkotaan sehingga sangat penting untuk diantisipasi.

Definisi dari lingkungan hidup telah dijabarkan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Masalah lingkungan hidup merupakan ancaman terhadap pembangunan baik saat ini maupun di masa depan. Permasalahan lingkungan dapat disebabkan oleh faktor perubahan alam maupun perilaku manusia terhadap lingkungan alam. Permasalahan lingkungan hidup di antaranya adalah kelangkaan dan buruknya kualitas sumber daya air, lahan, maupun kualitas udara. Permasalahan lingkungan hidup masih menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi oleh Indonesia. Adapun beberapa permasalahan tersebut adalah pencemaran sungai, penebangan hutan, abrasi, kekeringan, longsor, banjir, serta pencemaran udara dan tanah.

Pada tahun 2018, sebaran lahan kritis yang tersebar di Indonesia mencapai lebih dari 5 juta hektar. Lahan kritis merupakan lahan terbuka yang tidak lagi dapat dimanfaatkan, yang dapat terjadi karena disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah alih fungsi lahan. Hal ini tentu cukup mengkhawatirkan dan perlu menjadi perhatian bagi seluruh pihak.

Sebaran Lahan Kritis di Indonesia, 2018 (dalam hektar)

Sumber: Kajian Lingkungan Hidup Kuallitas Lingkungan Hidup Perkotaan, BPS, 2019

Dilansir dari laman Kontan, pada Januari 2021 Indonesian Environmental Scientist Association (IESA) menjabarkan beberapa isu dan risiko lingkungan yang terdapat di Indonesia, diantaranya adalah:

  • Permasalahan lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, longsor, dan perubahan iklim diprediksi masih akan terus berlangsung. Pandemi Covid-19 yang membawa dampak pada tingginya angka PHK berpotensi mendorong terjadinya pembukaan lahan pada areal-areal hutan untuk ebagai media bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup.
  • Undang-Undang Cipta Kerja dapat mengubah pola tata kelola yang ada saat ini.  Penyusunan peraturan teknis harus melibatkan pemangku kepentingan tata kelola lingkungan dan kehutanan.
  • Perubahan tatanan perilaku selama masa pandemi Covid-19 telah membawa dampak langsung pada pengelolaan sampah. Saat ini, kita semua membutuhkan masker untuk melindungi diri dari penyebaran virus Covid-19. Namun perlu ada upaya mitigasi terhadap risiko penularan kembali virus Covid-19 dari sampah masker yang telah digunakan.
  • Tekanan terhadap kapasitas fiskal yang terjadi pada tingkat pemerintah daerah dan pemerintah pusat berpotensi mempengaruhi ketersediaan anggaran pemerintah untuk pengelolaan lingkungan, seperti pengelolaan dan penyediaan fasilitas sampah serta limbah, pencegahan banjir, perawatan ruang terbuka hijau dan pengelolaan lingkungan lainnya.

Peningkatan kegiatan di perkotaan dapat menyebabkan efek negatif terhadap kelestarian lingkungan yang tidak diinginkan dan tidak dapat dibiarkan terus menerus. Diperlukan upaya-upaya perbaikan dari kerusakan, sehingga kualitas lingkungan hidup dapat ditingkatkan. Berbagai upaya perlu dilakukan baik oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat sendiri. Perbaikan mulai dari pengelolaan kembali sumber daya air, kualitas udara, pengelolaan sampah dan permasalahan lain berupa bencana alam. Konsep pembangunan berkelanjutan dapat menjadi salah satu solusi dalam menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan melakukan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan untuk generasi di masa mendatang. Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar utama yang saling berkesinambungan, diantaranya:

  • Pertumbuhan ekonomi, yakni menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil dengan merestrukturisasi sistem produktif untuk menghemat sumber daya dan energi.
  • Keberlanjutan sosial, yakni menjamin keadilan sosial dalam distribusi kekayaan dan pelayanan sosial.
  • Keberlanjutan lingkungan, yakni dengan menjaga lingkungan tempat tinggal agar nyaman dan aman melalui zero emission.

Pengembangan infrastruktur fisik dan orientasi pengembangan wilayah fisik perlu direncanakan dari tiga dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang kemudian terpadu meleburkan masing-masing dimensi sektoral pada pembangunan berkelanjutan. Dalam Buletin Penataan Ruang yang dipublikasikan oleh Kementerian ATR/BPN, tokoh lingkungan hidup Emil Salim menyatakan bahwa perencanaan ekonomi tata ruang perlu menentukan secara prioritas lingkungan mana yang perlu untuk dilestarikan. Dalam rangka ini diperhitungkan dinamika “non human factors”. Alam sudah ada lebih dulu mendahuluui manusia, sehingga perlu untuk menyusun peta habitat makhluk alam untuk menghindari benturan konflik antara habitat makhluk alami dengan manusia. Manusia kemudian dapat menerapkan engineering solution untuk mengindari konflik antara “lalu lintas dan habitat fauna” dengan manusia sehingga pada akhirnya dapat melahirkan peta zonasi yang menyediakan areal proteksi bagi habitat alami dan dapat menjaga lingkungan hidup.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • Buletin Penataan Ruang Kementerian ATR/BPN
  • Kajian Lingkungan Hidup Kuallitas Lingkungan Hidup Perkotaan, BPS, 2019
  • Nasional Kontan. 2021. “Ahli lingkungan mencatat ada empat potensi risiko di tahun 2021”. Diakses 4 Oktober 2021 dari https://nasional.kontan.co.id/news/ahli-lingkungan-mencatat-ada-empat-potensi-risiko-di-tahun-2021
  • Merdeka. 2021. “7 Permasalahan Lingkungan Hidup yang Sering Terjadi di Indonesia”. Diakses 4 Oktober 2021 dari https://www.merdeka.com/sumut/7-permasalahan-lingkungan-hidup-yang-sering-terjadi-di-indonesia-kln.html?page=all
  • Cipta Karya. 2016. “Konsep Pembangunan Berkelanjutan”. Diakses 4 Oktober 2021 dari http://sim.ciptakarya.pu.go.id/p2kh/knowledge/detail/pembangunan-berkelanjutan

Mengenal Transfer of Development Rights (TDR)

Mengenal Transfer of Development Rights (TDR)

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Transfer of Development Rights (TDR) adalah salah satu jenis teknik pengaturan zonasi yang digunakan untuk melindungi secara permanen lahan yang memiliki nilai konservasi (seperti lahan pertanian, ruang terbuka masyarakat, atau sumber daya alam atau budaya lainnya) dengan mengarahkan kembali pembangunan yang seharusnya terjadi di lahan tersebut (wilayah pengirim). ke suatu kawasan yang direncanakan untuk menampung pertumbuhan dan perkembangan (daerah penerima).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR memberikan pengertian bahwa teknik pengaturan zonasi ini memungkinkan pemilik tanah untuk menjual haknya untuk membangun kepada pihak lain, sehingga si pembeli dapat membangun propertinya dengan intensitas lebih tinggi. Umumnya, TDR digunakan untuk melindungi penggunaan lahan pertanian atau penggunaan lahan hijau lainnya dari konversi penggunaan lahan, dimana pemilik lahan pertanian/hijau dapat mempertahankan kegiatan pertaniannya dan memperoleh uang sebagai ganti rugi atas haknya untuk membangun.

TDR digunakan untuk menambah intensitas pemanfaatan ruang pada kawasan terbangun dengan kriteria sebagai berikut:

  • hanya dapat diaplikasikan sebagai upaya terakhir setelah tidak ada lagi teknik pengaturan zonasi lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan intensitas pemanfaatan ruang;
  • diaplikasikan pada satu blok peruntukan yang sama. Bila diaplikasikan pada zona yang sama namun antara blok peruntukan berbeda, harus didahului dengan analisis daya dukung daya tampung terkait dengan perubahan intensitas pemanfaatan ruang pada blok peruntukan yang menerima tambahan intensitas ruang; dan
  • hanya dapat diaplikasikan pada zona komersial dan zona perkantoran.

Program TDR berupaya untuk melestarikan nilai aset pemilik tanah dengan memindahkan hak untuk membangun dari lokasi di mana pembangunan dilarang (misalnya untuk alasan lingkungan) ke lokasi di mana pembangunan akan dilakukan. Pada lokasi di mana pembangunan didorong di bawah ketentuan TDR, maka zonasi akan diubah untuk memungkinkan lebih banyak unit yang dibangun. Ini akan memberikan peluang untuk mendapatkan lebih banyak pendapatan dari pembangunan, dibandingkan dengan yang akan diterima oleh pemilik tanah jika tidak ada program TDR. Pendapatan yang diterima dari adanya perubahan zonasi ini merupakan hak bagi pemilik lahan yang telah bersedia menyerahkan hak membangunnya. Jika hal ini berjalan dengan baik, maka tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan secara finansial.

Cara kerja TDR adalah dengan mengalihkan sebagian dari harga pembelian tanah di lokasi yang didorong pembangunannya kepada pemilik tanah di tempat yang dilarang pembangunannya. Pengalihan hak membangun dapat menjaga lahan dengan mengalihkan pembangunan yang seharusnya terjadi di lahan daerah pengirim ke daerah penerima yang cocok untuk pengembangan yang lebih padat. Teknik ini bekerja sehingga pemilik di area pengirim dapat diberi kompensasi atas hak pengembangan mereka yang dialihkan.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, program TDR memberikan kompensasi finansial kepada pemilik tanah karena memilih untuk tidak mengembangkan sebagian atau seluruh tanah mereka. Pada penerapan di beberapa negara lain, pemilik tanah diberikan pilihan di bawah naungan peraturan zonasi untuk secara hukum memutuskan hak pengembangan dari tanah mereka dan menjual hak ini kepada pemilik tanah lain atau pengembang untuk digunakan di lokasi yang berbeda. Tanah yang hak pengembangannya telah terputus dilindungi secara permanen melalui kemudahan konservasi atau perjanjian pembatasan. Nilai pengembangan dari tanah yang hak pengembangannya telah diterapakan pada lokasi lain akan ditingkatkan dengan mengizinkan bentuk pemanfaatan ruang baru atau khusus; kepadatan atau intensitas yang lebih besar; atau fleksibilitas peraturan lainnya. TDR memungkinkan pemilik lahan di area yang umumnya dikategorikan sebagai daerah pertanian atau penggunaan perumahan dengan kepadatan sangat rendah untuk mendapatkan imbalan finansial yang sama seperti pemilik lahan yang berasa di area yang dikategorikan untuk penggunaan lahan pinggiran kota dan perkotaan.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR
  • The World Bank. “Transferable Development Rights”. Diakses 27 September 2021 dari https://urban-regeneration.worldbank.org/node/22
  • Rutgers. “What Is a Transfer of Development Rights (TDR) Program?”. Diakses 27 September 2021 dari https://njaes.rutgers.edu/highlands/transfer-development-rights.php
  • Conservationtools.org. “Transfer of Development Rights”. Diakses 27 September 2021 dari https://conservationtools.org/guides/12-transfer-of-development-rights

RDTR, Investasi dan OSS

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Seperti diketahui, percepatan penyusunan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) sedang dikebut penyelesaiannya oleh Pemerintah. Hal ini dikarenakan ketersediaan dokumen RDTR sangatlah krusial, terutama dalam kaitannya dengan investasi. RDTR dan PZ merupakan suatu kesatuan dokumen yang berperan langsung dalam proses dikeluarkannya Konfirmasi Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) sehingga produk penataan ruang yang dihasilkan diharapkan akan berjalan sesuai dengan rencana dan tersinkronisasi dengan baik.

Melihat peran penting tersebut, tentu ketiadaan RDTR akan berpotensi menghambat pertumbuhan investasi di Indonesia. Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan Djalil, mengakui bahwa telah terdapat beberapa daerah di Indonesia yang telah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), namun tidak dengan RDTR. Ketiadaan RDTR di berbagai daerah akan sangat berpengaruh dengan perkembangan suatu kota/kabupaten. Sebagai contoh, ketiadaan RDTR mungkin saja dapat menyebabkan tumpang tindih kebijakan dikarenakan tidak adanya suatu dokumen pedoman dalam perencanaan pengembangan pemanfaatan ruang, sehingga kondisi suatu kota/kabupaten tersebut menjadi tidak terarah.

Dalam beberapa tahun lalu, Indonesia telah berhasil meraih beberapa peringkat terkait investasi dan kemudahan berusaha secara internasional. Dilansir dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) yang bertajuk “World Investment Report 2017”, Indonesia berhasil menempati posisi ke-4 sebagai negara dengan tujuan investasi paling prospektif periode 2017-2019. Posisi Indonesia berada di bawah Amerika Serikat, Tiongkok, dan India.  Dengan posisi tersebut, Indonesia mengalahkan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.

Terdapat sepuluh indicator yang mengindikasikan peningkatan investasi melalui kemudahan berusaha atau disebut dengan Ease of Doing Business (EoDB), yakni kemudahan memulai usaha; perizinan terkait pendirian bangunan; pendaftaran properti; penyambungan listrik; pembayaran pajak; perdagangan lintas negara; akses perkreditan; perlindungan terhadap investor minoritas; penegakan kontrak; dan penyelesaian perkara kepailitan. Berdasarkan laporan EoDB pada tahun 2018, Indonesia berhasil meraih peringkat ke-72 dunia. Bahkan posisi ini terus meningkat sejak tahun 2015, dimana pada tahun tersebut Indonesia meraih posisi ke-106, kemudian pada tahun 2016 meraih posisi ke-91, dan kemudian pada tahun 2017 (yang dirangkum dalam laporan tahun 2018) meningkat menjadi posisi ke-72. Hal ini kemudian mendorong pemerintah agar kegiatan berinvestasi dapat dipermudah. Terlebih adanya situasi pandemi yang tak terduga, maka pemerintah perlu menyiapkan beberapa strategi agar kegiatan berinvestasi dapat terus berjalan agar sektor ekonomi juga dapat terus berjalan.

Kemudahan investasi perlu didukung dengan implementasi pelayanan perizinan berusaha yang transparan, cepat, sederhana, dan yang terpenting adalah mampu memberikan kepastian. Hal ini juga kemudian mendorong pemerintah untuk menerbitkan Pelayanan sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PBTSE) atau yang lebih dikenal dengan nama sistem Online Single Submission (OSS). Adapun OSS memiliki beberapa manfaat seperti:

  • Mempermudah pengurusan berbagai perizinan berusaha baik prasyarat untuk melakukan usaha (izin terkait lokasi, lingkungan, dan bangunan), izin usaha, maupun izin operasional untuk kegiatan operasional usaha di tingkat pusat ataupun daerah dengan mekanisme pemenuhan komitmen persyaratan izin;
  • Memfasilitasi pelaku usaha untuk terhubung dengan semua stakeholder dan memperoleh izin secara aman, cepat dan real time, karena sebelum adanya OSS pelaku usaha harus memproses perizinan dari beberapa instansi sehingga membutuhkan waktu yang tidak sebentar;
  • Memfasilitasi pelaku usaha dalam melakukan pelaporan dan pemecahan masalah perizinan dalam satu tempat;
  • Memfasilitasi pelaku usaha untuk menyimpan data perizinan dalam satu identitas berusaha atau Nomor Induk Berusaha (NIB). Ketika seseorang mengajukan OSS maka dia akan mendapatkan NIB yang juga berfungsi sebagai Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Angka Pengenal Importir (API) dan akses kepabeanan.

Dalam kaitannya dengan investasi, sistem OSS akan mengintegrasikan data dan informasi rencana tata ruang sehingga diharapkan produk investasi yang dihasilkan dapat tersinkronisasi serta selaras dengan rencana yang telah disahkan. Hal ini tentu merupakan suatu kondisi ideal yang diharapkan oleh semua pihak. Namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa keberadaan dokumen RDTR belum sepenuhnya tersedia di Indonesia. Menteri ATR/BPN, Sofyan A. Djalil menyatakan bahwa sebelumnya tata ruang menjadi salah satu hal yang menghambat investasi. Dikatakan bahwa “Ada investasi yang tidak bisa dilakukan karena tata ruangnya belum ada, atau tata ruang dalam proses pembaharuan namun belum disahkan, atau terkendala perundang-undangan di daerah, tentu ini sangat menyangkut investasi,” ucapnya seperti dilansir dari laman Kementerian ATR/BPN. Ke depannya, pemerintah berupaya untuk terus memperbaiki pelayanan administrasi pertanahan. Saat ini telah terdapat 4 layanan pertanahan yang berbasis digital yakni mulai dari Pengecekan Sertipikat, Informasi Zona Nilai Tanah, Hak Tanggungan Elektronik, serta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah.


Bahan Bacaan

  • Riyadi, Dodi S. 2019. “Percepatan Penetapan RDTR dan Dampaknya Terhadap Peningkatan Investasi” dalam Buletin Penataan Ruang (hlm. 18-24). Jakarta: Kementerian ATR/BPN.
  • Kementerian ATR BPN. 2021. “Sukseskan Pembangunan Infrastruktur, Kementerian ATR/BPN Tegaskan Kepastian Hak Atas Tanah di Indonesia”. Diakses 22 September 2021 dari https://www.atrbpn.go.id/?menu=baca&kd=5DrT8Q3GECv7rY67osANHpZczLBhiplfzQbakF3Xfj7GjZCNvhAAfNzpDEc3bdA9
  • Kontan. 2020. “Masih sedikitnya RDTR dinilai akan hambat investasi di daerah”. Diakses 23 September 2021 dari https://nasional.kontan.co.id/news/masih-sedikitnya-rdtr-dinilai-akan-hambat-investasi-di-daerah

Pengembangan Infrastruktur melalui Tata Ruang

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Infrastruktur berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat, khususnya masyarakat di Indonesia. Hal ini dikarenakan infrastruktur merupakan roda penggerak ekonomi. Dengan adanya infrastruktur yang berkualitas, maka akan dapat memberikan peningkatan kualitas hidup serta kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Dilansir dari laman Kementerian Investasi/BKPM, terdapat beberapa manfaat positif dari ketersediaan infrastruktur yang memadai, yakni:

  • Pemerataan pembangunan. Dengan kemampuan ekonomi yang lebih baik, sebuah daerah maupun negara dapat menghidupi dirinya sendiri. Setelah tercapainya infrastruktur yang baik, maka semua akan mendapatkan kesempatan yang sama untuk terlibat dalam proses ekonomi di dalamnya.
  • Menciptakan lapangan kerja baru.
  • Membantu pemerataan pertumbuhan ekonomi. Dengan terbukanya kesempatan seperti ini melalui pembangunan infrastruktur Indonesia, maka akan semakin banyak juga investor yang ikut serta memajukan daerah tersebut dan membuat Indonesia semakin mencapai apa yang telah dicita-citakan selama ini.

Hasil studi yang dilakukan oleh World Bank pada tahun 1994 menyatakan bahwa elastisitas PDB (Produk Domestik Bruto) terhadap infrastruktur di suatu negara adalah antara 0,07 sampai dengan 0,44. Hal ini berarti dengan kenaikan 1 (satu) persen saja ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 7% sampai dengan 44%. Inilah mengapa pemerintah terus berupaya menyediakan beragam infrastruktur di seluruh penjuru negeri dengan harapan kesejahteraan dapat segera meningkat.

Pemerintah melalui Kementerian PUPR melakukan pembangunan infrastruktur di Indonesia dengan menggunakan pendekatan pengembangan wilayah yang berupa stratego Wilayah Pengembangan Strategis (WPS) yang direncanakan terdiri dari 35 WPS yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Pendekatan WPS menjadi basis dari perencanaan keterpaduan pembangunan infrastruktur. Selain itu, pendekatan kewilayahan juga dilakukan agar pembangunan dapat sesuai dengan daya dukung dan daya tampung suatu wilayah.

Terdapat beberapa isu strategis serta permasalahan yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam pengembangan infrastruktur wilayah, diantaranya adalah:

  • Penurunan ketimpangan antar wilayah, dimana kemiskinan di barat dan kawasan timur Indonesia yang tinggi, ketimpangan pendapatan perdesaan perkotaan dan konsentrasi kegiatan ekonomi di kawasan barat Indonesia terutama Pulau Jawa.
  • Pemenuhan pelayanan dasar dan peningkatan daya saing daerah yang dikarenakan akses dan kualitas pelayanan dasar yang masih terbatas.
  • Pengelolaan urbanisasi, dimana penduduk perkotaan yang akan mencapai 60 persen dan bonus demografi 2030, serta kontribusi urbanisasi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang rendah.
  • Isu pemanfaatan ruang. Belum optimalnya pengelolaan ruang yang berdasarkan RTR baik di perkotaan maupun perdesaan yang berdampak terhadap dukungan pembangunan infrastruktur dan daya dukung lingkungan.
  • Isu pendanaan, kebutuhan akan pembangunan infrastruktur sangatlah tinggi, namun tidak diimbangi dengan kondisi keuangan yang terbatas.

Dalam pengembangan infrastruktur PUPR, pemerintah mengacu pada arahan kebijakan pembangunan nasional. Beberapa fokus dan lokus penanganan antara lain: Kawasan Strategis Prioritas Nasional yakni 12 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, 20 Kawasan Strategis Industri, 12 Kawasan Strategis Perdesaan, 10+1 Kawasan Strategis Kota Baru, 24 Kawasan Strategis Pelabuhan, 12 Kawasan Strategis Ekonomi Khusus, 10 Kawasan Strategis Perbatasan, 12 Kawasan Strategis Metropolitan, dan 12 Kawasan Strategis Bandar Udara.

Proses perencanaan yang terpadu dapat tercapai melalui ketersediaan dokumen penataan ruang. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan dengan mengacu pada dokumen perencanaan ruang yang ada. Hal ini seperti disampaikan oleh Kepala BPIW Kementerian PUPR, Hadi Sucahyono, yang menyatakan bahwa Perencanaan terpadu pembangunan infrastruktur PUPR dan pengembangan wilayah yang dilakukan BPIW mengacu pada Rencana Tata Ruang sesuai hirarki sejak dari RTR Nasional, RTRWN, RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota dan RDTR. Dalam kaitannya dengan pengembangan infrastruktur pada daerah yang belum memiliki dokumen rencana tata ruang yang disahkan, maka dilakukan assessment potensi dan masalah serta kebutuhan infrastruktur sebagai dasar penyusunan rencana dan program, yang juga dilakukan dengan pembahasan bersama dengan daerah. Pembangunan infrastruktur tidak dapat dipisahkan dengan arahan pemanfaatan ruang sehingga koordinasi dan komunikasi yang baik antar Kementerian/Lembaga harus terus diperlukan.


Bahan Bacaan

  • Buletin Penataan Ruang Kementerian ATR/BPN
  • BKPM. “Pentingnya Pembangunan Infrastruktur Indonesia Untuk Investasi”. Diakses 20 September 2021 dari https://www.investindonesia.go.id/id/artikel-investasi/detail/pentingnya-pembangunan-infrastruktur-indonesia-untuk-investasi
  • Haris, Abdul. “Pengaruh Penatagunaan Tanah Terhadap Keberhasilan Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi”.  Bappenas. Diakses 20 September 2021 dari https://bappenas.go.id/files/3013/5228/3483/05abdul__20091014131228__2260__0.pdf

Mengenal ITBX dalam Peraturan Zonasi

Ketika mendengar peraturan zonasi, istilah matriks ITBX tentu bukan hal yang asing untuk didengar. Seperti diketahui, peraturan zonasi disusun untuk setiap zona peruntukan baik zona budidaya maupun zona lindung dengan memperhatikan esensi fungsinya yang ditetapkan dalam rencana rinci tata ruang dan bersifat mengikat/regulatory. Peraturan zonasi terdiri atas aturan dasar dan teknik pengaturan zonasi. Aturan dasar yang terdapat di dalam peraturan zonasi inilah yang akan mengikat ketentuan ruang melalui ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan yang merupakan materi wajib daro dokumen RDTR dan PZ.

Di dalam Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR, defiinisi dari ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan adalah ketentuan yang berisi kegiatan dan penggunaan lahan yang diperbolehkan, kegiatan dan penggunaan lahan yang bersyarat secara terbatas, kegiatan dan penggunaan lahan yang bersyarat tertentu, dan kegiatan dan penggunaan lahan yang tidak diperbolehkan pada zona lindung maupun zona budi daya. Ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan dirumuskan berdasarkan ketentuan maupun standar yang terkait dengan pemanfaatan ruang, ketentuan dalam peraturan bangunan setempat, dan ketentuan khusus bagi unsur bangunan atau komponen yang dikembangkan.

  • Klasifikasi I

Merupakan klasifikasi untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan/diizinkan. Kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi I memiliki sifat sesuai dengan peruntukan ruang yang direncanakan. Pemerintah kabupaten/kota tidak dapat melakukan peninjauan atau pembahasan atau tindakan lain terhadap kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi I.

  • Klasifikasi T

Merupakan klasifikasi untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang bersyarat secara terbatas. Pemanfaatan bersyarat secara terbatas bermakna bahwa kegiatan dan penggunaan lahan dibatasi dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. pembatasan pengoperasian, baik dalam bentuk pembatasan waktu beroperasinya suatu kegiatan di dalam subzone maupun pembatasan jangka waktu pemanfaatan lahan untuk kegiatan tertentu yang diusulkan;
  2. pembatasan luas, baik dalam bentuk pembatasan luas maksimum suatu kegiatan di dalam subzona maupun di dalam persil, dengan tujuan untuk tidak mengurangi dominansi pemanfaatan ruang di sekitarnya; dan
  3. pembatasan jumlah pemanfaatan, jika pemanfaatan yang diusulkan telah ada mampu melayani kebutuhan, dan belum memerlukan tambahan, maka pemanfaatan tersebut tidak boleh diizinkan atau diizinkan terbatas dengan pertimbangan-pertimbangan khusus.
  • Klasifikasi B

Merupakan klasifikasi untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang bersyarat tertentu. Hal ini bermakna bahwa untuk mendapatkan izin atas suatu kegiatan atau penggunaan lahan diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu yang dapat berupa persyaratan umum dan persyaratan khusus, dapat dipenuhi dalam bentuk inovasi atau rekayasa teknologi. Persyaratan dimaksud diperlukan mengingat pemanfaatan ruang tersebut memiliki dampak yang besar bagi lingkungan sekitarnya. Beberapa contoh persyaratan umum diantaranya adalah dokumen AMDAL, dokumen UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan), serta pengenaan disinsentif misalnya biaya dampak pembangunan (development impact fee).

  • Klasifikasi X

Merupakan klasifikasi untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak diperbolehkan. Artinya, kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi X memiliki sifat tidak sesuai dengan peruntukan lahan yang

direncanakan dan dapat menimbulkan dampak yang cukup besar bagi lingkungan di sekitarnya. Kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi X tidak boleh diizinkan pada zona yang bersangkutan.

Contoh Matriks ITBX di Kawasan Perkotaan Pangururan, Sumatera Utara

Sumber: Dokumen Laporan RDTR Kawasan Perkotaan Pangururan

Untuk menentukan ITBX pada setiap persil, terdapat beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan yang tercantum di dalam Permen ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR, diantaranya adalah:

Pertimbangan Umum

Pertimbangan umum berlaku untuk semua jenis penggunaan lahan, seperti kesesuaian dengan RTRW kabupaten/kota, keseimbangan antara kawasan lindung dan kawasan budi daya, kelestarian lingkungan, perbedaan sifat kegiatan bersangkutan terhadap fungsi zona terkait, definisi zona, kualitas lokal minimum, toleransi terhadap tingkat gangguan dan dampak terhadap peruntukan yang ditetapkan, serta kesesuaian dengan kebijakan lainnya.

Pertimbangan Khusus

Berlaku untuk masing-masing karakteristik guna lahan, kegiatan atau komponen yang akan dibangun. Pertimbangan khusus dapat disusun berdasarkan rujukan mengenai ketentuan atau standar yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang, rujukan mengenai ketentuan dalam peraturan bangunan setempat, dan rujukan mengenai ketentuan khusus bagi unsur bangunan atau komponen yang dikembangkan.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR

Mengenal Teknik Pengaturan Zonasi

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Peraturan zonasi disebut-sebut sebagai buku manual dalam hal perencanaan tata ruang kota sehingga keberadaannya memiliki peran yang sangat penting. Tanpa adanya peraturan zonasi, maka pengembangan pembangunan ruang kota dapat menjadi tidak terarah. Dalam dokumen peraturan zonasi, dapat diterapkan beberapa pengaturan tambahan untuk menjembatani kekakuan perencanaan demi mendapatkan manfaat yang lebih luas ke depannya, yang seringkali disebut sebagai teknik pengaturan zonasi. Teknik pengaturan zonasi berfungsi untuk memberikan fleksibilitas dalam penerapan peraturan zonasi dasar serta memberikan pilihan penanganan pada lokasi tertentu sesuai dengan karakteristik, tujuan pengembangan, dan permasalahan yang dihadapi pada zona tertentu, sehingga sasaran pengendalian pemanfaatan ruang dapat dicapai secara lebih efektif.

Teknik pengaturan zonasi adalah aturan yang disediakan untuk mengatasi kekakuan aturan dasar di dalam pelaksanaan pembangunan. Penerapan teknik pengaturan zonasi tidak dapat dilakukan secara serta-merta, melainkan harus direncanakan sejak awal mengenai teknik apa saja yang akan diaplikasikan dan didukung oleh perangkat dan kelembagaan yang auditable. Teknik pengaturan zonasi dapat dipilih dari berbagai alternatif dengan mempertimbangkan tujuan pengaturan yang ingin dicapai. Setiap teknik mempunyai karakteristik, tujuan, konsekuensi dan dampak yang berbeda. Oleh karena itu, pemilihannya harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Terdapat beberapa jenis peraturan zonasi yang dapat diterapkan, yaitu:

  • Transfer Development Right

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang memungkinkan pemilik tanah untuk menjual haknya untuk membangun kepada pihak lain, sehingga si pembeli dapat membangun properti dengan intensitas lebih tinggi. Umumnya, TDR digunakan untuk melindungi lahan yang bersifat konservatif.

  • Bonus Zoning

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang memberikan izin kepada pengembang untuk meningkatkan intensitas pemanfaatan ruang melebihi aturan dasar, dengan kompensasi berupa penyediaan sarana publik tertentu.

  • Conditional Uses

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang memungkinkan suatu pemanfaatan ruang yang dianggap penting atau diperlukan keberadaannya untuk dimasukkan ke dalam satu zona peruntukkan tertentu.

  • Zona Performa (Performance Zoning)

Merupakan ketentuan pengaturan pada satu atau beberapa zona/subzone dalam satu blok atau beberapa blok yang aturannya tidak didasarkan pada aturan perspektif, namun didasarkan pada kualitas kinerja tertentu yang ditetapkan.

  • Zona Fiskal (Fiskal Zoning)

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang ditetapkan pada satu zona atau beberapa zona yang berorientasi kepada peningkatan pendapatan daerah.

  • Zona Pemufakatan Pembangunan (Negotiated Development)

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang memberikan fleksibilitas dalam penerapan peraturan zonasi yang diberikan dalam bentuk peningkatan intensitas pemanfaatan ruang yang didasarkan pada pemufakatan pengadaan lahan untuk infrastruktur dan/atau fasilitas publik. Dapat diterapkan sebagai bentuk insentif imbalan.

  • Zona Pertampalan Aturan (Overlay Zone)

Merupakan peraturan zonasi yang memberikan fleksibilitas dalam penerapan peraturan zonasi yang berupa pembatasan intensitas pembangunan melalui penerapan dua atau lebih aturan.

  • Zona Ambang (Floating Zone)

Merupakan ketentuan pengaturan pada blok peruntukkan yang diambangkan pemanfaatan ruangnya dan peruntukkan ruangnya ditentukan kemudian berdasarkan perkembangan pemanfaatan ruang pada blok peruntukkan tersebut.

  • Zona Banjir (Flood Plain Zone)

Merupakan teknik pengaturan zonasi pada zona rawan banjir untuk mencegah atau mengurangi kerugian akibat banjir.

  • TPZ Khusus

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang memberikan pembatasan pembangunan untuk mempertahankan karakteristik dan/atau objek khusus yang dimiliki zona, yang penetapan lokasinya dalam peraturan zonasi. Dapat diterapkan sebagai bentuk disinsentif pemberian persyaratan tertentu dalam perizinan.

  • Zona Pengendalian Pertumbuhan (Growth Control)

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang diterapkan melalui pembatasan pembangunan dalam upaya melindungi karakteristik kawasan. Dapat diterapkan sebagai bentuk disinsentif persyaratan tertentu dalam perizinan.

  • Zona Pelestarian Cagar Budaya

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang memberikan pembatasan pembangunan untuk mempertahankan bangunan dan situs yang memiliki nilai budaya tertentu. Dapat berupa persyaratan khusus dalam perizinan untuk tidak merubah struktur dan bentuk asli bangunan.

  • TPZ Lainnya

Merupakan teknik pengaturan zonasi lainnya yang tidak termasuk pada jenis TPZ dan dapat didefinisikan sesuai dengan kebutuhan masing-maisng pemerintah daerah.

Salah satu contoh penerapan teknik peraturan zonasi adalah pembangunan Simpang Susun Semanggi yang menerapkan teknik pengaturan zonasi berupa bonus zoning. Pembangunan Jalan Simpang Susun Semanggi yang didanai oleh kompensasi dari perhitungan penambahan ketinggian bangunan beberapa gedung di sekitar Simpang Semanggi. Dilansir dari okezone, pembiayaan proyek SSS bersumber dari nilai kompensasi pelampauan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) satu pengembang properti di kawasan Semanggi, yakni PT Mitra Panca Persada, satu anak perusahaan dari Grup Mori Building Company. Perusahaan tersebut mengajukan peningkatan KLB dari standar yang ditetapkan, yakni dari KLB-7 menjadi KLB-13.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR
  • Okezone. 2017. “Simpang Susun Semanggi Resmi Beroperasi, Jokowi: Ini Jantung Indonesia”. Diakses 6 September 2021 dari https://economy.okezone.com/read/2017/08/18/320/1758262/simpang-susun-semanggi-resmi-beroperasi-jokowi-ini-jantung-indonesia

Wilayah Perencanaan di dalam RDTR

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Dalam proses menyusun RDTR, terdapat satu langkah penting yang ditetapkan lebih awal untuk dapat menyusun perencanaan ruang yang mendetail, yaitu melakukan delineasi WP dan menetapkan tujuan penataannya. Seperti diketahui bahwa penyusunan RDTR didasarkan pada area WP terpilih sehingga dengan menetapkan tujuan penataannya maka proses analisis wilayah akan semakin terarah sesuai dengan tujuan awal yang telah ditetapkan. Penetapan tujuan ini tentu saja harus seirama dengan peraturan yang ada di atasnya sehingga akan terjadi keselarasan dalam pengembangannya kelak.

Wilayah Perencanaan atau disingkat WP merupakan bagian dari kabupaten/kota yang akan atau perlu disusun RDTRnya. Wilayah perencanaan di dalam RDTR ditetapkan oleh kepala daerah. Penetapan WP dapat mencakup wilayah administratif maupun fungsional. WP dapat dipilih berdasarkan kriteria-kriteria yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik dari kawasan perkotaan di wilayah perencanaan. Kriteria dan pertimbangan dalam melakukan delineasi WP dapat didasarkan pada beberapa aspek, seperti kesesuaian terhadap arahan peruntukan ruang, kajian kemampuan lahan, peluang pengembangan, kebijakan kawasan hutan dan peta bidang tanah, kawasan rawan bencana, aspek fisik wilayah, aspek penanganan sempadan pantai, arahan tema pengembangan peraturan di atasnya, dan sebagainya. Beberapa aspek pertimbangan dalam merumuskan delineasi WP akan menghasilkan wilayah perencanaan yang akan didetilkan lebih lanjut di dalam RDTR dan PZ.

Dalam menentukan delineasi ataupun analisis terhadap WP, perlu dilakukan pemahaman kedudukan dan keterkaitan WP dalam sistem yang lebih luas, seperti dalam kaitannya dengan aspek sosial, ekonomi, lingkungan, sumber daya, sistem prasarana, budaya, pertahanan, kemananan, dan lainnya. Atau dalam sistem regional, keterkaitan tersebut dalam berupa sistem kota, wilayah lainnya, kabupaten atau kota yang berbatasan, atau bahkan pulau, di mana WP dapat berperan secara strategis. Setelah itu, maka hal yang perlu dilakukan adalah menentukan tujuan dari penataannya. Adapun tujuan penataan WP berfungsi sebagai:

  • Acuan untuk penyusunan rencana pola ruang, penyusunan rencana struktur ruang, penyusunan ketentuan pemanfaatan ruang, dan penyusunan peraturan zonasi
  • Untuk menjaga konsistensi dan keserasian pengembangan kawasan perkotaan dengan RTRW kabupaten/kota

Berdasarkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR, perumusan tujuan penataan WP didasarkan pada 3 hal, yakni: arahan pencapaian sebagaimana ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota; isu strategis WP, yang antara lain dapat berupa potensi, masalah, dan urgensi penanganan; dan karakteristik wilayah perencanaan. Sedangkan tujuan penataannya dirumuskan dengan mempertimbangkan keseimbangan dan keserasian antarbagian dari wilayah kabupaten/kota; fungsi dan peran WP; potensi investasi; keunggulan dan daya saing WP; kondisi sosial dan lingkungan WP; peran dan aspirasi masyarakat dalam pembangunan; dan prinsip-prinsip yang merupakan penjabaran dari tujuan tersebut. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam menetapkan tujuan penataan atau tema pengembangan kawasan perencanaan adalah perlunya memperhatikan arah perkembangan perkotaan di masa yang akan datang, seperti disampaikan oleh Direktur Pembinaan Perencanaan Tata Ruang dan Pemanfaatan Ruang Daerah, Kementerian ATR BPN.

Setiap WP ataupun SWP (sub wilayah perencanaan) terdiri atas blok yang dibagi berdasarkan batasan fisik antara lain seperti jalan, sungai, dan sebagainya. Dalam hal luas WP relatif kecil, rencana pola ruang dapat digambarkan secara langsung ke dalam blok. Zona dapat dibagi lagi menjadi subzona. Apabila dampaknya kecil dan tidak memiliki urgensi pengaturan, maka tidak perlu diklasifikasikan sebagai zona dan cukup dimasukkan ke dalam daftar kegiatan pada matriks ITBX. Penjabaran zona menjadi sub zona harus memperhatikan dua hal yaitu:

a. perbedaan dasar pengertian antara zona peruntukan ruang dengan kegiatan; dan

b. hakekat zona adalah fungsi ruang, dan penjabarannya pun sebaiknya mengikuti perbedaan fungsi ruang.

Dalam menuangkannya ke dalam peta, apabila WP terlalu luas untuk digambarkan ke dalam satu peta berskala 1:5.000, maka peta, baik peta struktur ataupun pola ruang dapat digambarkan kedalam beberapa lembar peta berdasarkan SWP.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR
  • Atrbpn.go.id

Mengenal Peraturan Zonasi (PZ)

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Peraturan Zonasi atau disebut dengan zoning regulation, merupakan perangkat aturan pada skala blok yang umum digunakan di negara maju dikarenakan pola ruang wilayah yang ada didasarkan pada pola pengembangan blok kawasan. Hal ini berbeda dengan di Indonesia, sehingga ketentuan peraturan zonasi disesuaikan dengan kondisi pengembangan pola ruang yang umumnya menggunakan delineasi administratif. Pada beberapa negara, istilah peraturan zonasi biasa disebut dengan zoning code, land development code, zoning ordinance, zoning resolution, zoning by law, dan sebagainya.

Peraturan Zonasi disusun untuk setiap zona peruntukkan yang terdapat di dalam dokumen RDTR, baik zona budidaya maupun zona lindung. Pada setiap zona peruntukkan akan berlaku satu aturan dasar tertentu yang mengatur perpetakan, kegiatan, intensitas ruang dan taat bangunan. Peraturan zonasi atau disingkat PZ merupakan ketentuan yang tidak terpisahkan dari dokumen RDTR yang memiliki fungsi penting sebagai:

  • Perangkat operasional pengendalian pemanfaatan ruang
  • Acuan dalam pemberian rekomendasi Keseuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, termasuk di dalamnya air right development dan pemanfaatan ruang di bawah tanah
  • Acuan dalam pemberian insentif dan disinsentif
  • Acuan dalam pengenaan sanksi
  • Rujukan teknis dalam pengembangan atau pemanfaatan lahan dan penetapan lokasi investasi

Selain itu, peraturan zonasi juga bermanfaat untuk menjamin dan menjaga kualitas ruang WP minimal yang ditetapkan; menjaga kualitas dan karakteristik zona dengan meminimalkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik zona; serta meminimalkan gangguan atau dampak negatif terhadap zona.

Peraturan zonasi terdiri dari aturan dasar dan teknik pengaturan zonasi. Aturan dasar menjadi materi wajib yang harus disediakan dalam proses perencanaan dokumen sementara teknik pengaturan zonasi merupakan materi pilihan yang bersifat tidak wajib atau dapat dilampirkan apabila diperlukan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR. Terdapat perbedaan muatan PZ berdasarkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2018 dengan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021, Adapun perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Perbandingan Perubahan Substansi RDTR

Aturan dasar yang terdapat di dalam PZ merupakan rangkaian persyaratan pemanfaatan ruang, yang meliputi ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan, ketentuan intensitas pemanfaatan ruang, ketentuan tata bangunan, ketentuan prasarana dan sarana minimal, ketentuan khusus, dan/atau ketentuan pelaksanaan. Sementara teknik pengaturan zonasi merupakan ketentuan lain dari zonasi konvensional yang dikembangkan untuk memberikan fleksibilitas dalam penerapan aturan zonasi dan ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam penerapan peraturan zonasi dasar, mempertimbangkan kondisi kontekstual kawasan dan arah penataan ruang. Teknik pengaturan zonasi dapat berupa transfer development right (TDR), bonus zoning, conditional use, dan lainnya. Penerapan teknik pengaturan zonasi dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan.

RDTR bersama dengan PZ menjadi sebuah dokumen penting yang dapat mengatur pemanfaatan ruang secara mendetil. Tentunya disertai dengan perhitungan terkait dengan kepadatan serta kondisi lingkungan dari area yang diberikan ketentuan ruang. Dengan kata lain, peraturan zonasi merupakan salah satu instrumen penting dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini dikarenakan peraturan zonasi ini dapat menjadi rujukan dalam perizinan, penerapan insentif/disinsentif, penertiban ruang, menjadi jembatan dalam penyusunan rencana tata ruang yang bersifat operasional, serta dapat menjadi panduan teknis dalam pengembangan/pemanfaatan lahan.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan PZ
  • Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR
  • Simtaru Serang Kota. 2017. “Peraturan Zonasi”. Diakses 4 Agustus 2021 dari https://simtaru.serangkota.go.id/index.php/blog/2017/06/peraturan-zonasi

Upaya Perwujudan Kota Tangguh Bencana

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Perwujudan upaya pengurangan risiko bencana dalam kehidupan perkotaan perlu diupayakan melalui berbagai sektor. Dalam kegiatan RAKORNAS Penanggulangan Bencana yang diselenggarakan pada tahun 2019, Presiden memberikan beberapa arahan untuk dapat mengantisipasi bencana, khususnya bencana alam, yakni sebagai berikut:

  1. Perencanaan, Rancangan dan Pembangunan Tata Ruang Harus Memperhatikan Peta Rawan Bencana.
  2. Pelibatan Akademisi, Pakar-Pakar Kebencanaan untuk Meneliti, Melihat, Mengkaji, Titik Mana yang Sangat Rawan Bencana Harus Dilakukan Secara Masif.
  3. Jika Terjadi Bencana, Maka Otomatis Gubernur akan Menjadi Komandan Satgas Darurat Bersama Pangdam dan Kapolda menjadi Wakil Komandan Satgas.
  4. Pembangunan Sistem Peringatan Dini yang Terpadu Berbasiskan Rekomendasi dari Pakar Harus Dipakai, Termasuk Hingga ke Level Daerah.
  5. Lakukan Edukasi Bencana.
  6. Lakukan Simulasi Latihan Penanganan Bencana secara Berkala dan Teratur untuk Mengingatkan Masyarakat Agar Siap Menghadapi Bencana.

Arahan presiden tersebut tentu perlu untuk ditindaklanjuti. Dalam kegiatan terpisah, Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Muhammad Hudori menyatakan bahwa Indonesia perlu memiliki konsep perencanaan kota tangguh, agar masyarakat dapat menghadapi situasi tak terprediksi, terutama pada saat pandemi seperti saat ini. Hal ini tentu mengindikasikan bahwa upaya penanggulangan bencana perlu untuk diterapkan di seluruh wilayah administratif, mulai dari lingkup yang kecil, yaitu Desa Tangguh Bencana, hingga ke lingkup yang lebih luas seperti kota atau kabupaten.

Pengamat perkotaan, Nirwono Yoga, mengutarakan pendapatnya terkait dengan urgensi upaya pembentukan Kota Tangguh Bencana sebagai bentuk tindak lanjut dari arahan presiden pada RAKORNAS PB. Menurutnya, pembentukan Kota Tangguh Bencana harus berfokus pada pencegahan terjadinya bencana, pengurangan risiko bencana, dan penyesuaian terhadap perubahan bencana. Upaya pengurangan risiko bencana harus menjadi pengarusutamaan rencana pembangunan daerah. Upaya mitigasi bencana dilakukan secara menyeluruh, dimulai dari kebijakan, penyediaan dana mitigasi, ketaatan pembangunan berbasis zonasi aman-rawan bencana, hingga pendidikan dan pelatihan evakuasi bencana. Rencana pengembangan kawasan perkotaan, wisata unggulan, strategis nasional, hingga ekonomi khusus juga perlu dievaluasi untuk memastikan bahwa kawasan tersebut tidak berada dalam zona merah kawasan rawan bencana. Setiap kepala daerah dan legislator perlu untuk memahami potensi risiko bencana di wilayahnya dan mampu menindak tegas para pihak yang berniat mengeksploitasi daerah rawan bencana. Di samping itu, pengoptimalan kerja sama antar pihak dalam penanganan juga menjadi penting, misalnya adalah dengan mendorong perguruan tinggi lokal untuk melakukan riset kebencanaan lokal, menyiapkan peta rawan bencana beserta upaya mitigasinya, mendorong peningkatan kapasitas rumah sakit hingga puskesmas melalui kegiatan simulasi dan sosialisasi, dan sebagainya.

Upaya pengurangan risiko bencana memang perlu dilakukan secara menyeluruh agar memiliki hasil yang optimal. Selain pengoptimalan kapasitas daerah, pemerintah pusat juga memiliki peran yang penting dalam upaya perwujudan Kota Tangguh Bencana. Seperti diketahui, Pemerintah memiliki program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) yang merupakan salah satu upaya strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mempercepat penanganan permukiman kumuh di perkotaan. Pada tahun 2018, program KOTAKU telah berhasil mengadaptasi aspek kebencanaan dalam program kegiatannya untuk mendukung pembentukan Kota Tangguh Bencana. Adapun poin-poin tersebut adalah:

1Menciptakan organisasi dan koordinasi– Penguatan koordinasi Kelompok Kerja (Pokja) Pengembangan Kawasan Permukiman (PKP).
– Penguatan terhadap relawan dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dalam Pengurangan Risiko Bencana (PRB) tingkat kelurahan.
– Kolaborasi BPBD dengan Program Kotaku dalam kegiatan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK).
2Penyiapan anggaranYang berasal dari:
– Pemerintah Daerah. Pemerintah provinsi berkontribusi sekitar 3-5% dari APBD provinsi untuk penanganan kumuh, pemerintah kabupaten/kota berkontribusi sekitar 2-5% dari APBD, dan sekitar 20% dari dana DAK yang dikaitkan dengan program penanganan kumuh.
– Pemerintah Pusat—Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui APBN yang diperkirakan memenuhi minimum 20% dari total kebutuhan pendanaan penanganan kumuh.
– Swadaya Masyarakat dan Swasta. Masyarakat berkontribusi sekitar 20% pendanaan untuk infrastruktur tersier dalam bentuk in cash maupun material dan tenaga.
3Identifikasi potensi bahaya dan kerentanan upaya pengkajian risiko bencana– Melakukan pendataan persoalan lingkungan permukiman, terutama mencakup 8 aspek kumuh.
– Menyusun Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP) yang mengarusutamakan kajian risiko bencana dan secara partisipatif melibatkan masyarakat.
– Pada kawasan yang memiliki risiko bencana tinggi direkomendasikan untuk menyusun rencana kontinjensi (Renkon).
– Menyusun Renkon di 26 kelurahan PRBBK percontohan yang telah difasilitasi melalui GFDRR dan 19 kelurahan di antaranya telah melakukan simulasi/praktik penanggulangan bencana tanggap darurat.
4Investasi dalam perlindungan, peningkatan dan ketangguhan infrastruktur– Melakukan penataan lingkungan permukiman melalui pembangunan prasarana/sarana fisik, ekonomi dan sosial yang melibatkan masyarakat secara partisipatif;
– Membangun infrastruktur dasar lingkungan permukiman;
– Membangun model konstruksi rumah tahan gempa (RTG) dan Infrastruktur permukiman;
– Infrastruktur lingkungan permukiman memenuhi ketentuan pengelolaan dampak lingkungan dan sosial (safeguard) sesuai aturan dari pemerintah yang berlaku.
5Membangun regulasi dan perencanaan penggunaan lahan– Penataan permukiman mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif dan berkelanjutan.
– Penataan permukiman kumuh mengacu kepada rencana tata ruang atau rencana tataguna lahan yang ditetapkan oleh pemda.
– Menyusun RP2KP-KP kabupaten/kota.
– Adanya peraturan daerah tentang penanganan kumuh di tingkat kabupaten/kota.
– Melakukan review perencanaan penataan permukiman (RPLP) yang telah melakukan kajian risiko bencana di dalamnya.
– Membangun aturan bersama di tingkat masyarakat yang dikuatkan menjadi peraturan kelurahan/desa.
– Perlindungan terhadap lingkungan dan ekosistem melalui kegiatan pembangunan permukiman yang menerapkan safeguard lingkungan dan sosial.
6Sosialisasi dan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran publik– Melakukan kegiatan sosialisasi/lokakarya dan media-media warga.
– Pelatihan masyarakat untuk pemahaman tentang penanganan kumuh dan potensi kebencanaan di lokasi kumuh.
– Melalui kegiatan khusus PRBBK melakukan pelatihan simulasi tanggap darurat bersama-sama stakeholder terkait di bawah koordinasi dari BPBD kabupaten/kota.
– Melakukan pembentukan kelompok/forum PRB yang terdiri relawan dan pemberian pelatihan keahlian.
7Investasi dalam perlindungan, peningkatan dan ketangguhan infrastruktur– Membangun kesiapsiagaan melalui pembangunan sarana mitigasi dan peringatan dini di lokasi yang berisiko bencana tinggi, seperti pembuatan peta jalur dan tempat evakuasi, penempatan rambu-rambu peringatan.
– Pembangunan sarana media komunikasi untuk sistem peringatan dini.
– Menyusun Renkon pada kawasan yang memilki potensi bencana risiko tinggi.
– Pelatihan simulasi yang melibatkan semua pihak.
– Pelatihan perencanaan dan pengoperasian prasarana/sarana fisik yang dirancang untuk mitigasi bencana.
8Pemulihan dan pembangunan kembali komunitas pascabencana– Menyusun perencanaan RPLP yang mainstreaming PRB.
– Membangun prasarana/sarana infrastruktur mitigasi bencana permukiman.
– Membangun Rumah Tahan Gempa (RTG).
– Membangun kesadaran pentingnya PRB dan kesiapsiagaan menghadapi bencana.
– Membangun lebih baik permukiman dan komunitas terdampak.

Sumber: KOTAKU.pu.go.id


Bahan Bacaan

  • Buku Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2014
  • KOTAKU. 2018. “Program Kotaku Menuju Kota Tangguh Bencana”. Diakses 26 Juli 2021 dari http://kotaku.pu.go.id/view/7598/program-kotaku-menuju-kota-tangguh-bencana
  • Investor. 2019. “Mewujudkan Kota Tangguh Bencana”. Diakses 26 Juli 2021 dari https://investor.id/national/mewujudkan-kota-tangguh-bencana
  • BSMI. 2019. “Buka Rakornas BNPB, Presiden Jokowi Beri 6 Arahan Antisipasi Bencana Alam”. Diakses 13 Agustus 2021 dari https://www.bsmi.or.id/post/buka-rakornas-bnpb-presiden-jokowi-beri-6-arahan-antisipasi-bencana-alam/36
  • BNPB. 2019. “Enam Arahan Presiden Joko Widodo saat Rakornas PB 2019 di Surabaya”. Diakses 13 Agustus 2021 dari https://bnpb.go.id/berita/6-enam-arahan-presiden-joko-widodo-saat-rakornas-pb-2019-di-surabaya-2-febuari-2019
  • Kemendagri. 2020. “Kemendagri Dorong Konsep Perencanaan Kota Tangguh Bencana Pandemi”. Diakses 13 Agustus 2021 dari https://setjen.kemendagri.go.id/berita/baca/90/kemendagri-dorong-konsep-perencanaan-kota-tangguh-bencana-pandemi

Isu Lintas Sektor dalam RENAS PB

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Isu lintas sektor merupakan perspektif yang digaungkan di dalam RENAS PB dengan mengutamakan prinsip bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan sehingga tidak ada satu orang pun yang harus merasa terabaikan (no one left behind). Isu ini menjadi penting mengingat penanggulangan bencana merupakan hal yang tidak dapat diselesaikan oleh satu orang ataupun satu pihak saja, melainkan menjadi tanggung jawab bersama. Selain itu, pelibatan seluruh pihak secara inklusif juga merupakan bentuk penghormataan dari individu serta bagi masyarakat yang tinggal di Indonesia yang memiliki hak untuk berperan aktif terlibat dalam berbagai perencanaan yang terdapat di Indonesia.

Pengarusutamaan Gender

Isu pengarusutamaan gender menjadi salah satu pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan perencanaan di bidang kebencanaan. Isu ini diprakarsai dari konferensi perempuan sedunia yang dilaksanakan di Beijing pada tahun 1995 dan telah menjadi strategi utama ke dalam seluruh bidang dan sektor pembangunan untuk dapat mendorong kesetaraan gender. Pemerintah juga kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Dalam aspek kebencanaan, seluruh strategi yang berkaitan dengan penanggulangan bencana disusun dengan melibatkan peran laki-laki dan perempuan baik dalam proses pengembangan, implementasi, monitoring, dan evaluasi. Berdasarkan Perka BNPB Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender di bidang Penanggulangan Bencana, pengarusutamaan gender dilakukan dengan menggunakan 4 aspek, yaitu: akses, partisipasi, kontrol terhadap sumber daya dan pengambilan keputusan, serta manfaat dari kebijakan dan program.

Pengarusutamaan Disabilitas

Pemerintah mendefinisikan penyandang disabilitas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Terkait dengan penanggulangan bencana, isu-isu yang berkaitan dengan pengarusutamaan disabilitas telah diatur dalam Perka BNPB Nomor 14 Tahun 2014 tentang Penanganan, Perlindungan, dan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana. Setiap penyandang disabilitas berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang tidak manusiawi, penyiksaan, eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan prinsip kesamaan hak, termasuk memperoleh pelayanan sosial dalam rangka kemandirian.

Dalam rangka pemenuhan hak dan kebutuhan penyandang disabilitas, maka kebijakan, program, dan kegiatan dalam semua aspek penyelenggaraan penanggulangan bencana wajib melaksanakan:

  • Penyediaan kemudahan akses bagi penyandang disabilitas, baik kemudahan akses fisik maupun non fisik. Kemudahan akses fisik antara lain terkait dengan sarana, prasarana, dan perlengkapan fisik. Sementara kemudahan akses non fisik antara lain terkait dengan penyediaan layanan dan penyediaan akses informasi (termasuk informasi peringatan dini).
  • Pelibatan penyandang disabilitas secara aktif dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta dalam Forum Pengurangan Risiko Bencana, baik secara perorangan maupun organisasi/lembaga penyandang disabilitas.
  • Pengembangan aspek kemandirian penyandang disabilitas melalui pengembangan kapasitas.

Perlindungan Anak

Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Perlindungan anak secara khusus diberikan pada situasi darurat, termasuk anak korban bencana dan anak yang menjadi pengungsi. Perlindungan yang diberikan adalah dalam bentuk pemberian jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembang anak. Bentuk perlindungan lain yang diberikan adalah pemenuhan kebutuhan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan (fisik dan mental/psikososial) yang rentan terabaikan bagi anak pada kondisi darurat bencana terutama dari sembilan kebutuhan dasar Anak yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan.


Bahan Bacaan

  • Buku Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2014
  • Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
  • Perka BNPB Nomor 14 Tahun 2014 tentang Penanganan, Perlindungan, dan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Upaya Pengarusutamaan RENAS PB bagi Para Stakeholder

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) dan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (RENAS PB) penting untuk dapat diintegrasikan dalam rangka mendukung pembangunan nasional. Nantinya, kedua rencana ini diharapkan akan dapat menjadi pedoman nasional penyelenggaraan penanggulangan bencana. Untuk itu, diperlukan sebuah upaya pengarusutamaan agar upaya pengurangan risiko bencana dapat terintegrasi dengan baik ke dalam berbagai aspek pembangunan nasional. Mekanisme pengarusutamaan dibutuhkan untuk memperjelas konektivitas kebijakan, strategi dan aksi penanggulangan bencana pada Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (RENAS PB) dan sekaligus mekanisme penerapannya pada tiap-tiap komponen pelaku RENAS PB.

Kerangka pengarusutamaan RENAS PB yang dilakukan oleh BNPB dilaksanakan dalam beberapa perspektif, yakni regulasi, anggaran, substansi, serta pelibatan lembaga non pemerintah dan lembaga dunia usaha. Dari segi regulasi, berupa aturan hukum yang mampu menjembatani kebijakan lintas sektor dan lintas institusi. Untuk dapat mengikat komitmen antar pihak yang terlibat, maka RENAS PB juga ditandatangani oleh para Menteri/kepala lembaga pemerintah yang terkait. Dari segi anggaran, kebijakan dan alokasi anggaran untuk mengimplementasikan RENAS PB perlu mendapat dukungan dari Kementerian Keuangan dalam bentuk aturan bersama antara bNPB dengan Kementerian Keuangan. Dari segi substansi, diperlukan kesesuaian RENAS PB dengan tupoksi lembaga-lembaga yang terkait. Selain itu, pemilihan stakeholder perlu dilakukan berdasarkan kajian institusi serta perlu untuk mempertimbangkan isu-isu yang mungkin berkembang. Perwakilan dari tiap stakeholder dapat ditempatkan pada sekretariat RENAS PB. Dari segi lembaga non pemerintah, kerangka pengarusutamaan dilaksanakan dalam persepektif pengakuan eksistensi entitas non pemerintah dalam upaya pencapaian sasaran RENAS PB. Sementara untuk lembaga dunia usaha, pemerintah akan melakukan pendekatan corporate citizenship yang menginternalisasikan kontribusi dunia usaha dengan pola business process-nya masing-masing.

Skematik Kerangka Pengarusutamaan RENAS PB

Sumber: Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024

Seperti diketahui bahwa perspektif kebencanaan secara global kini telah berubah, dari yang awalnya merupakan langkah responsive dan tanggap darurat, kini telah berubah menjado preventif, sehingga pengarusutamaan aspek kebencanaan dalam setiap aspek perencanaan pembangunan menjadi penting. Pengarusutamaan kebencanaan melalui RENAS PB membutuhkan sebuah perangkat untuk dapat melaksanakan amanat yang tertuang di dalamnya. Dilansir dari portal BNPB, Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana BNPB, Agus Wibowo, menyatakan bahwa dalam rangka implementasi RIPB dan Renas PB, perlu untuk membentuk tim koordinasi nasional atau sekretariat Renas PB bagi semua stakeholder dan membuat pedoman teknis untuk mengimplementasikan RIPB dan Renas PB serta pembentukan sekretariat daerah.

Pengarusutamaan RENAS PB dilaksanakan oleh sebuah Sekretariat RENAS PB lintas kementerian dan lembaga dibawah koordinasi Steering Committee (SC). Steering Committee merupakan pengambil kebijakan di level manajerial
yang perlu menjadi bagian tidak terpisahkan pada sekretariat RENAS PB. Keanggotaan Sekretariat RENAS PB berasal dari wakil kementerian/lembaga serta unsur akademisi, praktisi, media, filantropi/bisnis dan perhimpunan Organisasi Masyarakat Sosial (OMS). Adapun sekretariat RENAS PB memiliki tugas untuk:

  1. Memfasilitasi proses pengarusutamaan RENAS PB sesuai dengan kerangka yang telah ditetapkan
  2. Memfasilitasi Dashboard untuk mendukung proses monitoring, evaluasi dan pembaruan RENAS PB sesuai dengan kerangka yang telah ditetapkan
  3. Memfasilitasi kolaborasi non pemerintah

Adapun perangkat lain untuk menunjang Sekretariat RENAS PB adalah dashboard. Penggunaan dashboard difungsikan untuk dapat memperlihatkan progress serta memberikan informasi terkini terkait ketercapaian outcome RENAS PB dan isu lintas sektor yang berkembang dalam pelaksanaan RENAS PB. Pengumpulan data pada dashboard dapat dilakukan berdasarkan: kesamaan fungsi, kesamaan tahap pada manajemen penanggulangan bencana, serta kesamaan tugas pokok dan fungsi.

Skema kelompok pengarusutamaan RENAS PB melalui Sekretariat RENAS PB dilakukan melalui 2 upaya, yakni melalui kelompok stakeholder dan melalui strategi komunikasi. Pengarusutamaan melalui kelompok stakeholder akan ditujukan kepada kelompok pemerintah dan pemerintah daerah; akademisi, pakar, dan ahli; lembaga usaha, bisnis, dan filantropi; organisasi masyarakat sipil; dan lembaga media. Sedangan pengarusutamaan melalui strategi komunikasi akan dibangun dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti kepedulian (awareness), ketertarikan (interest), inisiatif mencari dan mengenal (searching), menciptakan aksi (action), dan berbagi (sharing).

Strategi Komunikasi Pengarusutamaan RENAS PB 2020-2024

Membangun
AWARENESS
Menciptakan INTERESTInisiatif
SEARCHING
Menciptakan
ACTION
Melakukan
SHARING
Menciptakan pengenalan RENAS PBMembangun ketertarikanMenyediakan sarana informasiMendorong partisipan pelakuPembelajaran dan praktik
Memahami hambatan dan tantanganMenguraikan manfaat timbal balikMenyediakan data yang dibutuhkanMenyediakan paket-paket kegiatan dan panduannyaPenyelenggaraan forum berbagi antar pemangku kepentingan
Memperkenalkan saran, aksi, dan indicator PBMenjelaskan pola kesertaan dan kontribusiMenyediakan pernagkat pendukung advokasiMenetapkan indeks keberhasilan pelaksanaanMemanfaatkan dokumentasi sebagai sumber percontohan
Menjelaskan manfaat dan hasil yang diharapkanMenguraikan insentif programMenetapkan jenis media sebagai sumber informasiMelakukan dokumentasi, koordinasi, pengawasan dan evaluasiPemaparan evaluasi dan koreksi

Sumber: Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana
  • Buku Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2014
  • BNPB. 2021. “Integrasi RIPB dan Renas Penangggulangan Bencana dalam Pembangunan Nasional”. Diakses 4 Agustus 2021 dari https://www.bnpb.go.id/berita/integrasi-ripb-dan-renas-penangggulangan-bencana-dalam-pembangunan-nasional

Mengenal Rencana Nasional Penanggulangan Bencana

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (RENAS PB) merupakan dokumen penjabaran yang lebih detil dari RIPB (Rencana Induk Penanggulangan Bencana) dan RPJM Nasional Periode ke-IV. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana merupakan rencana yang memuat kebijakan dan strategi serta pilihan tindakan untuk mencapai sasaran penyelenggaraan penanggulangan bencana di tingkat nasional dalam kurun 5 tahun. RENAS PB menjadi acuan bagi pemerintah pusat untuk memfasilitasi peningkatan ketahanan daerah sekaligus memberikan dasar bagi pemerintah daerah menyusun perencanaan penanggulangan bencana di daerahnya masing-masing. Adapun kedudukan RENAS PB dalam sistem perencanaan nasional adalah sebagai berikut:

Kedudukan Dokumen Rencana Nasional Penanggulangan Bencana dalam Sistem Perencanaan Nasional

Sumber: Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024

Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa RENAS PB menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun dan menetapkan RPB Daerah. RENAS PB berperan sebagai masukan dalam proses penyusunan RPJMD, khususnya dalam sektor penanggulangan bencana, termasuk dalam merancang pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM) Sub-urusan Bencana. RENAS PB menjadi dasar bagi perencanaan teknis yang lebih detail terkait penyelenggaraan penanggulangan bencana tingkat nasional. RENAS PB meliputi pengenalan dan pengkajian ancaman, pemahaman tentang kerentanan masyarakat, analisis kemungkinan dampak bencana, pilihan tindakan pengurangan risiko bencana, penentuan mekanisme kesiapan penanggulangan dampak dan pengendalian ancaman bencana, serta alokasi tugas, kewenangan dan sumberdaya yang tersedia.

Kedudukan Dokumen Rencana Nasional Penanggulangan Bencana dalam Sistem Penanggulangan Bencana

Sumber: Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024

Komponen-komponen perencanaan pada penyusunan RENAS PB tersebut diperoleh dari berbagai referensi, baik yang bersifat teknokratis mau pun politis. Referensi teknis yang digunakan dalam penyusunan RENAS PB adalah Sendai Frameworks for Disaster Risk Reduction (SFDRR-Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana), dan Sustainable Development Goals (SDGs-Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan). RPJPN dan RPJMN. Sedangkan referensi yang bersifat politis adalah Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), RPJMN 2020-2024 dan RIPB 2020-2044. RENAS PB berlaku untuk multibahaya dan terbatas pada tatanan kebijakan, rencana, program secara komprehensif. Dibutuhkan perencanaan yang lebih mendetail untuk perencanaan teknis pada masa aman, masa siaga, masa krisis dan darurat serta masa rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Perencanaan detail tersebut tetap harus mengacu pada koridor dan petunjuk yang telah diberikan dalam RENAS PB.

Penyusunan RENAS PB dilaksanakan dengan mengasumsikan beberapa kondisi dasar lingkungan perencanaan. Asumsi ini diambil untuk memberikan ruang penyesuaian terhadap berbagai kemungkinan perubahan sistem yang sedang terjadi antara lain revisi Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Reformasi (Penguatan) Sistem Ketahanan Bencana, serta Penanganan Darurat Bencana Non-alam Covid-19. Penyusunan RENAS PB melibatkan 28 kementerian/lembaga dan berbagai institusi non pemerintah di tingkat pusat di bawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Tahapan Arah Kebijakan Penanggulangan Bencana Tahun 2005 hingga 2025

Tahapan Pembangunan pada RPJPN 2005-2025Skala Prioritas PembangunanArah Kebijakan Penanggulangan Bencana
RPJMN 2005-2009Menata kembali NKRI, membangun Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baikMembangun KOMITMEN bangsa dalam penanggulangan bencana
RPJMN 2010-2014Memantapkan penataan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan Iptek, memperkuat daya saing perekonomianMeletakkan DASAR SISTEM penanggulangan bencana
RPJMN 2015-2019Memantapkan pembangunan secara keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang ber-kualitas, serta kemampuan iptekMeningkatkan Efektivitas Penang-gulangan bencana
RPJMN 2020-2024Mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompe-titif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saingPeningkatan Ketangguhan Bencana Menuju Kesejahteraan yang Berketahanan untuk Pembangunan Berkelanjutan

Sumber: Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024

Di dalam RIPB, visi penanggulangan bencana tahun 2020-2040 di Negara Indonesia adalah untuk “Mewujudkan Indonesia Tangguh Bencana untuk Pembangunan Berkelanjutan”. RENAS PB menjabarkan visi tersebut ke dalam arah kebijakan yang lebih detil untuk kurun waktu 2020 hingga 2024, yaitu adalah “Peningkatan Ketangguhan Bencana menuju Kesejahteraan yang Berketahanan untuk Pembangunan Berkelanjutan”. Dalam arah kebijakan tersebut, tangguh bencana bermakna bahwa Indonesia mampu menahan, menyerap, beradaptasi, dan memulihkan diri dari akibat bencana dan perubahan iklim secara tepat waktu, efektif, dan efisien. Disebutkan pula bahwa peningkatan ketangguhan bencana perlu mengikuti perkembangan teknologi yang ada, seperti pengkolaborasian dengan Big Data sehingga diharapkan agar tercipta teknologi penanggulangan bencana serta sistem pendukung keputusan yang cepat, akurat, dan handal.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana
  • Buku Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2014

Lingkup Kegiatan Pengembangan Desa Tangguh Bencana

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Dalam rangka meningkatkan kapasitas desa terhadap bencana, pemerintah menggagas Program Desa Tangguh Bencana yang dapat dilakukan dan dipersiapkan pada fase tidak terjadi bencana. Untuk membentuk atau mengembangkan Desa Tangguh Bencana, diperlukan kolaborasi dan partisipasi dari seluruh pihak, terutama masyarakat desa, untuk dapat mengupayakan kegiatan pengurangan risiko bencana dengan maksimal. Hal ini dikarenakan masyarakat adalah aset penting yang perlu dijaga dan ditingkatkan kapasitasnya. Adapun terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan ketika akan mengembangkan Desa/kelurahan Tangguh Bencana, yaitu:

Pengkajian Risiko Desa

Dalam mengembangkan desa/kelurahan tangguh bencana, seluruh stakeholder harus mengadakan pengkajian atas risiko bencana yang ada di desa/kelurahan sasaran. Pengkajian risiko bencana terdiri atas tiga komponen penting, yakni penilaian atau pengkajian ancaman, kerentanan, dan kaapsitas/kemampuan. Terdapat beberapa perangkat yang dapat digunakan untuk melakukan pengkajian risiko yang dapat dipelajari oleh perangkat desa dalam mengkaji daerahnya.

Perencanaan PB dan Perencanaan Kontinjensi Desa/Kelurahan

Desa/Kelurahan perlu menyusun Rencana Penanggulangan Bencana Desa/Kelurahan dan Rencana Kontinjensi Desa/Kelurahan. RPB Desa merupakan rencana strategis untuk mobilisasi sumber daya berbagai stakeholder. Jenis rencana ini harus disusun bersama masyarakat. Agar pelaksanaannya dapat melibatkan seluruh pemangku kepentingan, maka diperlukan sebuah payung hukum pelindung berupa Peraturan Desa atau perangkat lain yang setingkat di kelurahan.

Sedangkan Rencana Kontinjensi merupakan rencana yang disusun untuk menghadapi suatu situasi krisis yang diperkirakan akan segera terjadi, tetapi dapat pula tidak terjadi. Rencana kontinjensi mengidentifikasi tindakan-tindakan yang harus diambil oleh masing-masing pihak yang dilibatkan dalam penanganan krisis/bencana berikut sumber daya yang akan digunakan. Rencana kontinjensi hanya digunakan pada satu jenis bencana saja.

Pembentukan Forum PRB Desa/Kelurahan

Forum Pengurangan Risiko Bencana dapat dibentuk secara khsuus atau dengan mengembangkan kelompok yang telah ada di desa/kelurahan. Forum ini tidak menjadi bagian dari struktur resmi pemerintah desa/kelurahan, tetapi pemerintah dapat terlibat di dalamnya bersama dengan komponen masyarakat sipil lainnya. Pembentukan forum PRB di desa/kelurahan perlu memperhatikan hal-hal berikut:

  • Menghadirkan dan menyuarakan kepentingan kelompok rentan serta kelompok yang terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan
  • Keterwakilan seluruh unsur masyarakat dan keikutsertaan kelompok marjinal dalam kepengurusan
  • Penjaminan agar forum dapat memiliki kelompok kerja yang kompak, efektif, dapat dipercaya dan kreatif
  • Forum perlu menyusun rencana kerja yang realistis dan dapat dikerjakan, lengkap dengan prioritas rencana aksi masyarakat serta sumber penganggarannya

Perka BNPB menyatakan bahwa forum PRB Desa/Kelurahan perlu diberi kewenangan yang cukup dan status hukum yang pasti, sehingga dapat menjalin kerjasama dan hubungan kelembagaan yang baik dengan pemerintah desa/kelurahan serta pemangku kepentingan lainnya. Selain forum PRB, desa/kelurahan dapat pula membentuk Tim Siaga Bencana Masyarakat yang dapat berasal dari masyarakat relawan ataupun anggota forum PRB. Tim ini dapat terlibat secara aktif dalam kegiatan upaya pengurangan risiko bencana ataupun sebagai tim tanggap darurat pada fase saat terjadi bencana atau pada fase pasca bencana.

Peningkatan Kapasitas Warga dan Aparat Penanggulangan Bencana

Kapasitas warga dan aparat penanggulangan bencana yang ada di desa/kelurahan penting untuk ditingkatkan guna menciptakan Desa Tangguh Bencana yang berkapasitas tinggi. Bentuk penguatan kapasitas dapat dilakukan dengan mengadakan kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat atau perguruan tinggi melalui lokakarya atau lokalatih. Topik yang dapat diberikan antara lain pengorganisasian masyarakat, kepemimpinan, manajemen organisasi masyarakat, serta topik terkait lainnya. Sementara topik yang berkaitan dengan PRB dapat berupa pelatihan dalam pemetaan ancaman, HVCA (Hazard, Vulnerability and Capacity Assessments), PRA (Participatory Rural Appraisal) atau Penilaian Pedesaan Partisipatif, serta metode-metode terkait lainnya yang dibutuhkan. Selain itu, peningkatan kapasitas juga dapat dilakukan dengan pemenuhan penyediaan peralatan atau perangkat sistem peringatan dini serta kesiapsiagaan bencana yang terjangkau.

Pemaduan PRB ke dalam Rencana Pembangunan Desa dan Legalisasi

Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012 menyatakan bahwa Rencana Penanggulangan Bencana di desa/kelurahan yang telah disusun perlu untuk diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Desa. Hal ini dilakukan agar pendanaan menjadi lebih mudah untuk didapatkan karena program-program dalam RPB tidak harus bersaing dengan program-program pembangunan desa lainnya. Forum PRB Desa diharapkan dapat berperan dalam mendorong proses pengintegrasian aspek-aspek dalam RPB Desa ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), sehingga RPJMDes akan mengandung pendekatan pengurangan risiko bencana sehingga peluang adanya jaminan pendanaan bagi program-program PRB akan di desa menjadi lebih besar.

Pelaksanaan PRB di Desa/kelurahan

Perencanaan penanggulangan bencana serta rencana kontinjensi desa/kelurahan yang telah dirumuskan sebelumnya perlu untuk diimplementasikan oleh seluruh warga. Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan pendanaan dan alokasi sumber daya yang memadai untuk dapat melaksanakan upaya pengurangan risiko bencana secara menyeluruh.

Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan

Desa Tangguh Bencana perlu memiliki sistem yang baik, terstruktur, dan terarah. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan pula sistem pemantauan, evaluasi, dan pelaporan yang baik. Secara umum, kegiatan pemantauan dan evaluasi dilakukan secara terpisah, dengan frekuensi kegiatan pemantauan yang dilakukan lebih banyak dari kegiatan evaluasi.

Kegiatan pemantauan dilakukan untuk mengamati apakah kegiatan program yang telah dirumuskan dapat dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Kegiatan pemantauan dapat dilakukan dengan melakukan asistensi pelaksanaan program yang dapat membantu mengarahkan pelaksanaan program

Kegiatan evaluasi bertujuan untuk menilai keseluruhan pencapaian sasaran atau hasil program yang sesuai dengan indicator atau target yang direncanakan. Kegiatan evaluasi dapat dilakukan beberapa kali dalam masa implementasi program. Kegiatan evaluasi secara khusus diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan penting seperti:

  • Apakah program telah memberikan kontribusi untuk pengurangan risiko?
  • Apakah program telah berkontribusi pada mitigasi ancaman?
  • Apakah program dapat menghilangkan atau mengurangi kerentanan dan mengembangkan kapasitas atau kemampuan masyarakat ataupun apparat pemerintah pada berbagai tingkat?
  • Apakah program berhasil memobilisasikan sumber daya setempat untuk upaya-upaya pengurangan risiko bencana?
  • Apakah ada komitmen dari pemerintah desa, kelurahan, kabupaten, kota, dan provinsi dalam keberlanjutan program?

Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Desa Tangguh Bencana

Kriteria Desa Tangguh Bencana

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Desa memiliki kewenangan untuk mengatur daerahnya, sehingga desa dapat membentuk dan meningkatkan kesiapsiagaan wilayahnya dengan membentuk Desa Tangguh Bencana. Desa Tangguh Bencana memiliki 3 kriteria yang menunjukkan tingkatannya dalam menerapkan upaya-upaya pengurangan risiko bencana, yakni utama, madya, dan pratama. Kriteria ini ditetapkan berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan secara bersama-sama, baik dengan tenaga fasilitator, pemerintah setempat, serta masyarakat itu sendiri.

Pembagian kriteria Desa Tangguh Bencana ditetapkan berdasarkan beberapa indikator yang akan didapatkan setelah desa/kelurahan menjalani asesmen berupa kuesioner yang terdapat pada Lampiran Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Desa Tangguh Bencana. Kriteria ini ditetapkan agar setiap desa dapat secara perlahan mampu mencapai kondisi ideal desa tangguh bencana.

Selain sebagai alat untuk mengukur tingkat ketangguhan secara sederhana, kuesioner juga dapat digunakan sebagai dasar atau acuan dalam pengembangan desa/kelurahan tangguh bencana. Hasil penilaian kuesioner menyajikan aspek-aspek yang masih kurang dan harus ditingkatkan, sehingga pengembangan desa atau kelurahan tangguh dapat mengarahakan upayanya secara lebih terfokus dan terpadu. Adapun hasil asesmen akan menghasilkan skoring yang akan menetapkan tingkatan desa tersebut dalam kriteria Desa Tangguh Bencana, yakni:

  • Desa atau Kelurahan Tangguh Bencana Utama (skor 51-60)
  • Desa atau Kelurahan Tangguh Bencana Madya (skor 36-50)
  • Desa atau Kelurahan Tangguh Bencana Pratama (skor 20-35)

Penyelenggaraan program Desa Tangguh Bencana membutuhkan tenaga fasilitator sebagai pendamping di masyarakat selama proses kegiatan pembentukan berlangsung, serta melibatkan pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai pengelola kegiatan secara menyeluruh yakni dari awal hingga akhir pembentukan serta komitmen untuk melakukan replikasi destana di desa/kelurahan lainnya. BPBD Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat menjadikan masyarakat dan fasilitator desa tangguh bencana sebagai aset daerah dalam upaya pengurangan risiko bencana di daerahnya.

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama

Merupakan tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh sebuah desa/kelurahan yang berpatispasi dalam program pengembangan Desa Tangguh Bencana. Adapun ciri dari desa ini adalah sebagai berikut:

  1. Adanya kebijakan PRB (Penanggulangan Risiko Bencana) yang telah dilegalkan dalam bentuk Peraturan desa atau perangkat hukum setingkat di kelurahan.
  2. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah dipadukan ke dalam RPJMDes dan dirinci ke dalam RKPDes.
  3. Adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, dan wakil pemerintah desa/kelurahan, yang berfungsi dengan aktif.
  4. Adanya tim relawan PB Desa/Kelurahan yang secara rutin terlibat aktif dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotannya dan masyarakat pada umumnya.
  5. Adanya upaya-upaya sistematis untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentatanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi prodfuktif alternatif untuk mengurangi kerentanan.
  6. Adanya upaya-upaya sistematis untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana.

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya

Merupakan tingkat menengah dari tiga kriteria Desa Tangguh Bencana. Adapun desa dengan tingkat Madya memiliki kriteria sebagai berikut:

  1. Adanya kebijakan PRB yang tengah dikembangkan di tingkat desa atau kelurhan.
  2. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah tersusun tetapi belum terpadu ke dalam instrumen perencanaan desa.
  3. Adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, tetapi belum berfungsi penuh dan aktif
  4. Adanya tim relawan PB Desa/Kelurahan yang terlibat dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya, tetapi belum rtin dan tidak terlalu aktif.
  5. Adanya upaya-upaya ntuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonom[1]i produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan, tetapi belum terlalu teruji.
  6. Adanya upaya-upaya untuk meningkatakan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana yang belum teruji dan sistematis.

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama

Merupakan tingkatan paling awal dari tiga kriteria Desa Tangguh Bencana, dalam arti, desa/kelurahan telah memiliki beberapa upaya dasar dalam pengurangan risiko bencana. Adapun desa dengan tingkat Pratama memiliki kriteria sebagai berikut:

  1. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun kebijakan PRB di tingkat desa atau kelurahan
  2. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun dokumen perencanaan PB
  3. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat
  4. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk tim relawan PB Desa/Kelurahan
  5. Adanya upaya-upaya awal untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan
  6. Adanya upaya-upaya awal untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana

Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
  • BNPB. 2016. “Perka BNPB No. 1/2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana”. Diakses 18 Juni 2021 dari https://bnpb.go.id/berita/perka-bnpb-no-1-2012-tentang-pedoman-umum-desa-kelurahan-tangguh-bencana

Desa Tangguh Bencana

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Negara Indonesia merupakan negara dengan kondisi geografis yang dapat dikategorikan sebagai negara yang rawan akan bencana, baik bencana alam, non-alam maupun bencana sosial. Sebuah negara tentu saja memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh masyarakat yang terkena bencana. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang mengamanatkan untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Salah satu strategi untuk mewujudkan hal tersebut adalah melalui pengembangan desa/kelurahan tangguh terhadap bencana dengan upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK). Dalam PRBBK, proses pengelolaan risiko bencana melibatkan secara aktif masyarakat dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuannya.

Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Berdasarkan peraturan tersebut, disebutkan bahwa upaya pengurangan risiko bencana yang akan dilakukan melalui pengembangan Desa/Kelurahan tangguh bencana harus disesuaikan ke dalam perencanaan dan juga pada praktek pembangunan. Hal ini bertujuan agar pemerintah Kota dan Kabupaten dapat melaksanakan program-program pengembangan desa tangguh bencana.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pada pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa definisi dari desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemudian merujuk pada Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, disebutkan bahwa definisi dari Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah Desa/Kelurahan yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan, jika terkena bencana. Dengan demikian sebuah Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang memiliki yang memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kemampuan demi mengurangi resiko bencana. Hal ini juga berkesinambungan dengan peraturan terkait desa yang menyatakan bahwa desa merupakan bagian kecil dari suatu wilayah atau kawasan dalam suatu kota yang memiliki kewenangan untuk dapat mengelola wilayahnya sendiri.

Adapun tujuan dari disahkannya Peraturan BNPB Nomor 1 Tahun 2012 ini adalah untuk:

  • Memberikan panduan bagi pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam pengembangan Desa Tangguh Bencana sebagai bagian upaya PRBBK
  • Memberikan acuan pelaksanaan pengembangan Desa Tangguh Bencana bagi aparatur pelaksana dan pemangku kepentingan pengurangan risiko bencana (PRB)

Sedangkan tujuan khusus dari pengembangan Desa Tangguh Bencana adalah untuk:

  • Melindungi masyarakat di kawasan rawan bahaya dari dampak-dampak merugikan bencana.
  • Meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya kelompok rentan, dalam pengelolaan sumber daya untuk mengurangi risiko bencana.
  • Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan pemeliharaan kearifan lokal bagi PRB.
  • Meningkatkan kapasitas pemerintah dalam memberikan dukungan sumber daya dan teknis bagi PRB.
  • Meningkatkan kerjasama antara para pemangku kepentingan dalam PRB, pihak pemerintah daerah, lembaga usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyakarat (LSM), organisasi masyarakat, dan kelompok-kelompok lainnya yang peduli.

Melalui program Desa Tangguh Bencana, masyarakat diharapkan untuk dapat terlibat aktif dalam upaya pengurangan risiko bencana yang mencakup proses pengkajian, analisis, penanganan, pemantauan, serta evaluasi, dengan memanfaatkan sumber daya lokal sehingga diharapkan akan dapat menciptakan ketangguhan masyarakat dalam beradaptasi dan menghadapi kemungkinan bencana yang mungkin terjadi.

Komponen-komponen Desa Tangguh Bencana meliputi aspek legislasi, perencanaan, kelembagaan, pendanaan, pengembangan kapasitas, dan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Strategi untuk mewujudkan Desa Tangguh Bencana antara lain meliputi:

  • Pelibatan seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang paling rentan secara fisik, ekonomi, lingkungan, sosial dan keyakinan, termasuk perhatian khusus pada upaya pengarusutamaan gender ke dalam program.
  • Tekanan khusus pada penggunaan dan pemanfaatan sumber daya mandiri setempat dengan fasilitasi eksternal yang seminimum mungkin.
  • Membangun sinergi program dengan seluruh pelaku (kementerian/lembaga atau K/L, organisasi sosial, lembaga usaha, dan perguruan tinggi) untuk memberdayakan masyarakat desa/kelurahan.
  • Dukungan dalam bentuk komitmen kebijakan, sumber daya dan bantuan teknis dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan pemerintah desa sesuai kebutuhan dan bila dikehendaki masyarakat.
  • Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan potensi ancaman di desa/kelurahan mereka dan akan kerentanan warga.
  • Pengurangan kerentanan masyarakat desa/kelurahan untuk mengurangi risiko bencana.
  • Peningkatan kapasitas masyarakat untuk mengurangi dan beradaptasi dengan risiko bencana.
  • Penerapan keseluruhan rangkaian manajemen risiko mulai dari identifikasi risiko, pengkajian risiko, penilaian risiko, pencegahan, mitigasi, pengurangan risiko, dan transfer risiko.
  • Pemaduan upaya-upaya PRB ke dalam pembangunan demi keberlanjutan program.
  • Pengarusutamaan PRB ke dalam perencanaan program dan kegiatan lembaga/institusi sosial desa/kelurahan, sehingga PRB menjiwai seluruh kegiatan di tingkat masyarakat.

Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
  • BNPB. 2016. “Perka BNPB No. 1/2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana”. Diakses 9 Juli 2021 dari https://bnpb.go.id/berita/perka-bnpb-no-1-2012-tentang-pedoman-umum-desa-kelurahan-tangguh-bencana

Inklusivitas dalam Kebencanaan

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Upaya pengurangan risiko bencana merupakan hal yang diperhatikan dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Upaya pengurangan risiko bencana harus bersifat inklusif. Artinya, harus dilakukan secara menyeluruh, tidak memandang kelompok masyarakat tertentu, ras, tingkat ekonomi, usia, keterbatasan fungsi fisik, dan sebagainya. Hal ini juga sejalan dengan upaya pemerintah untuk terus berupaya meningkatkan kolaborasi inklusif di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Raditya Jati, yang menyatakan bahwa kolaborasi inklusif sangat penting dalam memperkuat upaya pengurangan risiko bencana di Indonesia.

Pada tahun 2018, Indonesia mengikuti konferensi Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) yang diadakan di Ulaanbaatar, Mongolia. Pada kesempatan tersebut, pemerintah melalui kepala BNPB menyampaikan bahwa inklusivitas merupakan salah satu sifat yang diterapkan dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Hal tersebut ditujukan untuk merangkul penyandang disabilitas yang seringkali menghadapi kesulitan dalam perencanaan kesiapsiagaan serta pemulihan pascabencana. Membangun suatu komunitas dan bangsa yang tangguh terhadap bencana membutuhkan tidak hanya pendekatan yang komprehensif tetapi juga inklusif. Masyarakat berkebutuhan khusus seringkali diabaikan dalam proses pengurangan risiko bencana pada setiap tingkatan sehingga Indonesia berkomitmen untuk memastikan inklusivitas dan melihat tantangan untuk penguatan ketangguhan pada seluruh lapisan masyarakat. Disampaikan pula bahwa Indonesia juga terus berupaya untuk mengembangkan bahasa isyarat berstandar nasional agar bisa mengkomunikasikan risiko bencana dengan lebih baik kepada masyarakat berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas di Indonesia.

Penerapan prinsip inklusivitas dalam kebencanaan menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini mengingat bahwa setiap masyarakat Indonesia berhak untuk mendapatkan perlindungan yang layak. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam UU ini, yang termasuk ke dalam kelompok rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Pemerintah juga mendefinisikan lebih lanjut mengenai kelompok rentan, yakni yang termasuk ke dalam kelompok tersebut adalah bayi, anak usia di bawah lima tahun, anak-anak, ibu hamil atau menyusui, penyandang cacat dan orang lanjut usia. Terlepas dari pengklasifikasian yang ada, kelompok masyarakat ini perlu menjadi perhatian khusus dikarenakan keterbatasan yang dimilikinya. Penting bagi pemerintah untuk dapat menyediakan kebijakan ataupun sarana prasarana yang mudah diakses bagi kelompok masyarakat rentan, sehingga apabila terjadi bencana, kelompok masyarakat ini diharapkan dapat dengan mudah melakukan penyelamatan diri.

Ilustrasi Kelompok Rentan

Sumber: diolah dari PP Nomor 21 Tahun 2008

Berkenaan dengan kelompok rentan dengan klasifikasi penyandang disabilitas, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi ketika bertemu dengan bencana. Dilansir dari Konsorsium Hak Difabel dalam sebuah jurnal terkait disabilitas dan bencana, disebutkan bahwa permasalahan tersebut antara lain: (1) belum maksimalnya program persiapan bencana yang sensitif penyandang disabilitas, (2) partisipasi penyandang disabilitas masih minim dalam pendidikan pengurangan risiko bencana (PRB), (3) aksesibilitas penyandang disabilitas terhadap materi ajar/belajar PRB, (4) penyandang disabilitas tidak bisa sepenuhnya bertindak cepat dalam penyelamatan diri, (5) kurangnya pendataan spesifik tentang identitas dan kondisi penyandang disabilitas, dan (6) kurangnya fasilitas dan layanan yang aksesibel di pengungsian. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian khusus agar penyandang disabilitas ataupun kelompok rentan lainnya dapat mendapatkan perhatian yang sama.

Salah satu poin utama dalam prinsip pelayanan bagi kelompok rentan, terutama kelompok penyandang disabilitas, yaitu tidak adanya diskriminasi dan selalu mengedepankan inklusi. Bisa jadi mereka tidak selalu membutuhkan bantuan hanya karena memiliki disabilitas, sehingga menjadi penting untuk dapat melakukan komunikasi untuk dapat mengetahui sejauh mana bantuan serta partisipasi keterlibatan dapat dilakukan, khususnya dalam sektor kebencanaan. Pelibatan penyandang disabilitas secara aktif dalam penanggulangan bencana adalah wujud nyata dalam penghormatan hak hidup manusia.

Di dalam Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2044, dalam rangka pemenuhan hak dan kebutuhan penyandang disabilitas, maka kebijakan, program, dan kegiatan dalam semua aspek penyelenggaraan penanggulangan bencana diwajibkan untuk melaksanakan:

  • Penyediaan kemudahan akses bagi penyandang disabilitas, baik kemudahan akses fisik maupun non fisik. Kemudahan akses fisik antara lain terkait dengan sarana, prasarana, dan perlengkapan fisik. Sementara kemudahan akses non fisik antara lain terkait dengan penyediaan layanan dan penyediaan akses informasi (termasuk informasi peringatan dini).
  • Pelibatan penyandang disabilitas secara aktif dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta dalam Forum Pengurangan Risiko Bencana, baik secara perorangan maupun organisasi/lembaga penyandang disabilitas.
  • Pengembangan aspek kemandirian penyandang disabilitas melalui pengembangan kapasitas.

Beberapa upaya untuk memperhatikan kelompok rentan telah dilakukan oleh pemerintah, diantaranya adalah melalui media elektronik dengan turut menyediakan interpreter bahasa isyarat, penyelenggaraan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), penerapan sekolah aman bencana bagi anak berkebutuhan khusus, penyelenggaraan pendampingan pengembangan usaha bagi penyandang disabilitas guna menciptakan ketangguhan masyarakat, dan sebagainya. Seperti diketahui, berbicara tentang kebencanaan tidak hanya terbatas pada upaya yang dapat dilakukan pada saat terjadi bencana, namun juga keadaan pada saat tidak terjadi bencana dan pada saat keadaan setelah terjadi bencana. Sebelumnya kebijakan yang ada banyak berfokus pada kegiatan tanggap darurat, namun kini, pengurangan risiko bencana juga penting untuk diterapkan pada keadaan saat tidak terjadi bencana. Ketangguhan masyarakat merupakan aspek penting untuk mengurangi risiko bencana. Kemampuan masyarakat untuk dapat melenting balik dengan cepat pada saat setelah bencana, akan membantu mempercepat pemulihan pasca bencana, baik secara fisik maupun mental. Sehingga pengarusutamaan kelompok rentan dalam setiap aspek pengurangan risiko bencana dinilai menjadi penting agar seluruh masyarakat yang terkena dampak bencana tidak berlama-lama dalam keadaan terpuruk dan dapat segera bangkit untuk memulihkan keadaan seperti semula.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Tribunnews. 2021. “BNPB: Kolaborasi Inklusif Sangat Dibutuhkan Dalam Pengurangan Risiko Bencana”. Diakses 7 Juli 2021 dari https://www.tribunnews.com/nasional/2021/04/17/bnpb-kolaborasi-inklusif-sangat-dibutuhkan-dalam-pengurangan-risiko-bencana
  • BNPB. 2018. “Penanggulangan Bencana yang Inklusif Pesan Indonesia dalam AMCDRR 2018”. Diakses 30 Juni 2021 dari https://bnpb.go.id/berita/penanggulangan-bencana-yang-inklusif-pesan-indonesia-dalam-amcdrr-2018
  • Masyekh. 2018. “Tanggap Darurat Bencana yang Inklusif”. Diakses 30 Juni 2021 dari https://masyekh.wordpress.com/2018/01/19/tanggap-darurat-bencana-yang-inklusif/
  • Santoso, Dwi Anang. Irwan Noor., dan Mochamad Chazienul Ulum. DISABILITAS DAN BENCANA (Studi tentang Agenda Setting Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Indonesia). Jurnal Administrasi Publik Vol 3, 2033-2039.

Sekolah Siaga Bencana

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Upaya pengurangan bencana perlu untuk diimplementasikan pada berbagai bidang, mengingat upaya pengurangan risiko bencana memang tidak dapat dilakukan hanya melalui satu pihak saja. Hal ini juga termasuk di dalamnya adalah sektor pendidikan. Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana yang cukup beragam. World Bank menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari 35 negara yang memiliki risiko ancaman bencana yang tinggi. Dilansir dari data yang dikeluarkan oleh United Nation International Strategy For Disaster, sebanyak 60% anak-anak di dunia bahkan merupakan korban bencana alam. Dalam Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana, anak-anak termasuk ke dalam golongan kelompok rentan. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian khusus bagi seluruh masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di Indonesia. Dampak negatif akibat bencana tidak dapat dihindari, namun dapat diminimalisir dampaknya dengan melakukan rencana mitigasi yang matang. Hal ini bertujuan untuk dapat meminimalisir dampak negatif yang mungkin saja terjadi. Sebagian besar anak umumnya akan menghabiskan sebagian harinya di sekolah. Seperti diketahui sekolah merupakan salah satu jenis fasilitas umum yang memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas masyarakat di Indonesia.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan bahwa satuan pendidikan masih rentan terhadap bencana. Dalam satu dekade terakhir, terdapat 12 juta anak di 60 ribu sekolah yang terdampak akibat bencana. Sekitar 70% satuan pendidikan berada di lokasi rawan bencana. Hal ini membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan mitigasi bencana melalui sektor pendidikan, salah satunya adalah peningkatan kewaspadaan terhadap bencana melalui penyelenggaraan sekolah siaga bencana dengan meluncurkan program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).

Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) merupakan salah satu upaya mitigasi bencana pada sektor pendidikan yang dilaksanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan menggandeng berbagai pemangku kebijakan untuk terlibat dalam meningkatkan kesiapsiagaan bencana bagi masyarakat, salah satunya adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Program SPAB didukung oleh pemerintah melalui Permendikbud Nomor 33 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana). Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa penyelenggaraan program SPAB bertujuan untuk:

  • meningkatkan kemampuan sumber daya di Satuan Pendidikan dalam menanggulangi dan mengurangi Risiko Bencana;
  • meningkatkan kualitas sarana dan prasarana Satuan Pendidikan agar aman terhadap Bencana;
  • memberikan perlindungan dan keselamatan kepada Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan dari dampak Bencana di Satuan Pendidikan;
  • memastikan keberlangsungan layanan pendidikan pada Satuan Pendidikan yang terdampak Bencana;
  • memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik Risiko Bencana dan kebutuhan Satuan Pendidikan;
  • memulihkan dampak Bencana di Satuan Pendidikan; dan
  • membangun kemandirian Satuan Pendidikan dalam menjalankan Program SPAB.

Dilansir dari indobalinews, Direktur Mitigasi Bencana BNPB, Jhony Sumbung, mengatakan bahwa tujuan diadakannya SPAB ialah untuk memberikan edukasi dan membangun kesiapsiagaan masyarakat secara signifikan dimulai pada satuan pendidikan yaitu lingkungan sekolah mulai dari siswa, guru dan orang tua siswa. Satuan Pendidikan Aman Bencana merupakan salah satu pilar dari pengurangan risiko bencana yang ada di Indonesia.

Pilar Kebijakan Dan Perencanaan Sektor Pendidikan Yang Disesuaikan Dengan Manajemen Bencana

Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Prinsip utama program SPAB:

  • Berpusat pada anak, dimana anak dilibatkan sesuai dengan kemampuan dan minatnya serta seluruh tindakan berdasarkan kebutuhan spesifik anak
  • Kegiatan dimulai dengan melakukan kajian risiko yang melibatkan seluruh tindakan pihak sekolah, termasuk anak-anak
  • Sejalan dengan kebijakan dan perencanaan sektor pendidikan serta selaras dengan rencana penanggulangan bencana di daerah setempat

Meski begitu, berdasarkan data dari Kemendikbud, masih terdapat beberapa permasalahan yang selama ini menjadi kendala terhambatnya kegiatan SPAB di Indonesia yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

Pengetahuan, regulasi, dan pendanaan

Ketidakpahaman warga satuan pendidikan dalam mengenal lingkungannya yang berada dalam area/zona bahaya bencana, sehingga tidak ada kepedulian untuk menjadikan satuan pendidikannya siap dalam menghadapi bencana. Selain itu, umumnya kegiatan SPAB dianggap sebagai beban tambahan kepala satuan pendidikan dan pendidik dalam kegiatan belajar mengajar sehingga tugas utama mereka mengajar menjadi berkurang. SPAB juga dianggap hanya sebatas program yang hanya bisa bertahan 1- 3 tahun, setelah waktu berakhir, maka berakhir pula programnya. Belum adanya regulasi yang kuat terkait SPAB serta belum masuknya program SPAB pada semua satuan Pendidikan terutama Pendidikan di SKB/PKBM dan Madrasah membuat satuan pendidikan menganggap tidak penting kegiatan tersebut.

Kelembagaan

Berdasarkan Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019, pengelolaan SPAB di tingkat pusat dilakukan oleh Sekretariat Nasional (Seknas) SPAB, dan di tingkat provinsi serta kabupaten/kota dilakukan oleh Sekretariat Bersama (Sekber) SPAB. Sejak diterbitkannya Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019, permasalahan yang masih ditemui tentang kelembagaan pengelola SPAB adalah:

  1. Belum semua provinsi dan kabupaten/kota membentuk Sekber SPAB.
  2. Provinsi dan kabupaten/kota yang telah membentuk Sekber SPAB belum melibatkan semua pihak yang ikut serta dalam implementasi SPAB di wilayahnya.
  3. Mekanisme pengelolaan Sekber SPAB di tingkat provinsi dan kabupaten/kota belum memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019.
  4. Belum ada keselarasan dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi implementasi SPAB dengan menggunakan perangkat yang sama.

Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia dalam implementasi SPAB meliputi pengelola, fasilitator, dan pelaku. Masih belum terdapat upaya yang nyata untuk meningkatkan kapasitas pelaksana SPAB di sekolah pasca pembentukan SPAB serta belum adanya mekanisme penghargaan untuk meningkatkan motivasi bagi para pelaku SPAB di satuan pendidikan, baik pendidik, tenaga kependidikan, dan Tim Siaga Bencana.

Peran Serta Masyarakat

Keberhasilan implementasi SPAB ikut ditentukan oleh adanya peran serta masyarakat. Permasalahan pada sektor ini adalah berupa minimnya peran serta masyarakat terlembaga seperti Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, Forum Tutor Pendidikan Kesetaraan Nasional dalam mendukung implementasi SPAB secara merata di seluruh wilayah serta masih belum adanya sinkronisasi antara SPAB dengan upaya-upaya PRB yang lain seperti Keluarga Tangguh Bencana (KATANA) dan Desa Tangguh Bencana (DESTANA).


Bahan Bacaan

  • BNPB. 2020. “SPAB, Cara BNPB Tingkatkan Kesiapsiagaan Bencana di Sekolah”. Diakses 5 Juli 2021 dari https://www.bnpb.go.id/berita/SPAB-Cara-BNPB-Tingkatkan-Kesiapsiagaan-Bencana-di-Sekolah
  • Pardede, Mariana. 2020. “Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana Itu Mudah”. Diakses 5 Juli 2021 dari https://www.siagabencana.com/post/mewujudkan-satuan-pendidikan-aman-bencana-itu-mudah
  • Indobalinews. 2020. “Simulasi Siaga Bencana Perlu Dilakukan Berkala di Sekolah, Kata BNPB”. Diakses 5 Juli 2021 dari https://indobalinews.pikiran-rakyat.com/lifestyle/pr-881126465/simulasi-siaga-bencana-perlu-dilakukan-berkala-di-sekolah-kata-bnpb
  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Permendikbud Nomor 33 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana)
  • Sekretariat Nasional SPAB Kemendikbud (spab.kemdikbud.go.id/)
  • Peta Jalan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana Tahun 2020-2024 (Kemendikbud)

Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana: Tahap PascaBencana

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Setelah bencana terjadi, maka upaya penanggulangan bencana masuk ke dalam fase pascabencana. Pada tahap ini, maka kegiatan yang penting untuk menjadi fokus utama adalah upaya pemulihan, baik terhadap korban bencana maupun terhadap harta benda yang dimiliki. Hal ini dilakukan agar situasi dapat berjalan dengan normal kembali seperti sebelum terjadi bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana terdiri atas kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam pelaksanaannya, rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah, namun juga menjadi tanggung jawab seluruh elemen masyarakat, karena urusan bencana merupakan urusan seluruh pihak.

REHABILITASI

Rehabilitasi pada wilayah pascabencana dilakukan melalui kegiatan:

  • perbaikan lingkungan daerah bencana
  • perbaikan prasarana dan sarana umum
  • pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat
  • pemulihan sosial psikologis
  • pelayanan kesehatan
  • rekonsiliasi dan resolusi konflik
  • pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya
  • pemulihan keamanan dan ketertiban
  • pemulihan fungsi pemerintahan
  • pemulihan fungsi pelayanan publik

Untuk mempercepat pemulihan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana, pemerintah daerah menetapkan prioritas dari kegiatan rehabilitasi. Penetapan prioritas didasarkan pada analisis kerusakan dan kerugian akibat bencana. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyusun rencana rehabilitasi yang didasarkan pada analisis kerusakan dan kerugian akibat bencana dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Dalam menyusun rencana rehabilitasi harus memperhatikan pengaturan mengenai standar konstruksi bangunan; kondisi sosial; adat istiadat; budaya; dan ekonomi.

Perbaikan Lingkungan Daerah Bencana

Perbaikan lingkungan daerah bencana merupakan kegiatan fisik perbaikan lingkungan untuk memenuhi persyaratan teknis, sosial, ekonomi, dan budaya serta ekosistem suatu kawasan. Kegiatan perbaikan fisik lingkungan mencakup lingkungan kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan usaha, dan kawasan bangunan gedung. Perbaikan lingkungan kawasan harus berdasarkan perencanaan teknis dengan memperhatikan masukan mengenai jenis kegiatan dari intansi/lembaga terkait dan aspirasi masyarakat daerah rawan bencana. Perencanaan teknis disusun secara optimal melalui survei, investigasi, dan desain dengan memperhatikan kondisi sosial, budaya, ekonomi, adat istiadat, dan standar konstruksi bangunan. Perencanaan teknis perbaikan lingkungan sekurang-kurangnya memuat:

  1. data kependudukan, sosial, budaya, ekonomi, prasarana, dan sarana sebelum terjadi bencana
  2. data kerusakan yang meliputi lokasi, data korban bencana, jumlah dan tingkat kerusakan bencana, dan perkiraan kerugian
  3. potensi sumber daya yang ada di daerah bencana
  4. peta tematik (sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c)
  5. rencana program dan kegiatan
  6. gambar desain
  7. rencana anggaran
  8. jadwal kegiatan
  9. pedoman rehabilitasi

Perbaikan Prasarana dan Sarana Umum

Perbaikan prasarana dan sarana umum merupakan kegiatan perbaikan prasarana dan sarana umum, yang mencakup perbaikan infrastruktur serta fasos fasum, untuk memenuhi kebutuhan transportasi, kelancaran kegiatan ekonomi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat.  Perbaikan prasarana dan sarana umum harus didasarkan pada perencanaan teknis, dengan memperhatikan masukan mengenai jenis kegiatan dari instansi/lembaga terkait dan aspirasi kebutuhan masyarakat. Penyusunan dokumen rencana teknis paling sedikit memenuhi ketentuan mengenai: persyaratan keselamatan; persyaratan sistem sanitasi; persyaratan penggunaan bahan bangunan; dan persyaratan standar teknis konstruksi jalan, jembatan, bangunan gedung dan bangunan air.

Pemberian Bantuan Perbaikan Rumah Masyarakat

Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat merupakan bantuan Pemerintah sebagai stimulan untuk membantu masyarakat memperbaiki rumahnya yang mengalami kerusakan akibat bencana untuk dapat dihuni kembali. Bantuan Pemerintah dapat berupa bahan material, komponen rumah atau uang yang besarnya ditetapkan berdasarkan hasil verifikasi dan evaluasi tingkat kerusakan rumah yang dialami. Bantuan pemerintah diberikan dengan pola pemberdayaan masyarakat dengan memperhatikan karakter daerah dan budaya masyarakat, yang mekanisme pelaksanaannya ditetapkan melalui koordinasi BPBD.

Pemulihan Sosial Psikologis

Pemulihan sosial psikologis ditujukan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak bencana, memulihkan kembali kehidupan sosial dan kondisi psikologis pada keadaan normal seperti kondisi sebelum bencana. Kegiatan membantu masyarakat terkena dampak bencana dilakukan melalui upaya pelayanan sosial psikologis berupa bantuan konseling dan konsultasi keluarga; pendampingan pemulihan trauma; dan pelatihan pemulihan kondisi psikologis.

Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan ditujukan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak bencana dalam rangka memulihkan kondisi kesehatan masyarakat. Kegiatan pemulihan kondisi kesehatan masyarakat terkena dampak bencana dilakukan melalui upaya-upaya: membantu perawatan korban bencana yang sakit dan mengalami luka; membantu perawatan korban bencana yang meninggal; menyediakan obat-obatan; menyediakan peralatan kesehatan; menyediakan tenaga medis dan paramedis; dan merujuk ke rumah sakit terdekat.

Rekonsiliasi dan Resolusi Konflik

Rekonsiliasi dan resolusi konflik ditujukan membantu masyarakat di daerah rawan bencana dan rawan konflik sosial untuk menurunkan eskalasi konflik sosial dan ketegangan serta memulihkan kondisi sosial kehidupan masyarakat. Kegiatan rekonsiliasi dan resolusi konflik dilakukan melalui upaya-upaya mediasi persuasif dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat terkait dengan tetap memperhatikan situasi, kondisi, dan karakter serta budaya masyarakat setempat dan menjunjung rasa keadilan.

Pemulihan Sosial Ekonomi Budaya

Pemulihan sosial ekonomi budaya ditujukan untuk membantu masyarakat terkena dampak bencana dalam rangka memulihkan kondisi kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya seperti pada kondisi sebelum terjadi bencana. Kegiatan pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya dilakukan dengan membantu masyarakat menghidupkan dan mengaktifkan kembali kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya melalui: layanan advokasi dan konseling; bantuan stimulan aktivitas ekonomi; dan pelatihan.

Pemulihan Keamanan dan Ketertiban

Pemulihan keamanan dan ketertiban ditujukan membantu masyarakat dalam memulihkan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat di daerah terkena dampak bencana agar kembali seperti kondisi sebelum terjadi bencana. Kegiatan pemulihan keamanan dan ketertiban dilakukan melalui upaya pengaktifan kembali fungsi lembaga keamanan dan ketertiban di daerah bencana; meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengamanan dan ketertiban; dan koordinasi dengan instansi/lembaga yang berwenang di bidang keamanan dan ketertiban.

Pemulihan Fungsi Pemerintahan

Pemulihan fungsi pemerintahan ditujukan untuk memulihkan fungsi pemerintahan kembali seperti kondisi sebelum terjadi bencana. Kegiatan pemulihan fungsi pemerintahan dilakukan melalui upaya:

  1. mengaktifkan kembali pelaksanaan kegiatan tugas-tugas pemerintahan secepatnya;
  2. penyelamatan dan pengamanan dokumen-dokumen negara dan pemerintahan;
  3. konsolidasi para petugas pemerintahan;
  4. pemulihan fungsi-fungsi dan peralatan pendukung tugas-tugas pemerintahan; dan
  5. pengaturan kembali tugas-tugas pemerintahan pada instansi/lembaga terkait

Pemulihan Fungsi Pelayanan Publik

Pemulihan fungsi pelayanan publik ditujukan untuk memulihkan kembali fungsi pelayanan kepada masyarakat pada kondisi seperti sebelum terjadi bencana. Kegiatan pemulihan fungsi pelayanan publik dilakukan melalui upaya-upaya rehabilitasi dan pemulihan fungsi prasarana dan sarana pelayanan publik; mengaktifkan kembali fungsi pelayanan publik pada instansi/lembaga terkait; dan pengaturan kembali fungsi pelayanan publik.

REKONSTRUKSI

Rekonstruksi pada wilayah pascabencana dilakukan melalui kegiatan:

  1. pembangunan kembali prasarana dan sarana
  2. pembangunan kembali sarana sosial masyarakat
  3. pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat
  4. penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana
  5. partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat
  6. peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
  7. peningkatan fungsi pelayanan publik
  8. peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat

Untuk mempercepat pembangunan kembali semua prasarana dan sarana serta kelembagaan pada wilayah pascabencana, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menetapkan prioritas dari kegiatan rekonstruksi. Penetapan prioritas didasarkan pada analisis kerusakan dan kerugian akibat bencana. Kegiatan rekonstruksi merupakan tanggung jawab pemerintah daerah yang terkena bencana, kecuali prasarana dan sarana yang merupakan tanggung jawab Pemerintah. Pemerintah daerah menyusun rencana rekonstruksi yang merupakan satu kesatuan dari rencana rehabilitasi. Dalam menyusun rencana rekonstruksi harus memperhatikan: rencana tata ruang; pengaturan mengenai standar konstruksi bangunan; kondisi sosial; adat istiadat; budaya lokal; dan ekonomi.

Dalam melakukan rekonstruksi, pemerintah daerah wajib menggunakan dana penanggulangan bencana dari APBD. Dalam hal APBD tidak memadai, pemerintah kabupaten/kota dapat meminta bantuan dana kepada pemerintah provinsi dan/atau Pemerintah untuk melaksanakan kegiatan rekonstruksi. Dalam hal pemerintah kabupaten/kota meminta bantuan dana rekonstruksi kepada Pemerintah, permintaan tersebut harus melalui pemerintah provinsi yang bersangkutan. Selain permintaan dana, pemerintah kabupaten/kota dapat meminta bantuan kepada pemerintah provinsi dan/atau Pemerintah berupa tenaga ahli; peralatan; dan pembangunan prasarana.

Pembangunan Kembali Prasarana dan Sarana

Pembangunan kembali prasarana dan sarana merupakan kegiatan fisik pembangunan baru prasarana dan sarana untuk memenuhi kebutuhan kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Kegiatan fisik pembangunan kembali prasarana dan sarana memperhatikan rencana tata ruang. Rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota memuat rencana struktur ruang wilayah; rencana pola ruang wilayah; penetapan kawasan; arahan pemanfaatan ruang wilayah; dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah.

Pembangunan Kembali Sarana Sosial Masyarakat

Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat merupakan kegiatan pembangunan baru fasilitas sosial dan fasilitas umum untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sosial dan kemasyarakatan. Kegiatan pembangunan kembali sarana sosial masyarakat dilakukan berdasarkan perencanaan teknis dengan memperhatikan masukan dari instansi/lembaga terkait dan aspirasi masyarakat daerah bencana, dengan sekurang-kurangnya memuat ketentuan teknis mengenai standar teknik konstruksi bangunan, penetapan kawasan; dan arahan pemanfaatan ruang. Perencanaan teknis pada bagian ini meliputi:

  1. rencana rinci pembangunan sarana pendidikan, kesehatan, panti asuhan, sarana ibadah, panti jompo, dan balai desa;
  2. dokumen pelaksanaan kegiatan dan anggaran;
  3. rencana kerja;
  4. dokumen kerjasama dengan pihak lain;
  5. dokumen pengadaan barang dan/atau jasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan; dan
  6. ketentuan pelaksanaan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan pihak yang terkait

Pembangkitan Kembali Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat

Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat ditujukan untuk menata kembali kehidupan dan mengembangkan pola-pola kehidupan ke arah kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat yang lebih baik. Upaya menata kembali kehidupan sosial budaya masyarakat dilakukan dengan cara:

  1. menghilangkan rasa traumatik masyarakat terhadap bencana;
  2. mempersiapkan masyarakat melalui kegiatan kampanye sadar bencana dan peduli bencana;
  3. penyesuaian kehidupan sosial budaya masyarakat dengan lingkungan rawan bencana; dan
  4. mendorong partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengurangan risiko bencana.

Penerapan Rancang Bangun Yang Tepat dan Penggunaan Peralatan Yang Lebih Baik dan Tahan Bencana

Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana ditujukan untuk:

  1. meningkatkan stabilitas kondisi dan fungsi prasarana dan sarana yang mampu mengantisipasi dan tahan bencana;
  2. mengurangi kemungkinan kerusakan yang lebih parah akibat bencana

Upaya penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana dilakukan dengan:

  1. mengembangkan rancang bangun hasil penelitian dan pengembangan;
  2. menyesuaikan dengan tata ruang;
  3. memperhatikan kondisi & kerusakan daerah;
  4. memperhatikan kearifan lokal;
  5. menyesuaikan terhadap tingkat kerawanan bencana pada daerah yang bersangkutan

Partisipasi dan Peran Serta Lembaga dan Organisasi Kemasyarakatan, Dunia Usaha dan Masyarakat

Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan partisipasi dalam rangka membantu penataan daerah rawan bencana ke arah lebih baik dan rasa kepedulian daerah rawan bencana. Penataan daerah rawan bencana dilakukan melalui upaya:

  1. melakukan kampanye peduli bencana
  2. mendorong tumbuhnya rasa peduli dan setia kawan pada lembaga, organisasi kemasyarakatan, dan dunia usaha
  3. mendorong partisipasi dalam bidang pendanaan dan kegiatan persiapan menghadapi bencana

Peningkatan Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya

Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya ditujukan untuk normalisasi kondisi dan kehidupan yang lebih baik.  Adapun upaya peningkatan dilakukan melalui upaya:

  1. pembinaan kemampuan keterampilan masyarakat yang terkena bencana
  2. pemberdayaan kelompok usaha bersama dapat berbentuk bantuan dan/atau barang
  3. mendorong penciptaan lapangan usaha yang produktif

Peningkatan Fungsi Pelayanan Publik

Peningkatan fungsi pelayanan publik ditujukan untuk penataan dan peningkatan fungsi pelayanan publik kepada masyarakat untuk mendorong kehidupan masyarakat di wilayah pascabencana ke arah yang lebih baik. Penataan dan peningkatan fungsi pelayanan publik dilakukan melalui upaya penyiapan program jangka panjang peningkatan fungsi pelayanan publik serta pengembangan mekanisme dan sistem pelayanan publik yang lebih efektif dan efisien.

Peningkatan Pelayanan Utama dalam Masyarakat

Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat dilakukan dengan tujuan membantu peningkatan pelayanan utama dalam rangka pelayanan prima. Untuk membantu peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat dilakukan melalui upaya mengembangkan pola-pola pelayanan masyarakat yang efektif dan efisien.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Kepala BNPB Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana: Tahap Tanggap Darurat

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Peraturan Kepala BNPB Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana mendefinisikan tanggap darurat sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Pada situasi tanggap darurat bencana, yang diperlukan adalah kecepatan dan ketepatan langkah penyelamatan yang dapat dilakukan untuk dapat menyelamatkan nyawa ataupun harta benda. Pada fase ini, prioritas yang perlu dilakukan pada umumnya adalah penjaminan keamanan dan keselamatan, instruksi pengungsian, pengkajian kerugian, dan sebagainya.

Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana pada Tanggap Darurat

Sumber: Peraturan Kepala BNPB Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

Pengkajian Secara Cepat dan Tepat

Pengkajian secara cepat dan tepat dilakukan untuk menentukan kebutuhan dan tindakan yang tepat dalam penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat. Kegiatan ini dilakukan oleh tim kaji cepat berdasarkan penugasan dari kepala BNPB atau kepala BPBD, dengan melakukan identifikasi terhadap:

  1. cakupan lokasi bencana
  2. jumlah korban bencana
  3. kerusakan prasarana dan sarana
  4. gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan
  5. kemampuan sumber daya alam maupun buatan

Penentuan Status Keadaan Darurat Bencana

Pada saat status keadaan darurat bencana ditetapkan, BNPB dan BPBD mempunyai kemudahan akses di bidang: pengerahan sumber daya manusia; pengerahan peralatan; pengerahan logistik; imigrasi, cukai, dan karantina; perizinan; pengadaan barang/jasa; pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang; penyelamatan; dan komando untuk memerintahkan instansi/lembaga.

Pada saat keadaan darurat bencana, Kepala BNPB dan kepala BPBD berwenang mengerahkan sumber daya manusia, peralatan, dan logistik dari instansi/lembaga dan masyarakat untuk melakukan tanggap darurat, yang meliputi permintaan, penerimaan dan penggunaan sumber daya manusia, peralatan, dan logistik. Dalam hal sumber daya manusia, peralatan, dan logistik di kabupaten/kota yang terkena bencana tidak tersedia/tidak memadai, pemerintah kabupaten/kota dapat meminta bantuan kepada kabupaten/kota lain yang terdekat, baik dalam satu wilayah provinsi maupun provinsi lain. Pemerintah kabupaten/kota yang meminta bantuan, menanggung biaya pengerahan dan mobilisasi sumber daya manusia, peralatan, dan logistik dari kabupaten/kota lain yang mengirimkan bantuannya.

Bantuan yang masuk dari luar negeri, baik bantuan berupa personil asing, peralatan, maupun logistik diberikan kemudahan akses berupa kemudahan proses dan pelayanan dibidang keimigrasian, cukai atau karantina, termasuk dalam menggunakan peralatan yang dibawa oleh personil asingnya di lokasi bencana. Personil asing yang membantu melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat bencana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia diberikan kemudahan akses dibidang keimigrasian berupa proses dan pelayanan visa, izin masuk, izin tinggal terbatas, dan izin keluar. Personil asing harus berdasarkan penugasan dan rekomendasi dari pemerintah negara asal, lembaga internasional atau lembaga asing nonpemerintah yang menugaskannya dan diwajibkan untuk melapor kepada instansi/lembaga yang ruang lingkup tugasnya meliputi bidang keimigrasian. Visa, izin masuk, izin tinggal terbatas, dan izin keluar diberikan setelah mendapat rekomendasi dari Kepala BNPB.

Penyelamatan dan Evakuasi

Kemudahan akses dalam penyelamatan dilakukan melalui pencarian, pertolongan, dan evakuasi korban bencana. Untuk memudahkan penyelamatan korban bencana dan harta benda, Kepala BNPB dan/atau kepala BPBD mempunyai kewenangan:

  1. menyingkirkan dan/atau memusnahkan barang atau benda di lokasi bencana yang dapat membahayakan jiwa
  2. menyingkirkan dan/atau memusnahkan barang atau benda yang dapat mengganggu proses penyelamatan
  3. memerintahkan orang untuk keluar dari suatu lokasi atau melarang orang untuk memasuki suatu lokasi
  4. mengisolasi atau menutup suatu lokasi baik milik publik maupun pribadi
  5. memerintahkan kepada pimpinan instansi/lembaga terkait untuk mematikan aliran listrik, gas, atau menutup/membuka pintu air

Pencarian dan pertolongan terhadap korban bencana dihentikan jika seluruh korban telah ditemukan, ditolong, dan dievakuasi atau apabila setelah jangka waktu 7 hari sejak dimulainya operasi pencarian, tidak ada tandatanda korban akan ditemukan.

Dalam status keadaan darurat Kepala BNPB atau kepala BPBD sesuai dengan kewenangannya mempunyai kemudahan akses berupa komando untuk memerintahkan sektor/lembaga dalam satu komando untuk pengerahan sumber daya manusia, peralatan, logistik, dan penyelamatan. Untuk melaksanakan fungsi komando, Kepala BNPB atau kepala BPBD sesuai dengan kewenangannya dapat menunjuk seorang pejabat sebagai Komandan penanganan darurat bencana. Pada status keadaan darurat bencana, Komandan penanganan darurat bencana, sesuai dengan lokasi dan tingkatan bencananya mengaktifkan dan meningkatkan pusat pengendalian operasi menjadi pos komando tanggap darurat bencana. Pada status keadaan darurat bencana, Komandan penanganan darurat bencana, sesuai dengan lokasi dan tingkatan bencananya membentuk pos komando lapangan penanggulangan tanggap darurat bencana di lokasi bencana.

Komando Penanganan Tanggap Darurat Bencana

Sumber: Perka BNPB Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana

Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, dilakukan melalui usaha dan kegiatan pencarian, pertolongan, dan penyelamatan masyarakat sebagai korban akibat bencana. Pencarian, pertolongan dan penyelamatan masyarakat terkena bencana dilaksanakan oleh tim reaksi cepat dengan melibatkan unsur masyarakat dibawah komando Komandan penanganan darurat bencana, sesuai dengan lokasi dan tingkatan bencananya. Pertolongan darurat bencana diprioritaskan pada masyarakat terkena bencana yang mengalami luka parah dan kelompok rentan. Terhadap masyarakat terkena bencana yang meninggal dunia dilakukan upaya identifikasi dan pemakamannya.

Pemenuhan Kebutuhan Dasar

Pemenuhan kebutuhan dasar meliputi bantuan penyediaan: kebutuhan air bersih dan sanitasi; pangan; sandang; pelayanan kesehatan; pelayanan psikososial; dan penampungan serta tempat hunian. Pemenuhan kebutuhan dasar dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, lembaga usaha, lembaga internasional atau lembaga asing nonpemerintah sesuai dengan standar minimum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan

Perlindungan terhadap kelompok rentan dilakukan dengan memberikan prioritas kepada korban bencana yang mengalami luka parah dan kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial. Upaya perlindungan dilaksanakan oleh instansi/lembaga terkait yang dikoordinasikan oleh Kepala BNPB dan/atau kepala BPBD dengan pola pendampingan/fasilitasi.

Pemulihan dengan Segera Prasarana dan Sarana Vital

Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital bertujuan untuk berfungsinya prasarana dan sarana vital dengan segera, agar kehidupan masyarakat tetap berlangsung. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital dilakukan oleh instansi/lembaga terkait yang dikoordinasikan oleh Kepala BNPB dan/atau kepala BPBD sesuai dengan kewenangannya.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Kepala BNPB Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
  • Perka BNPB Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana