Inklusivitas dalam Kebencanaan

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Upaya pengurangan risiko bencana merupakan hal yang diperhatikan dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Upaya pengurangan risiko bencana harus bersifat inklusif. Artinya, harus dilakukan secara menyeluruh, tidak memandang kelompok masyarakat tertentu, ras, tingkat ekonomi, usia, keterbatasan fungsi fisik, dan sebagainya. Hal ini juga sejalan dengan upaya pemerintah untuk terus berupaya meningkatkan kolaborasi inklusif di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Raditya Jati, yang menyatakan bahwa kolaborasi inklusif sangat penting dalam memperkuat upaya pengurangan risiko bencana di Indonesia.

Pada tahun 2018, Indonesia mengikuti konferensi Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) yang diadakan di Ulaanbaatar, Mongolia. Pada kesempatan tersebut, pemerintah melalui kepala BNPB menyampaikan bahwa inklusivitas merupakan salah satu sifat yang diterapkan dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Hal tersebut ditujukan untuk merangkul penyandang disabilitas yang seringkali menghadapi kesulitan dalam perencanaan kesiapsiagaan serta pemulihan pascabencana. Membangun suatu komunitas dan bangsa yang tangguh terhadap bencana membutuhkan tidak hanya pendekatan yang komprehensif tetapi juga inklusif. Masyarakat berkebutuhan khusus seringkali diabaikan dalam proses pengurangan risiko bencana pada setiap tingkatan sehingga Indonesia berkomitmen untuk memastikan inklusivitas dan melihat tantangan untuk penguatan ketangguhan pada seluruh lapisan masyarakat. Disampaikan pula bahwa Indonesia juga terus berupaya untuk mengembangkan bahasa isyarat berstandar nasional agar bisa mengkomunikasikan risiko bencana dengan lebih baik kepada masyarakat berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas di Indonesia.

Penerapan prinsip inklusivitas dalam kebencanaan menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini mengingat bahwa setiap masyarakat Indonesia berhak untuk mendapatkan perlindungan yang layak. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam UU ini, yang termasuk ke dalam kelompok rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Pemerintah juga mendefinisikan lebih lanjut mengenai kelompok rentan, yakni yang termasuk ke dalam kelompok tersebut adalah bayi, anak usia di bawah lima tahun, anak-anak, ibu hamil atau menyusui, penyandang cacat dan orang lanjut usia. Terlepas dari pengklasifikasian yang ada, kelompok masyarakat ini perlu menjadi perhatian khusus dikarenakan keterbatasan yang dimilikinya. Penting bagi pemerintah untuk dapat menyediakan kebijakan ataupun sarana prasarana yang mudah diakses bagi kelompok masyarakat rentan, sehingga apabila terjadi bencana, kelompok masyarakat ini diharapkan dapat dengan mudah melakukan penyelamatan diri.

Ilustrasi Kelompok Rentan

Sumber: diolah dari PP Nomor 21 Tahun 2008

Berkenaan dengan kelompok rentan dengan klasifikasi penyandang disabilitas, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi ketika bertemu dengan bencana. Dilansir dari Konsorsium Hak Difabel dalam sebuah jurnal terkait disabilitas dan bencana, disebutkan bahwa permasalahan tersebut antara lain: (1) belum maksimalnya program persiapan bencana yang sensitif penyandang disabilitas, (2) partisipasi penyandang disabilitas masih minim dalam pendidikan pengurangan risiko bencana (PRB), (3) aksesibilitas penyandang disabilitas terhadap materi ajar/belajar PRB, (4) penyandang disabilitas tidak bisa sepenuhnya bertindak cepat dalam penyelamatan diri, (5) kurangnya pendataan spesifik tentang identitas dan kondisi penyandang disabilitas, dan (6) kurangnya fasilitas dan layanan yang aksesibel di pengungsian. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian khusus agar penyandang disabilitas ataupun kelompok rentan lainnya dapat mendapatkan perhatian yang sama.

Salah satu poin utama dalam prinsip pelayanan bagi kelompok rentan, terutama kelompok penyandang disabilitas, yaitu tidak adanya diskriminasi dan selalu mengedepankan inklusi. Bisa jadi mereka tidak selalu membutuhkan bantuan hanya karena memiliki disabilitas, sehingga menjadi penting untuk dapat melakukan komunikasi untuk dapat mengetahui sejauh mana bantuan serta partisipasi keterlibatan dapat dilakukan, khususnya dalam sektor kebencanaan. Pelibatan penyandang disabilitas secara aktif dalam penanggulangan bencana adalah wujud nyata dalam penghormatan hak hidup manusia.

Di dalam Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2044, dalam rangka pemenuhan hak dan kebutuhan penyandang disabilitas, maka kebijakan, program, dan kegiatan dalam semua aspek penyelenggaraan penanggulangan bencana diwajibkan untuk melaksanakan:

  • Penyediaan kemudahan akses bagi penyandang disabilitas, baik kemudahan akses fisik maupun non fisik. Kemudahan akses fisik antara lain terkait dengan sarana, prasarana, dan perlengkapan fisik. Sementara kemudahan akses non fisik antara lain terkait dengan penyediaan layanan dan penyediaan akses informasi (termasuk informasi peringatan dini).
  • Pelibatan penyandang disabilitas secara aktif dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta dalam Forum Pengurangan Risiko Bencana, baik secara perorangan maupun organisasi/lembaga penyandang disabilitas.
  • Pengembangan aspek kemandirian penyandang disabilitas melalui pengembangan kapasitas.

Beberapa upaya untuk memperhatikan kelompok rentan telah dilakukan oleh pemerintah, diantaranya adalah melalui media elektronik dengan turut menyediakan interpreter bahasa isyarat, penyelenggaraan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), penerapan sekolah aman bencana bagi anak berkebutuhan khusus, penyelenggaraan pendampingan pengembangan usaha bagi penyandang disabilitas guna menciptakan ketangguhan masyarakat, dan sebagainya. Seperti diketahui, berbicara tentang kebencanaan tidak hanya terbatas pada upaya yang dapat dilakukan pada saat terjadi bencana, namun juga keadaan pada saat tidak terjadi bencana dan pada saat keadaan setelah terjadi bencana. Sebelumnya kebijakan yang ada banyak berfokus pada kegiatan tanggap darurat, namun kini, pengurangan risiko bencana juga penting untuk diterapkan pada keadaan saat tidak terjadi bencana. Ketangguhan masyarakat merupakan aspek penting untuk mengurangi risiko bencana. Kemampuan masyarakat untuk dapat melenting balik dengan cepat pada saat setelah bencana, akan membantu mempercepat pemulihan pasca bencana, baik secara fisik maupun mental. Sehingga pengarusutamaan kelompok rentan dalam setiap aspek pengurangan risiko bencana dinilai menjadi penting agar seluruh masyarakat yang terkena dampak bencana tidak berlama-lama dalam keadaan terpuruk dan dapat segera bangkit untuk memulihkan keadaan seperti semula.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Tribunnews. 2021. “BNPB: Kolaborasi Inklusif Sangat Dibutuhkan Dalam Pengurangan Risiko Bencana”. Diakses 7 Juli 2021 dari https://www.tribunnews.com/nasional/2021/04/17/bnpb-kolaborasi-inklusif-sangat-dibutuhkan-dalam-pengurangan-risiko-bencana
  • BNPB. 2018. “Penanggulangan Bencana yang Inklusif Pesan Indonesia dalam AMCDRR 2018”. Diakses 30 Juni 2021 dari https://bnpb.go.id/berita/penanggulangan-bencana-yang-inklusif-pesan-indonesia-dalam-amcdrr-2018
  • Masyekh. 2018. “Tanggap Darurat Bencana yang Inklusif”. Diakses 30 Juni 2021 dari https://masyekh.wordpress.com/2018/01/19/tanggap-darurat-bencana-yang-inklusif/
  • Santoso, Dwi Anang. Irwan Noor., dan Mochamad Chazienul Ulum. DISABILITAS DAN BENCANA (Studi tentang Agenda Setting Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Indonesia). Jurnal Administrasi Publik Vol 3, 2033-2039.