RDTR, Investasi dan OSS

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Seperti diketahui, percepatan penyusunan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) sedang dikebut penyelesaiannya oleh Pemerintah. Hal ini dikarenakan ketersediaan dokumen RDTR sangatlah krusial, terutama dalam kaitannya dengan investasi. RDTR dan PZ merupakan suatu kesatuan dokumen yang berperan langsung dalam proses dikeluarkannya Konfirmasi Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) sehingga produk penataan ruang yang dihasilkan diharapkan akan berjalan sesuai dengan rencana dan tersinkronisasi dengan baik.

Melihat peran penting tersebut, tentu ketiadaan RDTR akan berpotensi menghambat pertumbuhan investasi di Indonesia. Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan Djalil, mengakui bahwa telah terdapat beberapa daerah di Indonesia yang telah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), namun tidak dengan RDTR. Ketiadaan RDTR di berbagai daerah akan sangat berpengaruh dengan perkembangan suatu kota/kabupaten. Sebagai contoh, ketiadaan RDTR mungkin saja dapat menyebabkan tumpang tindih kebijakan dikarenakan tidak adanya suatu dokumen pedoman dalam perencanaan pengembangan pemanfaatan ruang, sehingga kondisi suatu kota/kabupaten tersebut menjadi tidak terarah.

Dalam beberapa tahun lalu, Indonesia telah berhasil meraih beberapa peringkat terkait investasi dan kemudahan berusaha secara internasional. Dilansir dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) yang bertajuk “World Investment Report 2017”, Indonesia berhasil menempati posisi ke-4 sebagai negara dengan tujuan investasi paling prospektif periode 2017-2019. Posisi Indonesia berada di bawah Amerika Serikat, Tiongkok, dan India.  Dengan posisi tersebut, Indonesia mengalahkan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.

Terdapat sepuluh indicator yang mengindikasikan peningkatan investasi melalui kemudahan berusaha atau disebut dengan Ease of Doing Business (EoDB), yakni kemudahan memulai usaha; perizinan terkait pendirian bangunan; pendaftaran properti; penyambungan listrik; pembayaran pajak; perdagangan lintas negara; akses perkreditan; perlindungan terhadap investor minoritas; penegakan kontrak; dan penyelesaian perkara kepailitan. Berdasarkan laporan EoDB pada tahun 2018, Indonesia berhasil meraih peringkat ke-72 dunia. Bahkan posisi ini terus meningkat sejak tahun 2015, dimana pada tahun tersebut Indonesia meraih posisi ke-106, kemudian pada tahun 2016 meraih posisi ke-91, dan kemudian pada tahun 2017 (yang dirangkum dalam laporan tahun 2018) meningkat menjadi posisi ke-72. Hal ini kemudian mendorong pemerintah agar kegiatan berinvestasi dapat dipermudah. Terlebih adanya situasi pandemi yang tak terduga, maka pemerintah perlu menyiapkan beberapa strategi agar kegiatan berinvestasi dapat terus berjalan agar sektor ekonomi juga dapat terus berjalan.

Kemudahan investasi perlu didukung dengan implementasi pelayanan perizinan berusaha yang transparan, cepat, sederhana, dan yang terpenting adalah mampu memberikan kepastian. Hal ini juga kemudian mendorong pemerintah untuk menerbitkan Pelayanan sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PBTSE) atau yang lebih dikenal dengan nama sistem Online Single Submission (OSS). Adapun OSS memiliki beberapa manfaat seperti:

  • Mempermudah pengurusan berbagai perizinan berusaha baik prasyarat untuk melakukan usaha (izin terkait lokasi, lingkungan, dan bangunan), izin usaha, maupun izin operasional untuk kegiatan operasional usaha di tingkat pusat ataupun daerah dengan mekanisme pemenuhan komitmen persyaratan izin;
  • Memfasilitasi pelaku usaha untuk terhubung dengan semua stakeholder dan memperoleh izin secara aman, cepat dan real time, karena sebelum adanya OSS pelaku usaha harus memproses perizinan dari beberapa instansi sehingga membutuhkan waktu yang tidak sebentar;
  • Memfasilitasi pelaku usaha dalam melakukan pelaporan dan pemecahan masalah perizinan dalam satu tempat;
  • Memfasilitasi pelaku usaha untuk menyimpan data perizinan dalam satu identitas berusaha atau Nomor Induk Berusaha (NIB). Ketika seseorang mengajukan OSS maka dia akan mendapatkan NIB yang juga berfungsi sebagai Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Angka Pengenal Importir (API) dan akses kepabeanan.

Dalam kaitannya dengan investasi, sistem OSS akan mengintegrasikan data dan informasi rencana tata ruang sehingga diharapkan produk investasi yang dihasilkan dapat tersinkronisasi serta selaras dengan rencana yang telah disahkan. Hal ini tentu merupakan suatu kondisi ideal yang diharapkan oleh semua pihak. Namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa keberadaan dokumen RDTR belum sepenuhnya tersedia di Indonesia. Menteri ATR/BPN, Sofyan A. Djalil menyatakan bahwa sebelumnya tata ruang menjadi salah satu hal yang menghambat investasi. Dikatakan bahwa “Ada investasi yang tidak bisa dilakukan karena tata ruangnya belum ada, atau tata ruang dalam proses pembaharuan namun belum disahkan, atau terkendala perundang-undangan di daerah, tentu ini sangat menyangkut investasi,” ucapnya seperti dilansir dari laman Kementerian ATR/BPN. Ke depannya, pemerintah berupaya untuk terus memperbaiki pelayanan administrasi pertanahan. Saat ini telah terdapat 4 layanan pertanahan yang berbasis digital yakni mulai dari Pengecekan Sertipikat, Informasi Zona Nilai Tanah, Hak Tanggungan Elektronik, serta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah.


Bahan Bacaan

  • Riyadi, Dodi S. 2019. “Percepatan Penetapan RDTR dan Dampaknya Terhadap Peningkatan Investasi” dalam Buletin Penataan Ruang (hlm. 18-24). Jakarta: Kementerian ATR/BPN.
  • Kementerian ATR BPN. 2021. “Sukseskan Pembangunan Infrastruktur, Kementerian ATR/BPN Tegaskan Kepastian Hak Atas Tanah di Indonesia”. Diakses 22 September 2021 dari https://www.atrbpn.go.id/?menu=baca&kd=5DrT8Q3GECv7rY67osANHpZczLBhiplfzQbakF3Xfj7GjZCNvhAAfNzpDEc3bdA9
  • Kontan. 2020. “Masih sedikitnya RDTR dinilai akan hambat investasi di daerah”. Diakses 23 September 2021 dari https://nasional.kontan.co.id/news/masih-sedikitnya-rdtr-dinilai-akan-hambat-investasi-di-daerah