Langkah-Langkah Membuat Peta Dasar Skala Besar

Dalam kaitannya dengan pembangunan nasional berkelanjutan, peta dasar skala besar sangat diperlukan untuk mendukung dalam pengambilan kebijakan baik perencanaan tata ruang maupun kebijakan lainnya. Saat ini, ketersediaan peta dasar skala besar masih minim. Berdasarkan hal tersebut, peta dasar skala besar menjadi skala prioritas pemerintah khususnya dalam perencanaan tata ruang di setiap wilayah Indonesia. Apa itu peta dasar? Apa kegunaan peta skala besar? Yuk kita simak.

Mengenal Peta Dasar

Dalam suatu rencana pembangunan, data spasial memiliki peranan yang sangat penting. Adapun peranan penting data spasial adalah sebagai data teknis dalam operasional di lapangan (Humas UGM, 2009). Data spasial sendiri merupakan data yang menyimpan komponen-komponen permukaan bumi, seperti jalan, pemukiman, jenis penggunaan.  Bentuk visual dari data spasial adalah peta. Pengertian peta sendiri adalah gambaran permukaan bumi dengan skala tertentu, digambar pada bidang datar melalui sistem proyeksi tertentu (Prihandito, 1989). 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013, Peta dasar merupakan peta yang menyajikan unsur-unsur alam dan atau buatan manusia, yang berada di permukaan bumi, digambarakan pada suatu bidang datar dengan skala, penomoran, proyeksi, dan georeferensi tertentu. Peta dasar digunakan sebagai acuan dalam pembuatan peta tematik yang digunakan dalam penyusunan peta rencana tata ruang sebagai bahan pertimbangan pengumpulan data dan Informasi penyusunan RDTR suatu daerah yang sesuai dengan ketelitian dan spesifikasi teknis yang meliputi kerincian, kelengkapan data dan atau informasi georeferensi dan tematik, skala, akurasi, format penyimpanan digital termasuk kode unsur, penyajian kartografis mencakup simbol, warna, arsiran dan notasi serta kelengkapan muatan peta. Peta dasar disajikan dalam beberapa kategori skala yaitu skala besar, skala sedang, dan skala kecil. Semakin besar skala pada peta, semakin rinci juga data yang akan didapatkan. 

Peta dasar menyajikan informasi geospasial atau objek-objek di permukaan bumi yang dapat diidentifikasi langsung. Informasi yang tercakup di peta dasar meliputi garis pantai; unsur perairan seperti sungai, danau dan waduk; unsur hipsografi atau bentuk permukaan bumi seperti kontur dan titik ketinggian; batas wilayah yakni batas administrasi dan batas negara; nama geografis (nama dari objek di permukaan bumi) seperti nama jalan, nama sungai dan nama gedung. Kemudian, unsur transportasi seperti jalan, jembatan, terminal dan bandara, dan utilitas seperti jaringan listrik, jaringan pipa minyak dan gas; unsur bangunan dan fasilitas umum seperti gedung, rumah, sekolah, rumah ibadah, rumah sakit, serta unsur penutup lahan seperti sawah, hutan, kebun dan pemukiman.

Peta Dasar Skala Besar 

Menurut Prahasta (2001) peta berdasarkan skalanya yaitu: peta skala besar, peta skala sedang dan peta skala kecil. Dalam Peraturan Badan Informasi Geospasial Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Standar Pengumpulan Data Geospasial Dasar Untuk Pembuatan Peta Dasar Skala Besar. Skala peta yang termasuk dalam peta skala besar adalah 1 : 1.000, 1: 2.500, 1: 5.000, 1:10.000. Pengumpulan data geospasial dasar untuk pembuatan peta skala besar dilakukan dengan:

  1. Survei pemotretan udara menggunakan kamera metrik
  2. Survei pemotretan udara menggunakan kamera non-metrik
  3. Survei LiDAR (Light Detection and Ranging) 

Kegunaan Peta Skala 1 : 1.000

Peta dasar dengan skala 1 : 1000 sangat berguna untuk pengambilan kebijakan, Adapun beberapa kegunaan lainnya adalah:

  1. Untuk bahan pertimbangan pengumpulan data dan Informasi penyusunan RDTR
  2. Sebagai masterplan kawasan/ perumahan
  3. Untuk bahan pertimbangan dalam penyusunan RTBL
  4. Untuk peta kebencanaan
  5. Untuk peta infrastruktur
  6. Peta batas administrasi RT/RW

Pembuatan peta skala 1 : 1000 yang akan dibahas menggunakan sumber data foto udara dan Light Detection And Ranging (LiDAR). Foto udara digunakan untuk mendapatkan nilai koordinat X dan Y dalam peta, sedangkan LiDAR digunakan untuk mendapatkan nilai koordinat Z (ketinggian) dalam peta. Metode survei pemotretan udara menggunakan kamera non-metrik.

Langkah-Langkah Pembuatan Peta Skala 1 : 1000

Langkah-langkah pembuatan peta skala 1 : 1000 ini beracuan pada Lampiran II dan Lampiran III Peraturan Badan Informasi Geospasial Nomor 1 tahun 2020 tentang Standar Pengumpulan Data Geospasial Dasar Untuk Pembuatan Peta Dasar Skala Besar.

  1. Persiapan

Pada tahap persiapan akan dilakukan penyusunan detail pelaksanaan pekerjaan sebagai acuan teknis dalam pelaksanaan pekerjaan. Detail pelaksanaan pekerjaan akan mencakup: 1.Pendahuluan: latar belakang, maksud dan tujuan, volume pekerjaan, dan hasil pekerjaan yang akan diserahkan. 2. Pelaksanaan pekerjaan, 3. Peralatan yang digunakan. 4. Spesifikasi teknis yang harus dipenuhi, 5. Melakukan penyiapan struktur folder untuk masing-masing data yang dihasilkan. 6. Pengurusan perizinan, 7. Pengurusan petugas pengawas (security officer) yang dikeluarkan oleh TNI AU, 8. Pembuatan peta rencana jalur terbang. 9. Pembuatan peta rencana distribusi titik control (GCP) dan titik uji (ICP). 10. Pemeriksaan kesiapan alat yang akan digunakan yaitu GNSS geodetik, sistem kamera udara, dan LiDAR. 11. Memenuhi persyaratan QC Persiapan Akuisisi Data.

  1. Pengukuran Ground Control Point (GCP) dan Independent Check Point (ICP)

Titik kontrol tanah terdiri atas Ground Control Point (GCP) dan Independent Check Point (ICP). GCP dan ICP dibutuhkan untuk pengolahan dan pengecekan data foto udara dan LiDAR. Sebelum melakukan pengambilan data foto udara dan LiDAR, titik premark GCP dan ICP harus sudah terpasang dan tersebar di keseluruhan area pengukuran. Hal ini bertujuan agar titik GCP dan ICP yang terpasang di tanah terekam pada hasil foto udara yang diambil, yang selanjutnya akan digunakan pada proses block bundle adjustment. 

  1. Kalibrasi Boresight

Kalibrasi boresight dilakukan dari udara dengan mengambil objek topografi yang variatif dalam formasi tertentu. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan parameter penggabung data antar strip baik line utama dan crossline. Hasil kalibrasi boresight akan dianalisis untuk mengetahui kualitas dari parameter data yang diinput pada saat post processing seperti kualitas data pengukuran lever arm, pengukuran ground basestation dan data hasil kalibrasi kamera. Jika kualitas data sudah memenuhi standar, maka dilanjutkan pelaksanaan pemotretan udara di area lokasi pekerjaan. Setelah tahapan tersebut, diperlukan kalibrasi kamera udara digital dan UAV LiDAR

Gambar 14. Contoh Boresight Calibration.
  1. Akuisisi Data Foto Udara
    • Perencanaan Jalur Terbang Foto Udara, Pembuatan rencana jalur terbang dilakukan sebelum melakukan kegiatan survei pemotretan udara dengan menggunakan perangkat lunak rencana jalur terbang.
    • Pelaksanaan Akuisisi Data Foto Udara, Tahapan survei pemotretan udara digital dilakukan jika kalibrasi boresight dan lever arm telah dilakukan. Survei pemotretan udara harus dilaksanakan dengan mengacu kepada rencana jalur terbang yang sudah dibuat. 
    • Pengolahan Data Foto Udara, Pengolahan Data Foto Udara secara umum yaitu: pemeriksaan data, pengolahan trajectory, triangulasi udara, pembentukan point cloud, ortorektifikasi dan penggabnungan (mozaik) foto.
    • Uji Akurasi Horizontal Data Foto Udara, Uji akurasi dilakukan untuk mendapatkan nilai ketelitian horizontal (CE90) dari data orto mozaik hasil pengolahan data foto udara. Pengujian dilakukan dengan membandingkan nilai X dan Y dari data orto mozaik terhadap nilai X dan Y dari koordinat ICP. 
  1. Akuisisi Data LiDAR
    1. Perencanaan Jalur Terbang LiDAR, Pembuatan rencana jalur terbang dilakukan sebelum melakukan kegiatan survei LiDAR dengan menggunakan perangkat lunak rencana jalur terbang.
    2. Pelaksanaan Akuisisi Data LiDAR, Tahapan survei LiDAR dilakukan jika kalibrasi bore sight dan lever arm telah dilakukan. Survei pemotretan udara harus dilaksanakan dengan mengacu kepada rencana jalur terbang yang sudah dibuat.
    3. Pengolahan Data LiDAR, Pengolahan data LiDAR dimulai dari proses transfer data dari sensor sistem LiDAR. Proses perekaman data ketika akuisisi data ini dilakukan secara otomatis pada komputer dan hardisk yang terpasang bersamaan dengan instalasi alat LiDAR. Proses selanjutnya yaitu pengolahan raw data (pre-processing). Setelah didapatkan format point cloud dalam bentuk *.LAS, selanjutnya akan dilakukan proses untuk pembentukan DTM, DSM, dan kontur.
Gambar 19. Digital Surface Model (DSM). (PT.KHS)
Gambar 20. Intensity Image Raster dari data LiDAR. (PT. KHS)
Gambar 21. Digital Terrain Model (DTM). (PT. KHS)
Gambar 22. Contoh hasil kontur interval 0,5 m. (PT. KHS)
  1. Uji Akurasi Vertikal Data LiDAR

Uji akurasi dilakukan untuk mendapatkan nilai ketelitian vertikal (LE90) dari data ground LiDAR. Pengujian dilakukan dengan membandingkan ketinggian dari data ground LiDAR terhadap nilai Z dari koordinat ICP. 

  1. Digitasi dan Pembuatan Peta

Digitasi merupakan metode yang biasa dilakukan untuk mengubah data raster dari citra menjadi data vektor. Proses ini dilakukan dengan menginterpretasikan realitas dengan memakai model real world dan model data disebut juga proses pemodelan data. Pemodelan yang dilakukan adalah dari objek-objek yang terlihat dalam citra direpresentasikan dalam bentuk unsur geografis (berbasiskan koordinat) yaitu titik, garis, dan poligon. Selain dalam bentuk grafis, data juga dapat direpresentasikan secara tekstual atau biasa disebut data atribut. Data spasial dan data atribut kemudian disebut juga data Sistem Informasi Geografis (SIG).

Gambar 23. Ilustrasi Pemodelan Unsur.

Setelah digitasi semua unsur peta dasar telah diselesaikan, maka dilanjutkan dengan proses topologi. Setelah proses topologi selesai, proses selanjutnya yaitu pengisian atribut peta dasar. 

  1. Layouting Peta

Layout peta memiliki skala 1:1000 yang disajikan dengan kaidah kartografi yang benar meliputi sistem koordinat, dan informasi tepi yang terdiri atas judul, arah mata, angin, skala, legenda, penerbit/pembuat, dan metadata.

PT.KHS dapat memberikan solusi dalam pembuatan Peta Skala Besar untuk kebutuhan perusahaan anda. Selain sudah berpengalaman, PT.KHS juga menawarkan hasil peta kualitas tinggi, akurat, dan cepat namun dengan harga yang bersahabat. PT.KHS juga didukung dengan pilot yang handal dan bersertifikat sehingga anda tidak perlu khawatir terkait hasil dan keamanan saat proses survei pemetaan. Tunggu apa lagi? Silahkan hubungi kami, PT. Kreasi Handal Selaras yang dapat memenuhi kebutuhan pemetaan perusahaan anda.  

Untuk informasi lebih lanjut tentang Jasa Survei dan Pemetaan, silakan hubungi kami. Paket informasi lengkap dapat disediakan berdasarkan permintaan.

REFERENSI

  1. Bramanto, Brian & Kosasih Prijatna. 2022. Urgensi Peta Dasar Skala Besar. https://mediaindonesia.com/humaniora/478096/urgensi-peta-dasar-skala-besar. Diakses 6 Desember 2022.
  2. Mutiarasari, Wahyu Marta. dkk. 2018. Penyajian Peta Skala Besar Di Lahan Field Research Center (Frc) Sekolah Vokasi. Jurnal Geodesi dan Geomatika (ELIPSOIDA). Vol 01 No. 02. (64-70).
  3. Hartini, Tike Aprilia dan Annabel Noor Asyah. 2020. Apa itu Skala Peta?. https://www.handalselaras.com/apa-itu-skala-peta/. Diakses 6 Desember 2022.
  4. Puspita, Ratna. 2019. BIG: Perlu Percepatan Penyediaan Peta Dasar Skala Besar. https://www.republika.co.id/berita/px0aa9428/big-perlu-percepatan-penyediaan-peta-dasar-skala-besar. Diakses 6 Desember 2022.
  5. SNI 8202:2019 Tentang Ketelitian Peta Dasar. Badan Standardisasi Nasional.
  6. Peraturan Badan Informasi Geospasial Nomor 1 tahun 2020 tentang Standar Pengumpulan Data Geospasial Dasar Untuk Pembuatan Peta Dasar Skala Besar

Teknologi UAV Untuk Penanganan Pasca Bencana

Oleh: Arszandi Pratama, S.T, M.Sc, Rabby Awalludin S.T, Tike Aprillia S.T, dan Dandy Muhamad Fadilah, S.T

Kemajuan teknologi yang sangat pesat terutama UAV dalam beberapa tahun terakhir membuat banyak inovasi terkini dalam upaya manajemen bencana di Indonesia. Dengan teknologi UAV, yang relatif lebih terjangkau dan mudah digunakan diharapkan mampu membantu dalam kajian manajemen bencana khususnya pada saat pasca bencana. Dalam artikel ini, anda akan mengetahui mengenai pemanfaatan UAV pada saat pasca bencana, alasan mengapa UAV lebih sering digunakan, dan manfaat penggunaannya. Yuk disimak! semoga dapat bermanfaat.

Teknologi UAV Untuk Kebencanaan

Sumber: PT.KHS

UAV (Unmanned Aerial Vehicle) atau yang lebih dikenal dengan drone merupakan alat yang efektif untuk melakukan pemetaan foto udara. Saat ini, penggunaan UAV meningkat karena keuntungan pada biaya yang relatif murah. UAV dapat dimanfaatkan untuk kegiatan inspeksi, pengawasan, pengintaian, dan pemetaan. Teknologi komputer dan teknologi pengolahan gambar digital telah dikembangkan dan pengembangan ini dapat menyediakan hingga melakukan proses ekstraksi baik secara otomatis atau semi-otomatis (Solikhin, 2016).

Bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh manusia yang terjadi akan meninggalkan kehancuran pada lingkungan terdampak dan sekitarnya. Kondisi area terdampak bencana cenderung sulit diakses oleh petugas tanggap bencana. Sementara banyak hal yang harus segera dilakukan oleh petugas tersebut, seperti menyisir seluruh area, memetakan wilayah dan jalur alternatif, serta mendistribusikan berbagai bantuan untuk korban. Pekerjaan tersebut terkadang sangat sulit dilakukan apalagi jika area terdampak bencananya tergolong sangat luas. Oleh karena itu, hadirlah UAV yang mengambil alih pekerjaan tersebut sehingga mempercepat penanganan pasca bencana. 

Pada saat keadaan pasca bencana, sulit untuk mengetahui informasi penting baik dikarenakan medan yang sulit ditempuh, keadaan yang tidak terkendali, sampai keadaan panik akibat korban luka dan korban jiwa. Dalam kondisi kurang terkendali tersebut, dibutuhkan data dan informasi yang cepat dan tepat untuk dapat membantu korban bencana. Data-data yang dibutuhkan adalah:

  1. Kondisi umum area bencana 
  2. Mengidentifikasi zona aman dan bahaya
  3. Peta detail dan akurat
  4. Data banyaknya korban terdampak
  5. Informasi infrastruktur yang rusak.

Mengapa Memilih Menggunakan UAV?

Terdapat beberapa keuntungan dalam penggunaan UAV pada saat pasca bencana:

  1. Kecepatan dan ketinggian dapat diatur sesuai dengan kebutuhan.
  2. Menghasilkan data dengan resolusi sangat tinggi, dan hanya kemungkinan kecil tertutup awan (apabila terbang sangat tinggi) jika dibandingkan dengan satelit.
  3. Pengoperasian secara otomatis atau manual.
  4. Dapat menggunakan berbagai sensor sesuai dengan kebutuhan.
  5. Biaya yang dibutuhkan relatif lebih kecil.
  6. Dapat menjangkau daerah yang luas dan daerah yang sulit.
  7. Lebih fleksibel, efektif, dan efesien dalam melakukan survei. Saat melakukan kaji cepat tidak perlu memasuki kawasan rawan bencana yang membahayakan jiwa petugas. 
  8. Mampu memberikan informasi berupa gambar dan video yang dapat mendukung laporan. 
  9. Data yang diperoleh dapat digunakan ke dalam peta sebagai sarana pendukung dalam penyusunan rencana operasi pada masa tanggap darurat agar lebih efektif. 
  10. Melakukan assesmen lebih cepat.

Adapun tujuan penggunaan UAV salah satunya adalah menghasilkan citra orthophoto dan Digital Elevation Model (DEM) resolusi tinggi yang diharapkan mampu memberikan gambaran dan data teknis bencana secara cepat dan akurat.

Citra Orthophoto

Sumber: PT. KHS

Beberapa Fungsi UAV Pada Saat Pasca Bencana

  1. Penyisiran Wilayah dan Penyelamatan

Drone sebagai pesawat tanpa awak yang dilengkapi kamera dimanfaatkan untuk melakukan penyisiran wilayah terdampak bencana yang luas. Drone dapat melakukan penyisiran dengan lebih cepat karena kemampuan terbangnya yang stabil di segala keadaan. Saat menyisir wilayah, drone juga akan sekaligus menandai lokasi korban serta mengidentifikasi bagian wilayah yang paling gawat kondisinya. Sehingga selanjutnya upaya penyelamatan dapat segera dilakukan dengan lebih terfokus dan cepat.

  1. Pemantauan Keselamatan Petugas

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, bencana akan mengakibatkan sarana infrastruktur mengalami gangguan dan kerusakan. Keadaan lingkungan terdampak bencana sangat tidak stabil, kerap terdapat bangunan yang beresiko runtuh tiba-tiba, pepohonan yang akarnya sudah tidak kuat, kabel listrik yang putus, atau genangan banjir yang tidak terukur.

Kondisi-kondisi tersebut bisa saja mencelakai petugas tanggap bencana dan menambah korban lagi. Di sinilah drone berperan memberikan pemantauan jarak jauh untuk meningkatkan keselamatan petugas dan orang-orang di sekitar. Hasil pemantauan drone akan dijadikan acuan petugas untuk menentukan cara terbaik mendekati wilayah bencana.

  1. Menilai Kerugian Aset

Dalam sebuah bencana, petugas biasanya memiliki dua tugas penting yaitu evakuasi korban manusia dan assessment aset terdampak. Assessment adalah proses penilaian kerugian aset berdasarkan kerusakan yang terjadi pada fasilitas publik. Penilaian ini diperlukan agar pemerintah dapat dengan segera menganggarkan dana untuk memulihkan wilayah tersebut.

Drone membantu pekerjaan tersebut dengan menganalisa wilayah bencana yang luas untuk kemudian mengidentifikasi area atau infrastruktur yang kondisinya parah dan membutuhkan penanganan segera. Drone menampilkan data tersebut dalam bentuk foto

  1. Pemetaan 3D Area Bencana

Untuk mempercepat proses evakuasi dan distribusi bantuan ke wilayah darurat, peta 3D atau pencitraan visual sangat dibutuhkan. Pesawat besar dengan awak bisa melakukan pemetaan ini, namun biayanya terlalu mahal. Sedangkan pencitraan satelit memiliki resolusi gambar yang kurang bagus. Keduanya sama-sama membutuhkan waktu lama untuk memetakan lokasi, sehingga drone adalah pilihan yang paling tepat untuk situasi ini.

Drone secara cepat dapat menghasilkan pemetaan 3D dengan resolusi yang tinggi sehingga tiap titik kerusakan dapat diidentifikasi. Data tersebut akan otomatis diunggah secara real-time. Drone menghasilkan peta dengan model 3D dengan bantuan sofware khusus pengolah gambar yang terhubung dengannya. Pemetaan 3D drone ini sudah pernah diaplikasikan dalam penanggulangan pasca gempa Nepal pada tahun 2015 lalu.

Sumber: PT. KHS

Dalam sistem manajemen bencana, Penanganan pasca bencana merupakan salah satu kunci untuk dapat secara cepat dan tepat menangani korban dan dampak dari bencana yang telah berlangsung. Dengan penanganan yang tepat dan cepat akan dapat membantu pemerintah dalam melakukan kajian penanganan bencana baik berupa pemberian bantuan, penyisiran wilayah, ataupun pemantauan korban jiwa. Dengan teknologi UAV, hal tersebut dapat dilakukan dengan cepat. Diharapkan penanganan bencana di seluruh wilayah Indonesia dapat terorganisir dengan baik dan seluruh elemen masyarakat serta pemerintah dapat bersiap siaga dalam menghadapi bencana termasuk dalam mitigasi bencana.

REFERENSI

  1. Allawiyah, Mutia. 2022. Drone: Pesawat Terbang Tanpa Awak Untuk Kebencanaan. https://siagabencana.com/all/post/drone-pesawat-terbang-tanpa-awak-untuk-kebencanaan. Diakses pada 28 November 2022.
  2. 2016. BNPB Akan Manfaatkan Drone Untuk Penanggulangan Bencana
    https://mediaindonesia.com/humaniora/70670/bnpb-akan-manfaatkan-drone-untuk-penanggulangan-bencanaDrone. Diakses pada 28 November 2022.
  3. Fibriati, Romana Dwi. 2020. 5 Peran Penting Drone dalam Penanggulangan Bencana https://www.builder.id/drone-penanggulangan-bencana/. Diakses pada 28 November 2022.
  4. Kristiawan, Yohandi. dkk. 2017. Aplikasi UAV Drone Untuk Penanggulangan Cepat Potensi Aliran Bahan Rombakan (Banjir Bandang) Studi Kasus Di Desa Lebakwangi, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung. Prosiding, Seminar Nasional Kebumian. Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi.
  5. Nugroho Wisnu, 2019. Pemanfaatan Drone untuk Membantu Pemulihan Gempa dan Tsunami di Palu. https://infokomputer.grid.id/read/121712212/pemanfaatan-drone-untuk-membantu-pemulihan-gempa-dan-tsunami-di-palu Diakses pada 28 November 2022.
  6. Ramadhani, Yoniar Hufan. 2016. Pemanfaatan UAV Untuk Pemetaan Tematik Kebencanaan. Seminar Pemanfaatan UAV Untuk Penanggulan Bencana. Badan Informasi Geospasial.
  7. Setyorini, Virna, P. 2020. Penggunaan Drone Untuk Kebencanaan Libatkan Swasta Dan Komunitas. https://www.antaranews.com/berita/1753473/penggunaan-drone-untuk-kebencanaan-libatkan-swasta-dan-komunitas. Diakses pada 28 November 2022.
  8. Zona Spasial. 2018. 4 Fungsi Drone dalam Penanganan Pasca Bencana. https://zonaspasial.com/tag/foto-udara/. Diakses pada 28 November 2022.

Teknologi GNSS Dalam Manajemen Bencana

Oleh: Arszandi Pratama, S.T, M.Sc, Rabby Awalludin S.T, Tike Aprillia S.T, dan Dandy Muhamad Fadilah, S.T

Secara umum wilayah Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana alam mengingat posisi geografis Indonesia yang berada diantara tiga lempeng besar dunia yang terus aktif bergerak. Untuk itu, pentingnya manajemen bencana yang baik dan tanggap untuk dapat meminimalisir kerusakan terjadinya bencana tersebut, sehingga diharapkan Indonesia dapat siap menghadapi bencana. Penggunaan teknologi GNSS bukan hal baru di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menggunakan GNSS untuk membantu dalam pengumpulan data-data (mitigasi) atau pasca bencana. Dalam artikel ini anda akan mengetahui apa itu GNSS, kelebihan dan kekurangan, serta beberapa penerapan GNSS dalam manajemen bencana.

Sumber: PT. KHS

Mengenal GNSS

Global Navigation Satellite System (GNSS) merupakan istilah singkatan dari suatu sistem satelit navigasi yang menyediakan posisi geospasial dalam lingkup global. GNSS beroperasi secara penuh sejak Desember 2009. Diawali dengan sistem Global Positioning System (GPS) yang merupakan suatu konstelasi yang terdiri tidak kurang dari 24 satelit yang menyediakan informasi koordinat posisi yang akurat secara global. GPS mempergunakan satelit dan komputer untuk melakukan penghitungan posisi dimanapun di muka bumi ini. Sistem ini dimiliki, dioperasikan dan dikontrol oleh United States Department of Defenses (DoD). GNSS dapat dipergunakan secara global dimanapun dan oleh siapapun dimuka bumi ini secara gratis. Istilah GNSS lainnya adalah suatu sistem satelit yang terdiri dari konstelasi satelit yang menyediakan informasi waktu dan lokasi, memancarkan macam-macam sinyal dalam berbagai frekuensi secara terus menerus, yang tersedia di semua lokasi di atas permukaan bumi. GNSS sekarang ini terdiri dari 6 Satelit:

  1. NAVSTAR GPS (NAVigation Satelite Timing and Ranging Global Positioning System) (USA).
  2. GLONASS (Rusia) = Global’naya Navigatsionnaya Sputnikovaya Sistema.
  3. Galileo (Eropa)
  4. Compass (China) / Beidou
  5. Quasi-Zenith Sistem Satelit (QZSS)
  6. India Regional Navigation Satellite System (IRNSS)

Sumber: “Handbook of Global Navigation Satellite Systems” by Peter J.G. Teunissen, and Oliver Montenbruck (Eds.) © Springer International Publishing AG 2017

Dengan segala manfaat yang ada, teknologi GNSS menawarkan hasil koordinat yang akurat dan presisi untuk menunjang berbagai kegiatan survey dan pemetaan. 

Kemampuan GNSS

  1. Posisi yang diberikan adalah posisi 3-D, yaitu (X,Y,Z) atau (L,B,h).
  2. Tinggi yang diberikan oleh GPS adalah tinggi ellipsoid.
  3. Datum dari posisi yang diperoleh adalah WGS (World Geodetic System) 1984 yang menggunakan ellipsoid referensi GRS 1980.
  4. Penentuan posisi dapat dilakukan dengan beberapa metode: absolute, positioning, differential positioning, static surveying, rapid static, pseudo kinematic dan kinematic positioning.
  5. Titik yang akan ditentukan posisinya dapat diam maupun bergerak.
  6. Posisi titik dapat ditentukan terhadap pusat massa bumi ataupun terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya.
  7. Spektrum ketelitian posisi yang diberikan berkisar dari sangat teliti (orde : mm) sampai kurang teliti (orde : puluhan meter).

Pada dasarnya informasi yang diperoleh dari penentuan posisi dengan GNSS adalah posisi, kecepatan dan waktu. Disamping produk dasar tersebut, parameter turunan lainnya juga dapat ditentukan dengan teknologi GNSS ini. Parameter Turunan tersebut antara lain: Posisi, Kecepatan, Waktu, Percepatan, Frekuensi, Azimut Geodetik, Attitude Parameter, TEC (Total Electron Content), WVC (Wall Vapour Content), Parameter Orientasi Bumi, Tinggi Orthometric, Undulasi Geoid dan Defleksi Vertikal.

Kelebihan dan Kekurangan Teknologi GNSS

Ada beberapa hal yang membuat metode pengukuran mengguanakan GPS Geodetic / GNSS memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode konvensional, diantaranya:

  1. GNSS / GPS Geodetic dapat digunakan setiap saat tanpa tergantung waktu dan cuaca
  2. Satelit-satelit GNSS mempunyai ketinggian orbit yang cukup tinggi yaitu sekitar 20.000 km di atas permukaan bumi serta dengan jumlah yang relatif cukup banyak. Hal ini menjadikan GNSS dapat meliput wilayah yang cukup luas sehingga dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus.
  3. Penggunaan GPS Geodetic dalam penentuan posisi relatif tidak terlalu terpengaruh dengan kondisi topografis daerah survei dibandingkan dengan penggunaan metode terestris.
  4. Posisi yang ditentukan oleh GNSS / GPS Geodetic mengacu ke suatu datum global yang relatif teliti dan mudah direalisasikan, yaitu datum WGS 84.
  5. GNSS dapat memberikan ketelitian posisi yang spektrumnya cukup luas. Dari yang sangat teliti (orde millimeter) sampai orde meter.
  6. Pemakaian sistem GNSS tidak dikenakan biaya.
  7. Lebih efisien dalam waktu, biaya operasional, dan tenaga.
  8. Celah untuk memanipulasi data pada pengukuran GNSS lebih sulit dibandingkan menggunakan metode terestris
  9. Relatif mudah dipelajari sekalipun oleh orang awam yang belum pernah menggunakan.

Akan tetapi terdapat keterbatasan dari teknologi GNSS tersebut antara lain:

  1. Tidak boleh ada penghalang antara receiver dan satelit.
  2. Komponen tinggi yang dihasilkan adalah tinggi dengan acuan ellipsoid.
  3. Perlu proses yang relatif tidak mudah untuk menganalisa data.

GNSS Untuk Mitigasi Bencana

Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng besar yaitu Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Sebagai konsekuensinya negara kita sangat rawan bencana geologi berupa erupsi gunung api, gempa bumi, tsunami dan gerakan tanah. Monitoring dan pemetaan risiko merupakan faktor kunci dalam upaya pengelolaan risiko bencana yang terstruktur dan terintegrasi. perlu dilakukan upaya-upaya mitigasi risiko bencananya salah satunya dengan penggunaan teknologi GNSS. Berikut beberapa mitigasi bencana yang menggunakan GNSS:

  1. Mitigasi Bencana Gempa Bumi

Salah satu cara untuk mengetahui status seismik yakni melalui pengamatan deformasi tektonik yang berhubungan dengan kejadian siklus sebuah gempa bumi (deformasi interseismik, co-seismik dan post-seismik). Pengamatan deformasi ini dapat dilakukan dengan pendekatan Geodesi yaitu menggunakan teknologi Interferometry Synthetic Aperture Radar (InSAR) dan teknologi GPS. Teknologi InSAR adalah teknologi Geodesi yang dikembangkan untuk pengamatan deformasi dengan akurasi centimeter (Abidin, 2001). Namun, teknologi GPS memiliki orde ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan dengan InSAR. Teknologi GPS dapat memberikan nilai vector deformasi kerak bumi yang berhubungan dengan gempa bumi secara tiga dimensi yakni deformasi dalam arah horizontal dan vertikal dengan tingkat presisi sampai orde milimeter (Abidin dkk., 2009). Dalam kegiatan pemantauan diperlukan beberapa titik pantau yang tersebar pada lokasi patahan untuk melihat gerakan mikro dan sekitar patahan untuk melihat gerakan makro (Widjajanti, dkk., 2013)

  1. Mitigasi Bencana Land Subsidence (Penurunan Tanah)

Land subsidence (penurunan tanah) adalah suatu fenomena alam yang banyak terjadi di kota-kota besar yang berdiri di atas lapisan sedimen, seperti: Jakarta, Semarang, Bangkok, Shanghai, dan Tokyo. Dari studi penurunan tanah yang dilakukan selama ini diidentifikasi ada beberapa faktor penyebab terjadinya penurunan tanah, yaitu: pengambilan air tanah yang berlebihan, penurunan karena beban bangunan, penurunan karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta penurunan karena gaya-gaya tektonik.

Dalam kaitannya dengan monitoring dan pemetaan risiko bencana land subsidence atau penurunan muka tanah dilakukan guna mengidentifikasi lebih detail upaya pengendalian yang tidak bersifat sementara semata. Pada prinsipnya penurunan tanah dari suatu wilayah dapat dipantau dengan menggunakan beberapa metode, baik itu metode-metode hidrogeologis dengan pengamatan level muka air tanah serta pengamatan dengan ekstensometer dan piezometer yang diinversikan kedalam besaran penurunan muka tanah dan metode geoteknik, maupun metode-metode geodetik seperti survei sipat datar (leveling), survei gaya berat mikro, survei GPS (Global Positioning System), dan InSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar).

Prinsip studi penurunan tanah dengan metode survei GNSS yaitu dengan menempatkan beberapa titik pantau di beberapa lokasi yang dipilih secara periodik untuk ditentukan koordinatnya secara teliti dengan menggunakan metode survei GNSS. Dengan mempelajari pola dan kecepatan perubahan koordinat dari titik-titik tersebut dari survei yang satu ke survei berikutnya, maka karakteristik penurunan tanah akan dapat dihitung dan dipelajari lebih lanjut.  GNSS akan memberikan nilai vektor pergerakan tanah dalam tiga dimensi (dua komponen horisontal dan satu komponen vertikal). Jadi, disamping memberikan informasi tentang besarnya penurunan muka tanah. GNSS juga sekaligus memberikan informasi tentang pergerakan tanah dalam arah horisontal.

GNSS juga memberikan nilai vektor pergerakan dan penurunan tanah dalam suatu sistem koordinat referensi yang tunggal. Maka dari itu dapat digunakan untuk memantau pergerakan suatu wilayah secara efektif dan efisien. GNSS dapat memberikan nilai vektor pergerakan dengan tingkat presisi sampai beberapa mm, dengan konsistensi yang tinggi baik secara spasial maupun temporal. Dengan tingkat presisi yang tinggi dan konsisten ini maka diharapkan besarnya pergerakan dan penurunan tanah yang kecil sekalipun akan dapat terdeteksi dengan baik GNSS dapat diman’aatkan secara kontinyu tanpa tergantung waktu dan dalam segala kondisi cuaca. Dengan karakteristik semacam ini maka pelaksanaan survei GNSS untuk pemantauan pergerakan dan penurunan muka tanah dapat dilaksanakan secara efektif dan fleksibel. Di Indonesia, untuk dapat memonitoring penurunan tanah dilakukan dengan menggunakan GNSS yang dipadukan dengan Extensometer. Metode ini mampu mengukur perubahan posisi permukaan secara 3 dimensi sekaligus menunjukkan laju, luas dan pada kedalaman berapa penurunan muka tanah terjadi. 

REFERENSI

  1. Widjajanti, Nurrohmat. dkk. 2018. GNSS Monitoring Network Optimization Case Study: Opak Fault Deformation, Yogyakarta. Journal of Geospatial Information Science and Engineering. ISSN: 2623-1182. Universitas Gajah Mada.
  2. Survey GPS/GNSS. https://totalgeosurvey.com/layanan/survey-gps-gnss/. Diakses pada 30 November 2022.
  3. Badan Geologi, Kementerian ESDM. 2021. CoE Geologi Indoensia.
  4. Wahyono, Eko Budi dan Muh. Arif Suhattanto. 2019. Survey Satelit Pertanahan. Modul Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta.
  5. Akbar, Yanuar. Survey GPS. https://www.academia.edu/11884316/survei_gps. Diakses pada 30 November 2022.
  6. Gumilang, Ragil Satriyo. 2020. Kesiapan Monitoring dan Pemetaan Risiko Land Subsidence di Indonesia.  https://kumparan.com/ragil-satriyo/kesiapan-monitoring-dan-pemetaan-risiko-land-subsidence-di-indonesia-1uVczPcTTdJ/full. Diakses pada 30 November 2022.
  7. Lubis, Ashar Muda. 2021. Pemanfaatan Survey GPS Geodetik untuk Pengamatan Deformasi Inter-seismik Setelah Satu Dekade Kejadian Gempa Bumi Bengkulu 2007 (Mw 8,4) di Daerah Bengkulu Bagian Utara. Jurnal Geosains dan Teknologi. Vol. 4 No. 1. 
  8. Abidin, Hasanuddin Z. 2021. Pemanfaatan Teknologi GNSS Untuk Survei dan Pemetaan Pertanahan. Virtual VGD “Pemanfaatan GNSS Untuk Pertanahan dan Tata Ruang di Masa Kini dan Masa Depan” Kementerian ATR/BPN. https://www.researchgate.net/profile/Hasanuddin-Z-Abidin/publication/353547234_Pemanfaatan_Teknologi_GNSS_Untuk_Survei_dan_Pemetaan_Pertanahan/links/61024d871ca20f6f86e62b08/Pemanfaatan-Teknologi-GNSS-Untuk-Survei-dan-Pemetaan-Pertanahan.pdf. Diakses pada 30 November 2022.