Efektivitas Pembatasan Kegiatan Ekonomi pada masa PSBB

Oleh Galuh Shita Ayu Bidari, S.T.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta telah dimulai sejak pertengahan April 2020. Berkaitan dengan ditetapkannya hal tersebut, maka masyarakat kini tak lagi dapat berkegiatan secara bebas kecuali terdapat hal-hal yang mendesak. Hal ini juga berlaku bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya. Pembatasan aktivitas ekonomi dinilai akan memberikan banyak pengaruh yang signifikan terhadap kesuksesan pengurangan penyebaran covid-19. Pasalnya, sebagai ibukota negara yang juga menjadi pusat pergerakan kegiatan nasional, DKI Jakarta mampu mengundang ribuan komuter dari berbagai daerah setiap harinya sehingga dikhawatirkan akan semakin memperluas penyebaran covid-19 ke berbagai daerah. Pembatasan kegiatan ekonomi merupakan upaya pencegahan di hulu, yang perlahan akan berimbas pada pengurangan aktivitas di sektor transportasi sebagai hilir. Adapun aturan terkait pembatasan usaha selama status PSBB ditetapkan adalah dengan melarang seluruh kegiatan usaha, kecuali kegiatan usaha yang berada pada sektor  kesehatan; bahan pangan; energi; komunikasi dan teknologi informasi; keuangan; logistik; perhotelan; konstruksi; industri strategis; pelayanan dasar, utilitas publik, dan industri yang ditetapkan sebagai obyek vital nasional dan obyek tertentu; serta kebutuhan sehari-hari.

Namun, upaya pembatasan kegiatan ekonomi di DKI Jakarta dinilai belum sepenuhnya berhasil. Masih banyak terdapat perusahaan besar yang tetap melakukan aktivitas dikarenakan telah mengantongi izin dari Kemenperin. Hal ini tentu cukup disayangkan mengingat penyebaran covid-19 terjadi begitu cepat dan langkah koordinasi dengan segala pihak sangat diperlukan dalam setiap pengambilan keputusan.

Dilansir dari kompas.com (19 April 2020), Pemprov DKI Jakarta telah melakukan sidak terhadap sejumlah perusahaan dan melakukan beberapa tindakan terhadap perusahaan tersebut. Hasilnya sebanyak 25 perusahaan terpaksa ditutup karena menyalahi aturan berkegiatan selama PSBB dan terdapat 190 perusahaan lainnya yang diberikan peringatan dikarenakan sejumlah perusahaan tersebut masuk ke dalam jenis usaha yang diperbolehkan selama PSBB atau perusahaan yang mengantongi izin Kemenperin. Di sisi lain, keresahan tentu melanda para pengusaha, terlebih yang tidak masuk ke dalam jenis usaha prioritas, untuk dapat menekan biaya produksi yang rutin dikeluarkan setiap bulannya demi tetap menjaga kestabilan serta bertahan dari ancaman collapse.

Pembatasan kegiatan usaha tidak sepenuhnya dapat diterapkan, terlebih terhadap sektor usaha yang dikecualikan ataupun terhadap perusahaan yang masih mengantongi izin dari Kemenperin, sehingga fenomena ini masih mampu menghasilkan bangkitan perjalanan dengan intensitas yang tergolong masif. Meskipun relatif sepi, namun kemacetan masih dapat ditemui di sejumlah titik. Nyatanya, semenjak PSBB dimulai, pihak kepolisian telah menindak puluhan ribu pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat terkait aturan berkendara. Masyarakat tentunya menghindari penggunaan transportasi publik untuk meminimalisir infeksi terhadap covid-19 dan merubah cara bertransportasi dengan menggunakan kendaraan pribadi. Di samping adanya himbauan Pemerintah untuk mengurangi bahkan membatasi beberapa moda transportasi yang beroperasi di DKI Jakarta. Akibatnya, terdapat penurunan jumlah penumpang pada beberapa layanan transportasi dan ruas jalan kembali dipenuhi oleh beragam kendaraan pribadi.

Pemeriksaan Atribut Berkendara pada masa PSBB
Foto: CNBC Indonesia

Dilansir dari okezone.com (19 April 2020), hingga tanggal 17 April 2020 terdapat 12.606 pengendara yang melanggar ketentuan berkendara di Jakarta. Sebagian besar jenis pelanggaran yang dilakukan adalah lalainya penggunaan masker ketika berkendara dan jenis pelanggaran lainnya adalah berupa kapasitas penumpang yang melebihi jumlah maksimal serta pengendara motor yang berboncengan namun tidak memiliki alamat KTP yang sama.

Penetapan PSBB banyak menginspirasi dan mendorong masyarakat untuk melakukan pembatasan aktivitas secara mandiri pada wilayah tempat tinggalnya. Banyak ditemui perumahan yang menutup akses terhadap pengunjung luar demi menjaga kesehatan para penghuninya. Umumnya Namun hal ini rupanya memiliki imbas negatif. Penutupan akses jalan pada sebagian kecil wilayah akan memaksa pengguna jalan untuk mencari jalan alternatif lain untuk menuju lokasi tujuan. Jalan yang awalnya merupakan jalan tikus, menjadi tidak bebas dilewati dan menyebabkan penumpukkan pada ruas jalan lainnya atau bahkan pada jalan utama. Yang terjadi kemudian adalah kemacetan yang tentu saja bertentangan dengan tujuan PSBB yang seharusnya.

Di sisi lain, masih terdampak kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya memahami aturan yang berlaku selama masa PSBB. Tak hanya peraturan, bahkan masih terdapat kelompok masyarakat yang masih tidak mengetahui bahaya serta dampak yang dapat ditimbulkan dari wabah covid-19, sehingga upaya penerapan PSBB menjadi lebih sulit dilakukan. Akibatnya, petugas yang bertanggung jawab harus bekerja lebih giat untuk menyisir dan menertibkan masyarakat yang masih beraktivitas. Di Jakarta sendiri, masih banyak ditemui masyarakat yang beraktivitas tanpa mengindahkan kesehatannya. Hampir di seluruh ruas jalan arteri di DKI Jakarta, masyarakat sangat tertib dalam menaati aturan PSBB, namun saat memasuki jalan kolektor hingga jalan lingkungan, pelanggaran masih umum ditemui. Namun tak menampik bahwa tak jarang pula ditemui kerumunan orang pada tempat umum, seperti pasar atau pertokoan.

Sisi lainnya, pembatasan kegiatan ekonomi tentunya menimbulkan dampak negatif berupa pengurangan pemasukan yang akan diterima setiap bulannya. Dengan begitu, risiko kriminalitas pun akan meningkat. Hal ini terbukti dengan mulai maraknya pemberitaan mengenai kasus pembegalan yang melanda beberapa wilayah terutama menjelang malam hari. Dilansir dari mediaindonesia.com (20 April 2020), tingkat kriminalitas meningkat sebanyak 11,8% selama masa pandemi covid-19 berlangsung. Hal ini tentu meresahkan, terlebih bagi masyarakat yang terpaksa harus tetap bekerja di luar rumah untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, pendapatan semakin tak pasti sementara kejahatan terus mengintai tanpa ampun.

Melihat keseluruhan fenomena ini, lantas efektifkah upaya PSBB yang sedang digaungkan oleh Pemerintah?

Bahan Bacaan

Rizky, Muhamad. 2020. “Fakta 10 Hari Pelaksanaan PSBB di Jakarta, Apa Hasilnya?”. Diperoleh 20 April 2020 dari https://megapolitan.okezone.com/read/2020/04/19/338/2201452/fakta-10-hari-pelaksanaan-psbb-di-jakarta-apa-hasilnya?page=1

Sari, Nursita. 2020. “UPDATE PSBB di Jakarta, 25 Perusahaan Ditutup, 190 Lainnya Diberi Peringatan”. Diperoleh 20 April 2020 dari https://megapolitan.kompas.com/read/2020/04/19/18003231/update-psbb-di-jakarta-25-perusahaan-ditutup-190-lainnya-diberi

Wijayaatmaja, Yakub Pryatama. 2020. “Polri: Kriminalitas Naik 11,8% Selama PSBB”. Diperoleh 21 April 2020 dari https://mediaindonesia.com/read/detail/305796-polri-kriminalitas-naik-118-selama-psbb

Covid-19 dan Pengaruhnya Terhadap Berbagai Sektor di Indonesia

Oleh Galuh Shita Ayu Bidari, S.T.

Nasib Pekerja Informal dalam Belenggu COVID-19

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Pandemi COVID-19 yang sedang ganas-ganasnya menginfeksi manusia memang menyisakan ketakutan dan keresahan bagi seluruh lapisan masyarakat di dunia. Bagi Antonio Guterres, sekretaris jenderal PBB, COVID-19 merupakan musuh bersama yang tidak memandang etnis, kebangsaan, kepercayaan, serta kelompok tertentu. “It attacks all, relentlessly”, katanya. Dampak dari pandemi COVID-19 juga dirasakan oleh masyarakat perkotaan dengan tingkat kerentanan sosial-ekonomi yang tinggi, yaitu para pekerja informal. Kebijakan-kebijakan terkait pencegahan dampak COVID-19, seperti social distancing, physical distancing serta lockdown sedikit banyak mempengaruhi kelangsungan hidup mereka. Pada artikel kali ini akan dibahas mengenai karakteristik pekerja informal dan dampak yang mereka rasakan ketika pandemi COVID-19 berlangsung, serta intervensi-intervensi pemerintah yang sebaiknya dilakukan demi kelangsungan kehidupan mereka.  

Pekerja Informal

Apakah yang dimaksud dengan pekerja informal?

Berdasarkan definisi yang dipaparkan dalam  International Conference on Labour Statisticians (ICLS) ke-17, pekerja informal didefinisikan sebagai pekerja dengan hubungan kerja yang tidak tercakup dalam perundang-undangan atau dalam praktiknya, tidak tunduk pada undang-undang tenaga kerja, pajak, pendapatan, perlindungan sosial atau hak tertentu untuk jaminan kerja tertentu.  Lantas, siapa sajakah yang termasuk ke dalam kelompok tersebut?

Banyak sekali pekerja yang dapat dikelompokkan ke dalam kelas pekerja informal, apalagi di negera-negara Asia seperti halnya di Indonesia. Mereka sering kita temui di kehidupan sehari-hari dan biasanya membantu kita untuk memenuhi berbagai kebutuhan esensial. Tukang nasi goreng keliling, pengemudi ojek pengkolan,  penjual cendol di tempat wisata, ibu kantin di SD negeri, serta berbagai pekerjaan sejenis yang tidak terikat pada perundang-undangan ketenagakerjaan.

Kondisinya saat ini, jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 55,72% dari total angkatan kerja di Indonesia. Kepala Badan Pusat Statistik RI (BPS) mengatakan bahwa terdapat 70,49 juta pekerja informal di Indonesia per Agustus 2019.  Dari data tersebut dapat dibayangkan bagaimana sektor informal dapat menyokong kelangsungan hidup banyak orang di Indonesia. Namun saat pandemi COVID-19 menyerang Indonesia, nasib para pekerja informal seakan terombang-ambing dalam badai ketidakpastian ekonomi dan juga kesehatan.

Pekerja Informal
Sumber: Dokumentasi Penulis, 2018

Dikutip dari podcast yang dipublikasikan oleh sebuah organisasi bernama Woman in Informal Employment: Globalizing and Organizing (WIEGO), tentang proteksi sosial terhadap pekerja informal, disebutkan bahwa pekerja informal khususnya di negara-negara berkembang memiliki risiko ganda yang lebih berat ketimbang para pekerja formal, yakni risiko kesehatan dan risiko ekonomi. Pasalnya sebagian besar pekerja informal tidak memiliki jaminan berupa asuransi kesehatan. Hal tersebut menjadikan mereka kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan. Ditambah dengan adanya kecenderungan bahwa banyak pekerja informal yang tinggal di hunian dimana fasilitas dan utilitasnya belum memadai, terutama ketersediaan air bersihnya. Hal tersebut akan berpengaruh pada minimnya upaya preventif COVID-19 yang dapat mereka lakukan seperti mencuci tangan secara rutin. Pekerja informal juga memliki peluang yang lebih besar untuk terpapar karena pada umumnya mereka bekerja di tempat umum dimana banyak interaksi sosial di dalamnya. Selain itu, minimnya pengetahuan tentang COVID-19 yang disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap informasi, juga menjadi faktor yang turut andil dalam terpaparnya pekerja informal terhadap virus dengan tingkat kematian global sebsar 5,7% ini.

Kemudian, dalam kaitannya dengan risiko ekonomi, dampak yang dirasakan oleh pekerja informal akan lebih terasa ketika kebijakan-kebijakan preventif dan penanggulangan COVID-19 telah ditetapkan oleh pemerintah. Dimulai dari kebijakan social distancing dimana masyarakat dihimbau untuk menghindari kerumunan, tentu saja pedagang gorengan dan juru potret keliling di tempat wisata kehilangan peluang usahanya karena masyarakat enggan bepergian ke tempat ramai. Begitu pula saat kebijakan physical distancing mulai dianjurkan, saat budaya work from home rajin diimplementasikan, semakin sedikit pengemudi ojek yang akan mengantarkan pekerja formal dari stasiun menuju gerbang kantornya. Dapat dibayangkan bagaimana kelangsungan hidup mereka saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai diterapkan. Bagaimana mereka berjuang untuk bertahan hidup, padahal selama ini mereka mencari rezeki sependek untuk esok hari? Bagaimana caranya mereka tetap mendapatkan pemasukan walaupun ladang rezeki mereka kian sepi seiring pergantian hari? Adakah solusi yang mendekati tepat agar kelompok rentan ini perlahan bisa lepas dari belenggu COVID-19?

Pentingnya Intervensi Pemerintah

Masih dari podcast yang sama, disebutkan bahwa intervensi pemerintah merupakan sebuah kunci utama dalam penanganan krisis yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19, baik krisis ekonomi maupun krisis kesehatan. Kendati demikian, masih banyak pemerintah di dunia yang belum mengedepankan kebijakan pencegahan dan penanggulangan COVID-19 bagi pekerja informal.  

Terdapat beberapa hal yang sebaiknya dilakukan pemerintah pada masa pandemi, yang tentu saja akan optimal dengan adanya kerjasama pusat dan lokal yang bersinergi. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

  • Memberikan jaminan kesehatan yang universal bagi masyarakat, khususnya mereka pekerja harian dan informal. Sedikitnya pekerja informal yang memiliki asuransi kesehatan membuat mereka kesulitan mengakses fasilitas kesehatan karena kemampuan finansial mereka yang terbatas. Hendaknya pemerintah dapat membuat sebuah intervensi kebijakan, dimana semua lapisan masyarakat dapat dengan mudah menikmati fasilitas kesehatan tanpa adanya administrasi yang rumit dan berbelit.  
  • Menyebarluaskan informasi terkait pandemi COVID-19 kepada masyarakat, khususnya para pekerja informal yang memiliki keterbatasan akses terhadap sumber informasi. Tingkat pendidikan pekerja informal yang pada umumnya belum maksimal, mengakibatkan tingkat literasi dan kemampuan mencerna informasi yang masih kurang baik. Untuk itu perlu adanya inovasi dan strategi agar pemerintah bisa melakukan transfer knowledge kepada masyarakat informal dengan mudah dan dapat dipahami.  
  • Mendistribusikan alat kesehatan, bahan makanan dan utilisasi hand washing station di tempat tinggal mereka. Hal ini sangat penting untuk dilakukan pada tahap awal pandemi demi meminimalisir jumlah kasus positif dari kelompok pekerja informal.
  • Memberikan bantuan uang tunai darurat yang berkelanjutan selama pandemi berlangsung kepada pekerja informal, mengingat mereka tidak dapat bekerja dengan optimal. Bantuan uang tunai dirasa sangat praktikal dan efektif dalam rangka mendukung kondisi finansial para pekerja informal.
  • Memberikan kemudahan berupa penangguhan uang sewa bagi mereka yang tinggal di rumah sewa, dan juga memberikan penangguhan pinjaman bagi mereka yang memiliki pinjaman ke bank atau ke skema kredit lainnya. Hal tersebut dirasa perlu untuk dipertimbangkan karena pada umumnya, mereka adalah pekerja harian yang tidak memiliki penghasilan yang pasti. Pada masa wabah seperti ini, secara otomatis penghasilan mereka akan terhenti sebagai akibat dari intervensi kebijakan seperti social distancing dan lockdown. Sedangkan tagihan mereka? Akan terus berjalan.  
  • Menjalin kerjasama dengan Community Based Organization (CBO) atau organisasi berbasis masyarakat, untuk berdiskusi dalam rangka mempelajari apa yang masyarakat informal butuhkan. Dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang bottom-up agar intervensi pemerintah bagi masyarakat informal di masa-masa seperti ini menjadi efektif, efisien dan tepat guna.
  • Melakukan isolasi sosial pada kawasan permukiman pekerja informal selama beberapa waktu demi pencegahan penularan pandemi COVID-19 yang lebih masif lagi.
  • Melakukan peninjauan kembali kebijakan yang telah diberlakukan selang beberapa waktu untuk melihat apakah kebijakan dan intervensi yang sudah diberlakukan dapat bekerja secara efektif dan efisien bagi masyarakat informal. Jika iya, intervensi dapat dilanjutkan. Namun jika tidak, perlu adanya inovasi dan strategi baru yang lebih tepat guna.  

Tentu saja, dalam menerapkan upaya-upaya tersebut di atas, akan banyak tantangan dan kesulitan yang akan dihadapi. Baik dari sisi pemerintah maupun dari sisi masyarakat. Untuk itu, koordinasi yang baik antara lapisan tingkat pemerintah, serta pendistribusian informasi yang tepat kepada masyarakat informal sangat diperlukan untuk meminimalisir kemungkinan timbulnya friksi antar golongan.

Daftar Pustaka

Department of Global Communications of The United Nations. 2020. UN Working to Ensure Vulnerable Groups Not Left Behind in COVID-19 Response. https://www.un.org/en/un-coronavirus-communications-team/un-working-ensure-vulnerable-groups-not-left-behind-covid-19

The Regional Risk Communication and Community Engagement (RCCE). 2020. COVID-19: How to Include Marginalized and Vulnerable People in Risk Communication and Community Engagement.https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/COVID19_CommunityEngagement_130320.pdf

Informal Economy Podcast: Social Protection. 2020. Woman in Informal Employment: Globalizing and Organizing (WIEGO). https://soundcloud.com/informaleconomypodcastsp/13-protecting-informal-workers-amid-the-global-pandemic-covid-19-edition