Pos

Pertanian Indonesia Terancam Fenomena El Nino

Oleh: Arszandi Pratama, S.T., M.Sc., Akhmad Abrar A.H. S.T., Tike Aprillia S.T, Warid Zul Ilmi, S.P.W.K., dan Dandy Muhamad Fadilah, S.T.

Pertanian Indonesia Terancam Fenomena El Nino

Indonesia di prediksi akan terjadi fenomena perubahan cuaca ekstrem di tahun 2023. Dalam prediksi Badan Meteorologi Klmatologi dan Geofiisika (BMKG), musim kemarau akan berlangsung kering karena El Nino di Tahun 2023. Fenomena tersebut terjadi karena aliran masa udara bergerak ke Samudera Pasifik. Bagaimana prediksi El Nino di Indonesia? Sektor apa yang paling berdampak? Yuk kita bahas.

El Nino adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada 2-7 tahun dan bertahan hingga 12-15 bulan. Ciri-ciri terjadi El Nino adalah meningkatnya suhu muka laut di kawasan Pasifik secara berkala dan meningkatnya perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti (Taufiq & Marnita, 2011)

Beberapa faktor penyebab terjadinya El Nino dan La Nina diantaranya anomali suhu yang mencolok di perairan samudera pasifik, melemahnya angin passat (trade winds) di selatan pasifik yang menyebabkan pergerakan angin jauh dari normal, kenaikan daya tampung lapisan atmosfer yang disebabkan oleh pemanasan dari perairan panas dibawahnya. Hal ini terjadi di perairan peru pada saat musim panas, serta adanya perbedaan arus laut di perairan samudera pasifik (Tjasyono, 2002).

Lebih lengkapnya, El Nino adalah peristiwa memanasnya suhu air permukaan laut di pantai barat Peru, Equador (Amerika Selatan) yang mengakibatkan gangguan iklim secara global. Biasanya suhu air permuakaan laut di daerah dingin, karena adanya ”up welling” arus dari dasar laut menuju permukaan. Proses Terjadinya El Nino Indonesia adalah pada saat-saat tertentu air laut yang panas dari perairan Indonesia bergerak ke arah timur menyusuri equator, hingga sampai ke pantai barat Amerika Selatan (Peru-Bolivia). Pada saat yang bersamaan, air laut yang panas dari pantai Amerika Tengah bergerak ke arah selatan, hingga sampai ke pantai barat Peru, Equador. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pertemuan antara air laut yang panas dari Indonesia dengan air laut yang panas dari Amerika Tengah di pantai barat Peru-Equador. 

Selanjutnya, dengan berkumpulnya massa air laut panas dalam jumlah yang besar dan menempati daerah yang luas. Permukaan air laut yang panas tersebut, kemudian menularkan panasnya pada udara di atasnya, sehingga udara di daerah itu memuai ke atas (konveksi), dan terbentuklah daerah bertekanan rendah, di pantai barat Peru, Equador. Akibatnya angin yang menuju Indonesia hanya membawa sedikit uap air, sehingga terjadilah musim kemarau yang panjang.

Lalu, sektor apa yang sangat rentan dengan fenomena iklim ini?

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Global Information and Early Warning System on Food and Agriculture (GIEWS) memprediksi kondisi kering di Indonesia akan berlangsung dari Juni 2023 hingga Januari 2024. Mereka juga memperingatkan Indonesia untuk segera menyusun rencana penanggulangan fenomena El Nino yang akan berdampak besar terhadap sektor pertanian.

Fenomena tersaebut diperparah dengan dengan kemunculan Indian Ocean Dipole (IPD) positif, menghangatnya muka air barat Samudra Hindia, yang diperkirakan muncul sepanjang Juni-September 2023. Kombinasi keduanya berpotensi menurunkan curah hujan secara ekstrem hingga 200 milimeter (mm) per bulan dan dapat berdampak kepada pertumbuhan produksi padi lebih dari minus lima persen.

Fenomena iklim yang mengelilingi kepulauan Indonesia ini menyimpan bahaya laten terhadap resiliensi pertanian ke depan. Kemarau yang berkepanjangan akan mengganggu produksi musim tanam padi pada April-Juli dan menggeser awal musim tanam utama November-Maret.

Hal yang harus diwaspadai petani dari fenomena el nino

  1. Kekeringan: El Nino sering dikaitkan dengan peningkatan suhu permukaan laut dan penurunan curah hujan di beberapa wilayah. Hal ini dapat menyebabkan kekeringan yang berkepanjangan, mengurangi ketersediaan air untuk pertanian. Tanaman membutuhkan air yang cukup untuk tumbuh dengan baik, dan kekurangan air dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan mengurangi hasil panen.
  2. Gangguan Musim Tanam: El Nino dapat mengganggu musim tanam dan mengubah pola cuaca yang biasanya terjadi. Perubahan ini dapat menyebabkan penundaan dalam penanaman tanaman, penurunan luas tanam, atau bahkan kegagalan panen. Petani perlu memperhatikan perubahan cuaca yang terkait dengan El Nino agar dapat menyesuaikan jadwal tanam mereka.
  3. Penyakit dan Hama: El Nino dapat mempengaruhi persebaran penyakit dan hama tanaman. Perubahan kondisi cuaca dapat menciptakan lingkungan yang lebih menguntungkan bagi beberapa penyakit dan hama. Ini dapat menyebabkan penyebaran yang lebih cepat dan lebih luas dari serangan penyakit dan hama, yang dapat merusak tanaman dan mengurangi hasil panen.
  4. Penurunan Kualitas Tanaman: Kondisi cuaca yang ekstrem yang terkait dengan El Nino, seperti suhu yang tinggi dan kekurangan air, dapat menyebabkan penurunan kualitas tanaman. Buah-buahan dan sayuran yang tumbuh dalam kondisi yang tidak ideal cenderung memiliki ukuran yang lebih kecil, rasa yang kurang enak, dan kualitas yang buruk secara keseluruhan.
  5. Ketidakstabilan Pasar: Perubahan dalam produksi pertanian akibat El Nino dapat menyebabkan ketidakstabilan pasar. Jika panen berkurang atau gagal, pasokan dapat berkurang, yang dapat menyebabkan kenaikan harga dan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan. Hal ini dapat mempengaruhi petani, pedagang, dan konsumen secara keseluruhan.

Pencegahan yang tepat untuk sektor pertanian

Untuk mengurangi dampak El Nino, penting bagi petani dan pemangku kepentingan dalam sektor pertanian untuk memantau perkembangan cuaca dan mengambil langkah-langkah tindakan pencegahan yang tepat, antara lain: 

  1. Pemantauan Cuaca: Penting untuk terus memantau perkembangan cuaca dan memperhatikan peringatan dini terkait El Nino. Dengan memahami perubahan pola cuaca yang terkait dengan El Nino, petani dapat mengatur jadwal penanaman, irigasi, dan pemeliharaan tanaman secara lebih efektif.
  2. Konservasi Air: Mengingat El Nino dapat menyebabkan kekeringan, konservasi air menjadi sangat penting. Petani perlu mengadopsi teknik irigasi yang efisien, seperti tetes air atau irigasi berkebun yang tepat sasaran, untuk menghemat air. Mereka juga dapat mempertimbangkan pengumpulan air hujan atau penggunaan sumber air alternatif jika memungkinkan.
  3. Diversifikasi Tanaman: Pertanian yang lebih beragam dapat membantu mengurangi risiko terhadap gangguan iklim. Petani dapat mempertimbangkan menanam varietas tanaman yang lebih tahan terhadap kondisi kering atau panas. Diversifikasi tanaman juga dapat membantu mengurangi risiko kegagalan panen total jika satu jenis tanaman terpengaruh oleh El Nino.
  4. Manajemen Penyakit dan Hama: El Nino dapat mempengaruhi persebaran penyakit dan hama tanaman. Petani perlu memperhatikan peningkatan risiko serangan penyakit dan hama selama periode El Nino. Langkah-langkah pengendalian yang tepat, seperti penggunaan pestisida yang efektif dan penerapan praktik pertanian yang baik, dapat membantu mengurangi kerugian yang disebabkan oleh serangan tersebut.
  5. Penggunaan Teknologi dan Informasi: Pemanfaatan teknologi pertanian dan informasi cuaca dapat membantu petani dalam mengatasi dampak El Nino. Misalnya, penggunaan sensor tanah untuk mengukur kelembaban tanah, penggunaan aplikasi cuaca untuk memantau perubahan cuaca, atau memanfaatkan sistem peringatan dini dapat membantu petani mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi El Nino.
  6. Dukungan Pemerintah dan Lembaga Terkait: Penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk memberikan dukungan kepada petani dalam menghadapi dampak El Nino. Ini dapat meliputi penyediaan informasi, bantuan keuangan, pelatihan, atau bantuan teknis dalam pengelolaan pertanian yang berkelanjutan.

Referensi

  1. https://tanamanpangan.pertanian.go.id/detil-konten/iptek/152. Diakses pada 16 Mei 2023.
  2. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20230127145744-199-905682/bmkg-prediksi-el-nino-hampiri-ri-bikin-kemarau-2023-lebih-kering. Diakses pada 16 Mei 2023.
  3. Sani Safitri. 2015. EL NINO, LA NINA Dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Di Indonesia. Jurnal Criksetra Volume 4 No.8. FKIP Universitas Sriwijaya.
  4. https://www.kompas.id/baca/opini/2023/05/15/menjaga-asa-petani-menghadapi-el-nino. Diakses pada 16 Mei 2023.

Isu Lintas Sektor dalam RENAS PB

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Isu lintas sektor merupakan perspektif yang digaungkan di dalam RENAS PB dengan mengutamakan prinsip bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan sehingga tidak ada satu orang pun yang harus merasa terabaikan (no one left behind). Isu ini menjadi penting mengingat penanggulangan bencana merupakan hal yang tidak dapat diselesaikan oleh satu orang ataupun satu pihak saja, melainkan menjadi tanggung jawab bersama. Selain itu, pelibatan seluruh pihak secara inklusif juga merupakan bentuk penghormataan dari individu serta bagi masyarakat yang tinggal di Indonesia yang memiliki hak untuk berperan aktif terlibat dalam berbagai perencanaan yang terdapat di Indonesia.

Pengarusutamaan Gender

Isu pengarusutamaan gender menjadi salah satu pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan perencanaan di bidang kebencanaan. Isu ini diprakarsai dari konferensi perempuan sedunia yang dilaksanakan di Beijing pada tahun 1995 dan telah menjadi strategi utama ke dalam seluruh bidang dan sektor pembangunan untuk dapat mendorong kesetaraan gender. Pemerintah juga kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Dalam aspek kebencanaan, seluruh strategi yang berkaitan dengan penanggulangan bencana disusun dengan melibatkan peran laki-laki dan perempuan baik dalam proses pengembangan, implementasi, monitoring, dan evaluasi. Berdasarkan Perka BNPB Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender di bidang Penanggulangan Bencana, pengarusutamaan gender dilakukan dengan menggunakan 4 aspek, yaitu: akses, partisipasi, kontrol terhadap sumber daya dan pengambilan keputusan, serta manfaat dari kebijakan dan program.

Pengarusutamaan Disabilitas

Pemerintah mendefinisikan penyandang disabilitas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Terkait dengan penanggulangan bencana, isu-isu yang berkaitan dengan pengarusutamaan disabilitas telah diatur dalam Perka BNPB Nomor 14 Tahun 2014 tentang Penanganan, Perlindungan, dan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana. Setiap penyandang disabilitas berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang tidak manusiawi, penyiksaan, eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan prinsip kesamaan hak, termasuk memperoleh pelayanan sosial dalam rangka kemandirian.

Dalam rangka pemenuhan hak dan kebutuhan penyandang disabilitas, maka kebijakan, program, dan kegiatan dalam semua aspek penyelenggaraan penanggulangan bencana wajib melaksanakan:

  • Penyediaan kemudahan akses bagi penyandang disabilitas, baik kemudahan akses fisik maupun non fisik. Kemudahan akses fisik antara lain terkait dengan sarana, prasarana, dan perlengkapan fisik. Sementara kemudahan akses non fisik antara lain terkait dengan penyediaan layanan dan penyediaan akses informasi (termasuk informasi peringatan dini).
  • Pelibatan penyandang disabilitas secara aktif dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta dalam Forum Pengurangan Risiko Bencana, baik secara perorangan maupun organisasi/lembaga penyandang disabilitas.
  • Pengembangan aspek kemandirian penyandang disabilitas melalui pengembangan kapasitas.

Perlindungan Anak

Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Perlindungan anak secara khusus diberikan pada situasi darurat, termasuk anak korban bencana dan anak yang menjadi pengungsi. Perlindungan yang diberikan adalah dalam bentuk pemberian jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembang anak. Bentuk perlindungan lain yang diberikan adalah pemenuhan kebutuhan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan (fisik dan mental/psikososial) yang rentan terabaikan bagi anak pada kondisi darurat bencana terutama dari sembilan kebutuhan dasar Anak yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan.


Bahan Bacaan

  • Buku Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2014
  • Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
  • Perka BNPB Nomor 14 Tahun 2014 tentang Penanganan, Perlindungan, dan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Upaya Pengarusutamaan RENAS PB bagi Para Stakeholder

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) dan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (RENAS PB) penting untuk dapat diintegrasikan dalam rangka mendukung pembangunan nasional. Nantinya, kedua rencana ini diharapkan akan dapat menjadi pedoman nasional penyelenggaraan penanggulangan bencana. Untuk itu, diperlukan sebuah upaya pengarusutamaan agar upaya pengurangan risiko bencana dapat terintegrasi dengan baik ke dalam berbagai aspek pembangunan nasional. Mekanisme pengarusutamaan dibutuhkan untuk memperjelas konektivitas kebijakan, strategi dan aksi penanggulangan bencana pada Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (RENAS PB) dan sekaligus mekanisme penerapannya pada tiap-tiap komponen pelaku RENAS PB.

Kerangka pengarusutamaan RENAS PB yang dilakukan oleh BNPB dilaksanakan dalam beberapa perspektif, yakni regulasi, anggaran, substansi, serta pelibatan lembaga non pemerintah dan lembaga dunia usaha. Dari segi regulasi, berupa aturan hukum yang mampu menjembatani kebijakan lintas sektor dan lintas institusi. Untuk dapat mengikat komitmen antar pihak yang terlibat, maka RENAS PB juga ditandatangani oleh para Menteri/kepala lembaga pemerintah yang terkait. Dari segi anggaran, kebijakan dan alokasi anggaran untuk mengimplementasikan RENAS PB perlu mendapat dukungan dari Kementerian Keuangan dalam bentuk aturan bersama antara bNPB dengan Kementerian Keuangan. Dari segi substansi, diperlukan kesesuaian RENAS PB dengan tupoksi lembaga-lembaga yang terkait. Selain itu, pemilihan stakeholder perlu dilakukan berdasarkan kajian institusi serta perlu untuk mempertimbangkan isu-isu yang mungkin berkembang. Perwakilan dari tiap stakeholder dapat ditempatkan pada sekretariat RENAS PB. Dari segi lembaga non pemerintah, kerangka pengarusutamaan dilaksanakan dalam persepektif pengakuan eksistensi entitas non pemerintah dalam upaya pencapaian sasaran RENAS PB. Sementara untuk lembaga dunia usaha, pemerintah akan melakukan pendekatan corporate citizenship yang menginternalisasikan kontribusi dunia usaha dengan pola business process-nya masing-masing.

Skematik Kerangka Pengarusutamaan RENAS PB

Sumber: Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024

Seperti diketahui bahwa perspektif kebencanaan secara global kini telah berubah, dari yang awalnya merupakan langkah responsive dan tanggap darurat, kini telah berubah menjado preventif, sehingga pengarusutamaan aspek kebencanaan dalam setiap aspek perencanaan pembangunan menjadi penting. Pengarusutamaan kebencanaan melalui RENAS PB membutuhkan sebuah perangkat untuk dapat melaksanakan amanat yang tertuang di dalamnya. Dilansir dari portal BNPB, Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana BNPB, Agus Wibowo, menyatakan bahwa dalam rangka implementasi RIPB dan Renas PB, perlu untuk membentuk tim koordinasi nasional atau sekretariat Renas PB bagi semua stakeholder dan membuat pedoman teknis untuk mengimplementasikan RIPB dan Renas PB serta pembentukan sekretariat daerah.

Pengarusutamaan RENAS PB dilaksanakan oleh sebuah Sekretariat RENAS PB lintas kementerian dan lembaga dibawah koordinasi Steering Committee (SC). Steering Committee merupakan pengambil kebijakan di level manajerial
yang perlu menjadi bagian tidak terpisahkan pada sekretariat RENAS PB. Keanggotaan Sekretariat RENAS PB berasal dari wakil kementerian/lembaga serta unsur akademisi, praktisi, media, filantropi/bisnis dan perhimpunan Organisasi Masyarakat Sosial (OMS). Adapun sekretariat RENAS PB memiliki tugas untuk:

  1. Memfasilitasi proses pengarusutamaan RENAS PB sesuai dengan kerangka yang telah ditetapkan
  2. Memfasilitasi Dashboard untuk mendukung proses monitoring, evaluasi dan pembaruan RENAS PB sesuai dengan kerangka yang telah ditetapkan
  3. Memfasilitasi kolaborasi non pemerintah

Adapun perangkat lain untuk menunjang Sekretariat RENAS PB adalah dashboard. Penggunaan dashboard difungsikan untuk dapat memperlihatkan progress serta memberikan informasi terkini terkait ketercapaian outcome RENAS PB dan isu lintas sektor yang berkembang dalam pelaksanaan RENAS PB. Pengumpulan data pada dashboard dapat dilakukan berdasarkan: kesamaan fungsi, kesamaan tahap pada manajemen penanggulangan bencana, serta kesamaan tugas pokok dan fungsi.

Skema kelompok pengarusutamaan RENAS PB melalui Sekretariat RENAS PB dilakukan melalui 2 upaya, yakni melalui kelompok stakeholder dan melalui strategi komunikasi. Pengarusutamaan melalui kelompok stakeholder akan ditujukan kepada kelompok pemerintah dan pemerintah daerah; akademisi, pakar, dan ahli; lembaga usaha, bisnis, dan filantropi; organisasi masyarakat sipil; dan lembaga media. Sedangan pengarusutamaan melalui strategi komunikasi akan dibangun dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti kepedulian (awareness), ketertarikan (interest), inisiatif mencari dan mengenal (searching), menciptakan aksi (action), dan berbagi (sharing).

Strategi Komunikasi Pengarusutamaan RENAS PB 2020-2024

Membangun
AWARENESS
Menciptakan INTERESTInisiatif
SEARCHING
Menciptakan
ACTION
Melakukan
SHARING
Menciptakan pengenalan RENAS PBMembangun ketertarikanMenyediakan sarana informasiMendorong partisipan pelakuPembelajaran dan praktik
Memahami hambatan dan tantanganMenguraikan manfaat timbal balikMenyediakan data yang dibutuhkanMenyediakan paket-paket kegiatan dan panduannyaPenyelenggaraan forum berbagi antar pemangku kepentingan
Memperkenalkan saran, aksi, dan indicator PBMenjelaskan pola kesertaan dan kontribusiMenyediakan pernagkat pendukung advokasiMenetapkan indeks keberhasilan pelaksanaanMemanfaatkan dokumentasi sebagai sumber percontohan
Menjelaskan manfaat dan hasil yang diharapkanMenguraikan insentif programMenetapkan jenis media sebagai sumber informasiMelakukan dokumentasi, koordinasi, pengawasan dan evaluasiPemaparan evaluasi dan koreksi

Sumber: Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana
  • Buku Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2014
  • BNPB. 2021. “Integrasi RIPB dan Renas Penangggulangan Bencana dalam Pembangunan Nasional”. Diakses 4 Agustus 2021 dari https://www.bnpb.go.id/berita/integrasi-ripb-dan-renas-penangggulangan-bencana-dalam-pembangunan-nasional

Mengenal Rencana Nasional Penanggulangan Bencana

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (RENAS PB) merupakan dokumen penjabaran yang lebih detil dari RIPB (Rencana Induk Penanggulangan Bencana) dan RPJM Nasional Periode ke-IV. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana merupakan rencana yang memuat kebijakan dan strategi serta pilihan tindakan untuk mencapai sasaran penyelenggaraan penanggulangan bencana di tingkat nasional dalam kurun 5 tahun. RENAS PB menjadi acuan bagi pemerintah pusat untuk memfasilitasi peningkatan ketahanan daerah sekaligus memberikan dasar bagi pemerintah daerah menyusun perencanaan penanggulangan bencana di daerahnya masing-masing. Adapun kedudukan RENAS PB dalam sistem perencanaan nasional adalah sebagai berikut:

Kedudukan Dokumen Rencana Nasional Penanggulangan Bencana dalam Sistem Perencanaan Nasional

Sumber: Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024

Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa RENAS PB menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun dan menetapkan RPB Daerah. RENAS PB berperan sebagai masukan dalam proses penyusunan RPJMD, khususnya dalam sektor penanggulangan bencana, termasuk dalam merancang pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM) Sub-urusan Bencana. RENAS PB menjadi dasar bagi perencanaan teknis yang lebih detail terkait penyelenggaraan penanggulangan bencana tingkat nasional. RENAS PB meliputi pengenalan dan pengkajian ancaman, pemahaman tentang kerentanan masyarakat, analisis kemungkinan dampak bencana, pilihan tindakan pengurangan risiko bencana, penentuan mekanisme kesiapan penanggulangan dampak dan pengendalian ancaman bencana, serta alokasi tugas, kewenangan dan sumberdaya yang tersedia.

Kedudukan Dokumen Rencana Nasional Penanggulangan Bencana dalam Sistem Penanggulangan Bencana

Sumber: Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024

Komponen-komponen perencanaan pada penyusunan RENAS PB tersebut diperoleh dari berbagai referensi, baik yang bersifat teknokratis mau pun politis. Referensi teknis yang digunakan dalam penyusunan RENAS PB adalah Sendai Frameworks for Disaster Risk Reduction (SFDRR-Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana), dan Sustainable Development Goals (SDGs-Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan). RPJPN dan RPJMN. Sedangkan referensi yang bersifat politis adalah Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), RPJMN 2020-2024 dan RIPB 2020-2044. RENAS PB berlaku untuk multibahaya dan terbatas pada tatanan kebijakan, rencana, program secara komprehensif. Dibutuhkan perencanaan yang lebih mendetail untuk perencanaan teknis pada masa aman, masa siaga, masa krisis dan darurat serta masa rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Perencanaan detail tersebut tetap harus mengacu pada koridor dan petunjuk yang telah diberikan dalam RENAS PB.

Penyusunan RENAS PB dilaksanakan dengan mengasumsikan beberapa kondisi dasar lingkungan perencanaan. Asumsi ini diambil untuk memberikan ruang penyesuaian terhadap berbagai kemungkinan perubahan sistem yang sedang terjadi antara lain revisi Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Reformasi (Penguatan) Sistem Ketahanan Bencana, serta Penanganan Darurat Bencana Non-alam Covid-19. Penyusunan RENAS PB melibatkan 28 kementerian/lembaga dan berbagai institusi non pemerintah di tingkat pusat di bawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Tahapan Arah Kebijakan Penanggulangan Bencana Tahun 2005 hingga 2025

Tahapan Pembangunan pada RPJPN 2005-2025Skala Prioritas PembangunanArah Kebijakan Penanggulangan Bencana
RPJMN 2005-2009Menata kembali NKRI, membangun Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baikMembangun KOMITMEN bangsa dalam penanggulangan bencana
RPJMN 2010-2014Memantapkan penataan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan Iptek, memperkuat daya saing perekonomianMeletakkan DASAR SISTEM penanggulangan bencana
RPJMN 2015-2019Memantapkan pembangunan secara keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang ber-kualitas, serta kemampuan iptekMeningkatkan Efektivitas Penang-gulangan bencana
RPJMN 2020-2024Mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompe-titif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saingPeningkatan Ketangguhan Bencana Menuju Kesejahteraan yang Berketahanan untuk Pembangunan Berkelanjutan

Sumber: Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024

Di dalam RIPB, visi penanggulangan bencana tahun 2020-2040 di Negara Indonesia adalah untuk “Mewujudkan Indonesia Tangguh Bencana untuk Pembangunan Berkelanjutan”. RENAS PB menjabarkan visi tersebut ke dalam arah kebijakan yang lebih detil untuk kurun waktu 2020 hingga 2024, yaitu adalah “Peningkatan Ketangguhan Bencana menuju Kesejahteraan yang Berketahanan untuk Pembangunan Berkelanjutan”. Dalam arah kebijakan tersebut, tangguh bencana bermakna bahwa Indonesia mampu menahan, menyerap, beradaptasi, dan memulihkan diri dari akibat bencana dan perubahan iklim secara tepat waktu, efektif, dan efisien. Disebutkan pula bahwa peningkatan ketangguhan bencana perlu mengikuti perkembangan teknologi yang ada, seperti pengkolaborasian dengan Big Data sehingga diharapkan agar tercipta teknologi penanggulangan bencana serta sistem pendukung keputusan yang cepat, akurat, dan handal.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana
  • Buku Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2014

Lingkup Kegiatan Pengembangan Desa Tangguh Bencana

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Dalam rangka meningkatkan kapasitas desa terhadap bencana, pemerintah menggagas Program Desa Tangguh Bencana yang dapat dilakukan dan dipersiapkan pada fase tidak terjadi bencana. Untuk membentuk atau mengembangkan Desa Tangguh Bencana, diperlukan kolaborasi dan partisipasi dari seluruh pihak, terutama masyarakat desa, untuk dapat mengupayakan kegiatan pengurangan risiko bencana dengan maksimal. Hal ini dikarenakan masyarakat adalah aset penting yang perlu dijaga dan ditingkatkan kapasitasnya. Adapun terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan ketika akan mengembangkan Desa/kelurahan Tangguh Bencana, yaitu:

Pengkajian Risiko Desa

Dalam mengembangkan desa/kelurahan tangguh bencana, seluruh stakeholder harus mengadakan pengkajian atas risiko bencana yang ada di desa/kelurahan sasaran. Pengkajian risiko bencana terdiri atas tiga komponen penting, yakni penilaian atau pengkajian ancaman, kerentanan, dan kaapsitas/kemampuan. Terdapat beberapa perangkat yang dapat digunakan untuk melakukan pengkajian risiko yang dapat dipelajari oleh perangkat desa dalam mengkaji daerahnya.

Perencanaan PB dan Perencanaan Kontinjensi Desa/Kelurahan

Desa/Kelurahan perlu menyusun Rencana Penanggulangan Bencana Desa/Kelurahan dan Rencana Kontinjensi Desa/Kelurahan. RPB Desa merupakan rencana strategis untuk mobilisasi sumber daya berbagai stakeholder. Jenis rencana ini harus disusun bersama masyarakat. Agar pelaksanaannya dapat melibatkan seluruh pemangku kepentingan, maka diperlukan sebuah payung hukum pelindung berupa Peraturan Desa atau perangkat lain yang setingkat di kelurahan.

Sedangkan Rencana Kontinjensi merupakan rencana yang disusun untuk menghadapi suatu situasi krisis yang diperkirakan akan segera terjadi, tetapi dapat pula tidak terjadi. Rencana kontinjensi mengidentifikasi tindakan-tindakan yang harus diambil oleh masing-masing pihak yang dilibatkan dalam penanganan krisis/bencana berikut sumber daya yang akan digunakan. Rencana kontinjensi hanya digunakan pada satu jenis bencana saja.

Pembentukan Forum PRB Desa/Kelurahan

Forum Pengurangan Risiko Bencana dapat dibentuk secara khsuus atau dengan mengembangkan kelompok yang telah ada di desa/kelurahan. Forum ini tidak menjadi bagian dari struktur resmi pemerintah desa/kelurahan, tetapi pemerintah dapat terlibat di dalamnya bersama dengan komponen masyarakat sipil lainnya. Pembentukan forum PRB di desa/kelurahan perlu memperhatikan hal-hal berikut:

  • Menghadirkan dan menyuarakan kepentingan kelompok rentan serta kelompok yang terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan
  • Keterwakilan seluruh unsur masyarakat dan keikutsertaan kelompok marjinal dalam kepengurusan
  • Penjaminan agar forum dapat memiliki kelompok kerja yang kompak, efektif, dapat dipercaya dan kreatif
  • Forum perlu menyusun rencana kerja yang realistis dan dapat dikerjakan, lengkap dengan prioritas rencana aksi masyarakat serta sumber penganggarannya

Perka BNPB menyatakan bahwa forum PRB Desa/Kelurahan perlu diberi kewenangan yang cukup dan status hukum yang pasti, sehingga dapat menjalin kerjasama dan hubungan kelembagaan yang baik dengan pemerintah desa/kelurahan serta pemangku kepentingan lainnya. Selain forum PRB, desa/kelurahan dapat pula membentuk Tim Siaga Bencana Masyarakat yang dapat berasal dari masyarakat relawan ataupun anggota forum PRB. Tim ini dapat terlibat secara aktif dalam kegiatan upaya pengurangan risiko bencana ataupun sebagai tim tanggap darurat pada fase saat terjadi bencana atau pada fase pasca bencana.

Peningkatan Kapasitas Warga dan Aparat Penanggulangan Bencana

Kapasitas warga dan aparat penanggulangan bencana yang ada di desa/kelurahan penting untuk ditingkatkan guna menciptakan Desa Tangguh Bencana yang berkapasitas tinggi. Bentuk penguatan kapasitas dapat dilakukan dengan mengadakan kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat atau perguruan tinggi melalui lokakarya atau lokalatih. Topik yang dapat diberikan antara lain pengorganisasian masyarakat, kepemimpinan, manajemen organisasi masyarakat, serta topik terkait lainnya. Sementara topik yang berkaitan dengan PRB dapat berupa pelatihan dalam pemetaan ancaman, HVCA (Hazard, Vulnerability and Capacity Assessments), PRA (Participatory Rural Appraisal) atau Penilaian Pedesaan Partisipatif, serta metode-metode terkait lainnya yang dibutuhkan. Selain itu, peningkatan kapasitas juga dapat dilakukan dengan pemenuhan penyediaan peralatan atau perangkat sistem peringatan dini serta kesiapsiagaan bencana yang terjangkau.

Pemaduan PRB ke dalam Rencana Pembangunan Desa dan Legalisasi

Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012 menyatakan bahwa Rencana Penanggulangan Bencana di desa/kelurahan yang telah disusun perlu untuk diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Desa. Hal ini dilakukan agar pendanaan menjadi lebih mudah untuk didapatkan karena program-program dalam RPB tidak harus bersaing dengan program-program pembangunan desa lainnya. Forum PRB Desa diharapkan dapat berperan dalam mendorong proses pengintegrasian aspek-aspek dalam RPB Desa ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), sehingga RPJMDes akan mengandung pendekatan pengurangan risiko bencana sehingga peluang adanya jaminan pendanaan bagi program-program PRB akan di desa menjadi lebih besar.

Pelaksanaan PRB di Desa/kelurahan

Perencanaan penanggulangan bencana serta rencana kontinjensi desa/kelurahan yang telah dirumuskan sebelumnya perlu untuk diimplementasikan oleh seluruh warga. Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan pendanaan dan alokasi sumber daya yang memadai untuk dapat melaksanakan upaya pengurangan risiko bencana secara menyeluruh.

Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan

Desa Tangguh Bencana perlu memiliki sistem yang baik, terstruktur, dan terarah. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan pula sistem pemantauan, evaluasi, dan pelaporan yang baik. Secara umum, kegiatan pemantauan dan evaluasi dilakukan secara terpisah, dengan frekuensi kegiatan pemantauan yang dilakukan lebih banyak dari kegiatan evaluasi.

Kegiatan pemantauan dilakukan untuk mengamati apakah kegiatan program yang telah dirumuskan dapat dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Kegiatan pemantauan dapat dilakukan dengan melakukan asistensi pelaksanaan program yang dapat membantu mengarahkan pelaksanaan program

Kegiatan evaluasi bertujuan untuk menilai keseluruhan pencapaian sasaran atau hasil program yang sesuai dengan indicator atau target yang direncanakan. Kegiatan evaluasi dapat dilakukan beberapa kali dalam masa implementasi program. Kegiatan evaluasi secara khusus diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan penting seperti:

  • Apakah program telah memberikan kontribusi untuk pengurangan risiko?
  • Apakah program telah berkontribusi pada mitigasi ancaman?
  • Apakah program dapat menghilangkan atau mengurangi kerentanan dan mengembangkan kapasitas atau kemampuan masyarakat ataupun apparat pemerintah pada berbagai tingkat?
  • Apakah program berhasil memobilisasikan sumber daya setempat untuk upaya-upaya pengurangan risiko bencana?
  • Apakah ada komitmen dari pemerintah desa, kelurahan, kabupaten, kota, dan provinsi dalam keberlanjutan program?

Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Desa Tangguh Bencana

Kriteria Desa Tangguh Bencana

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Desa memiliki kewenangan untuk mengatur daerahnya, sehingga desa dapat membentuk dan meningkatkan kesiapsiagaan wilayahnya dengan membentuk Desa Tangguh Bencana. Desa Tangguh Bencana memiliki 3 kriteria yang menunjukkan tingkatannya dalam menerapkan upaya-upaya pengurangan risiko bencana, yakni utama, madya, dan pratama. Kriteria ini ditetapkan berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan secara bersama-sama, baik dengan tenaga fasilitator, pemerintah setempat, serta masyarakat itu sendiri.

Pembagian kriteria Desa Tangguh Bencana ditetapkan berdasarkan beberapa indikator yang akan didapatkan setelah desa/kelurahan menjalani asesmen berupa kuesioner yang terdapat pada Lampiran Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Desa Tangguh Bencana. Kriteria ini ditetapkan agar setiap desa dapat secara perlahan mampu mencapai kondisi ideal desa tangguh bencana.

Selain sebagai alat untuk mengukur tingkat ketangguhan secara sederhana, kuesioner juga dapat digunakan sebagai dasar atau acuan dalam pengembangan desa/kelurahan tangguh bencana. Hasil penilaian kuesioner menyajikan aspek-aspek yang masih kurang dan harus ditingkatkan, sehingga pengembangan desa atau kelurahan tangguh dapat mengarahakan upayanya secara lebih terfokus dan terpadu. Adapun hasil asesmen akan menghasilkan skoring yang akan menetapkan tingkatan desa tersebut dalam kriteria Desa Tangguh Bencana, yakni:

  • Desa atau Kelurahan Tangguh Bencana Utama (skor 51-60)
  • Desa atau Kelurahan Tangguh Bencana Madya (skor 36-50)
  • Desa atau Kelurahan Tangguh Bencana Pratama (skor 20-35)

Penyelenggaraan program Desa Tangguh Bencana membutuhkan tenaga fasilitator sebagai pendamping di masyarakat selama proses kegiatan pembentukan berlangsung, serta melibatkan pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai pengelola kegiatan secara menyeluruh yakni dari awal hingga akhir pembentukan serta komitmen untuk melakukan replikasi destana di desa/kelurahan lainnya. BPBD Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat menjadikan masyarakat dan fasilitator desa tangguh bencana sebagai aset daerah dalam upaya pengurangan risiko bencana di daerahnya.

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama

Merupakan tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh sebuah desa/kelurahan yang berpatispasi dalam program pengembangan Desa Tangguh Bencana. Adapun ciri dari desa ini adalah sebagai berikut:

  1. Adanya kebijakan PRB (Penanggulangan Risiko Bencana) yang telah dilegalkan dalam bentuk Peraturan desa atau perangkat hukum setingkat di kelurahan.
  2. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah dipadukan ke dalam RPJMDes dan dirinci ke dalam RKPDes.
  3. Adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, dan wakil pemerintah desa/kelurahan, yang berfungsi dengan aktif.
  4. Adanya tim relawan PB Desa/Kelurahan yang secara rutin terlibat aktif dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotannya dan masyarakat pada umumnya.
  5. Adanya upaya-upaya sistematis untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentatanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi prodfuktif alternatif untuk mengurangi kerentanan.
  6. Adanya upaya-upaya sistematis untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana.

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya

Merupakan tingkat menengah dari tiga kriteria Desa Tangguh Bencana. Adapun desa dengan tingkat Madya memiliki kriteria sebagai berikut:

  1. Adanya kebijakan PRB yang tengah dikembangkan di tingkat desa atau kelurhan.
  2. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah tersusun tetapi belum terpadu ke dalam instrumen perencanaan desa.
  3. Adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, tetapi belum berfungsi penuh dan aktif
  4. Adanya tim relawan PB Desa/Kelurahan yang terlibat dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya, tetapi belum rtin dan tidak terlalu aktif.
  5. Adanya upaya-upaya ntuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonom[1]i produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan, tetapi belum terlalu teruji.
  6. Adanya upaya-upaya untuk meningkatakan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana yang belum teruji dan sistematis.

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama

Merupakan tingkatan paling awal dari tiga kriteria Desa Tangguh Bencana, dalam arti, desa/kelurahan telah memiliki beberapa upaya dasar dalam pengurangan risiko bencana. Adapun desa dengan tingkat Pratama memiliki kriteria sebagai berikut:

  1. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun kebijakan PRB di tingkat desa atau kelurahan
  2. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun dokumen perencanaan PB
  3. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat
  4. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk tim relawan PB Desa/Kelurahan
  5. Adanya upaya-upaya awal untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan
  6. Adanya upaya-upaya awal untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana

Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
  • BNPB. 2016. “Perka BNPB No. 1/2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana”. Diakses 18 Juni 2021 dari https://bnpb.go.id/berita/perka-bnpb-no-1-2012-tentang-pedoman-umum-desa-kelurahan-tangguh-bencana

Pembentukan Desa Tangguh Bencana

Arszandi Pratama & Galuh Shita

Pembentukan Desa Tangguh Bencana tertuang dalam Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Secara umum, pembentukan desa ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas desa dalam menghadapi bencana. Keterlibatan seluruh stakeholder terkait, khususnya masyarakat desa, sangat penting untuk dapat diwujudkan. Hal ini dikarenakan masyarakat desa merupakan pemeran utama dari desa tangguh bencana sehingga mereka harus memahami dan mampu terlibat langsung dalam upaya pengurangan risiko bencana.

Upaya penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama seluruh stakeholder, yakni pemerintah, lembaga non-pemerintah, dunia usaha, dan yang terpenting adalah partisipasi aktif masyarakat. Hal ini sesuai dengan amanat yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Desa Tangguh Bencana (Destana) adalah desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan, sesuai dengan definisi yang tertuang di dalam Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Kemampuan mandiri memiliki arti serangkaian upaya yang dilakukan sendiri dengan memberdayakan dan memobilisasi sumber daya yang dimiliki masyarakat desa untuk mengenali ancaman dan risiko bencana yang dihadapi, meliputi juga evaluasi dan monitoring kapasitas yang dimilikinya.

Penyelenggaraan program Desa Tangguh Bencana membutuhkan tenaga fasilitator sebagai pendamping di masyarakat selama proses kegiatan berlangsung. Selain itu, melibatkan pemerintah daerah kabupaten/kota setempat, sebagai pengelola kegiatan secara menyeluruh yakni dari awal hingga akhir pembentukan serta komitmen untuk melakukan replikasi destana di desa/kelurahan lainnya. BPBD Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat menjadikan masyarakat dan fasilitator desa tangguh bencana sebagai aset daerah dalam upaya pengurangan risiko bencana di daerahnya.

Terdapat beberapa prinsip utama dalam pembentukan Desa Tangguh Bencana. Berdasarkan Perka BNPB, prinsip tersebut terdiri atas: bencana merupakan urusan bersama; berbasis pengurangan risiko bencana; pemenuhan hak masyarakat; masyarakat menjadi pelaku utama; dilakukan secara partisipatoris; mobilisasi sumber daya lokal; inklusif; berlandaskan kemanusiaan; keadilan dan kesetaraan gender; keberpihakan pada kelompok rentan; transparansi dan akuntabilitas; kemitraan; multi ancaman; otonomi dan desentralisasi pemerintahan; pemaduan ke dalam pembangunan berkelanjutan; dan diselenggarakan secara lintas sektor. Pemerintah juga mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 8357-2017 tentang Desa dan Kelurahan Tangguh Bencana dimana di dalamnya terdapat prinsip Desa Tangguh Bencana secara lebih ringkas, yakni:

  • Menggunakan pendekatan multi bahaya
  • Berlandaskan asas perlindungan masyarakat dan berfokus pada upaya pengelolaan risiko
  • Berpusat pada masyarakat
  • Pelibatan seluruh stakeholder
  • Berbasis ilmu pengetahuan dan kearifan lokal
  • Dilakukan berkala dan berkesinambungan
  • Akuntabilitas sosial
  • Integrasi ke dalam perencanaan pembangunan

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, dapat digarisbawahi bahwa upaya pengurangan risiko bencana melalui pembentukan desa bencana sebagian besar menekankan pada peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dengan melibatkan masyarakat desa sebagai pelaku utama. Masyarakat didorong untuk dapat terlibat aktif dalam seluruh proses, meliputi pengkajian, analisis, pemantauan, hingga evaluasi sehingga diharapkan akan dapat mengurangi risiko bencana yang terdapat pada wilayahnya dengan mampu memaksimalkan sumber daya lokal.

Secara umum, Desa Tangguh Bencana memiliki komponen-komponen pembentuk seperti berikut:

  • Legislasi, merupakan komponen penyusunan peraturan desa yang mengatur pengurangan risiko dan penanggulangan bencana di tingkat desa
  • Perencanaan, merupakan komponen penyusunan rencana penanggulangan bencana desa; rencana kontijensi bila menghadapi ancaman tertentu; serta rencana aksi pengurangan risiko bencana komunitas (yang menjadi bagian terpadu dari rencana pembangunan)
  • Kelembagaan, merupakan komponen pembentukan forum penanggulangan bencana desa/kelurahan yang berasal dari unsur pemerintah dan masyarakat, kelompok/tim relawan penanggulangan bencana di dusun, RT dan RW, serta pengembangan Kerjasama antar sektor dan pemangku kepentingan lainnya dalam mendorong upaya pengurangan risiko bencana
  • Pendanaan, merupakan komponen rencana mobilisasi dana dan sumber daya (dari APBD Kabupaten/Kota, APBDes/ADD, dana mandiri masyarakat dan sektor swasta atau pihak-pihak lain bila dibutuhkan)
  • Pengembangan kapasitas, merupakan komponen pelatihan, pendidikan, dan penyebaran informasi kepada masyarakat, khususnya kelompok relawan dan para pelaku penanggulangan bencana agar memiliki kemampuan dan berperan aktif sebagai pelaku utama dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana
  • Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, merupakan komponen kegiatan-kegiatan mitigasi fisik struktural dan non fisik; sistem peringatan dini; kesiapsiagaan untuk tanggap darurat; serta segala upaya pengurangan risiko melalui intervensi pembangunan dan program pemulihan, baik yang bersifat structural-fisik maupun non-struktural.

Pembentukan Desa Tangguh Bencana sangat mungkin untuk dilakukan, dengan syarat masyarakat mau dan mampu terlibat aktif. Diharapkan desa akan memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana dan memahami langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi risikonya. Pembentukan Desa Tangguh Bencana dimulai dengan melakukan analisis terhadap desa sasaran. Analisis dilakukan dengan menjawab beberapa kuesioner yang terdapat pada lampiran Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Nantinya, hasil kuesioner akan menghasilkan skoring yang akan menentukan kelas Desa Tangguh Bencana yang akan ditetapkan.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
  • Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 8357-2017 tentang Desa dan Kelurahan Tangguh Bencana
  • BNPB. 2017. “524 Desa Tangguh Bencana”. Diakses 19 Juli 2021 dari https://bnpb.go.id/berita/524-desa-tangguh-bencana
  • Antaranews. 2020. “Memperkuat mitigasi lewat desa tangguh bencana”. Diakses 19 Juli dari https://www.antaranews.com/berita/1850900/memperkuat-mitigasi-lewat-desa-tangguh-bencana

Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana: Tahap Prabencana

Galuh Shita

Tahap prabencana merupakan tahapan penting yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko bencana secara maksimal. Dengan rencana yang matang, diharapkan akan dapat meminimalisir dampak negatif dari kejadian bencana. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa tahap prabencana terbagi menjadi 2, yakni dalam situasi tidak terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Kegiatan yang dilakukan pada tahap prabencana sebaiknya dilakukan sedini mungkin dan dipersiapkan dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat sehingga proses eksekusi kegiatan dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

SITUASI TIDAK TERJADI BENCANA

Pada situasi tidak terjadi bencana, sebaiknya dapat melakukan upaya pengurangan risiko bencana dengan sebaik-baiknya. Hal yang penting untuk dipersiapkan pada situasi ini adalah mengenali seberapa besar risiko bencana yang ada serta mengenali seberapa besar tingkat kerentanan serta kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat yang tinggal di daerah tersebut sehingga dapat diambil langkah preventif serta persiapan yang dapat dilakukan. Lingkup kegiatan yang dilakukan pada keadaan ini adalah sebagai berikut:

Perencanaan Penanggulangan Bencana

Merupakan bagian dari perencanaan pembangunan dan disusun berdasarkan hasil analisis risiko bencana dan upaya penanggulangan bencana yang dijabarkan dalam program kegiatan penanggulangan bencana dan rincian anggarannya. Rencana penanggulangan bencana ditetapkan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah untuk jangka waktu 5 tahun dan ditinjau berkala setiap 2 tahun. Perencanaan penanggulangan bencana meliputi:

  1. pengenalan dan pengkajian ancaman bencana
  2. pemahaman tentang kerentanan masyarakat
  3. analisis kemungkinan dampak bencana
  4. pilihan tindakan pengurangan risiko bencana
  5. penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana
  6. alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia

Pengurangan Risiko Bencana

Merupakan kegiatan untuk mengurangi ancaman dan kerentanan serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana. Adapun lingkup kegiatan yang dilakukan mencakup pengenalan dan pemantauan risiko bencana; perencanaan partisipatif penanggulangan bencana; pengembangan budaya sadar bencana; peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana. Untuk melakukan upaya pengurangan risiko bencana dilakukan penyusunan rencana aksi pengurangan risiko bencana, yang terdiri atas rencana aksi nasional dan rencana aksi daerah. Rencana aksi nasional dan rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana ditetapkan untuk jangka waktu 3 tahun dan dapat ditinjau sesuai dengan kebutuhan.

Pencegahan

Dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana. Pencegahan dilakukan dengan cara mengurangi ancaman bencana dan kerentanan pihak yang terancam bencana. Pencegahan dilakukan melalui kegiatan:

  1. identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana
  2. pemantauan terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam dan penggunaan teknologi tinggi
  3. pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup
  4. penguatan ketahanan sosial masyarakat

Pemaduan Dalam Perencanaan Pembangunan

Dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah melalui koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi. Pemaduan dilakukan dengan cara memasukkan unsur-unsur penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan nasional dan daerah.

Persyaratan Analisis Risiko Bencana

Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana, wajib dilengkapi dengan analisis risiko bencana, yang disusun melalui penelitian dan pengkajian terhadap suatu kondisi atau kegiatan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana. Persyaratan analisis risiko bencana ditujukan untuk mengetahui dan menilai tingkat risiko dari suatu kondisi atau kegiatan yang dapat menimbulkan bencana. Persyaratan analisis risiko bencana digunakan sebagai dasar dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan, penataan ruang serta pengambilan tindakan pencegahan dan mitigasi bencana.

Pelaksanaan dan Penegakan Rencana Tata Ruang

Dilakukan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang sesuai rencana tata ruang wilayah. Pengendalian pemanfaatan ruang mencakup pemberlakuan peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggarnya. Pemerintah dan pemerintah daerah secara berkala melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap perencanaan, pelaksanaan tata ruang, dan pemenuhan standar keselamatan.

Pendidikan dan Pelatihan

Pendidikan dan pelatihan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, kemampuan, dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Pendidikan dan pelatihan diselenggarakan Pemerintah dan Pemda dalam pendidikan formal, nonformal, dan informal yang berupa pelatihan dasar, lanjutan, teknis, simulasi, dan gladi. Instansi/lembaga/organisasi yang terkait dengan penanggulangan bencana dapat menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan penanggulangan bencana sesuai dengan mandat dan kewenangannya, berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Kepala BNPB.

Persyaratan Standar Teknis Penanggulangan Bencana

Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana disusun dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan serta standar nasional yang berlaku.

SITUASI TERDAPAT POTENSI TERJADI BENCANA

Pada saat terdapat potensi terjadi bencana, penting untuk meningkatkan kewaspadaan agar dapat meminimalisir risiko bencana yang mungkin saja terjadi. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana meliputi kesiapsiagaan, peringatan dini, dan mitigasi bencana.

Kesiapsiagaan

Kesiapsiagaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Dilakukan untuk memastikan terlaksananya tindakan yang cepat dan tepat pada saat terjadi bencana. Pelaksanaan kegiatan dilakukan dalam bentuk:

  1. penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana
  2. pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini
  3. penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar
  4. pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat
  5. penyiapan lokasi evakuasi
  6. penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana
  7. penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana

Pemerintah melalui BNPB atau BPBD dapat menyusun rencana penanggulangan kedaruratan bencana yang merupakan acuan bagi pelaksanaan penanggulangan bencana dalam keadaan darurat. Rencana penanggulangan kedaruratan bencana dapat dilengkapi dengan penyusunan rencana kontinjensi.

BNPB dan BPBD dapat membangun sistem manajemen logistik dan peralatan dengan tujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam penyediaan, penyimpanan serta penyaluran logistik dan peralatan ke lokasi bencana.

Peringatan Dini

Peringatan dini memiliki definisi sebagai serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Peringatan dini dilakukan untuk mengambil tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat. Peringatan dini dilakukan dengan cara:

  1. mengamati gejala bencana;
  2. menganalisa data hasil pengamatan;
  3. mengambil keputusan berdasarkan hasil analisa;
  4. menyebarluaskan hasil keputusan; dan
  5. mengambil tindakan oleh masyarakat

Mitigasi Bencana

Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak yang diakibatkan oleh bencana terhadap masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Lingkup kegiatan yang dilakukan adalah:

  1. perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang yang berdasarkan pada analisis risiko bencana
  2. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, dan tata bangunan
  3. penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan, baik secara konvensional maupun modern

Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Kepala BNPB Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

Rencana Induk Penanggulangan Bencana Indonesia

Galuh Shita

Kebencanaan merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Seluruh masyarakat yang hidup di bumi hidup berdampingan dengan bencana, yang membedakan hanyalah frekuensi serta jenis bencana yang terdapat pada setiap daerah. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatif dari bencana yang mungkin saja dapat terjadi. Pandangan mengenai bencana kemudian berubah yang semula menekankan pada upaya responsif dan cepat tanggap, kini lebih menekankan pada upaya preventif. Upaya preventif dalam menghadapi bencana perlu dilakukan melalui penyusunan rencana yang matang, yang juga didukung oleh kekuatan hukum sehingga dapat berjalan dengan baik.

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020-2044. Rencana ini memuat visi, misi, tujuan, dan sasaran penanggulangan bencana, kebijakan dan strategi penanggulangan bencana, serta peta jalan pelaksanaan RIPB Tahun 2020-2044. Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) merupakan bahan penyusunan perencanaan pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. RIPB Tahun 2020-2044 ditetapkan untuk jangka waktu 25 tahun yang terdiri dari 5 tahap dengan jangka waktu selama 5 tahunan.

RIPB yang ditetapkan untuk periode 2020-2044 mengacu pada periode Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) pertama yang berakhir pada tahun 2025, dan periode RPJPN kedua tahun 2025-2045. Selain itu RIPB 2020-2044 juga mengacu pada Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka PBB untuk Perubahan Iklim, Tujuan-Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 2015-2030, serta Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (Sendai Framework for Disaster Risk Reduction/SFDRR) 2015-2030.

Pemerintah telah mengesahkan Konvensi Kerangka PBB untuk Perubahan Iklim melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Frameutork Conuention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim). Melalui pengesahan ini, Pemerintah berkewajiban untuk berkontribusi dalam membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C. Berdasarkan penjelasan dalam RIPB, Indonesia menargetkan untuk mengurangi emisi sebesar 29% pada tahun 2030 Di samping itu, Pemerintah juga berkewajiban untuk meningkatkan kapasitas adaptasi, memperkuat ketahanan, dan mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim, serta meminimalkan dan mengatasi kerugian dan kerusakan akibat dampak buruk perubahan iklim. Pada aspek ini, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim bersinggungan secara langsung dengan upaya pengurangan risiko bencana melalui pencegahan dan mitigasi.

Adapun yang menjadi visi besar penanggulangan bencana adalah “Mewujudkan Indonesia Tangguh Bencana untuk Pembangunan Berkelanjutan”. Tangguh bencana bermakna bahwa Indonesia mampu menahan, menyerap, beradaptasi, dan memulihkan diri dari akibat bencana dan perubahan iklim secara tepat waktu, efektif, dan efisien. Sedangkan misi besar untuk mendukung perwujudan visi tersebut terbagi menjadi 3, yakni:

  • Mewujudkan penanggulangan bencana yang tangguh dan berkelanjutan
  • Mewujudkan tata kelola penanggulangan bencana yang professional dan inklusif
  • Mewujudkan penanganan darurat bencana dan pemulihan pascabencana yang prima

Kebijakan dan Strategi Penanggulangan Bencana dalam RIPB 2020-2044

NoKebijakanStrategi
1Kebijakan penguatan peraturan perundang-undangan penanggulangan bencana yang efektif dan efisien– Meningkatkan kualitas perangkat peraturan perundang-undangan dan implementasi dalam penanggulangan bencana yang adaptif dan berkelanjutan.
– Meningkatkan kualitas norma, standar, prosedur, dan kriteria penanggulangan bencana.
2Kebijakan peningkatan sinergi antar kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan dalam penanggulangan bencana– Meningkatkan koordinasi dan kerja sama antar K/L, pemerintah daerah, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, akademisi, lembaga usaha, masyarakat, media, dan pemangku kepentingan lainnya dalam penanggulangan bencana.
– Mewujudkan dan meningkatkan sistem peringatan dini, data, dan layanan informasi kebencanaan yang terpadu dan berkesinambungan berdasarkan prinsip-prinsip kebijakan satu peta dan satu data.
3Kebijakan penguatan investasi pengelolaan risiko bencana sesuai dengan proyeksi peningkatan risiko bencana dengan memperhatikan tata ruang dan penataan kawasan– Melaksanakan dan mengembangkan program kesiapsiagaan dan pengelolaan risiko bencana dengan memperhatikan tata ruang dan penataan kawasan.
– Meningkatkan investasi dan pemanfaatan berbagai skema pendanaan inovatif termasuk transfer risiko untuk penanggulangan bencana.
– Mengoptimalkan pendanaan secara terpadu untuk penanggulangan bencana.
4Kebijakan penguatan tata kelola penanggulangan bencana yang semakin profesional, transparan, dan akuntabel– Meningkatkan kapasitas dan profesionalisme para penyelenggara dan pelaku penanggulangan bencana.
– Mengoptimalkan pelaksanaan standar pelayanan minimal penanggulangan bencana.
– Meningkatkan keterbukaan informasi dan komunikasi, kualitas sistem perencanaan, serta pemantauan dan evaluasi dalam penanggulangan bencana.
– Mendorong pelibatan pemangku kepentingan dalam tata kelola penanggulangan bencana untuk meningkatkan akuntabilitas.
– Mewujudkan kabupatenfkota, desa/kelurahan, dan masyarakat tangguh bencana.
– Mewujudkan sarana dan prasarana yang tangguh terhadap bencana.
– Meningkatkan edukasi kebencanaan dan pengelolaan pengetahuan penanggulangan bencana kepada masyarakat dan pemangku kepentingan.
5Kebijakan peningkatan kapasitas dan kapabilitas penanganan kedaruratan bencana yang cepat dan andal– Meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia dalam penanganan darurat bencana.
– Meningkatkan kesiapan dan keandalan logistik dan peralatan penanganan darurat bencana.
– Mengoptimalkan pengelolaan bantuan masyarakat dalam penanganan darurat bencana.
– Menguatkan kualitas kelembagaan dan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
– Mempercepat pemulihan sarana dan prasarana vital.
6Kebijakan percepatan pemulihan pascabencana pada daerah dan masyarakat terdampak bencana untuk membangun kehidupan yang lebih baik– Mengoptimalkan perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana berdasarkan tata rLrang yang peka risiko bencana.
– Meningkatkan kualitas penghidupan masyarakat terdampak bencana yang lebih baik.
– Mewujudkan infrastruktur, perumahan, dan permukiman berketahanan bencana.
– Meningkatkan kualitas pemulihan sosial ekonomi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.

Sumber: Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020-2044


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020-2044

Kerangka Kebencanaan Global

Galuh Shita

Berbicara masalah kebencanaan tentunya tidak dapat hanya berbicara pada satu sektor saja. Seperti diketahui, kebencanaan merupakan hal yang kompleks. Tidak ada daerah atau bahkan negara yang dapat mengatasi permasalahan terkait bencana seorang diri, sehingga hubungan dengan pihak lain, baik nasional ataupun internasional, sangat penting untuk dibina dengan baik.

Upaya pengurangan risiko bencana secara global telah dilakukan melalui beberapa kesepakatan antar berbagai negara. Salah satu kesepakatan yang mendasari upaya pengurangan risiko bencana secara global adalah Kerangka Aksi Hyogo yang diberlakukan pada tahun 2005-2015 silam dan ditandatangani oleh 168 negara. Dalam publikasi yang dibuat oleh MPBI (Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia) disebutkan bahwa hadirnya Kerangka Aksi Hyogo mampu memberikan kemajuan dalam mengurangi risiko bencana di tataran lokal, nasional, regional dan dunia. Hal ini dilakukan oleh negara-negara dan pemangku kepentingan yang berhasil menurunkan tingkat kematian dalam beberapa kasus risiko berbahaya. Dalam Kerangka Aksi Hyogo, terdapat 5 aksi prioritas dalam upaya pengurangan risiko bencana, yakni:

  • Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana merupakan prioritas nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat dalam pelaksanaannya
  • Mengidentifikasi, menilai dan mengawasi risiko bencana dan meningkatkan sistem peringatan dini
  • Menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun budaya keselamatan dan ketahanan di semua tingkat
  • Mengurangi faktor-faktor risiko yang mendasari
  • Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif di semua tingkat

Setelah kesepakatan tersebut berakhir, dibuat kesepakatan baru yaitu Kerangka Sendai yang lahir berdasarkan konferensi PBB yang diselenggarakan di Jepang. Kerangka Sendai berlaku selama 15 tahun yakni 2015-2030. Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030 (Kerangka Sendai) adalah kesepakatan besar pertama dari agenda pembangunan setelah Tahun 2015 dan memberi Negara-negara Anggota tindakan yang nyata untuk melindungi keuntungan pembangunan dari risiko bencana. Kerangka Sendai berkesinambungan dengan perjanjian Agenda 2030 lainnya, termasuk Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim, Agenda Aksi Addis Ababa tentang Pembiayaan Pembangunan, Agenda Baru Perkotaan (The New Urban Agenda), dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Adapun terdapat 7 target global terkait dengan upaya pengurangan risiko bencana dalam Kerangka Sendai, yaitu:

  • Secara substansial mengurangi kematian bencana global yang pada tahun 2030.
  • Secara substansial mengurangi jumlah orang yang terkena dampak secara global pada tahun 2030.
  • Mengurangi kerugian ekonomi bencana langsung dalam kaitannya dengan produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2030.
  • Secara substansial mengurangi kerusakan bencana untuk infrastruktur kritis dan gangguan pelayanan dasar.
  • Secara substansial meningkatkan jumlah negara dengan strategi pengurangan resiko bencana nasional dan lokal pada tahun 2020.
  • Secara substansial meningkatkan kerja sama internasional untuk negara-negara berkembang melalui dukungan yang memadai dan berkelanjutan hingga pada tahun 2030.
  • Secara substansial meningkatkan ketersediaan dan akses ke multi-bahaya sistem peringatan dini dan informasi resiko bencana dan penilaian kepada orang-orang pada tahun 2030.

Tujuan utama dari disahkannya Kerangka Sendai adalah untuk mencegah dan mengurangi risiko bencana yang baru dan yang sudah ada melalui penerapan langkah-langkah ekonomi, struktural, hukum, sosial, kesehatan, budaya, pendidikan, lingkungan, teknologi, politik dan kelembagaan yang terintegrasi dan inklusif yang mencegah dan mengurangi paparan bahaya dan kerentanan terhadap bencana, meningkatkan kesiapsiagaan untuk respon dan pemulihan, dan dengan demikian memperkuat ketahanan. Hasil yang diharapkan adalah adanya pengurangan substansial dari risiko bencana dan kerugian dalam kehidupan, mata pencaharian dan kesehatan dan ekonomi, fisik, aset sosial, budaya dan lingkungan dari orang, bisnis, komunitas dan negara.

Aksi Prioritas Kerangka Sendai

Diolah dari: United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR)

Prioritas 1: Memahami Risiko Bencana

Manajemen risiko bencana harus didasarkan pada pemahaman tentang risiko bencana dalam semua dimensi kerentanan, kapasitas, keterpaparan orang dan aset, karakteristik bahaya dan lingkungan. Pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk penilaian risiko, pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan dan respon.

Prioritas 2: Penguatan Tata Kelola Risiko Bencana

Tata kelola risiko bencana di tingkat nasional, regional dan global sangat penting untuk pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respon, pemulihan, dan rehabilitasi. Hal ini akan mendorong kolaborasi dan kemitraan.

Prioritas 3: Investasi dalam Pengurangan Risiko Bencana

Investasi publik dan swasta dalam pencegahan dan pengurangan risiko bencana melalui langkah-langkah struktural dan non-struktural sangat penting untuk dapat meningkatkan ketahanan ekonomi, sosial, kesehatan dan budaya ketangguhan setiap individu, komunitas, negara dan aset, serta lingkungan.

Prioritas 4: Peningkatan Kesiapsiagaan Bencana

Pertumbuhan risiko bencana dapat diartikan sebagai perlunya kebutuhan untuk memperkuat kesiapsiagaan bencana untuk tanggap darurat, mengambil tindakan untuk mengantisipasi kejadian, dan memastikan tersedianya kapasitas untuk tanggapan dan pemulihan yang efektif di semua tingkatan. Fase pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi merupakan fase penting untuk membangun kembali dengan lebih baik, termasuk dengan mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam langkah-langkah pembangunan.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020-2044
  • UNDRR. “What is the Sendai Framework for Disaster Risk Reduction?”. Diakses 15 Juni 2021 dari https://www.undrr.org/implementing-sendai-framework/what-sendai-framework
  • Buku Dasar Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana oleh BNPB 2020

Urgensi Dokumen RPB

Galuh Shita

Berbagai jenis kejadian bencana yang kerap melanda Indonesia membuat seluruh pihak mengupayakan hal-hal yang dapat mengurangi risiko bencana tersebut. Hal ini pula yang mendasari pemerintah untuk membuat target agar Indonesia dapat menjadi negara yang Tangguh bencana pada 2045. Tahun tersebut dipilih untuk menandakan 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Target ini juga dituangkan ke dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) Tahun 2020-2044. RIPB tersebut dilaksanakan dalam bentuk rencana nasional penanggulangan bencana yang berlaku selama 5 tahun. Adapun substansi dokumen tersebut meliputi:

  • pengenalan dan pengkajian ancaman bencana
  • pemahaman tentang kerentanan masyarakat
  • analisis kemungkinan dampak bencana
  • pilihan tindakan pengurangan risiko bencana
  • penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana
  • alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia

Penyusunan dokumen rencana penanggulangan bencana ini juga merupakan salah satu amanat yang tertuang di dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, di mana dalam UU tersebut disebutkan bahwa dalam situasi tidak terjadi bencana maka dapat melakukan kegiatan perencanaan penanggulangan bencana. Dokumen rencana penanggulangan bencana juga merupakan suatu upaya agar perencanaan penanggulangan bencana dapat menjadi suatu acuan serta pedoman bagi pemerintah dalam pelaksanaan penanggulangan bencana, khususnya bagi pemerintah daerah. Sehingga, penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) merupakan hal yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah, untuk dapat memenuhi amanat dari UU tersebut.

Jenis-Jenis Perencanaan dalam Penanggulangan Bencana

Jenis RencanaPrinsip
Rencana Penanggulangan Bencana– Disusun pada kondisi normal
– Bersifat pra-kiraan umum
– Cakupan kegiatan luas/umum meliputi semua tahapan/bidang kerja penanggulangan bencana
– Dipergunakan untuk seluruh jenis ancaman bencana (multi-hazard)
– Pelaku yang terlibat adalah semua pihak yang terkaitWaktu yang tersedia cukup panjang
– Sumberdaya yang diperlukan masih berada pada tahap inventarisasi
Rencana Kontinjensi– Disusun sebelum kedaruratan/kejadian bencana
– Sifat rencana terukurCakupan kegiatan spesifik, dititikberatkan pada kegiatan untuk menghadapi keadaan darurat
– Dipergunakan untuk 1 jenis ancaman (single hazard)
– Pelaku yang terlibat hanya terbatas sesuai dengan jenis ancaman bencananyaUntuk keperluan jangka/kurun waktu tertentu
– Sumberdaya yang dibutuhkan pada tahapan ini bersifat penyiapan
Rencana Operasi– Merupakan tindak lanjut atau penjelmaan dari rencana kontinjensi, setelah melalui kaji cepat
– Sifat rencana sangat spesifik
– Cakupan kegiatan sangat spesifik, dititikberatkan pada kegiatan tanggap darurat
– Dipergunakan untuk 1 jenis bencana yang benar-benar telah terjadi
– Pelaku yang terlibat hanya pihak-pihak yang benar-benar menangani kedaruratan
– Untuk keperluan selama darurat (sejak kejadian bencana sampai dengan pemulihan darurat)
– Sumberdaya yang diperlukan ada pada tahap pengerahan/mobilisasi
Rencana Pemulihan– Disusun pada tahapan pasca-bencana
– Sifat rencana spesifik sesuai karakteristik kerusakan
– Cakupan kegiatan adalah pemulihan awal (early recovery), rehabilitasi dan rekonstruksi
– Fokus kegiatan bisa lebih beragam (fisik, sosial, ekonomi, dan lainnya)
– Pelaku hanya pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pemulihan awal, rehabilitas dan rekonstruksi
– Untuk keperluan jangka menengah/panjang, tergantung dari besar dan luasnya dampak bencana
– Sumberdaya yang diperlukan ada pada tahapan aplikasi/pelaksanaan kegiatan pembangunan jangka menengah/panjang

Sumber: Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana Daerah untuk Kabupaten/Kota, 2015

Dalam menyusun RPB, terdapat beberapa data dan informasi dasar yang dibutuhkan untuk membantu menyusun dan menganalisis tingkat kemampuan suatu daerah dalam menghadapi bencana. Adapun data dan informasi dasar tersebut adalah berupa:

Data dan Informasi yang Dibutuhkan

Sumber: Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana Daerah untuk Kabupaten/Kota, 2015

Berdasarkan data dan informasi dasar tersebut, kemudian akan dilakukan analisis hingga menghasilkan kebijakan yang kemudian menjadi pedoman dalam kegiatan penanggulangan bencana di daerah. Dalam dokumen RPB, akan dirumuskan beberapa indikator untuk dapat mengukur tingkat risiko melalui kajian risiko bencana, yaitu bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas (capacity).

Dengan disusunnya RPB bagi setiap daerah, maka seluruh kegiatan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan bencana seperti kegiatan pencegahan dan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, hingga pemulihan, harus mengacu pada dokumen RPB yang berada pada setiap daerah. Diharapkan pula agar setiap program/kegiatan yang direncanakan dapat diimplementasikan dengan baik sehingga kegiatan RPB akan dapat berjalan sesuai dengan tujuannya, yaitu menciptakan daerah yang aman dan tangguh dari bencana.

Peta Sebaran Dokumen Rencana Penanggulangan Bencana Daerah

Sumber: BNPB, 2020


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Petunjuk Teknis Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana Daerah Tingkat Kabupaten/Kota, Tahun 2015
  • Tribunnews. 2017. “Ini Pentingnya Rencana Penanggulangan Bencana di Setiap Daerah”. Diakses 4 Juni dari https://pontianak.tribunnews.com/2017/11/09/ini-pentingnya-rencana-penanggulangan-bencana-di-setiap-daerah

Upaya Pengurangan Risiko Bencana

Galuh Shita

Pengurangan risiko bencana adalah konsep dan praktek mengurangi risiko bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisa dan mengurangi faktor-faktor penyebab bencana. Beberapa contoh upaya yang dilakukan mencakup upaya mengurangi paparan terhadap bahaya, mengurangi kerentanan manusia dan properti, manajemen terhadap pengelolaan lahan dan lingkungan, meningkatkan kesiapan terhadap dampak bencana, dan lainnya. Pengurangan risiko bencana meliputi manajemen bencana, mitigasi bencana dan kesiapsiagaan bencana. Tak hanya itu, pengurangan risiko bencana juga merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan.

Upaya pengurangan risiko bencana sangat penting untuk dilakukan. Bahkan, perlu untuk diupayakan pengarusutamaannya dalam setiap aspek kehidupan. Peristiwa bencana tidak dapat dihindari, namun upaya pengurangan risikonya sangat penting untuk dioptimalkan sehingga pada saat terjadi bencana, masyarakat dapat segera melenting balik dan pulih dengan cepat.

Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa pengurangan risiko bencana dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam situasi sedang tidak terjadi bencana, yang mencakup kegiatan:

  • pengenalan dan pemantauan risiko bencana
  • perencanaan partisipatif penanggulangan bencana
  • pengembangan budaya sadar bencana
  • peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana
  • penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana

Upaya menyelenggarakan pengurangan risiko bencana tidaklah mudah untuk dilakukan, perlu kerja sama dari seluruh pihak agar upaya ini dapat berjalan dan terselenggarakan dengan baik. Hal ini dikarenakan bencana merupakan urusan bersama. Upaya pengurangan risiko bencana dapat dilakukan dengan menyiapkan instrumen manajemen kebencanaan dengan baik. Manajemen penanggulangan bencana sendiri dapat didefinisikan sebagai segala upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang dilakukan pada tahapan sebelum, saat dan setelah bencana.

Manajemen penanggulangan bencana merupakan suatu proses yang dinamis, yang dikembangkan dari fungsi manajemen klasik yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pembagian tugas, pengendalian dan pengawasan dalam penanggulangan bencana. Proses tersebut juga melibatkan berbagai macam organisasi yang harus bekerjasama untuk melakukan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan akibat bencana.

Siklus Penanggulangan Bencana

Sumber: Diolah dari Panduan Perencanaan Kontinjensi Menghadapi Bencana, BNPB

Dari keseluruhan kegiatan manajemen kebencanaan, poin terpenting yang perlu untuk dipersiapkan berada pada fase pra bencana. Pada fase ini, sangat penting untuk dapat meningkatkan upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta penguatan sistem peringatan dini. Hal ini juga sesuai dengan poin yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di mana dalam situasi tidak terjadi bencana, lingkup kegiatan yang dapat dilakukan adalah mencakup perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, dan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

Secara umum, upaya pengurangan risiko bencana dapat dilaksanakan melalui beberapa langkah berikut:

  • Pengaturan pemanfaatan ruang secara spasial. Perencanaan tata ruang berperan penting dalam membantu mewujudkan produk tata ruang yang baik dan berkualitas, termasuk di dalamnya mencakup aspek kebencanaan. Pengaturan pemanfaatan ruang dapat dimulai dengan pemetaan daerah rawan bencana, kemudian mengalokasikan pemanfaatan ruang untuk pembangunan berintensitas tinggi ke luar area rawan bencana. Sedangkan perencanaan pemanfaatan ruang di daerah rawan bencana perlu diatur secara tepat dan optimal untuk mengurangi potensi hingga dampak negatif yang dapat muncul.
  • Pengoptimalan rekayasa teknis bangunan. Umumnya berupa rekayasa teknis terhadap bangunan, lahan, ataupun infastruktur yang disesuaikan dengan kondisi, keterbatasan, dan ancaman bencana. Misalnya konstruksi bangunan rumah tahan gempa.
  • Peningkatan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Permasalahan akibat bencana cukup rumit, bahkan seringkali menimpa kawasan dengan kondisi masyarakat yang cukup rentan seperti kemiskinan, kurangnya kewaspadaan, ketidakberdayaan, sulitnya aksesibilitas, dan sebagainya. Peningkatan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat untuk mengurangi tingkat kerentanan dan keterisolasian menjadi penting untuk dilakukan. Untuk mewujudkannya, diperlukan elemen-elemen penting seperti adanya tokoh penggerak masyarakat; tersedianya konsep penanggulangan dan penanganan bencana alam yang jelas; adanya objek aktivitas masyarakat yang jelas; kuatnya kohesivitas masyarakat setempat, bahasa komunikasi kerakyatan yang tepat berbasis pada kearifan budaya lokal; serta jaringan informasi yang mudah diakses.
  • Kelembagaan. Terkait dengan kelembagaan, ada beberapa hal yang harus dipenuhi, yaitu struktur organisasi dan tata cara kerja yang jelas; fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang aplikatif; serta tercukupinya ketersediaan sumberdaya manusia, pembiayaan, dan perlengkapan.
  • Pengkajian potensi dan risiko bencana. Upaya ini merupakan sebuah pendekatan untuk memperlihatkan potensi negatif yang mungkin timbul akibat suatu bencana yang melanda. Hal ini perlu dilakukan secara sistematis dan akademis, sehingga hasil kajian tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Hasil kajian akan menjadi acuan dan berperan penting dalam menentukan kebijakan dasar dalam upaya pengurangan risiko di suatu wilayah yang sistematis dan terencana. Pengkajian ini tercakup di dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), yang terdapat baik dalam lingkup nasional ataupun lingkup daerah kabupaten/kota.

Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Widiati, Ati. “Aplikasi Manajemen Risiko Bencana Alam dalam Penataan Ruang Kabupaten Nabire”. Dalam Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol 10 Tahun 2008

Sistem Penanggulangan Bencana di Indonesia

Galuh Shita

Berbicara tentang kebencanaan sudah pasti akan berkaitan erat dengan banyak pihak. Seperti diketahui bahwa aspek kebencanaan merupakan salah satu aspek penting yang perlu untuk diwaspadai dan dipersiapkan sedemikian rupa agar pada saat bencana terjadi, dampak negatif yang dirasakan dapat dipulihkan dengan segera. Indonesia sendiri termasuk ke dalam salah satu negara yang sangat rentan terhadap bencana, terutama bencana alam seperti longsor, gempa bumi, ataupun bencana letusan gunung berapi.

Dilansir dari antaranews, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan bahwa berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Bank, Indonesia merupakan salah satu dari 35 negara yang memiliki risiko ancaman bencana yang tinggi. Seperti diketahui bahwa Indonesia memilki sekitar 500 gunung api, di mana sekitar 127 diantaranya merupakan gunung api aktif. Selain itu, Indonesia juga memiliki sekitar 300 patahan lempeng yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah pantai barat Sumatera, Jawa, Sulawesi, hingga ke Papua. Indonesia juga berada pada pertemuan tiga subduksi, yaitu Indo Australia, Eurasia, dan Pasifik, yang membuat Indonesia berpotensi mengalami bencana gempa bumi dan tsunami secara berulang. Tidak hanya itu, Indonesia memiliki dua musim yang seringkali dihadapkan pada persoalan kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, banjir, tanah longsor, hingga banjir bandang.

Kebencanaan merupakan pembahasan yang sangat komprehensif dan multi dimensi. Menyikapi kebencanaan yang frekuensinya terus meningkat setiap tahun, pemikiran terhadap penanggulangan bencana harus dipahami dan diimplementasikan oleh semua pihak. Hal ini dikarenakan bencana adalah urusan semua pihak. Di Indonesia sendiri, pemerintah telah membangun sistem nasional penanggulangan bencana yang mencakup 3 aspek, yakni legislasi, kelembagaan, serta pendanaan.

Legislasi

Pengaturan mengenai kebencanaan sendiri telah diatur oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam peraturan perundangan tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana memiliki definisi sebagai serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Penanggulangan Bencana merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yaitu serangkaian kegiatan Penanggulangan Bencana sebelum, pada saat maupun sesudah terjadinya bencana.

Prinsip penanggulangan bencana haruslah cepat dan tepat, prioritas, koordinasi dan keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna, transparansi dan akuntabilitas, kemitraan, pemberdayaan, nondiskriminatif, dan nonproletisi. Hal ini dikarenakan penanggulangan bencana bertujuan untuk:

  • memberikan pelindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana
  • menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada
  • menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh
  • menghargai budaya lokal
  • membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta
  • mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan
  • menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

Selain Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah juga mengesahkan berbagai produk hukum di bawahnya untuk dapat memaksimalkan upaya penanggulangan bencana, antara lain melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Kepala Kepala Badan, serta peraturan daerah.

Kelembagaan

Kelembagaan terkait kebencanaan terdiri atas lembaga formal dan nonformal. Secara formal, tanggung jawab penanggulangan bencana berada pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Adapun tugas dan kewenangan yang diberikan mencakup tugas-tugas penting yang dilaksanakan pada keseluruhan siklus bencana, yang mencakup masa prabencana, saat bencana, dan pasca bencana. Hal ini sejalan dengan amanat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Hal ini didasarkan pada hak setiap masyarakat Indonesia untuk mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, termasuk di dalamnya kelompok masyarakat rentan.

Aspek kebencanaan harus mampu menjangkau seluruh pihak dan perlu dilakukan secara tepat dan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Hal ini tentu saja dilakukan dengan tujuan utama untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul. Kegiatan pengurangan risiko bencana mencakup pengenalan dan pemantauan risiko bencana, perencanaan partisipatif penanggulangan bencana, pengembangan budaya sadar bencana, peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana, serta penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.

Sementara dari sisi non formal, forum-forum baik di tingkat nasional dan lokal dibentuk untuk memperkuat penyelenggaran penanggulangan bencana di Indonesia. Di tingkat nasional, terbentuk Platform Nasional (Planas) yang terdiri unsur masyarakat sipil, dunia usaha, perguruan tinggi, media dan lembaga internasional. Pada tingkat lokal, terdapat Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Yogyakarta dan Forum PRB Nusa Tenggara Timur.

Pendanaan

Kebencanaan bukan hanya menjadi isu lokal atau nasional, namun dapat pula menjadi isu global hingga melibatkan pihak internasional. Komunitas internasional dapat mendukung Pemerintah Indonesia dalam membangun manajemen penanggulangan bencana menjadi lebih baik. Di sisi lain, kepedulian dan keseriusan Pemerintah Indonesia terhadap masalah bencana sangat tinggi dengan dibuktikan dengan penganggaran yang signifikan khususnya untuk pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan. Terdapat beberapa pendanaan terkait dengan penanggulangan bencana di Indonesia, antara lain yaitu Dana DIPA (APBN/APBD), Dana Kontijensi, Dana On-call, Dana Bantual Sosial Berpola Hibah, Dana yang bersumber dari masyarakat, serta Dana dukungan komunitas internasional.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Antaranews. 2020. “Indonesia salah satu negara dengan ancaman bencana tertinggi dunia”. Diakses 10 Mei 2021 dari https://www.antaranews.com/berita/1918460/indonesia-salah-satu-negara-dengan-ancaman-bencana-tertinggi-dunia#mobile-src
  • BNPP. “Sistem Penanggulangan Bencana”. Diakses 10 Mei 2021 dari https://www.bnpb.go.id/sistem-penanggulangan-bencana