Pemanfaatan foto udara dan citra satelit telah banyak digunakan dalam berbagai kepentingan, seperti pemetaan, perencanaan wilayah dan kota, kebencanaan, serta kehutanan. Dalam pemanfaatannya foto udara atau citra satelit akan menghasilkan kualitas data yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. Dalam proses perencanaan suatu wilayah yang detail dibutuhkan kualitas foto udara atau citra satelit yang sangat baik agar objek-objek pada foto udara atau citra satelit terlihat jelas dan tajam. Di sisi lain pengguna tidak memerlukan foto udara atau citra satelit yang memiliki kualitas yang sangat baik, jika foto udara atau citra satelit hanya digunakan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan. Dengan kata lain, kualitas foto udara atau citra satelit perlu disesuaikan dengan kebutuhan penggunaannya.
Kualitas foto udara atau citra satelit akan mempengaruhi tinggi terbang dan lamanya pengambilan data. Dalam foto udara dikenal istilah ground sampling distance (GSD), sedangkan dalam citra satelit dikenal istilah resolusi spasial untuk mengetahui kualitas data foto udara atau citra satelit yang diambil. Oleh karena itu, perlu dipahami apa itu GSD dan resolusi spasial agar pengambilan data dapat dilakukan dengan lebih efisien.
Dari penjelasan diatas, muncullah beberapa pertanyaan, Apa itu GSD dan resolusi spasial? Bagaimana hubungan GSD dan tinggi terbang? Bagaimana hubungan GSD/resolusi spasial dan skala yang dihasilkan?
GROUND SAMPLING DISTANCE (GSD) DAN RESOLUSI SPASIAL
Ground Sampling Distance (GSD) adalah atau merupakan ukuran resolusi piksel dari hasil foto udara, baik foto udara dengan kamera metrik maupun foto udara dengan kamera non metrik. GSD dan resolusi spasial memiliki pengertian yang sama. Biasanya dalam foto udara digunakan istilah GSD, sedangkan pada citra satelit digunakan istilah resolusi spasial. GSD atau resolusi spasial menentukan kualitas foto udara atau citra satelit yang dihasilkan. GSD atau resolusi spasial merupakan rasio antara nilai ukuran foto udara atau citra satelit dengan nilai ukuran sebenarnya. Nilai GSD 5 cm/piksel menyatakan bahwa satu piksel pada foto udara sama dengan 5 cm pada ukuran sebenarnya.
Semakin besar nilai GSD pada foto udara, maka resolusi spasial yang dihasilkan akan semakin rendah, dan tingkat kedetailan dari objek-objek pada foto udara akan semakin berkurang. Apabila pengguna ingin mendapatkan hasil foto udara yang jelas dan detail, maka nilai GSD yang digunakan harus kecil.
Menurut Sandau (2010), GSD dibagi menjadi dua sesuai dengan arah terbang yaitu GSDx dan GSDy. GSDx merupakan nilai GSD yang searah dengan jalur terbang. Sedangkan GSDy merupakan nilai GSD yang berlawanan dengan arah jalur terbang. Hubungan GSD dengan arah terbang dan tinggi terbang diilustrasikan pada gambar berikut :
Untuk menghitung kedua GSD dapat digunakan rumus sebagai berikut (Sandau, 2010):
dan
dimana:
GSDx : nilai GSD searah arah terbang,
GSDy : nilai GSD berlawanan arah terbang,
px : ukuran resolusi pixel searah jalur terbang,
py : ukuran resolusi pixel berlawanan arah jalur terbang,
h : tinggi terbang,
f : focus lensa kamera.
HUBUNGAN GSD DAN TINGGI TERBANG
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa besarnya GSD ditentukan oleh ketinggian terbang pada saat proses akuisisi data foto udara, sehingga pemotretan harus dilakukan pada ketinggian yang tepat untuk mendapatkan GSD yang diharapkan. Berikut adalah hubungan antara GSD dengan tinggi terbang :
Dari rumus diatas dapat disimpulkan bahwa semakin kecil nilai GSD, maka tinggi terbang harus semakin rendah. Untuk mendapatkan kualitas foto udara yang baik, maka wahana foto udara harus terbang lebih rendah. Hal ini berdampak pada cakupan area yang diakuisisi, sehingga dalam sekali terbang area yang diakuisisi menjadi lebih sedikit dan waktu akuisisi data menjadi lebih lama.
Ketika melakukan pengambilan data dengan ketinggian konstan, terkadang setiap foto tidak memiliki GSD yang sama. Hal ini disebabkan karena perbedaan ketinggian medan dan perubahan sudut kamera saat memotret. Namun pada saat melakukan proses orthomosaic, GSD dari setiap foto akan dihitung dan dirata-ratakan. Sehingga, nilai GSD pada orthomosaic merupakan nilai rata-rata dari setiap foto yang diambil. Orthomosaic merupakan gabungan dari seluruh foto yang telah ditegakkan.
HUBUNGAN GSD/RESOLUSI SPASIAL DAN SKALA
GSD berkaitan dengan kedetailan objek-objek yang diambil pada foto udara. Sehingga apabila foto udara akan didigitasi maka kedetailan objek pada foto udara harus disesuaikan dengan skala peta yang diinginkan. Mr. Tobler, seorang professor pada bidang Geografi dari Universitas California-Santa Barbara, Amerika, menyatakan rumusan kesepadanan antara foto udara atau citra satelit dengan skala peta. Aturan kesepadanan skala peta dan resolusi spasial citra dari Tobler ini adalah “bagi bilangan penyebut skala peta dengan 1000 (penggunaan angka 1000 dimaksudkan agar terdeteksi dalam satuan meter) maka resolusi citra yang sepadan adalah setengah dari hasil pembagian tersebut”.
Sebagai contoh, jika dibutuhkan skala peta 1:1000, maka GSD yang diperlukan adalah 0.5 m. Nilai ini didapatkan dari perhitungan sebagai berikut:
Jika nilai GSD yang diperlukan telah diketahui, maka tinggi terbang dapat ditentukan berdasarkan nilai GSD yang diperlukan.
Dari penjelasan diatas, sebelum melakukan pengambilan foto udara sangatlah penting untuk mengetahui kebutuhan penggunaannya. Sehingga akuisisi data dapat dilakukan dengan lebih efisien. Penentuan GSD, skala peta yang diinginkan, tinggi terbang, dan lamanya pengambilan data harus diperhitungkan dan disesuaikan dengan kebutuhan.
Jadi, apakah ada faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai GSD, menurut Anda?
DAFTAR REFERENSI:
Sandau, Rainer. 2010. Digital Airborne Camera, Introduction and Technology.
Suwargana, Nana. 2013. Resolusi Spasial, Temporal, dan Spektral Pada Citra Satelit Landsat, Spot, dan Ikonos. Jurnal Ilmial WIDYA.
https://support.pix4d.com/hc/en-us/articles/202559809-Ground-sampling-distance-GSD, diakses pada tanggal 21 Oktober 2019.
http://aerogeosurvey.com/2016/09/19/apa-itu-ground-sampling-distance-gsd-atau-resolusi-spasial/, diakses pada tanggal 21 Oktober 2019.
Keterbatasan lahan di perkotaan selalu menjadi alasan
atas lambatnya pergerakan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat atas
perumahan. Larisnya tanah untuk pembangunan di kota-kota besar di Indonesia,
selain meyebabkan kelangkaan juga menjadikan harga tanah semakin meroket
sehingga daya beli masyarakat atas tanah menurun. Padahal fenomena pertumbuhan
penduduk dan proses urbanisasi terus terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta
dan mengakibatkan meningkatnya jumlah permintaan atas perumahan. Permintaan
tersebut tentu saja menuntut ketersediaan lahan dalam jumlah yang masif.
Jika dibiarkan, persoalan terkait keterbatasan lahan akan
memiliki dampak yang berlarut-larut seperti munculnya permukiman kumuh di
kawasan ilegal dan semakin melebarnya fenomena urban sparwl di sekitar kawasan perkotaan. Untuk itu dibutuhkan
alternatif solusi yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi lahan yang
sudah tersedia agar dapat dimanfaatkan sebagai pembangunan perumahan di kawasan
perkotaan. Salah satu alternatif yang dapat diimplementasikan adalah konsep
konsolidasi lahan untuk permukiman.
Popularitas konsep konsolidasi lahan untuk mengatasi
permasalahan perumahan mungkin belum begitu terdengar. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh panjangnya proses dan rumitnya birokrasi dalam eksekusi
konsolidasi lahan serta kecenderungan pengimplementasian konsep tersebut dalam
bidang pertanian saja. Untuk itu mari kita simak ulasan mengenai konsolidasi
lahan untuk pengembangan perumahan di kota besar!
Konsolidasi Lahan Secara Umum
Apa itu konsolidasi lahan? Menurut Peraturan Kepala
BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, yang dimaksud dengan
konsolidasi tanah adalah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali
penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan untuk meningkatkan lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam
dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Menurut Archer(1994), konsolidasi lahan perkotaan merupakan teknik pengembangan tanah yang digunakan di berbagai negara untuk mengelola dan memfasilitasi proses urbanisasi dari sebuah area di pinggiran kota, dimana sekelompok persil tanah dikonsolidasikan untuk disatukan, diberikan pelayanan dan dibagi menjadi tata letak jalan, ruang terbuka dan plot bangunan, melalui penjualan beberapa plot untuk pemulihan biaya (pentaan ulang) dan distribusi plot lainnya untuk tetap menjadi milik tuan tanah. Konsolidasi lahan juga dikenal sebagai teknik mengkonversikan area pedesaan menjadi area perkotaan dimana sekelompok masyarakat pemilik tanah digabungan dalam kelompok kemitraan (bersifat wajib) untuk sebuah keterpaduan rencana, pelayanan dan pembagian dari lahan yang mereka miliki dimana skema pembiayaan dan pengembalian manfaat dibagi rata antara para pemilik tanah. Setiap pemilik tanah akan mengkontribusikan sepetak tanahnya dan akan menerima kembali kontribusinya dalam bentuk plot bangunan dengan luas lahan yang berkurang dari sebelumnya. Namun demikian, nilai pasar dari tanah tersebut tetap meningkat sehingga memberikan laba bersih yang signifikan. Adapun pengaturan bidang tanah yang dilakukan dalam proses konsolidasi dapat berupa pergeseran letak, penggabungan, pemecahan, pertukaran, penataan letak, dan penghapusan atau pengubahan.
Untuk lebih memahami definisi konsolidasi lahan dalam pembangunan, berikut ilustrasi perbedaan antara pengembangan alami, pengembangan parsial dan pengembangan melalui konsolidasi lahan:
Konsolidasi lahan juga disebut sebagai teknik multi
fungsi yang beperan untuk:
Menyusun persil tanah yang tersebar menjadi lokasi proyek yang lebih besar demi terciptanya keselarasan dalam desain, pelayanan dan pembagian wilayah
Memfasilitasi akuisisi lahan oleh pemerintah untuk pembangunan jalan umum dan fasilitanya dengan tidak membebankan pemerintah
Membangunan jaringan infrastruktur on-site yang tidak membebankan pemerintah
Mengimplementasian rencana pola ruang kawasan perkotaan
Mewujudkan efisiensi lahan
Membagi biaya dan manfaat (cost and benefit) dari pembangunan lahan secara merata antara para pemilik tanah di lokasi proyek
Mewujudkan daerah pinggir kota yang lebih ‘matang’ untuk pembangunan
Meminimalisir kemungkinan adanya hambatan pada proyek pekerjaan infrastruktur kota
Adapun yang menjadi prinsip dasar dalam penyelenggaraan
konsolidasi lahan adalah pengaturan kembali letak persil dan sumbangan tanah;
keseimbangan pembiayaan antara peningkatan nilai dan dan sumbangan lahan untuk
pembangunan; pengamanan/penguatan hak atas tanah; membangun tanpa menggusur;
dan partisipasi peserta konsolidasi lahan (masyarakat).
Manfaat Konsolidasi Lahan
Praktik konsolidasi lahan memiliki banyak keunggulan, diantaranya adalah status penguasaan lahan akan menjadi sebuah keberpastian hukum. Hal tersebut dikarenakan produk akhir dari konsolidasi lahan perkotaan di Indonesia adalah sertipikat sebagai bukti penguasaan dan pemilikan atas tanah yang paling kuat. Melalui konsolidasi lahan perkotaan, diharapkan kondisi keruangan juga akan menjadi lebih teratur dan efisien karena akan melalui proses pemetaan, penataan, yang pembangunan ulang sehingga lahan tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, seimbang dan lestari. Para pelaku konsolidasi lahan juga akan memiliki lingkungan tempat tinggal dengan kondisi sarana dan prasarana yang lebih baik setelah diadakannya penataan pada proses konsolidasi tersebut.
Selain itu para peserta praktik konsolidasi lahan juga akan merasakan manfaat dalam hal peningkatan nilai tanah. Hal ini dapat terjadi apabila pengembangan yang dilakukan setelah proses konsolidasi berupa pengembangan lahan secara vertikal. Secara otomatis, pemilik lahan akan mendapatkan keuntungan dari penambahan jumlah lantai. Sebagai contoh, sebelum terjadinya konsolidasi lahan A di sebuah kawasan di Bekasi memiliki luas sekitar 200 m2. Setelah terjadinya konsolidasi, pemilik lahan A harus kehilangan sekitar 50m2 dari luas total lahan yang ia miliki sebagai Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan (STUP). Namun ia berkesempatan menambah jumlah lantai sesuai dengan ketentuan regulasi penataan ruang. Kini ia memiliki aset sebuah bangunan yang memiliki 3 tingkatan lantai. Kemudian ia berniat untuk menyewakan 2 lantai yang ia miliki sebagai upaya penyediaan rumah sewa bagi masyarakat perkotaan. Ia akan mendapatkan pemasukan baru dari peningkatan nilai tanah setelah terjadinya konsolidasi lahan. Untuk lebih jelasnya dapat melihat ilustrasi di bawah ini:
Menurut Raharjanto (2008), yang menjadi keunggulan
dari konsep konsolidasi lahan perkotaan adalah:
Merupakan metode pembangunan tanah perkotaan yang sekaligus menata kembali penguasaan dan penggunaan tanah;
Mampu mengatasi kelemahan metode pengadaan tanah secara konvensional seperti pembebasan tanah; dan
Merupakan kegiatan yang mewujudkan dan mengimplementasikan rencana tata ruang di suatu daerah
Praktik konsolidasi lahan juga memiliki keunggulan
bila dibandingkan dengan praktik akuisisi lahan untuk pembangunan fasilitas
perkotaan (Agrawal, 1990), di antaranya:
Dapat dilakukan pengembalian modal melalui pemanfaatan lahan (yang dialokasikan sebagai fasilitas publik) sebagai fungsi komersil;
Tidak seperti pengembangan lahan untuk fasilitas publik lainnya, lahan yang digarap dapat dikembangkan seefisien mungkin;
Tidak ada penggusuran penduduk eksisting;
Pemberian sertifikat hak atas tanah; dan
Meredakan ketegangan sosial terkait dengan permasalahan pertanahan di perkotaan.
Konsolidasi Lahan untuk Permukiman di Indonesia
Pada umumnya, praktik implementasi konsolidasi lahan pada kota-kota besar di Indonesia masih sebatas pembangunan infrastruktur publik seperti pembangunan jalan dan ruang hijau. Belum banyak praktik konsolidasi yang bertujuan untuk mengefisiensikan penggunaan lahan sebagai upaya penyediaan ruang untuk permukiman. Namun pada akhir tahun 2018, konsep konsolidasi lahan sudah mulai dilirik untuk mensiasati membludaknya permintaan atas perumahan di tengah defisitnya persediaan tanah di perkotaan. Hal tersebut dicetuskan oleh Kementerian ATR/BPN yang mendukung penyediaan perumahan melalui konsolidasi lahan vertikal.
Untuk mempersiapkan hal tersebut, banyak hal yang harus diperhatikan oleh seluruh stakeholder yang relevan. Pemerintah (pusat maupun daerah), akademisi, praktisi, swasta dan masyarakat memiliki fungsi yang sama pentingnya sehingga dibutuhkan kolaborasi yang matang untuk keberhasilan eksekusi proyek konsolidasi lahan. Selain itu, untuk memulai konsolidasi lahan secara vertikal, diperlukan pengaturan zonasi yang lebih detail mengingat terdapatnya potensi perubahan fungsi lahan dari perumahan menjadi campuran atau mixed-use. Perlu diantisipasi juga permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan konsolidasi lahan seperti proses ekseskusi yang memakan waktu yang cukup lama; ketersediaan dana yang besar; rumitnya proses birokasi yang melibatkan banyak pihak; potensi munculnya spekulan tanah; kurangnya pengetahuan para stakeholder terkait manfaat konsolidasi lahan; penentuan hak dan kewajiban masyarakat serta ketersediaan permukiman sementara ketika proses konsolidasi berlangsung.
Daftar Pustaka
Raharjanto, A.D. 2008. Pelaksanaan Konsolidasi Tanah
Perkotaan Secara Swadaya Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Lingkungan
Permukiman. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Archer R.W. 1994. Urban Land Consolidation for
Metropolitan Jakarta Expansion, 1990-2010. Asian Institute of Technology,
Bangkok.
Agrawal, P. 1999. Urban Land Consolidation: a Review
of Policy and Procedures in Indonesia and Other Asian Countries. GeoJournal.
Surat Edaran Kepalan Badan Pertanahan Nasional
Perihal Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi Tanah (7 Desember 1991)
Bahan Paparan Peran Konsolidasi Tanah dalam Ketransmigrasian. Direktur Konsolidasi Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional https://www.atrbpn.go.id/Layanan-Publik/APLIKASI-SENTUH-TANAHKU/kementerian-atrbpn-dukung-penyediaan-perumahan-melalui-konsolidasi-tanah-vertikal-76731
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/10/20170216_132742_project-current_land.jpg450848adminhandalhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngadminhandal2019-10-20 09:55:252019-10-23 09:33:31Konsolidasi Lahan: Solusi Keterbatasan Tanah untuk Permukiman di Perkotaan
Migrasi adalah perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, dengan tujuan menetap merupakan konsep sederhana yang sudah dikenalkan kepada kita sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Berbicara tentang migrasi, tentu lekat kaitannya dengan proses urbanisasi dimana masyarakat desa merantau dan menetap di kawasan perkotaan dalam rangka mencicipi segala keistimewaan yang dihidangkan. Pada kenyataannya, proses migrasi ke kawasan kota tidaklah sesederhana itu. Banyak yang harus disiapkan dan dipertimbangkan, baik oleh pelaku maupun pemangku kebijakan, demi terselenggaranya proses migrasi yang dapat mengakomodir kebutuhan dan tidak memberatkan posisi seluruh pihak yang relevan. Pada tahun 2017, World Economic Forum mempublikasikan laporannya yang berjudul Migration and Its Impacts on Cities. Selain mendefinisikan dampak dan tantangan pada proses migrasi, laporan ini juga menyuguhkan beberapa studi kasus migrasi di kota-kota besar di dunia sebagai referensi. Tertarik untuk mengetahui lebih dalam? Simak ulasannya di bawah ini!
Definisi, Tipologi dan Faktor Penyebab Migrasi
Menurut Ban Ki-Moon, sekretaris jenderal PBB tahun 2007-2016, migrasi adalah sebuah ekspresi dari aspirasi masyarakat untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik, lebih bergengsi, dan lebih aman. Migrasi adalah sebuah fenomena global yang terjadi baik di dalam negeri maupun terjadi secara internasional. Tercatat setidaknya terdapat sekitar 244 juta pelaku migrasi internasional (UN DESA, 2016) dan sekitar 763 juta migran nasional (UN DESA, 2013). Proses migrasi menuju global cities terus meningkat seiring dengan fakta bahwa 1/3 penduduk dari kota-kota seperti Sydney, London dan New York adalah penduduk migran. Migrasi sendiri tergolong ke dalam beberapa jenis kategori yang berbeda-beda. Yang pertama adalah migrasi yang diklasifikasikan berdasarkan lingkup perpindahannya (batas politis) apakah antar provinsi, antar pulau, atau antar negara. Yang kedua migrasi yang diklasifikasi berdasarkan pola pergerakannya. Yang ketiga adalah migrasi yang diklasifikasikan berdasarkan jenis pengambilan keputusan oleh para migran, apakah secara sukarela maupun tidak sukarela. Untuk memudahkan proses pemahaman, dapat dilihat infografis di bawah ini:
Setelah mengetahui jenis-jenis migrasi, penting rasanya untuk mengetahui faktor-faktor penyebab yang menstimulus pergerakan para pelaku migrasi. Menurut laporan dari World Economic Forum, terdapat tiga jenis faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi. Faktor-faktor tersebut adalah faktor ekonomi, faktor sosio-politik, dan faktor ekologikal. Dari masing-masing faktor tersebut, terdapat unsur pendorong (push) atau faktor yang membuat para migran untuk melakukan perpindahan dari tempat asal dan unsur penarik (pull) yang membuat para migran tertarik untuk melakukan perpindahan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel perbandingan di bawah ini:
Faktor-Faktor Penyebab Migrasi
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa banyak faktor yang memungkinkan terjadinya migrasi. Pemerintah selaku pemangku kebijakan, baik pemerintah dari daerah asal maupun pemerintah dari daerah tujuan, harus dapat mengidentifikasi jenis-jenis faktor penyebab migrasi dan unsur pendorong serta penariknya. Informasi terkait hal tersebut dapat membantu pemerintah dalam menyusun kebijakan untuk para migran dan daerahnya.
Dampak Migrasi Terhadap Perkotaan
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa kawasan perkotaan menjadi tempat favorit para migran untuk melakukan perpindahan. Kendati demikian, masih sedikit pembahasan mengenai dampak migrasi terhadap perkotaan itu sendiri. Padahal, migrasi memiliki dampak yang terasa jelas di beberapa sektor penopang aktivitas perkotaan seperti sektor perumahan, transportasi, utilitas dan fasilitas umum kota.
Dari sektor perumahan, konsumsi rumah oleh para migran memberikan beban tersendiri terhadap pasar tanah dan rumah untuk para masyarakat kota. Terdapatnya kesenjangan sosial dan ekonomi antara migran dan masyarakat eksisting sering kali membuat masyarakat eksisting enggan untuk tinggal di lingkungan yang sama dengan para migran. Oleh karena itu, para pemangku kebijakan di sektor perumahan haruslah sadar dan berinovasi agar keberadaan rumah kaum migran tetap dapat menjadikan sebuah kota sebagai tempat yang menarik, kompetitif dan berkelanjutan. Sedangkan dari sektor transportasi, pergerakan para migran tentu akan mempengaruhi tingkat kepadatan jalan dan persebaran populasi. Para migran yang bergantung pada moda transportasi publik untuk berpindah tentu akan meningkatkan permintaan pasar. Sistem transportasi publik yang efisien dan terjangkau memiliki peran yang penting dalam menentukan apakah para migran dapat terintegrasi dengan baik atau tidak dengan lingkungan baru mereka. Hendaknya fakta tersebut selalu dijadikan pertimbangan dalam menentukan harga dan kelengkapan fasilitas dari sistem transportasi publik perkotaan.
Selanjutnya, bukanlah hal yang baru bahwa permintaan atas utilitas dan fasilitas umum oleh masyarakat marginal kota kerap menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Situasi dapat menjadi lebih buruk dengan keberadaan para migran yang berpotensi mengakibatkan peningkatan konsumsi juga kebutuhan atas jaringan-jaringan utilitas dan fasilitas tersebut. Bila tidak diiringi dengan peningkatan kualitas dan kuantitas, maka keberadaan para migran dapat mempersulit pemerintah untuk menciptakan kota yang layak bagi masyarakatnya. Pemerintah hendaknya juga mengikutsertakan para migran untuk berkontribusi dalam proses pembangunan di berbagai bidang untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif dan terintegrasi.
Namun demikian di samping dampak negatif yang dihasilkan oleh proses migrasi,terdapat pula dampak positif setelah para migran melakukan perpindahan. Sebagai contoh di sektor ekonomi, kehadiran para migran akan memperkecil kesenjangan skill yang dimiliki oleh masyarakat kota. Kota juga akan dipenuhi oleh tenaga kerja berupah rendah sehingga meningkatkan kesempatan untuk berinvestasi bagi para investor. Sedangkan di sektor sosial, proses migrasi dapat meningkatkan toleransi antara etnis, budaya dan agama yang terdapat di dalam kehidupan bermasyarakat.
Migrasi di Abad 21
Salah satu contoh arus migrasi yang terjadi di abad ke-21 adalah migrasi yang dilakukan oleh masyarakat dari negara-negara Arab Spring menuju negara lainnya di Eropa. Arab Spring sendiri merupakan serangkaian protes pro-demokrasi yang dilakukan oleh masyarakat Timur Tengah dan Afrika Utara. Arab Spring dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap rezim pemerintahan Arab yang dinilai bersifat layaknya diktator, kemarahan atas brutalnya aparat keamanan, tingginya angka pengangguran, naiknya harga bahan, tindak-tindak korupsi dan banyaknya praktik-praktik privatisasi aset negara. Gerakan ini terjadi pada awal tahun 2011 yang dipelopori oleh beberapa negara seperti Tunisia, Maroko, Syria, Libya, Mesir dan Bahrain.
Gerakan Arab Spring ini memberikan berbagai dampak, baik negatif maupun positif bagi kota-kota tujuan migrasi di Eropa. Dari segi politik dampak yang dirasakan adalah banyaknya tekanan, perpecahan politik, perselisihan dan ketidaksepakatan terkait cara penanganan arus migrasi yang terjadi di antara negara-negara di Eropa. Saat ini sudah terdapat banyak gerakan anti-migrasi yang terlihat dari banyaknya partai politik yang menentang datangnya para migran. Dari segi ekonomi, kedatangan para migran Arab Spring menjadikan beban tersendiri bagi negara-negara di Eropa dalam penyediaan stok perumahan, layanan pendidikan, layanan sosial, lapangan kerja yang juga mempengaruhi stabilitas politik dan situasi ekonomi. Dari segi sosial, kedatangan para migran yang berasal dari kultur yang berbeda dianggap dapat menyebabkan krisis identitas dan juga mengancam keamanan orang Eropa.
Di sisi lain, pergerakan masyarakat Arab Spring memberikan beberapa dampak positif di bidang konstruksi yang secara tidak langsung juga memberikan manfaat pada perekonomian negara-negara di Eropa. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi pernyataan tersebut salah satunya adalah para migran dianggap sebagai tenaga kerja siap pakai di bidang konstruksi. Selain itu, Migran Arab Spring juga meningkatkan penjualan rumah dan daya beli masyarakat terhadap properti. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Labanca (2016), diketahui bahwa peningkatan atas permintaan industri konstruksi di negara-negara Eropa juga disebabkan oleh tingginya permintaan atas perumahan oleh masyarakat Arab yang melakukan migrasi ke negara-negara tersebut. Kebutuhan masyarakat Arab Spring terhadap layanan pendidikan juga memberikan dampak positif yakni meningkatnya lapangan pekerjaan di bidang pendidikan pada negara-negara Eropa yang dijadikan tujuan migrasi. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh d’Albis (2018), diketahui bahwa migran permanen yang menetap di negara-negara di Eropa dapat meningkatkan PDB per-kapita diikuti dengan menurunnya tingkat pengangguran.
Kota-Kota dengan Tantangan Migrasi dan Solusinya
Kota-kota besar di dunia sudah mengalami dan menghadapi tantangan migrasi sejak puluhan tahun yang lalu. Telah banyak pula solusi-solusi berupa kebijakan maupun program yang sudah dikeluarkan. Berikut adalah contoh-contoh kota dengan tantangan migrasi beserta solusinya:
Penutup
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa migrasi merupakan sebuah proses yang tidak mungkin dihindari dan sebagian besar terjadi di kawasan perkotaan. Walaupun prosesnya terkadang terkesan alamiah, ternyata migrasi menyisakan tantangan yang harus dihadapi secara bijaksana. Pemerintah selaku pembuat kebijakan dan pengambil keputusan hendaknya mempertimbangkan keberadaan para migran yang hadir di tengah-tengah masyarakatnya dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Produk kebijakan yang dihasilkan hendaknya menciptakan sebuah kota yang inklusif dan dapat menjadi tempat bernaung bagi para migran tanpa adanya gesekan sosial di dalamnya. Beberapa kota seperti Calgary, Dubai, dan Rotterdam hingga saat ini terus bergelut untuk menjawab tantangan-tantangan yang muncul akibat proses migrasi. Bagaimana dengan kota-kota besar di Indonesia? Apakah proses migrasi yang terjadi di Indonesia juga menghasilkan tantangan yang harus segera ditangani?
Daftar Pustaka
Salameh, MTB. 2019. Migration From the Arab Spring Countries to Europe: Causes and Consequences. Yarmouk University-Irbid-Jordan.
Labanca, C. 2016. The Effects of a Temporary Migration Shock: Evidence from the Arab Spring Migration towards Italy. University of California
World Economic Forum. 2017. Migration and Its Impacts on Cities Report.
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/10/shutterstock-734188318.jpg425729adminhandalhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngadminhandal2019-10-17 23:36:172019-10-23 09:34:59Migrasi: Hal Lumrah Perkotaan yang Harus Diantisipasi
Pada tahun 2019, Mastercard telah mempublikasikan laporan tahunan mereka mengenai Global Destination Cities Index yang dilakukan dengan melacak keberadaan pengunjung dan kebiasaan mereka dalam berbelanja saat bepergian secara global. Studi tersebut menunjukan bahwa jumlah pengunjung yang melakukan perjalanan ke kota atau negara lain meningkat sekitar 6,5% dari tahun ke tahun sejak 2009, dengan jumlah pengeluaran belanja yang tumbuh hingga 7,4%. Laporan tersebut juga secara rinci menyebutkan kota-kota yang menjadi top destinations para turis. Bangkok, menjadi kota yang menduduki peringkat pertama sebagai kota tujuan wisata terfavorit di seluruh dunia dengan jumlah pengunjung pertahun mencapai 22,78 jut . Kemudian Paris dan London menyusul di peringkat dua dan tiga. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Bali merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang masuk ke dalam peringkat 20 besar. Padahal, beberapa kota lain di Asia seperti Singapura, Kuala Lumpur, Tokyo, Seoul serta Phuket dan Pattaya dapat menduduki peringkat yang lebih tinggi. Lantas, bagaimana dengan Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia? Kira-kira faktor apa saja yang harus diperhatikan agar kota-kota di Indonesia dapat lebih berdaya saing serta menarik perhatian wisatawan mancanegara?
Pariwisata Kota
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kota dikenal sebagai ‘mesin perekonomian’ dimana modal ekonomi dan sosial terkonsentrasi. Setiap kota akan saling berkompetisi dalam banyak hal demi meningkatkan eksistensinya di mata dunia. Upaya berkompetisi tersebut dapat dilakukan melalui berbagai bidang pembangunan, salah satunya melalui pengembangan kegiatan pariwisata kota. Pariwisata kota sudah mulai berkembang pada beberapa dekade belakangan ini. Pariwisata kota juga merupakan salah satu sektor pendapatan negara, yang apabila dikelola dengan baik, dapat menghasilkan keuntungan yang maksimal. Jadi, apakah yang sebenarnya dimaksud dengan pariwisata kota?
Mungkin pertanyaan di atas terdengar sederhana, namun apabila direnungkan lebih dalam, pariwisata kota memiliki makna dan rumit dan masih belum memiliki definisi yang pasti hingga kini. Menurut National Conference on Urban Tourism pada tahun 1988, pariwisata kota didefinisikan sebagai kumpulan sumberdaya atau aktivitas yang berlokasi di kawasan perkotaan dan menyediakan segenap hiburan, aktivitas bisnis atau lain sebagainya bagi pengunjung yang datang. Sementara Rodica (2005) mendeskripsikan pariwisata kota sebagai hiburan di kawasan perkotaan, dimana masyarakat bisa mengunjunginya atau melakukan beragam aktivitas seperti berkunjung ke kerabat, bertemu dengan teman, menonton pertunjukan, pameran, berbelanja dan lain sebagainya. Setelah menelaah definsi sederhana mengenai pariwisata kota di atas, lantas elemen dan komponen apa saja yang membentuk sebuah pariwisata kota?
Elemen dan komponen dari pariwisata kota dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu elemen primer dan elemen sekunder (Law, 2002). Elemen primer berkaitan dengan perpaduan daya tarik yang dirasa unik dan menjadi motivasi bagi para turis untuk melakukan pergerakan wisata ke kawasan perkotaan. Sedangkan elemen sekunder menggambarkan fasilitas perkotaan yang mendukung dan melengkapi pengalaman wisata para turis. Elemen tersebut sangatlah krusial keberadaannya demi terciptanya produk pariwisata yang memuaskan pengunjung. Adapun elemen pariwisata kota yang lebih detail dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Kelengkapan elemen pariwisata tidak akan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pendapatan kota apabila tidak didukung dengan peningkatan daya saing pariwisata kota itu sendiri. Para ahli perkotaan dan pariwisata melihat bahwa peningkatan daya saing pariwisata kota (city tourism competitiveness) adalah hal yang penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Daya saing pariwisata kota kerap diasosiasikan sebagai kemampuan sebuah kota untuk menyediakan jasa wisata kepada turis dengan kondisi yang lebih baik dari kota-kota lainnya (Cibinskiene et.al, 2015).
Untuk dapat memaksimalkan manfaat yang dihasilkan oleh aktivitas pariwisata kota, maka seluruh stakeholder, khususnya pemerintah perlu mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh dalam meningkatkan daya saing. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan daya saing pariwisata perkotaan:
Pembenahan di bidang eksternal maupun internal merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Diperlukan studi yang mendalam untuk mengetahui potensi wisata yang kita miliki dan mengetahui bagaimana cara memanfaatkannya hingga kota-kota di Indonesia bisa bersaing dengan kota-kota lain.
Best Practice Pariwisata Kota: Bangkok, Thailand
Sejak beberapa tahun belakangan ini, Bangkok kerap bersaing dengan London dan Paris untuk menduduki posisi teratas sebagai kota dengan jumlah pengunjung wisata paling banyak di dunia. Konsistensi tersebut seakan membuat kita bertanya-tanya, ada daya tarik apa sebenarnya di Bangkok? Mengapa Bangkok begitu populer, padahal ia disebut-sebut memiliki karakteristik perkotaan yang mirip dengan Jakarta?
Alasan pertama adalah Bangkok memiliki beragam moda transportasi yang mudah diakses oleh wisatawan untuk menuju destinasi-destinasi populernya. Ibukota negara Thailand tersebut memiliki The Bangkok Mass Transit System (BTS) atau sering disebut juga dengan Skytrain. Bangkok juga dilengkapi dengan moda transportasi tradisional bernama Tuk-Tuk yang memudahkan wisatawan untuk melakukan perpindahan dalam jarak dekat. Tidak hanya itu, Bangkok juga memiliki moda transportasi air yang digunakan untuk melintasi Sungai Chao Phraya. Keberadaan ragam moda transportasi tersebut memudahkan wisatawan untuk berpindah dari satu atraksi ke atraksi wisata yang lain.
Alasan yang kedua, Bangkok merupakan sebuah kota dengan pilihan destinasi wisata yang sangat lengkap. Dalam hal ini, Bangkok memiliki beberapa destinasi wisata heritage berupa istana kerajaan dan kuil. Selain itu, Bangkok juga dikenal sebagai tempat favorit para penggila belanja yang ditandai dengan keberadaan pusat-pusat perbelanjaan berupa mall dan pasar-pasar tradisional. Bangkok juga dikenal sebagai pusat kuliner berupa jajanan kaki lima yang menawarkan makanan-makanan ringan khas Thailand yang tentunya menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Wisata pasar apung juga kerap menjadi salah satu pilihan para turis unuk menghabiskan waktunya di Bangkok.
Alasan ketiga adalah Bangkok memiliki fasilitas Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE) yang sering digunakan untuk acara-acara internasional seperti konser, pertunjukan seni, dan lain sebagainya. Alasan terakhir, Bangkok memiliki portal informasi wisata berupa website yang cukup lengkap sehingga memudahkan para calon wisatawan untuk merencanakan kunjungan mereka.
Bali Sebagai Tujuan Wisata Dunia
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Bali merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang masuk ke dalam 20 besar kota sebagai destinasi terfavorit turis mancanegara. Bali menduduki peringkat 19 mengungguli kota-kota besar lainnya di Indonesia. Hmm, bagaimanakah sebenarnya elemen pariwisata yang dimiliki oleh Bali? Apakah Bali memiliki faktor eksternal dan internal yang mumpuni sehingga dapat berdaya saing tinggi?
Bila ditinjau dari konsep elemen pariwisata, Bali memiliki elemen primer yang unggul. Dari segi fasilitas budaya, Bali memiliki beragam pilihan museum, galeri seni serta ruang pameran yang dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi turis yang menghargai nilai-nilai yang terkandung dalam seni. Selanjutnya, hampir seluruh poin pada kategori karakteristik fisik telah dimiliki oleh Bali. Bali memiliki jalan historikal seperti Jalan Kuta dan Jalan Legian yang menjadi salah satu pusat perekonomian disana. Bali juga memiliki banyak bangunan keagamaan Hindu yang dapat pula dinikmati oleh turis. Bali juga dikenal sebagai tempat yang memiliki karakteristik sosial-budaya yang kuat. Hal tersebut dapat dilihat dari Bahasa Bali yang masih digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari serta kekayaan tradisi masyarakat Hindu seperti Upacara Ngaben dan iringan Ogoh-Ogoh menjelang hari raya Nyepi. Hal tersebut tentu menjadi hal yang sangat unik bagi wisatawan. Selain daya tarik wisata yang bercirikan kearifan lokal, Bali juga dikenal sebagai kota yang memiliki banyak fasilitas pengisi luang berupa klub malam, cafe dan bar.
Untuk kelengkapan elemen sekunder, keunggulan Bali tidak perlu dipertanyakan lagi. Di Bali terdapat beragam pilihan hotel, penginapan dan restauran serta fasilitas komersil dari yang bernuansa lokal hingga internasional. Hal ini menjadi nilai tambah untuk Bali karena kelengkapan fasilitas yang dimiliki. Untuk elemen tambahan, pada umumnya hampir seluruh destinasi wisata di Bali sudah dilengkapi dengan aksesibilitas yang baik serta fasilitas parkir yang memadai. Pada beberapa titik terdapat pula pusat informasi dan pemandu wisata sebagai unsur pelengkap.
Dalam hal peningkatan daya saing terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Untuk faktor eksternal yang terdiri dari kondisi politik dan legal; ekonomi; sosial dan budaya; serta alam dan ekologi dipengaruhi oleh kondisi Indonesia secara global. Jika kondisi politik dan ekonomi Indonesia tergolong baik, maka biasanya tidak ada pertimbangan yang memberatkan wisatawan asing untuk berkunjung ke Bali. Hal tersebut berlaku sama untuk kondisi sosial budaya dan alam serta ekologi.
Untuk faktor internal yang terdiri dari kelengkapan lembaga wisata; infrastruktur wisata; serta sumberdaya wisata lebih mengarah kepada kesiapan Bali sendiri dalam menyediakan hal-hal tersebut di atas. Dari ketiga unsur tersebut, dapat dikatakan bahwa Bali sudah hampir memenuhi kelengkapan setiap unsur. Hanya saja keberadaan transportasi publik masih belum menjangkau seluruh destinasi wisata dan belum sepenuhnya efektif dalam mengakomodir pergerakan. Sebagian besar turis di Bali memilih untuk menyewa motor/mobil untuk bepergian. Hal tersebut perlu menjadi pertimbangan, baik untuk pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, sebagai upaya meningkatkan daya saing pariwisata Bali.
Setelah memahami definisi dan karakteristik pariwisata kota, tentunya masing-masing dari kita sudah memiliki gambaran ideal terkait pengembangan wisata kota di Indonesia ke depannya. Elemen dan faktor-faktor yang dapat meningkatkan daya saing hendaknya diperhatikan seluruh stakeholder yang relevan di bidang pariwisata kota. Dibutuhkan kerjasama yang komprehensif dan konsisten dalam mewujudkan pariwisata kota di Indonesia yang tidak kalah dengan kota-kota lain di Asia Tenggara. Jadi, apakah Indonesia mampu membawa kota-kotanya menggeser Bangkok sebagai peringkat pertama kota dengan pengujung wisata terbanyak di dunia?
Daftar Pustaka
Cibinskiene, et.al. 2015. Evaluation of City Tourism Competitiveness. Kaunas University of Technology, Lithuania.
Garbea R.V.2013. Urban Tourism Between Content and Aspiration for Urban Development. Alexandru loa Cuza University.
Law, Christopher. 2002. Urban Tourism – The Visitor Economy and Growth of Large Cities. EMEA: Thomson Learning
Global Destination Cities Index 2019. Mastercard.
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/10/kota-turis-6.jpg450600adminhandalhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngadminhandal2019-10-17 23:11:032019-10-23 09:35:24Kota Sebagai Destinasi Wisata, Apa yang Harus Diperhatikan?
Pembangunan rumah swadaya sudah menjadi ciri khas masyarakat Indonesia sejak puluhan tahun yang lalu. Masyarakat kerap berpendapat bahwa pembangunan rumah secara swadaya dapat lebih mudah prosesnya karena dapat menyesuaikan dengan anggaran yang mereka miliki, serta dapat menyesuaikan pembangunan dengan lokasi yang mereka minati.Johan Silas (2016) dalam bukunya yang berjudul Perumahan Dalam Jejak Paradoks mengatakan bahwa pemerintah hanya mampu menyediakan perumahan formal sebanyak 10% dari total kebutuhan masyarakat Indonesia, 90% sisanya dipenuhi secara swadaya oleh masyarakat itu sendiri.Hal tersebut masih berlaku hingga sekarang. Terbukti dari banyaknya milenial yang berlomba untuk mencari tanah dengan harga murah yang kelak akan dibangun sebagai rumah impian mereka. Namun, masih banyak masyarakat Indonesia khususnya milenial yang berpikir bahwa untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) mereka harus melalui sebuah proses dengan birokrasi yang rumit dan memakan waktu yang lama. Hal tersebut menyebabkan keengganan mengurus IMB secara mandiri dan lebih memilih untuk membayar jasa pengurusan perizinan karena dianggap lebih praktis. Eits, tapi jangan salah, kini mengurus IMB untuk perseorangan tidak perlu bolak-balik ke kantor Dinas Tata Ruang atau Dinas Pekerjaan Umum lho, waktunya pun lebih singkat! Berikut langkah-langkah yang harus kamu lakukan:
1.Cek Peruntukan Lahanmu pada Rencana Detail Tata Ruang
Yang menjadi pembeda antara pembangunan rumah swadaya dulu dan kini adalah kewajiban untuk mengecek peruntukan ruang lahanmu pada dokumen Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR&PZ), jika kota/kawasanmu sudah memilikinya. Dokumen tersebut memuat peruntukan kegiatan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan untuk setiap potong lahan. Kamu harus memastikan bahwa lahan yang akan kamu bangun sebagai rumah impianmu memperbolehkan kegiatan perumahan berada di atasnya. Jika statusnya diizinkan bersyarat atau diizinkan terbatas, kamu juga harus memastikan persyaratan apa yang harus kamu penuhi sebelum melangkah ke tahap selanjutnya. Hati-hati! Tidak mematuhi peraturan terkait peruntukan lahan termasuk pelanggaran dan kamu bisa dikenakan sanksi karenanya.
Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, kamu bisa mengetahui peruntukan lahanmu secara online dengan melakukan langkah-langkah di bawah ini:
Buka laman smartcity.jakarta.go.id/maps
Pilih Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan
Beri tanda Check di pilihan rencana zonasi
Pilih peta zonasi Kecamatan kamu
Unduh petanya
Cek kode area lahanmu
Dari situ, kamu bisa mengetahui peruntukan lahanmu dalam RDTR dan PZ. Namun, perlu diketahui bahwa saat ini belum semua kota dan kabupaten di Indonesia memiliki dokumen RDTR & PZ. Jika kebetulan lokasi lahan impianmu belum memiliki dokumen tersebut, tanyakan informasi kepada Dinas Tata Ruang atau instansi lainnya yang relevan.
2.Lihat Persyaratan Permohonan IMB Secara Online
Jika rencana pembangunan rumahmu sudah sesuai dengan rencana peruntukan lahan yang tertera dalam RDTR & PZ kotamu, maka hal selanjutnya yang harus kamu urus adalah permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kini, kamu tidak perlu bolak-balik untuk menyiapkan kebutuhan dokumen permohonan IMB ke kantor Dinas Tata Ruang/Pekerjaan Umum. Kamu cukup kunjungi website Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di kotamu. Untuk wilayah DKI Jakarta, berikut adalah langkah-langkah untuk mengetahui persyaratan permohonan IMB secara online:
Kunjungi pelayanan.jakarta.go.id
Pilih Profile kemudian pilihlah Perizinan
Untuk mengetahui persyaratan apa saja yang harus kamu penuhi pilhlah Lihat Jenis izin dan Syaratnya, kemudian pilih opsi Pembangunan
Cari dan pilihlah Izin Mendirikan Bangunan: Bangunan Rumah Tinggal. Terdapat beberapa pilihan yang dikategorisasi berdasarkan luas tanah (Tanah > 100 m2, dan tanah < 100 m2). Pilihlah berdasarkan kebutuhanmu.
Selanjutnya akan muncul opsi Checklist Persyaratan dan Formulir. Download dan penuhi apa yang menjadi persyaratan pada kedua dokumen tersebut.
Jika seluruh dokumen persyaratan sudah kamu penuhi, bawalah dokumen-dokumen tersebut ke DPMPTSP terdekat dengan lokasi tempat tinggalmu. Dan tunggu hingga IMB kamu berhasil diterbitkan.
Adapun dokumen yang biasanya harus kamu lengkapi untuk mendapat IMB rumah tinggal dengan luas tanah <100 m2 adalah:
Surat Permohonan dengan materai Rp6.000,00 (format diberikan oleh DPMPTSP)
Surat Kuasa jika nama yang tertera di sertipikat lebih dari Satu
Identitas Pemohon/Penanggung Jawab (Fotokopi KTP dan NPWP untuk WNI, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas atau VISA/Paspor untuk WNA)
Surat Kuasa jika dikuasakan
Bukti Kepemilikan Tanah
Bukti Pembayaran PBB tahun terkahir sebelum jatuh tempo (Fotokopi)
Ketetapan Rencana Kota (KRK) Asli
Gambar Arsitektur
Checklist dokumen di atas juga diperlukan untuk permohonan IMB rumah tinggal dengan luas >100 m2. Hanya saja terdapat beberapa penambahan dokumen seperti:
Surat Kuasa bermaterai kepada pemilik IPTB untuk bangunan rumah tinggal dengan luas bangunan >200 m2/jumlah lantai paling banyak 3 lantai;
Asli ikhtisar tanah yang ditandatangani oleh pemilik tanah dan perencana, untuk yang memiliki lebih dari 3 bukti kepemilikan tanah;
Surat penunjukan penanggung jawab dan fotokopi IPTB penanggung jawab perencana arsitektur, struktur/konstruksi termasuk geoteknik, mekanikal dan elektrikal bangunan gedung; dan
Asli surat pernyataan persetujuan warga sekitar.
Untuk mendapatkan IMB rumah dengan luas >100 m2 dibutuhkan waktu sekitar 7 hari kerja. Sedangkan untuk rumah dengan luas <100 m2, dibutuhkan waktu sekitar 4 hari kerja. Biaya retribusi akan disesuaikan dengan yang tertera pada Perda 1 Tahun 2015. Begitulah cara mengurus IMB yang lebih praktis di wilayah DKI Jakarta. Suda jauh lebih mudah bukan?
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/10/building-permit-768x425.jpg425768adminhandalhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngadminhandal2019-10-17 22:42:152019-10-23 09:35:51Hal-Hal yang Wajib Kamu Ketahui Untuk Mendapatkan IMB!
Mungkin belum banyak yang mengetahui serta familiar dengan
konsep pembangunan rumah secara kolaboratif atau yang biasa disebut dengan
konsep co-housing. Konsep ini
disebut-sebut dapat menjadi alternatif permasalahan penyediaan perumahan
khususnya bagi masyarakat perkotaan, dimana lahan yang tersedia akan semakin
sedikit dan semakin mahal seiring berjalannya waktu. Konsep ini dapat menjadi
solusi bagi penataan kawasan permukiman kumuh dan juga sebagai alternatif lain
bagi kaum milenial untuk dapat memiliki rumah.
Lantas apa itu co-housing sebenarnya?
Definisi Co-Housing
Co-housing adalah konsep dimana sebuah grup/komunitas merencanakan, membiayai dan
membangun rumah mereka secara bersama-sama di suatu lahan/persil yang sama dan
memiliki ruang-ruang komunal di dalamnya. Proyek Co-housing didasari kebersamaan kolektif yang kuat antar anggotanya
dan memberikan kesempatan bagi setiap individu anggota untuk berpartisipasi
dalam merancang tempat tinggal mereka. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa
implementasi co-housing lebih dari
sekedar tinggal dalam suatu gedung yang sama, melainkan adanya proses interaksi
dari masa perancangan bangunan sampai masa menjalani kehidupan sehari-hari yang
didukung dengan keberadaan ruang atau aktivitas komunal seperti dapur, ruang
makan, ruang serbaguna, tempat parkir,
tempat main anak dan lain sebagainya.
Lahirnya konsep co-housing pada akhir abad 19 di negara-negara di Eropa, juga dipengaruhi oleh kebutuhan dari penduduk kelas menengah dalam mencari solusi atas mahalnya tarif kerja seorang asisten rumah tangga (ART) yang dapat memasak. Pada saat itu, tercetuslah ide konsep ‘ART kolektif’ yang dapat melayani keluarga-keluarga yang tinggal dalam satu lingkungan. Konsep ART kolektif ini kemudian diimplementasikan dalam pembangunan co-housing yang diinisiasi oleh Otto Fick, di Copenhagen pada tahun 1903. Co-housing tersebut bernama Einküchenhaus (bangunan dengan satu dapur). Bangunan ini berada dalam satu persil yang sama terdiri dari beberapa rumah warga, dimana di tengah-tengah bangunan tersebut terdapat sebuah dapur besar tempat ART bekerja dan menyiapkan makanan untuk seluruh warga. Konsep co-housing seperti yang telah dijelaskan di atas, juga dianggap sebagai sebuah opsi untuk mendukung adanya kesetaraan gender, bahwa kaum wanita dapat bekerja di luar rumah dikarenakan urusan rumah tangga sudah ditangani oleh ART kolektif tersebut. Namun saat ini, rumah kolaboratif sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga setiap unit/rumah memiliki dapur pribadi.
Rumah kolaboratif dapat berupa rumah tapak maupun rumah vertikal. Hal tersebut diputuskan melalui kesepakatan bersama antar anggota. Jumlah unit rumah terbaik untuk mengimplementasikan konsep co-housing adalah 12-36 unit rumah. Namun tidak menutup kemungkinan sebuah area/bangunan co-housing memiliki unit yang lebih sedikit atau lebih banyak dari angka tersebut. Jika jumlah lebih sedikit dari 12 unit, maka dikhawatirkan komunitas tersebut menjadi terlalu intim dan membutuhkan pembiayaan pembangunan yang lebih besar. Namun jika jumlah unit lebih banyak dari 36, dikhawatirkan akan menyulitkan sesama anggotanya untuk bersosialisasi dan menstimulus proses administratif yang sulit (pembagian proporsi iuran listrik, air, dsbg) (Scotthanson, 2005).
Konsep co-housing disebut-sebut memiliki banyak manfaat. Seorang Arsitek penggiat co-housing, Grace Kim, mengatakan bahwa rumah kolaboratif dapat meminimalisir tingkat stress seseorang. Rasa kesepian karena hidup terisolasi kerap membawa pengaruh buruk terhadap kesehatan jasmani maupun rohani. Tinggal bersama orang-orang yang memiliki kesamaan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut. Selain itu, co-housing juga dapat menjadi salah satu alternatif dalam mensiasati harga tanah di kawasan perkotaan yang semakin mahal. Para anggota dapat membeli tanah dan membangun rumah secara kolektif sehingga biaya yang dikeluarkan tidak akan sebanyak ketika membangun rumah atau membeli apartemen secara swadaya.
Co-Housing Sebagai Jawaban
Masalah Perumahan di Indonesia
Bila dikaitkan dengan permasalahan perumahan yang terdapat
di Indonesia, konsep co-housing dapat
menjadi salah satu alternatif yang layak diperhitungkan oleh seluruh
stakeholder perumahan. Konsep co-housing
dirasa relevan bila diterapkan di Indonesia melihat tren ketersediaan lahan
yang semakin sulit untuk diakses dan semakin mahalnya harga properti khususnya
di kawasan perkotaan. Penerapan co-housing
juga sesuai dengan sifat dan karakter masyarakat Indonesia pada umumnya yaitu
suka bergotong-royong. Kekuatan modal sosial tersebut sejalan dengan nyawa dari
konsep co-housing itu sendiri yakni,
kolaboratif. Hal tersebut dapat menjadi peluang untuk mengatasi permasalahan
permukiman informal yang kumuh dan juga sebagai jawaban atas terbatasnya akses
serta kemampuan kaum milenial untuk memiliki rumah.
Saat ini, kota-kota besar di Indonesia sedang
berlomba-lomba untuk mengentaskan kekumuhan yang terdapat di kawasan permukiman
informal. Pemerintah daerah beserta masyarakat ramai-ramai mempercantik dan
merehabilitasi permukiman tersebut dengan harapan dapat menciptakan kehidupan
yang berkelanjutan dan sehat bagi warganya. Namun, masih sedikit yang
mempertimbangkan pengimplementasian konsep co-housing
pada penataan kawasan permukiman kumuh tersebut, padahal co-housing sejalan dengan nilai-nilai
yang dimiliki oleh masyarakat di kawasan permukiman informal yang memiliki
modal sosial yang tinggi.
Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asyah
(2014), masyarakat di permukiman kumuh memiliki rasa kebersamaan dan tenggang
rasa yang kuat. Hal tersebut terlihat dari kehidupan bertetangga yang saling
bahu membahu. Para pemukim di kawasan kumuh tersebut mengaku jika suatu saat
terjadi penggusuran, mereka berharap dapat tetap tinggal bersama dengan
tetangga-tetangganya terdahulu. Mereka juga mengakui bahwa salah satu faktor
yang kerap mempengaruhi kegagalan program pemerintah dalam merelokasi
permukiman kumuh adalah kemungkinan terputusnya modal sosial yang sudah
dimiliki oleh warga. Mereka berharap kemungkinan relokasi dapat diminimalisir
dan digantikan dengan konsep rehabilitasi permukiman kumuh agar mereka tetap
bisa bersama dan hidup bertetangga.
Melihat fakta tersebut, konsep co-housing dalam rehabilitasi permukiman kumuh berperan sebagai
salah satu alternatif yang mumpuni dan layak untuk dicoba. Dengan konsep rumah
kolaboratif, pemerintah tidak perlu menyediakan lahan baru untuk relokasi,
melainkan dapat mendayagunakan lahan eksisting dengan desain dan fungsi yang
lebih baik. Walaupun mungkin agak berbeda dengan prinsip rumah kolaboratif
dimana anggotanya akan secara kolektif membiayai pembangunan rumah, pemerintah
dapat memberikan subsidi untuk mengimplementasikan rencana tersebut. Pemerintah juga dapat memberdayakan
masyarakat dalam mendesain rumah mereka sehingga tercipta perencanaan
partisipatif dimana hasil yang diharapkan akan lebih sesuai dengan ekspektasi
dari user atau dalam hal ini
masyarakat di permukiman kumuh.
Rumah kolaboratif juga dapat menjadi strategi pemerintah
dalam menangani kawasan permukiman kumuh dan informal yang status kelegalan
tanahnya biasanya dipertanyakan. Aspek legalitas pada co-housing nantinyasama
dengan legalitas pada model properti lainnya. Untuk membangun, dibutuhkan IMB
dari pemerintah. Untuk kepemilikan dari rumah tapak sama dengan prosedur
kepemilikan dari rumah tapak pada umumnya. Sedangkan untuk kepemilikan rumah
vertikal, skemanya sama dengan skema kepemilikan apartemen yaitu sang pemilik
mendapatkan Hak Guna Bangunan (HGB) dalam jangka waktu tertentu.
Tidak hanya sebagai salah satu opsi penataan permukiman
kumuh, konsep rumah kolaboratif juga dapat menjadi alternatif pilihan bagi kaum
milenial untuk memenuhi kebutuhan papannya. Saat ini sering didengungkan bahwa
akan sangat sulit bagi kaum milenial untuk dapat memiliki rumah pribadi. Hal
tersebut didasari oleh semakin melambungnya harga properti yang tidak diimbangi
dengan ability to pay atau kemampuan
untuk membayar dari para milenial. Ditambah lagi dengan kondisi tidak
tersedianya lahan kosong di daerah perkotaan yang kerap menjadi sasaran
milenial untuk memiliki rumah tinggal.
Dilansir dari MIPIM World Blog, co-housing akan menarik perhatian para milenial karena harganya yang akan jauh lebih murah bila dibandingkan dengan apartemen pada umumnya di lokasi yang sama. Konsep co-housing dianggap sebagai solusi mengingat kaum milenial dapat berkolaborasi dengan komunitasnya sehingga modal sosial yang mereka miliki bisa semakin terjalin. Konsep co-housing ini lebih fleksibel dan sesuai dengan sifat dan ciri khas kaum milenial yang suka berkumpul dan melakukan aktivitas bersama. Para milenial dapat merencanakan tempat tinggal mereka bersama dengan keluarga, kerabat, atau bahkan teman yang memiliki nilai visi dan misi yang sama mengenai kebutuhan akan rumah. Mereka dapat secara kolektif membeli sebidang tanah dan menyepakati bersama desain dan tata letak fungsional ruang publik yang mereka kehendaki.
Masih menurut MIPI World Blog, diketahui bahwa saat ini terdapat pergeseran pola pikir yang dimiliki oleh milenial mengenai kepemilikan properti dan aset. Milenial sudah tidak lagi memprioritaskan status kepemilikan secara general. Sudah banyak keluarga muda yang tidak berniat untuk memiliki rumah pribadi di atas lahan yang luas atau memiliki kendaraan sendiri. Hal tersebut tentunya menjadi angin segar bagi pemerintah kota mengingat konsep co-housing akan meningkatkan kepadatan kawasan permukiman dalam kondisi yang lebih baik dan meminimalisir pergerakan.
Tren Perubahan Pola
Pikir Kepemilikan Rumah di Indonesia
Pada bagian sebelumnya, sempat dibahas mengenai tren
perubahan pola pikir generasi milenial terhadap kepemilikan rumah. Generasi
milenial sudah tidak lagi memprioritaskan status kepemilikan properti/aset dan
banyak mengalihkan pilihannya kepada rumah sewa. Hal ini sesuai dengan konsep
besar dari co-housing dalam bentuk vertical building, dimana tidak terdapat
satu anggota pun yang memegang sertifikat kepemilikan lahan. Hal tersebut dapat
menjadi pertimbangan untuk mengimplementasikan konsep vertikal co-housing di Indonesia mengingat sudah
terbatasnya ketersediaan lahan di kota-kota besar di Indonesia. Namun apakah
lapisan masyarakat lainnya di Indonesia sudah mengarah kepada tren tersebut?
Dilansir dari laman kompas.com pada tahun 2017, terjadi
penurunan tren pembelian rumah karena terdapatnya preferensi masyarakat untuk
menyewa terutama di daerah perkotaan. Kecenderungan preferensi terlihat dari
keengganan masyarakat kota pada umumnya yang masih memiliki mobilitas tinggi.
Menurut Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, Lana Winayanti, tren dan perilaku seperti yang dijelaskan di
atas termasuk gaya hidup yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah.
Tren perubahan pola pikir kepemilikan rumah juga terjadi pada masyarakat kelas menengah ke bawah secara perlahan. Menurut Asyah (2014), diketahui bahwa masyarakat yang bermukim di bantaran sungai tidak keberatan jika harus direlokasi ke hunian vertikal, dengan catatan memiliki akses kepada transportasi publik dan juga tidak mengganggu ikatan sosial yang sudah terbangun antar sesama warga di permukiman bantaran sungai tersebut. Tren perubahan pola pikir juga didukung oleh kondisi kekinian bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah sedang gencar untuk mengikuti program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang digalakkan oleh pemerintah dimana sebagian jenis rumah yang ditawarkan oleh program subsidi tersebut adalah hunian vertikal.
Dengan memahami terjadinya tren perubahan pola pikir terhadap kepemilikan rumah pada masyarakat Indonesia, maka dapat dilihat bahwa konsep co-housing khususnya dalam bentuk hunianvertikal dapat diimplementasikan di Indonesia.
Program Pemerintah yang Mendukung Penyelenggaraan Co-Housing
Setelah didapatkannya
gambaran mengenai alternatif pemanfaatan konsep co-housing di Indonesia, perlu diketahui juga program-program
pemerintah yang dapat mendukung terselenggaranya konsep tersebut sehingga akan
semakin banyak masyarakat yang merasakan manfaatnya. Salah satu program yang
dapat mendukung terselenggaranya konsep co-housing,
yang pada dasarnya merupakan rumah dengan konsep swadaya, adalah program
rintisan kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang bernama Program
Penyelenggaraan Perumahan Berbasis Komunitas. Program perumahan berbasis
komunitas ini dilatarbelakangi oleh urgensi adanya inovasi kebijakan, strategi
dan program penyelenggaraan di Indonesia.
Nantinya komunitas yang berpartisipasi dalam program
tersebut akan mendapatkan dua jenis bantuan dari pemerintah. Yang pertama
adalah bantuan Pembangunan Baru Rumah Swadaya (PBRS) dan bantuan Prasarana,
Sarana dan Utilitas (PSU). Dalam pelaksanaan pembangunan rumah berbasis
komunitas tersebut akan dilakukan pengawasan dan pengendalian oleh satuan kerja
yang ditunjuk oleh menteri. Sedangkan proses pemantauan dan evaluasi akan
dilakukan oleh direktorat teknis pada kementerian.
Adapun persyaratan bagi komunitas yang akan berpartisipasi adalah komunitas yang berbadan hukum atau ditetapkan oleh walikota/bupati; MBR dengan desil 1 s.d 4; tidak memiliki fixed income; belum pernah memiliki rumah; lahan atas nama sendiri atau berkelompok tapi dapat dipecah atas nama masing-masing; sudah berkeluarga; memiliki kemampuan berswadaya dan memiliki kelompok; dan jumlah minimal unit rumah adalah 50 unit. Hal ini cukup berbeda dengan penerapan konsep co-housing yang ideal dimana jumlah unit rumah yang dibangun sebaiknya berkisar antara 12-36 unit. Selanjutnya mengenai lokasi pelaksanaan bantuan harus memenuhi persyaratan berupa: lokasi sesuai dengan RTR sebagai kawasan perumahan; legalitas kepemilikan tanah jelas; tanah tidak bersengketa; aksesibilitas lokasi baik dan kualitas medan atau lapangan sesuai. Selanjutnya terkait dengan peran pemerintah/pemda adalah memberi bantuan infrastruktur dasar untuk menunjang berfungsinya perumahan komunitas; mempermudah proses perizinan dan memfasilitasi penyusunan rencana. Sedangkan peran akademisi adalah mengembangkan konsep framework kolaborasi dan memfasilitasi penyusunan rencana.
Saat ini, sudah terdapat sekitar 24 komunitas yang akan melaksanakan program perumahan berbasis komunitas yang tersebar di 22 lokasi dengan unit pembangunan rumah mencapai sekitar 7.472 unit. Salah satu implementasi program yang sudah berjalan adalah Pengembangan Perumahan Berbasis Komunitas untuk Persaudaraan Pemangkas Rambut di Garut. Setelah memahami jenis program perumahan berbasis komunitas yang diselenggarakan oleh pemerintah, maka dapat diambil kesimpulan bahwasanya konsep co-housing sangat memungkinkan diterapkan di Indonesia melalui program tersebut yang menyasar masyarakat berpenghasilan rendah
Penutup
Setelah mengetahui dan memahami definisi, peluang
pengimplementasian konsep Co-housing, tren
perubahan pola pikir masyarakat terhadap kepemilikan rumah, dapat disimpulkan
bahwa konsep tersebut tampak sebagai sebuah peluang emas dan keniscayaan di
tengah-tengah tantangan perkotaan yang menyebabkan sedikitnya lahan yang bisa
diakses dan mahalnya harga properti saat ini. Konsep rumah kolaboratif juga
sesuai dan sejalan dengan karakteristik masyarakat di Indonesia dimana kekuatan
modal sosial menjadi nilai utama yang dijunjung tinggi. Baik masyarakat di
permukiman kumuh maupun kaum milenial dapat menentukan dimana dan dengan siapa
mereka ingin tinggal serta jenis-jenis fasilitas publik yang sekiranya dibutuhkan
oleh komunitas tersebut. Pergeseran pola pikir mengenai kepemilikan aset bagi
kaum milenial juga menjadikan co-housing sebagai
salah satu opsi yang patut dipertimbangkan. Namun demikian, untuk mewujudkan
konsep co-housing dibutuhkan dukungan
dari seluruh stakeholder khususnya pemerintah daerah menyusun regulasi terkait
permukiman. Saat ini sudah terdapat sebuah program bernama Perumahan Berbasis
Komunitas yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Sasaran dari program tersebut
adalah komunitas masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan diadakannya program
pemerintah tersebut, kita dapat melihat arah kebijakan dan inovasi yang
mendukung terimplementasikannya konsep co-housing
di Indonesia. Namun belum familiarnya masyarakat luas terhadap konsep ini
juga dapat menjadi hambatan dalam pengimplementasiannya. Jadi, apakah konsep
rumah kolaboratif ini akan berkembang di Indonesia dalam waktu dekat?
Daftar
Pustaka
Vestbro, et al. 2012. Design for gender Equality – The
History of Cohousing Ideas and Realities. Aalto University
Tummers, L. 2016. The Re-emergence of Co-Housing in Europe.
New York
Aziz, F. 2017. Cohousing Concept: Commercial Business Model Development For Millenials in Urban Area of Indonesia. Institut Teknologi Bandung
Scotthanson, et al. 2005. The Cohousing Hanbook. Canada:
New Society Publishers
Asyah, AN. 2014. Penentuan Preferensi Bermukim Masyarakat Permukiman Kumuh di Bantaran Sungai Ciliwung, Manggarai Jakarta Selatan. Institut Teknologi Sepuluh Nopember
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/10/IMG_1177-1500x1125-1500x1125.jpg11251500adminhandalhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngadminhandal2019-10-14 10:39:492019-10-17 22:27:31Konsep Co-Housing: Sebagai Solusi Permasalahan Permukiman di Indonesia
Fenomena gentrifikasi mungkin sudah lama teridentifikasi
dan menjadi perbincangan di negara-negara belahan dunia ke-satu seperti di
Amerika dan Eropa. Banyak sudut pandang yang menyuarakan pro dan kontranya
terhadap fenomena ini karena memang gentrifikasi ibarat sebuah koin dengan dua
sisi mata uang yang berbeda. Perdebatan mengenai dampak positif maupun dampak
negatif dari gentrifikasi terus didengungkan hingga sekarang. Fenomena
gentrifikasi yang menyangkut banyak pihak seperti pemerintah, masyarakat kelas
menengah ke atas serta masyarakat kelas bawah menjadikan hal tersebut sebagai
suatu hal yang rumit dan membutuhkan banyak pendekatan. Saat ini fenomena
gentrifikasi sudah mulai merambah negara-negara di Asia termasuk di Indonesia.
Apa itu
Gentrifikasi?
Istilah gentrifikasi pertama kali muncul pada tahun 1964
dengan pencetus pertama Ruth Glass yang merupakan seorang ahli perkotaan. Belum
ada definisi pasti mengenai apa itu gentrifikasi, sehingga banyak opini dan
pendapat ahli yang mencoba untuk menerjemahkan maksud dari fenomena tersebut.
Menurut Lees et.al (2007), gentrifikasi merupakan sebuah proses transformasi
kelas sosial atau sebidang lahan kosong di kawasan perkotaan yang tadinya
dihuni oleh masyarakat kelas bawah menjadi kawasan kelompok kelas menengah yang
biasanya diperuntukkan sebagai kawasan komersial. Sehingga gentrifikasi
seringkali diasosiasikan sebagai bentuk penyesuaian kebutuhan kelas menengah
atau kaum kapitalis. Gentrifikasi cenderung terjadi pada kawasan-kawasan yang
letaknya berdekatan dengan kawasan permukiman kelas menengah atas (Guerrieri,
2013), dekat dengan pusat kota (Helms 2003), kawasan yang dilalui oleh layanan
transportasi massal (Helms, 2003), dan pada kawasan yang memiliki stok
perumahan lama (Kolko, 2007). Gentrifikasi juga berpotensi menyebabkan
perpindahan masyarakat kelas bawah ketika kelompok ekonomi menengah atas datang
dan menetap di sebuah kawasan yang mengakibatkan peningkatan harga sewa, harga
bahan baku dan harga jasa sehingga secara tidak langsung akan membuat masyarakat
kelas bawah tidak sanggup untuk bertahan dan pindah dari kawasan tersebut
(Atkinson, 2000). Namun demikian, gentrifikasi juga disebut-sebut sebagai alat
bantu yang dapat membawa perkembangan positif ekonomi kota ke arah yang lebih
baik, walau terkadang dampak negatifnya lebih banyak terasa (Feagin et.al,
1990).
Secara garis besar, terdapat dua pihak yang terlibat pada
setiap proses gentrifikasi. Yang pertama adalah stakeholder yang melakukan
gentrifikasi (gentrifier), dan yang
kedua adalah pihak yang tergentrifikasi (gentrified
people). Gentrifier biasanya
diidentifikasi sebagai bagian dari masyarakat kelas menengah dan datang dari
kalangan profesional. Menurut Ley (1996), terdapat dua tahapan gentrifikasi
yang dilakukan oleh gentrifier, yang
pertama gentrifier sebagai pioner
atau yang juga disebut sebagai pihak yang tidak menyadari kemungkinan risiko
yang akan terjadi (risk-oblivious).
Mereka memilih lokasi di pusat kota karena nilai-nilai kultural, gaya hidup dan
nilai sejarah yang terdapat pada lokasi tersebut. Yang kedua adalah kelompok
yang menghindari risiko (risk-averse)
yang memilih lokasi di pusat kota karena adanya peluang investasi di sana.
Berdasarkan penelitian mengenai gentrifikasi yang sudah dilakukan bertahun-tahun, pada umumnya kawasan-kawasan yang tergentrifikasi memiliki karakteristik yang mirip antara satu dan yang lainnya. Dari segi lokasi, kawasan yang tergentrifikasi cenderung berada di pusat kota. Adapun para gentrifier biasanya berasal dari kalangan profesional dan tidak terkecuali berasal dari kepemerintahan. Status sosial para gentrifier cenderung beragam namun pada umumnya datang dari kelas menengah ke atas. Tabel di bawah ini merupakan rangkuman dari karakteristik fenomena gentrifikasi yang terjadi di berbagai negara:
Sisi Negatif
Gentrifikasi
Setelah memahami definisi, karakteristik serta pelaku dalam
fenomena gentrifikasi, selanjutnya akan dibahas mengenai dampak negatif dari
fenomena tersebut. Walaupun masih menjadi perdebatan hingga sekarang, banyak
ahli perkotaan yang berpendapat bahwa gentrifikasi pada umumnya akan merugikan
sebagian unsur masyarakat perkotaan yaitu masyarakat marginal. Gentrifikasi
kerap disebut sebagai kolonialisme di era modern. Mengapa demikian?
Sama halnya dengan kolonialisme, gentrifikasi tidak hanya
merampas kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat lokal dan melemahkan kondisi
ekonomi mereka, tetapi juga menyangkut ketidakseimbangan kondisi sosial dan
rasial. Gentrifikasi mendorong terjadinya kapitalisme melalui permintaan pasar
(pembangunan real estate), namun
sekaligus membuat masyarakat yang tinggal lebih dulu di kawasan tersebut angkat
kaki (Wharton et.al, 2008). Perpindahan masyarakat kelas bawah kemudian dapat
dibagi menjadi dua jenis berdasarkan karakteristiknya. Yang pertama,
perpindahan karena adanya paksaan (involuntary).
Dan yang kedua adalah proses perpindahan yang dilakukan secara swadaya atau
sering disebut dengan voluntary.
Pada jenis perpindahan yang pertama (involuntary), biasanya terjadi pada masyarakat yang tidak memiliki
kejelasan terhadap status lahan sehingga ketika terdapat pembangunan properti
(untuk komersial atau residensial) yang berlokasi di lahan huniannya, mau tidak
mau masyarakat harus menyerahkan lahannya untuk keberlangsungan pembangunan.
Walaupun biasanya hal tersebut juga disertai dengan biaya kompensasi. Sedangkan
pada jenis perpindahan yang kedua (voluntary),
biasanya didahului oleh naiknya harga sewa properti di kawasan tersebut
sehingga mengakibatkan ketidakmampuan membayar uang sewa bagi penghuni kontrak
dan memutuskan untuk melakukan perpindahan. Jenis perpindahan yang kedua ini
juga dapat diinisiasi oleh meningkatnya harga jual properti, sehingga
masyarakat penghuni eksisting melihat peluang untuk menjual propertinya dan
mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari sebelumnya. Meningkatnya harga
sewa dan harga jual ini biasanya terjadi secara perlahan sehingga fenomena
gentrifikasi terkesan tidak kasat mata.
Sisi Positif
Gentrifikasi
Meskipun banyak penelitian yang mengatakan bahwa
gentrifikasi akan merugikan masyarakat marginal dan merampas hak-hak kehidupan
mereka, tidak sedikit pula hasil penelitian dan pendapat ahli yang mengatakan
bahwa gentrifikasi juga memberikan dampak positif terhadap kehidupan
masyarakat, terutama bagi perkembangan kawasan perkotaan kedepannya. Menurut
Atkinson (2002), gentrifikasi merupakan suatu proses yang mendukung upaya
revitalisasi dan perbaikan kawasan perkotaan. Gentrifikasi oleh sebagian orang
dianggap sebagai pertanda baik bagi pertumbuhan ekonomi.
Dilansir dari laman money.howstuffworks.com
dengan direvitalisasinya sebuah kawasan perkotaan, tentu akan meningkatkan
ketertarikan untuk berinvestasi bagi para investor. Hal tersebut berpotensi
meningkatkan kondisi ekonomi perkotaan ke arah yang lebih baik. Selain itu
dengan meningkatnya perputaran uang di kawasan yang tergentrifikasi melalui
revitalisasi kota, banyak aspek kehidupan bermasyarakat yang berpotensi terkena
dampak positif. Seperti, bangunan dan ruang hijau yang direnovasi akan menambah
keindahan dan nilai estetis suatu kawasan; banyaknya peluang kerja baru yang
tersedia setelah meningkatnya konstruksi pembangunan pusat perbelanjaan dan
perkantoran; menurunnya tingkat kriminal pada suatu kawasan karena menjadi
sebuah kawasan yang lebih ramai; dan kualitas lingkungan yang lebih baik juga
lebih bersih dapat dinikmati oleh masyarakat eksisting melalui kehadiran dari
masyarakat kelas menengah. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian dari
University of Colorado, University of Pittsburgh dan Duke University pada tahun
2008 yang meneliti tentang pendapatan total pada kawasan yang tergentrifikasi
pada rentang waktu tertentu. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa kelompok
masyarakat yang paling tinggi peningkatan pendapatannya adalah masyarakat kelas
bawah dengan jenjang pendidikan minimal SMA. Hal tersebut menjadi salah satu
contoh bahwa fenomena gentrifikasi tidak selamanya memarjinalkan masyarakat
kelas bawah.
Ellen dan O’Regan (2011) juga menemukan bahwa tidak adanya
peningkatan intensitas atas berpindahnya masyarakat marginal yang terjadi dalam
periode pertumbuhan ekonomi pada tahun 1990an. Hasil penelitian ini patut
dipertimbangkan mengingat ciri utama dari gentrifikasi adalah terjadinya
aktivitas eksodus oleh masyarakat berpenghasilan rendah atau kalangan minoritas
yang tergentrifikasi. Selain itu, Vidgor (2010), menggunakan data dari American Housing Survey dan menemukan
bahwa revitalisasi sebenarnya menguntungkan bagi seluruh masyarakat melalui
peningkatan harga, melalui peningkatan harga sewa maupun harga beli properti.
Hal tersebut berbanding lurus dengan perubahan yang disebabkan oleh proses
revitalisasi kota.
Kesimpulan
Gentrifikasi merupakan sebuah fenomena yang sering terjadi di kawasan perkotaan, baik yang prosesnya disadari maupun tidak. Perubahan karakteristik penghuni suatu kawasan, dari kelas menengah ke bawah menjadi kelas menengah ke atas seringkali dipandang merampas hak-hak kehidupan masyarakat yang terdampak. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena gentrifikasi yang biasanya sejalan dengan proses revitalisasi kota juga memberikan manfaat yang tidak sedikit terhadap perkembangan suatu kota. Gentrifikasi sendiri awalnya dikenal di negara-negara di belahan dunia ke-satu, yang disadari setelah meningkatnya harga sewa perumahan setelah masyarakat menengah ke atas bermukim di suatu kawasan marjinal. Saat ini, gentrifikasi juga kerap ditemui di negara-negara global south, tidak terkecuali di Indonesia. Lantas, bagaimanakah bentuk fenomena gentrifikasi yang terlihat di kota-kota di Indonesia? Bagaimanakah seharusnya peran pemerintah menyikapi fenomena ini mengingat banyaknya kepentingan yang ikut andil dalam satu proses gentrifikasi?
Daftar Pustaka
Pratiyudha,
P.P. 2019. Gentrifikasi dan Akar-Akar Masalah Sosial: Menakar Identifikasi,
Diagnosis, dan Treatment Proses
Gentrifikasi Sebagai Masalah Sosial. Reka Ruang
Uzun,
C.N. 2002. The Impact of Urban Renewal and Gentrification on Urban Fabric:
Three Cases in Turkey. Middle East Technical University Ankara.
Ley,
D. 1996. The New Middle Class and the Remaking of the Central City. New York:
Oxford University Press.
Mathema,
S. 2013. Gentrification An Updated Literature Review. Poverty & Race
Research Action Council.
Wharton,
J.L. 2008. Gentrification: The New Colonialism in the Modern Era. Stevens
Institute of Technology.
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/10/sebagian-warga-gusuran-bukit-duri-masih-menolak-pindah-ke-rusun-rawa-bebek-KufaTmErJs.jpg419800Authorhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngAuthor2019-10-09 19:44:502019-10-09 19:44:51Gentrifikasi, Sebuah Fenomena Perkotaan dengan Dua Sisi
Skema
public-private partnership sudah
mulai diadaptasi di Indonesia sejak tahun 2005. Hal tersebut dilatarbelakangi
oleh urgensi pembangunan infrastruktur dalam rangka mempercepat pertumbuhan
ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan pelayanan
publik yang baik. Di Indonesia, PPP diatur dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun
2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
Dalam Penyediaan Infrastruktur. Adapun yang menjadi definisi dari PPP
berdasarkan perpres tersebut adalah, kerjasama antara pemerintah dan badan
usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu
kepada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh penanggung jawab
proyek kerjasama, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan usaha
dengan memperhatikan pembagian risiko antara para pihak.
Di
Indonesia, PPP dilakukan dalam tiga tahapan yaitu Perencanaan, Persiapan dan Transaksi. Adapun skema PPP dibedakan
menjadi dua yaitu skema solicited dan
unsolicited. Solicited adalah kondisi dimana proyek pembangunan diinisiasi oleh
pemerintah, sedangkan unsolicited diinisiasi
oleh pihak swasta. Terkait skema pengembalian modal, PPP di Indonesia dapat
dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
Dibayarkan oleh pengguna
infrastruktur, dimana
pada skema ini pihak swasta menerima pengembalian modal dari harga yang
dibayarkan oleh pengguna infrastruktur;
Dibayarkan oleh pemerintah, pada skema ini proyek pembangunan
biasanya bukanlah proyek yang menghasilkan keuntungan maka pemerintah akan membayarkan
sejumlah pembayaran tahunan kepada pihak swasta sebagai pemasukan pokok; dan
Jenis pembayaran lainnya, selama hal tersebut sesuai dengan
hukum dan regulasi.
Adapun
jumlah proyek PPP yang berhasil ditender hingga tahun 2018 berjumlah 68 proyek pembangunan
infrastruktur yang terdiri dari berbagai macam sektor. Beberapa diantaranya
adalah pembangunan Jalan Tol Layang
Jakarta-Cikampek II; Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah Nambo; dan
Sistem Penyediaan Air Minum Umbulan.
Berikut ulasannya:
Implementasi
PPP: Jalan Tol Layang Jakarta – Cikampek II
Maksud
dari pembangunan jalan tol layang Jakarta-Cikampek II adalah untuk mensiasati
kemacetan yang sering terjadi di jalan tol non-layang Jakarta-Cikampek akibat
jumlah kendaraan yang sudah melebihi kapasitas jalan. Proyek ini dibangun di
atas jalan tol eksisting yang direncanakan akan memiliki panjang 36,4 km. Berdasarkan
data yang dihimpun dari laman PT Penjaminan dan Infrastruktur (PT PII),
diketahui bahwa proyek yang memiliki nilai invetsasi sebesar 14,7 triliun
rupiah ini merupakan bentuk kerjasama pemerintah dan swasta dengan skema build-operate-transfer atau BOT. Dengan
skema ini, kepemilikan infrastruktur akan dialihkan kepada pemerintah setelah
pihak swasta mengoperasikan infrastuktur dalam jangka waktu tertentu (estimasi
45 tahun) dan sudah mendapatkan pengembalian investasinya.
Pihak swasta yang bertanggungjawab terhadap proyek pembangunan ini adalah PT Jasamarga Jalan Layang Cikampek yang terdiri dari dua perusahaan yaitu PT Jasa Marga (Persero) Tbk dan PT Ranggi Sugiron Perkasa. Sedangkan dari pihak pemerintah diwakilkan oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang merupakan bagian dari Kementerian PUPR. Pendanaan dari proyek pembangunan infrastruktur ini berasal dari pinjaman bank dan ekuitas. Adapun yang menjadi wewenang dari pemerintah adalah menanggung risiko penyesuaian tarif, menanggung risiko politis dan menanggung risiko penghentian proyek. Berikut jadwal estimasi pengimplementasian proyek pembangunan infrastruktur Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek II:
Adapun skema PPP dalam proyek Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek II adalah sebagai berikut:
Implementasi
PPP: Tempat Pembuangan dan Pemrosesan Akhir Sampah Nambo
Pada
tahun 2017, Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersama dengan pihak swasta yaitu PT
Jabar Bersih Lestari telah menandatangani kontrak kerjasama untuk pembangunan
infrastruktur Tempat Pembuangan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Nambo.
Setiap harinya, teknologi di TPPAS Nambo akan mampu mengakomodir 1500-1800 ton
sampah. Salah satu maksud dari pembangunan TPPAS Nambo adalah untuk memproduksi
produk daur ulang seperti kompos dan Refuse
Derived Fuel (RDF) yang nantinya akan dijual kepada konsumen yaitu PT
Indocement. Nantinya TPPAS Nambo ini akan melayani wilayah Kota Bogor, Kota
Depok dan Kabupaten Bogor.
Proyek yang memiliki periode konsesi selama 25 tahun ini menggunakan skema PPP dalam bentuk BOOT atau Build-Own-Oepration-Transfer. Pihak swasta, dalam hal ini PT Jabar Bersih Letari berkewajiban melakukan pembangunan dan pengelolaan TPPAS Regional Nambo. Sebagai kompensasinya, pihak swasta akan memperoleh pendapatan berupa pembayaran jasa pengolahan sampah (tipping fee) dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat sesuai tarif yang telah ditentukan. Pihak swasta juga berhak memperoleh pendapatan dari hasil produk olahan sampah yaitu penjualan RDF seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan peran Pemprov Jabar adalah memastikan dan menjamin ketersediaan anggaran untuk membayar tipping fee. Pembangunan TPPAS Nambo dijadwalkan selesai pada tahun 2019. Berikut adalah skema kerjasama dalam pembangunan TPPAS Nambo:
Contoh
Implementasi PPP 3: Sistem Penyediaan Air Minum Umbulan
Proyek pengembangan infrastruktur Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan yang terletak di Jawa Timur dilatarbelakangi oleh kebutuhan pemenuhan penyediaan air minum di Jawa Timur khususnya di lima lokasi yaitu, Kabupaten Paurusan, Kota Pasuruan, Kota Sidoarjo, Kota Surabaya dan Kota Gresik. Adapun sumber mata air Umbulan yang menjadi lokasi pengembangan SPAM berada di 17 km dari Kota Pasurusan, tepatnya di Desa Umbulan. Sumber mata air Umbulan dapat dimanfaatkan sebanyak ± 4.000 liter/detik yang mampu menyediakan air minum yang berkualitas utuk 1,3 juta jiwa penduduk. Pengembangan SPAM Umbulan menggunakan skema kerjasama PPP dalam bentuk BOT. Adapun pihak pemerintah yang bertanggungjawab dalam pembangunan infrastruktur ini adalah Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Kementerian Keuangan juga berperan untuk memberikan bantuan dana kepada pihak swasta untuk menstabilkan tarif yang nantinya akan diberlakukan. Bantuan dana tersebut dikenal juga dengan istilah Viability Gap Fun (VGF). Proyek ini juga mendapatkan bantuan finansial dari Kementerian PUPR dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, serta diawasi oleh PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia. Sedangkan pihak swasta yang juga berperan sebagai investor adalah konsorsium PT Bangun Cipta Kontraktor dan PT Medco Energy International. Nantinya pihak swasta tersebut akan mendapatkan pemasukan dari BUMD air minum di Jawa Timur sebagai konsumen dari penyediaan air minum tersebut. Diketahui bahwa periode konsesi pada proyek ini adalah 25 tahun. Proyek ini ditargetkan dapat mulai operasionalnya pada tahun 2020 setelah sembilan tahun memulai tahap persiapan. Untuk memahami skema kerjasama pada proyek pengembangan SPAM Umbulan, dapat melihat diagram di bawah ini:
Kesimpulan
Penerapan skema PPP di Indonesia sudah mulai terlihat sejak munculnya Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Sebagian besar skema PPP yang dilakukan di Indonesia distimulus karena terbatasnya anggaran pemerintah untuk dapat mengakomodir pembangunan infrastruktur publik. Skema PPP ini dirasa sangat meringankan beban pemerintah karena selain menyederhanakan kebutuhan anggaran juga dapat memperbaiki kualitas infrastruktur publik itu sendiri. Bentuk PPP yang paling sering diterapkan di Indonesia adalah build-operate-transfer (BOT), dimana nantinya infrastruktur yang dibangun dan dioperasikan oleh pihak swasta akan dialihkan kepemilikannya kepada pemerintah dalam jangka waktu yang ditentukan (masa konsesi). Skema kerjasama pemerintah dan swasta ini telah merambah beberapa sektor pembangunan, terutama di sektor infrastruktur transportasi dan jalan, infrastruktur persampahan dan infrastruktur air minum. Lantas, bagaimana jika PPP diterapkan pada sektor pembangunan lainnya seperti sektor properti, pariwisata, perumahan rakyat dan lain sebagainya? Akankah memiliki proses dan manfaat yang sama dengan penerapan PPP di sektor-sektor lainnya?
Daftar Pustaka
Bappenas.
2015. Sustaining Partnership: Kelembagaan
TPPAS Nambo Pastikan Sinergitas Empat Pemerintah. Jakarta.
Bappenas.
2016. Sustaining Partnership: Proses
Panjang Penyiapan Proyek TPPAS Nambo. Jakarta.
Bappenas.
2018. Public-Private Pertnership
Infrastructure Project Plan in Indoensia. Jakarta.
Putra,
A.P. 2016. Model Public Private
Partnership Pada Pengelolaan Sistem Penyediaan Air Minum Umbulan di Jawa
Timur dalam Konteks Open Government. Universitas
Airlangga. Surabaya
PT
Penjamin Infrastruktur Indonesia. 2017. Acuan Alokasi Risiko KPBU di Indonesia.
Jakarta.
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/09/ppp11.jpg5631000Authorhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngAuthor2019-09-24 18:42:152019-10-04 02:02:25PPP Series #3 Skema Public-Private Partnership: Pembangunan Infrastruktur melalui Penerapan PPP di Indonesia
Pembahasan
mengenai public-private partnership akan
berlanjut kepada contoh-contoh pengimplementasian skema kerjasama PPP di
mancanegara. Sudah terdapat ratusan proyek dengan skema PPP di berbagai penjuru
dunia sejak puluhan tahun lalu. Bahkan, beberapa negara telah membentuk lembaga
yang mengatur dan mengkoordinir kegiatan PPP di negaranya. Skema PPP banyak
dilakukan di berbagai sektor seperti properti, transportasi, infrastruktur
lingkungan dan lain sebagainya. PPP tidak hanya terpaku pada proyek yang
bersifat nasional namun juga pada proyek-proyek yang sifatnya regional.
Pembahasan kali ini akan fokus kepada tiga contoh pengimplementasian skema PPP
di Filipina, Jepang dan Skotlandia. Berikut uraian lebih lengkapnya:
Filipina:
Pasar San Jose de Buenavista, Antique
Filipina
merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang sangat mendorong penerapan
PPP dalam pembangunan infrastrukturnya. Hal ini terlihat dari dibentuknya
sebuah lembaga pemerintahan bernama Public-Private Partnership Center (PPP
Center) yang menjadi koordinator dan memonitor penerapan PPP dalam pembangunan
infrastruktur publik. PPP Center bertugas untuk memberikan pendampingan teknis
kepada pihak pemerintah maupun swasta dalam hal pengembangan dan pembangunan
infrastruktur publik.
Salah satu pengembangan infrastruktur publik di bidang properti yang menerapkan skema PPP di Filipina adalah pembangunan pasar di San Jose de Buenavista, ibukota dari provisi Antique. Pada tahun 1993, pasar tersebut terbakar dan sekitar 200 pedagang harus direlokasi. Berbagai cara telah dipikirkan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, salah satunya dengan kerjasama PPP melalui skema BOT. Pembiayaan melalui skema BOT pada saat itu sangatlah menarik bagi Local Government Unit (LGU) karena tidak membutuhkan anggaran dari pemerintah lokal. Namun demikian, pada saat itu terdapat beberapa pertimbangan yang memberatkan diantaranya: a) Membutuhkan waktu dan proses yang panjang untuk mengadopsi skema tersebut karena pemerintah pusat juga akan mengambil peran di dalamnya; b) Proses penawaran publik yang mengharuskan adanya pemilihan partner BOT juga kerap membuthkan waktu yang tidak sebentar; c) Pada saat itu BOT merupakan konsep baru sehingga terdapat beberapa pertimbangan tentang cara kerja dan persyaratan yang harus dilalui. LGU mencari solusi yang lebih sederhana, cepat dan lebih murah. Setelah melakukan konsultasi, LGU memutuskan akan mengadopsi skema BOT dengan penyempurnaan yang tidak mengikutsertakan penawaran publik dan persetujuan dari pemerintah pusat. Di bawah skema Build-Lease-Transfer (BLT), para pedagang akan menyediakan dana untuk membangun kios mereka sendiri dengan spesifikasi yang sesuai dengan rencana induk kawasan pasar baru.Para pedagang akan dianggap sebagai pemilik kios dan membayar pajak properti rill yang semestinya selama periode kontrak yaitu 20 tahun. Mereka juga akan membayar biaya sewa untuk ruang yang mereka tempati di gedung, Pedagang yang tidak mampu untuk membangun kiosnya sendiri dapat menyewa kios yang disediakan oleh pemerintah daerah. Adapun peran dari pemerintah lokal adalah dengan merancang rencana induk dari pasar di San Jose de Buenavista yang berkordinasi dengan kementerian pekerjaan umum. Pemerintah daerah juga mengatur pembangunan kios mandiri maupun kios yang disediakan oleh pemerintah.
Jepang:
Bandar Udara Sendai
Setelah munculnya keputusan dari pemerintah untuk mendorong kerjasama PPP pada tahun 1999, jumlah maupun cakupan lingkup proyek pembangunan dengan skema PPP meningkat tajam di Jepang. Diketahui terdapat 527 proyek PPP yang sudah diimplementasikan per tanggal 31 Maret 2017. Hal tersebut didasari oleh tekanan untuk mereduksi anggaran pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. Melalui skema kerjasama PPP, dimana pihak swasta akan menanamkan modal, melakukan proses kontruksi maupun mengatur operasional infrastruktur, tentu akan meringankan beban pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang berkualitas bagi masyarakat. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh World Bank pada tahun 2017, diketahui bahwa pada tahun 2016 sekitar 60% kerjasama PPP menggunakan skema Build-Transfer-Own (BTO), dimana pada masa konstruksi kepemilikan akan berada di pihak swasta untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah ketika proses konstruksi selesai.
Namun belakangan ini, skema concession sering digunakan di Jepang, salah satunya ketika proses privatisasi operasional bandar udara Sendai dilakukan pada tahun 2015. Pemerintah pusat Jepang kala itu berkeinginan untuk menjual 30-50 tahun hak konsesi bandar udara yang semula dimiliki oleh pemerintah lokal. Privatisasi didorong oleh meningkatnya permintaan akan manajemen bandara yang efisien. Saat itu pemerintah harus mengatur kondisi fasilitas bandara di bawah kondisi fiskal yang berantakan, persaingan maskapai yang tidak sehat dan permintaan atas jasa bandara yang lebih fleksibel dan murah. Sebelum terjadinya konsesi, terdapat kesepakatan bahwa pemerintah Jepang memiliki fasilitas dasar yang berhubungan dengan aeronotika, sedangkan pihak swasta memiliki dan berhak atas pengelolaan fasilitas non-aeronotika seperti terminal bandara dan tempat parkir kendaraan. Namun pembagian tersebut dirasa menghalangi bandara Jepang untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Maka setalah konsesi, pihak swasta akan mengelola baik operasional yang berhubungan dengan aeronotika maupun yang tidak.
Setelah
skema konsesi tersebut dilakukan, maka bandar udara Sendai yang sempat
menghadapi bencana gempa bumi hingga perlu untuk direvitalisasi, dapat
diperbaiki dengan cepat dan tidak memberatkan pihak pemerintah. Setelah
diperbaiki banda Sendai juga menjadi lebih kompetitif dan dapat melayani
masyarakat dengan baik.
Skotlandia:
Pengolahan Air Limbah Skotlandia Timur
Negara
selanjutnya yang mengadaptasi skema kerjasama PPP adalah Skotlandia. Skema PPP
menjadi tren dalam pengadaan infrastruktur setelah dilakukannya evaluasi yang
menunjukkan bahwa opsi PPP menawarkan lebih banyak keuntungan bagi seluruh
pihak relevan dibandingkan dengan skema tradisional pembiayaan oleh pemerintah.
Sehubungan dengan semakin banyaknya pengimplementasian PPP di Skotlandia, maka
dibentuklah Private Finance Unit (PFU) yang
bertujuan untuk memberikan bimbingan dan dukungan baik bagi pemerintah maupun
pihak swasta yang menerapkan skema kerjasama PPP di Skotlandia.
Salah
satu sektor infrastruktur publik yang banyak menggunakan skema kerjasama PPP
adalah sektor pengolahan air limbah. Di bagian timur Skotlandia sendiri
terdapat dua perusahaan swasta yang bertanggungjawab dalam pengolahan air
limbah yaitu, Stirling Water dan Celedonian Environmental Services (CES). Stirling
Water merupakan sebuah konsorsium yang terdiri dari tiga perusahaan yaitu
Thames Water, MJ Gleeson, dan Montgomery Watson. Skema kerjasama PPP yang diadaptasi
dalam pengolahan air limbah adalah BOT. Stirling Water bertanggungjawab atas design, building, operating dan mantaining fasilitas pengolahan air
limbah, hingga kemudian setelah konstruksinya rampung akan ditransfer kepada
pihak operator yaitu Thames Water International, yang akan mengoperasikan fasilitas
tersebut selama 30 tahun. Sedangkan CES merupakan 50/50 joint venture dari perusahaan Northumbrian Water dan Scottish
Power. Kontrak antara CES dengan Skotlandia Timur berlangsung selama 40 tahun
utuk meningkatkan kualitas air antara kota Kelty dan Leven.
Dalam penyelenggaraan skema kerjasama PPP, pihak pemerintah berperan sebagai regulator yang mengontrol kualitas dan performa dari fasilitas pengolahan air limbah. Pemerintah juga berperan untuk menetapkan tarif pelayanan setelah sebelumnya melakukan konsultasi kepada pihak-pihak terkait pengelolaan air di Skotlandia. Untuk pemahaman yang lebih rinci dapat dilihat skema PPP di bawah ini:
Kesimpulan
Banyaknya jenis dari skema PPP menjadikan kerjasama pihak pemerintah dan pihak swasta sebagai bentuk kerjasama yang fleksibel dan efisien. Pembagian kerja dan tanggungjawab antar pihak yang revelan dapat menstimulus lahirnya infrastruktur publik dengan kualitas terbaik, kompetitif dan mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat. Berbagai contoh penerapan PPP mancanegara di atas menunjukan bahwa skema kerjasama PPP dapat menyelesaikan ketiadaan infrastruktur publik secara lebih cepat dan efisien, terutama bagi kawasan-kawasan yang habis tertimpa bencana seperti contoh kasus Filipina dan Jepang. Lantas, bagaimanakah kondisi penerapan skema PPP itu sendiri di Indonesia? Apakah regulasi dan sistem kepemerintahan di Indonesia mendukung adanya kerjasama PPP dalam pembangunan infrastruktur publik?
Daftar Pustaka
Asian
Development Bank. 2016. Philippines: Public-Private Partnership By Local
Government Units. Manila.
European
Commission. 2004. Resourse Book on PPP Case Studies. European Commission.
Brussels.
The World
Bank. 2017. Resilient Infrastructure Public-Private Partnerships (PPPs):
Contract and Procurement The Case of Japan. The World Bank. Washington, DC.
Sato, M
et.al. 2016. Recent Developments in Public-Private Partnership in Japan. Mori
Hamada & Matsumoto. Tokyo.
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/09/ppp6.jpg367612Authorhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngAuthor2019-09-24 18:27:012019-10-04 01:59:28PPP Series #2 Skema Public-Private Partnership: Pembangunan Infrastruktur melalui Penerapan PPP di Mancanegara
Demi tercapainya tujuan Indonesia Emas 2045, saat ini Indonesia sedang melakukan pembangunan masif di segala bidang, khususnya pembangunan infrastruktur publik. Anggaran serta target-target lokasi pembangunan infrastruktur kerap menjadi headline di berbagai media mengingat pembangunan infrastruktur sedang gencar dilakukan di berbagai daerah. Namun apakah yang dimaksud dengn infrastruktur publik itu sendiri? Menurut Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, diketahui bahwa infrastruktur memiliki arti fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras dan lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi sosial masyarakat dapat berjalan baik. Dari definisi tersebut, dapat diambil benang merah bahwa penyediaan infrastruktur publik berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi.
Menurut Yescombe (2007), infrastruktur
publik dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu:
Infrastruktur
‘ekonomi’, seperti fasilitas transportasi dan jaringan utilitas (air, drainase,
listrik dll), atau infrastruktur yang mendukung kegiatan ekonomi
sehari-harinta; dan
Infrastruktur
‘sosial’, seperti sekolah, rumah sakit, perpustakaan. Atau dengan kata lain
infrastruktur yang membentuk struktur sosial masyarakat.
Seyogyanya,
pemerintahlah yang harus menyediakan seluruh infrastruktur publik demi menjaga
persaingan dan stabilitas harga namun demikian terdapat beberapa risiko yang
riskan terjadi. Salah satunya adalah terbatasnya anggaran pemerintah untuk
mendanai pembangunan infrastruktur publik yang berpotensi memakan waktu yang
lama. Proyek infrastruktur publik dapat berhenti di tengah jalan dan pemerintah
tentu saja akan mengalami kerugian. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka
dibutuhkan skema pendanaan dan pengelolaan infrastruktur publik melalui
kerjasama pemerintah dengan pihak kedua, yaitu swasta. Skema tersebut dikenal
dengan skema Public-Private Partnership (PPP).
Public-Private Partnership (PPP)
Istilah PPP pertama kali muncul di
Amerika ketika terdapat sebuah program pengembangan pendidikan dan pengadaan
utilitas dengan skema pendanaan pemerintah dan swasta pada tahun 1950. Kemudian
skema ini dikembangkan untuk program-program penataan kota pada tahun 1960. Adapun
yang menjadi definisi dari PPP menurut Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2015
adalah kerjasama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan
infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah
ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/ Kepala Daerah/ BUMN/ BUMD
yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan
memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak.
Adapun unsur penting yang melekat pada
skema PPP adalah sebagai berikut:
Terdapatnya
kontrak jangka panjang (kontrak PPP) antara pihak pemerintah dengan pihak
swasta;
Desain,
konstruksi, pembiayaan dan operasional dari infrastruktur publik dilakukan oleh
pihak swasta;
Pembayaran
selama kontrak PPP berlangsung akan diterima oleh pihak swasta yang merupakan
hasil dari operasional infrastruktur itu sendiri, dibayarkan oleh pihak
pemerintah atau oleh pengguna infrastruktur tersebut; dan
Kepemilikan
infrastruktur dapat tetap berada di tangan swasta atau ditransfer ke pemerintah
pada akhir kontrak PPP.
Adapun
pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama PPP tentu saja adalah pemerintah dan
pihak non-pemerintah. Pihak pemerintah bisa berupa pemerintah pusat, pemerintah
daerah, atau lembaga negara lainnya. Sedangkan pihak non-pemerintah biasanya
sebuah perusahaan yang dirancang oleh investor
swasta, yang memiliki misi khusus untuk memenuhi kontrak PPP dengan
pemerintah.
Penerapan
PPP dalam penyediaan infrastruktur publik, merupakan skema kerjasama yang
menguntungkan kedua belah pihak baik pemerintah maupun swasta. Pihak swasta
akan memberikan modal serta bertanggungjawab untuk membangun dan mengelola
sarana prasarana infrastruktur, sedangkan pihak pemerintah merupakan pihak yang
akan memayungi dengan kebijakan dan peraturan pelayanan.
PPP
juga dikenal dengan banyak istilah. World Bank kerap kali menggunakan istilah Private Participation in Infrastructure (PPI)
atau Private-Sector Participation (PSP).
Australia menggunakan istilah Privately-Finaced
Projects (PFP). Sedangkan Inggris,
Jepang dan Malaysia menggunakan istilah Private
Finance Initiative (PFI).
Tujuan dan Manfaat PPP
Adapun
yang menjadi tujuan penyelenggaraan skema kerjasama PPP adalah sebagai berikut:
Menjadi
alternatif pendanaan yang berkelanjutan melalui pengerahan dana swasta;
Meningkatkan
kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat;
Meningkatkan
kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan infrastruktur; dan
Mendorong
dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, atau dalam hal
tertentu mempertimbangkan daya beli pengguna.
Terjalinnya
skema kerjasama PPP akan memberikan beberapa manfaat terkait penyelenggaran
infrastruktur publik, seperti:
Mengurangi risiko kegagalan proyek akibat kurang maksimalnya anggaran penyediaan infrastruktur oleh pemerintah;
Menstimulus keikutsertaan penawar (perusahaan swasta) yang telah berpengalaman dan berkualitas baik dalam bidang penyelenggaraan infrastruktur;
Jaminan harga pasar yang rendah dan stabil;
Mempercepat pembangunan infrastruktur publik sehingga dapat mendorong investasi yang menciptakan pertumbuhan ekonomi;
Meningkatkan kesediaan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan, sedapat mungkin tanpa jaminan pemerintah; dan
Mencegah keungkinan terjadinya praktik KKN
Jenis-Jenis PPP
Terdapat beberapa jenis skema kerjasama
pemerintah dan swasta yang termasuk ke dalam PPP diantaranya:
Concession
Kondisi dimana pihak swasta (the Concessionaire) berhak untuk
mengambil keuntungan dari operasional infrastruktur publik yang digunakan oleh
masyarakat. Sebagai contoh pembayaran atas penggunaan jalan tol atau jembatan.
Pemasukan tersebut akan menggantikan biaya konstruksi dan operasional yang
sebelumnya ditanggung oleh pihak swasta. Sedangkan peran dari pemerintah adalah
menentukan kebijakan tentang penunjukan penugasan dan SOP pihak swasta, serta
menentukan kebijakan rinci mengenai pembangunan dan operasionalisasi dari
fasilitas itu sendiri.
Franchise
Kondisi dimana pihak swasta berhak untuk
memanfaatkan infrastruktur publik yang telah terbangun. Dalam hal ini, pihak
swasta akan melakukan pembayaran kepada pihak pemerintah sebagai imbalan atas
hak pemanfaatan infrastruktur.
Design
– Build – Finance – Operate (DBFO)
Kondisi dimana kepemilikan fasilitas
berada di tangan pemerintah, namun pihak yang bertanggungjawab untuk
mengoperasikan fasilitas tersebut adalah pihak swasta. Pihak swasta juga akan
menerima keuntungan dari hasil operasional fasilitas tersebut.
Build
– Transfer – Operate (BTO)
Kondisi dimana pihak swasta mendanai dan
membangun fasilitas dan selanjutnya kepemilikan fasilitas akan diserahterimakan
kepada pemerintah ketika proses konstruksi sudah selesai dilakukan. Selanjutnya
pihak swasta akan mengoperasikannya untuk suatu periode yang telah ditentukan
di kontrak.
Build
– Operate – Transfer (BOT)
Kondisi dimana pihak swasta sebagai
investor menyediakan sarana infrastruktur mulai dari pembebasan lahan sampai
dengan pembangunan fisik, dilanjutkan dengan pengoperasiannya untuk mendapatkan
pengembalian investasinya dan profit sampai batas waktu tertentu kemudian
diserahkan kepada pemerintah untuk pengelolaan selanjutnya.
Build
– Own – Operate (BOO)
Kondisi dimana pihak swasta
mendanai, membangun da mengoperasikan suattu fasilitas, dengan memperoleh
insentif untuk melakukan investasi lebih lanjut namun pihak pemerintah mengatur
harga dan kualitas layanan. Skema ini banyak digunakan untuk menyediakan
fasilitas baru yang dapat diantisipasi agar permintaan pasar akan selalu ada.
Untuk lebih memahami beragam jenis skema PPP, dapat dilihat tabel di bawah ini:
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa PPP merupakan sebuah alternatif kerjasama yang dapat mempercepat pembangunan dan meningkatkan kuantitas serta kualitas infrastruktur publik. Terdapatnya berbagai jenis skema PPP yang dapat diadaptasi untuk mewujudkan infrastruktur publik yang berdaya saing, menjadikan PPP sebagai pilihan skema kerjasama yang fleksibel, yang sesuai degan kebutuhan pihak pemerintah. Lantas, apakah penerapan skema PPP selama ini terbukti efektif dalam menyediakan infrastruktur untuk publik? Adakah best practice penyelenggaraan PPP baik di Indonesia maupun di mancanegara?
Daftar Pustaka
Yescombe,
E.R. 2007. Public-Private Partnership Principles of Policy and Finance.
Elsevier Ltd.
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/09/2018Dec_Collection_Public-Private-Partnerships.png384640Authorhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngAuthor2019-09-24 18:17:282019-10-04 01:56:56PPP Series #1 Skema Public-Private-Partnership: Sebuah Opsi Pembangunan Infrastruktur Publik
Belum lama ini, Indonesia sedang
dihebohkan dengan keputusan presiden untuk memindahkan ibukota negara dari
Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara,
Provinsi Kalimantan Timur. Jakarta dianggap sudah ‘terlalu lelah’ untuk
berperan sebagai ibukota ditengah segala problematika yang dihadapinya. Tak
perlu dijelaskan lebih detail, kita semua tahu bahwa Jakarta adalah biang
kemacetan yang memiliki kualitas udara sangat buruk. Dalam sebuah survei Quality of Living Ranking 2019 yang
dilakukan oleh lembaga Mercer, diketahui bahwa kualitas keidupan di Jakarta
menempati peringkat 142 dari 231 kota. Tertarik untuk menelaah hasil survei ini
lebih dalam, ternyata terdapat pula ibukota dari beberapa negara yang
peringkatnya tidak jauh dari Jakarta. Ibukota negara mana sajakah itu? Simak
ulasannya!
Hanoi,
Vietnam
Hanoi, ibukota negara Vietnam yang
memiliki karakteristik cukup mirip dengan ibukota lainnya di Asia Tenggara,
termasuk Jakarta. Hanoi menempati peringkat 155 dalam Quality of Living City
Ranking atau sekitar 13 peringkat di bawah Jakarta. Hanoi sudah menjadi Ibukota
Vietnam selama kurang lebih 1000 tahun. Dahulu kala, letaknya yang strategis
kerap dijadikan sebagai political centre oleh
para kasiar Cina. Hanoi juga merupakan wilayah dengan aksesibilitas air bersih
yang baik karena letaknya yang berdekatan dengan Red River. Kini, Hanoi telah bertransformasi dari kota perdagangan
dan jasa menjadi kota industri dan pusat pertanian. Kendati demikian, Hanoi
tetap menghadapi permasalahan layaknya kota-kota di negara berkembang lainnya.
Masalah utama yang dihadapi kote Hanoi
adalah kemacetan. Hanoi dijuluki kota dimana sepeda motor lebih banyak jumlahnya
ketimbang jumlah kepala keluarga yang tinggal di kota tersebut. Akibatnya,
kemacetan dan kecelakaan lalu lintas sudah menjadi hal yang wajar di Hanoi. Berdasarkan
data Departemen Kepolisian, pada tahun
2015 terdapat 50.682.934 kendaraan bermotor di Hanoi. Diprediksi pada tahun
2020, jumlah kendaraan bermotor di Hanoi akan bertambah sebanyak 843.000 unit mobil
dan 6,1 juta unit sepeda motor. Fakta tersebut membawa Hanoi ke persoalan
lainnya yaitu buruknya pencemaran lingkungan. Berdasarkan laporan dari Department of Environmental Protection, dikatakan
bahwa 70% dari polusi udara yang terjadi di Hanoi disebabkan oleh asap
kendaraan bermotor. Menurut perhitungan kualitas udara di dua kota besar di
Vietnam, yaitu Hanoi dan Ho Chi Minh, diketahui bahwa 95% kendaraan yang
menyebabkan kemacetan adalah sepeda motor yang hanya mengkonsumsi 56% bahan
bakar namun mengeluarkan 94% hidrokarbon (HC), 87% karbon monoksida (CO), 57%
nitrogen oksida (Nox).
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, Kota Hanoi sudah mempersiapkan beberapa strategi, diantara: mempromosikan penanaman 1 juta pohon sejak tahun 2018-2020; Memperbaharui manajemen transportasi kota dengan cara melarang penggunaan sepeda motor per 2030; membatasi usia kendaraan; dan mengimplementasikan rencana pengembangan transportasi piblik berupa BRT dan metro berdasarkan masterplan 2030-2050. Semangat berbenah, Hanoi!
New
Delhi, India
Ibukota selanjutnya yang memiliki
problematika mirip dengan Jakarta adalah New Delhi yang merupakan Ibukota dari negara
India. New Delhi menempati peringkat 162 dalam Quality of Living City Ranking. Berdasarkan
website worldpopulationreview.com diketahui
bahwa New Delhi menempati peringkat kedua sebagai kota dengan popluasi
terbanyak dengan jumlah penduduk sebanyak 29.399.141 jiwa. New Delhi berlokasi
di India Utara dan merupakan salah satu kota dengan perkembangan tercepat di
dunia. New Delhi menjadi ibukota India sejak tahun 1931 setelah kolonial
Inggris memiliki rencana memindahkan Ibukota India dari Kalkuta pada tahun
1911. Nampaknya, butuh waktu selama 20 tahun bagi New Delhi untuk berbenah
sebelum benar-benar dinobatkan sebagai ibukota negara. Kendati demikian,
meskipun merupakan ibukota baru, perkembangan New Delhi juga tidak luput dari
permasalahan-permasalahan perkotaan.
Sama halnya dengan Vietnam dan Jakarta,
New Delhi juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kotanya merupakan biang kemacetan.
Dilansir dari delhi.com, diketahui
bahwa rata-rata orang yang berkendara dengan kendaraan pribadi di National Capital Territory atau New
Delhi adalah sebesar 95% dari total populasi. Berdasarkan cseindia.org, diketahui bahwa di 13 jalan arteri di New Delhi yang
didesain untuk kecepatan 40-55 km/jam hanya mampu menampung kendaraan dengan
kecepatan 26-27 km/jam atau 50-60% lebih lambat dari yang seharusnya. Tidak
pula ada perbedaan antara waktu-waktu peak
hours dan bukan peak hours,
tingkat kemacetan di New Delhi tetap sama. Pelebaran jalan justru semakin
menstimulus masyarakat Delhi untuk menggunakan kendaraan pribadinya. Dampak
lain dari kemacetan yang masif di New Delhi adalah polusi udara yang
membahayakan kesehatan masyarakat. CSE
India juga menganalisis data kualitas udara tiap jam yang menunjukan bahwa
ketika rata-rata kecepatan kendaraan bermotor adalah 28 km/jam pada pagi hari
dan 25 km/jam pada sore hari, maka tingkat nitrogen dioksida (NO2) meningkat
dari 69 mikrogram/m2 ke 94 mikrogram/m2 (38%).
Untuk mensiasati masalah ini,
pemerintah kota Delhi telah mengambil langkah untuk mengembangkan pembangunan
jalur pejalan kaki dan jalur sepeda di dalam kota New Delhi. Hal tersebut
dilakukan untuk mendorong masyarakat Delhi berjalan kaki dan bersepeda agar
tingkat kemacetan dan polusi udara dapat berkurang. Ide lainnya adalah dengan
mengembangkan pemberhentian dan perempatan di bawah tanah.
Tidak berhenti disitu, masalah lainnya yang terjadi di kota New Delhi adalah tingginya angka kriminalitas. Setengah dari tindakan kriminalitas yang terjadi di New Delhi dipacu oleh pelecehan seksual kepada wanita. Hal tersebut telah menyebabkan banyaknya nyawa yang telah hilang di New Delhi. Dilansir dari data yang dipublikasikan oleh Departemen Kepolisian Delhi, diketahui bahwa per tanggal 31 Agustus 2019, telah terajdi sekurangnya 200.485 tindak kriminal di New Delhi. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan tingkal kriminal per tanggal 311 Agustus tahun 2018 yaitu sekitar 157.462 kasus. Angka tersebut cukup besar jika dibandingkan dengan tingkat kriminalitas di DKI Jakarta yang pada tahun 2017 mencapai angka 34.767 kasus (BPS, 2018).
Kairo,
Mesir
Kairo yang terletak di Mesir, menempati
peringkat 177 dalam Quality of Living City Ranking. Sama halnya dengan
Indonesia, saat ini Mesir sedang dalam proses untuk memindahkan Ibukotanya. Ya,
rencananya pada musim gugur tahun ini Kairo akan pensiun menjadi ibukota dari
negara Mesir. Rencana pemindahan ibukota Mesir pertama kali muncul pada tahun
2015 yang merupakan usulan dari Presiden Mesir, yaitu Abdel-Fattah al-Sisi. Lokasi
baru tersebut letaknya hanya 45 km dari Kairo dan 60 km dari Sungai Suez.
Lokasi baru yang belum memiliki nama tersebut sering disebut sebagai ‘New Cairo’ oleh masyarakat dan media. Nantinya
seluruh gedung pemerintahan, kedutaan besar dan rumah dinas akan direlokasi ke
lokasi baru tersebut. Ibukota baru Mesir dibangun di atas tanah seluas 69.000
hektar atau setara dengan dua kali luas Kairo yang mana pembangunannya memakan
biaya sebesar 40,75 miliyar euro. Lantas, apakah yang menyebabkan dicabutnya
Kairo sebagai ibukota Mesir?
Pemerintah Mesir berpendapat bahwa Kairo akan tumbuh menjadi sebuah kota yang sangat padat penduduknya. Pertumbuhan penduduk Kairo akan mencapai 40 juta penduduk pada tahun 2050. Kairo tidak hanya kota terbesar di Arab dan Afrika Utara melainkan juga kota dengan kepadatan penduduk tertinggi. Tingginya angka populasi di Kairo ini memiliki dua dampak yang berbeda. Di satu pihak hadirnya Kairo sebagai megacity menjadi penggerak bagi pertumbuhan sosial dan ekonomi Mesir. Namun di sisi lain, hal tersebut juga menyebabkan meningkatnya kemiskinan dan juga degradasi lingkungan. Pemerintah Mesir percaya bahwa tingginya angka populasi di Kairo merupakan kontributor terbesar terhadap permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dihadapi oleh Kairo saat ini. Kairo juga menghadapi persoalan kemacetan yang tidak kunjung reda. The World Bank menyatakan bahwa setidaknya terdapat 1.000 nyawa melayang akibat kecelakaan lalu lintas, dimana setengah dari jumlah tersebut adalah pejalan kaki. Kemacetan tidak hanya berbahaya bagi keselamatan publik tetapi juga merugikan pertumbuhan ekonomi. Dilansir dari wikipedia, kemacetan yang terjadi di Kairo selama 1 tahun akan memberikan kerugian sebesar 7,24 triliyun euro atau setara dengan 4% PDB Mesir. Selain masalah kemacetan, Kairo juga mengalami masalah polusi, baik polusi udara maupun polusi suara. Polusi udara di Kairo disebabkan oleh jarangnya turun hujan, tingginya gedung pencakar langit dan keberadaan jalan-jalan yang sempit yang mengakibatkan terjadinya bowl effect sehingga ventilasi kota tidak bekerja dan polusi seolah tertahan di dalam kota. Selain itu polusi udara juga disebabkan oleh membludaknya kendaraan bermotor. Sedangkan untuk polusi suara, faktor yang mempengaruhinya adalah klakson kendaraan bermotor yang terus terjadi selama 24 jam sehari. Kehidupan di tengah kota Kairo, dimana tingkat kebisingan rata-rata mencapai 90 desibel dan tidak pernah turun di bawah 70 desibel, menjadikan masyarakat layaknya tinggal di sebuah pabrik .
Refleksi
Terhadap Jakarta
Melihat resiliensi dari Hanoi, New
Delhi dan Kairo yang sampai saat ini masih menjadi ibukota dari negaranya
masing-masing, mengajak kita untuk merefleksikan kembali kondisi di Jakarta.
Jika ditelaah, kita dapat melihat bahwa sebetulnya kota-kota tersebut memiliki
permasalahan yang cukup mirip dengan apa yang dihadapi oleh Jakarta. Sebagian
besar permasalahan muncul akibat padatnya jumlah penduduk yang tentu saja akan
merembet ke persoalan lain seperti kemacetan, polusi udara, tingkat
kriminalitas yang tinggi dan lain sebagainya. Kemiripan lainnya adalah
permasalahan transportasi yang terjadi di ketiga kota di atas salah satu faktor
penyebabnya adalah belum tersedianya angkutan umum massal yang bisa diandalkan.
Akibatnya banyak masyarakat kota yang menggunakan kendaraan pribadi sehingga
menciptakan kemacetan dan permasalahan polusi.
Namun seperti yang kita ketahui bersama
bahwa sejak beberapa tahun silam Jakarta tengah berbenah untuk menciptakan
lingkungan perkotaan yang lebih humanis. Perwujudan rencana transpotasi massal
mulai terlihat dengan keberadaan MRT, LRT serta pembukaan koridor baru Bus
Transjakarta. Kebutuhan akan ruang terbuka hijau sedikit demi sedikit juga
mulai dipenuhi dengan upaya-upaya seperti merevitalisasi taman kota. Para
pejalan kaki pun sudah mulai dimanusiakan dengan pelebaran jalur pedestrian.
Dan masih banyak lagi upaya pembenahan diri yang dilakukan oleh Jakarta.
Melihat progres ini lantas membuat kita bertanya-tanya, apakah memang perlu status ibukota angkat kaki dari Jakarta? Apakah setelah tidak menjadi ibukota seluruh permasalahan di Jakarta akan terselesaikan? Atau apakah ibukota baru selamanya akan terbebas dari permasalahan yang dihadapi oleh Jakarta saat ini?
Daftar Pustaka
Petsko, E (2016). Transformaing a Motorcycle City: The Long Wait for Hanoi’s Metro. https://www.theguardian.com/cities/2016/jul/18/long-wait-hanoi-metro-vietnam-motorbike. The Guardian. The Guardian.
Quinn, L (2014). Hanoi: Is it Possibble to Grow a City Without Slums?. https://www.theguardian.com/cities/2014/aug/11/hanoi-slums-vietnam-urban-planning-. construction. The Guardian.
Nguyen, DT et.al (2018). Traffic Congestion
and Impact on the Environment in Vietnam: Development of Public Transport
System – Experience from Actual Operation of Bus in Hanoi. Tokai University,
Japan.
Briney, A (2018). Geographic Facts About New Delhi, India. https://www.thoughtco.com/geography-of-new-delhi-1435049. Tought.Co.
Centre for Science and Environment (2017). Congestion on Delhi Roads has Worsenend- says new analysis by CSE of Latest Google Map Data. https://www.cseindia.org/congestion-on-delhi-roads-has-worsened–6994
Ritter, M (2018). As Egypt Builds New Capital, What Becomes of Cairo?. https://learningenglish.voanews.com/a/as-egypt-builds-new-capital-what-becomes-of-cairo-/4665409.html. VOA
Midolo, E (2019). Inside Egypt’s New Capital. https://www.propertyweek.com/insight/inside-egypts-new-capital/5101721.article. Property Week
Michaelson, R (2018). Cairo has Started to Become Ugly: Why Egypt is Building a New Capital City. https://www.theguardian.com/cities/2018/may/08/cairo-why-egypt-build-new-capital-city-desert. The Guardian.
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/09/kota4.jpg344692Authorhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngAuthor2019-09-23 16:07:292019-10-04 01:46:57Cerita Tentang Ibukota: ‘Tetap Bertahan Meski Problematik’
Rencana
pemindahan ibukota negara yang telah lama menjadi pembahasan dan pengkajian,
kini telah menemui titik terang. Kalimantan Timur, sebagai lokasi Ibu Kota baru
yang terpilih dan memiliki kekayaan alam berupa bentang hutan yang sangat luas,
akan mengusung konsep City in The Forest.
Kota baru ini juga akan mengkolaborasikan konsep kota modern, smart, beautiful, dan sustainable
dengan kekayaan hutan tropis.
Konsep
kota hutan tidak sama dengan hutan kota. Idealnya, konsep kota hutan mengusung
upaya restorasi hutan di tengah pembangunan kebutuhan kota yang masif.
Terlebih, kebutuhan untuk pembangunan ibu kota negara yang cukup kompleks.
Berlokasi di jantung hutan terbesar di Indonesia, perencanaan ibu kota baru
dengan konsep kota hutan perlu sangat berhati-hati.
Pembangunan
ibu kota baru di Kalimantan Timur nantinya direncanakan terdiri dari minimal
50% ruang terbuka hijau dan akan diharmonisasikan secara maksimal dengan
keaslian alamnya. Proses pembangunan yang direncanakan di dalam masterplan akan
meminimalisasi intervensi terhadap alam dan banyak mengintegrasikan ruang hijau
dan biru. Selain itu, ibu kota baru juga akan mengadopsi new urbanism yang bertemakan bangunan dan infrastruktur hijau (green building/infrastructure). Salah
satu kebijakan yang menarik, kompleks pemerintahan yang akan dibangun di ibu kota baru dilakukan secara vertikal,
namun akan diatur ketinggian bangunannya agar tidak melebihi tinggi pohon di
hutan.
Konsep kota hutan sebenarnya bukanlah hal
yang baru. Pengembangan kota hutan diharapkan akan dapat mereduksi polusi udara
dan menambah jumlah udara bersih. Dalam skema yang lebih besar, kota hutan juga
diharapkan akan mampu memerangi fenomena perubahan iklim yang sedang terjadi.
Terdapat beberapa contoh kota hutan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Terdapat kota hutan yang telah ada sejak beratus tahun lamanya dan terdapat
pula contoh kota hutan yang masih menjadi konsep. Berikut merupakan ulasan
mengenai kota-kota hutan tersebut:
Kuala Kencana, Indonesia
Kuala
Kencana adalah sebuah kota megah yang berada di tengah belantara Papua. Kota
ini pertama kali diresmikan pada tahun 1995 oleh Presiden Soeharto dan
merupakan kota yang sepenuhnya dikelola oleh PT Freeport Indonesia, sebagai
komplek permukiman karyawan. Secara administratif Kota Kuala Kencana termasuk
ke dalam Kabupaten Mimika, dengan Timika sebagai ibukota daerah. Hanya warga yang
memiliki kartu akses pegawai PT Freeport yang diperbolehkan masuk ke kota ini.
Kota ini diklaim sebagai kota pertama di Indonesia yang memiki sistem utilitas (listrik, air, komunikasi) bawah tanah. Selain itu, kota ini juga diklaim sebagai kota pertama yang memiliki sistem pengolahan air kotor. Air kotor akan disalurkan ke pusat pengelolaan limbah sehingga tidak mencemari lingkungan sekitar. Air keran yang disalurkan ke rumah-rumah juga berstandar tinggi dan aman untuk langsung diminum.
Kualitas
udara di Kuala Kencana tergolong sangat bersih. Hal ini dikarenakan penduduk di
kota ini sebagian besar menggunakan sepeda untuk beraktifitas sehari-hari.
Mudah untuk menemukan fasilitas parkir sepeda yang dilengkapi dengan besi
pengaman, tak lupa juga dengan jalur pejalan kaki yang rapi. Kota ini ditata
dengan baik sehingga kota ini dapat menjadi rujukan bagi pembanguna kota-kota
lain di Indonesia.
Manaus, Brazil
Brazil memiliki kota yang berada di tengah belantara Amazon, yaitu Manaus. Kota Manaus telah ada sejak tahun 1669. Kota ini memiliki luas sebesar 11.455,38 km² dan terletak di sepanjang tepi utara Sungai Negro. Manaus merupakan kota metropolitan yang terbesar di Amazon dan memiliki pelabuhan utama yang berjarak 1500 km dari laut serta sebuah bandar udara internasional. Kota ini menjadi pelabuhan utama dan merupakan pusat pengumpulan dan distribusi utama untuk wilayah sungai di seluruh lembah Amazon. Pada awal perkembangannya, Manaus merupakan kota pertama di Brazil yang dialiri oleh listrik. Kegiatan industri yang terdapat di Manaus adalah pembuatan bir, pembuatan kapal, pembuatan sabun, produksi bahan kimia, pembuatan peralatan elektronik, dan pemurnian minyak bumi. Pariwisata telah menjadi bagian dari ekonomi di kota ini. Kota ini juga memiliki kebun raya dan kebun binatang, serta taman hutan alami di pinggirannya.
Berdasarkan
sensus penduduk pada tahun 2010, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 1,8
juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 2,5% sementara rata-rata
pertumbuhan penduduk Brazil adalah sebesar 1,17% di tahun yang sama. Tantangan
besar yang dihadapi kota ini adalah peningkatan populasi, pembangunan informal
yang menyebar luas, pembuangan limbah informal di lingkungan permukiman
berkualitas rendah, kualitas air dan lainnya. Tingginya pertumbuhan penduduk
berbanding lurus dengan perkembangan hunian illegal di pinggiran sungai. Ancaman
terhadap kondisi hutan hujan sangat parah. Masyarakat yang tinggal di area
Monte Horebe menyebabkan deforestasi dan degradasi lingkungan yang luar biasa
sebagai akibat dari tingginya kebutuhan akan hunian yang terjangkau. Sebagai
pusat ekonomi di Amazon, Manaus berhasil menarik ribuan pendatang setiap
tahunnya dan meningkatkan kekhawatiran akan permasalahan kota yang lebih besar.
Liuzhou Forest City, China
Di negara lain, China telah lebih dulu menjadi pionir dengan terlebih dulu memproklamirkan konsep kota hutan pertama di dunia yang diklaim mampu mereduksi polusi udara. Konsep ini telah dilontarkan pada tahun 2017 dan sedang dalam masa persiapan konstruksi. Pengembangan kota dengan nama Liuzhou Forest City ini mengambil lokasi di area pegunungan Guangxi. Dirancang oleh Stefano Boeri Architetti, kota hutan ini akan mampu mengakomodasi sekitar 30 ribu orang di lingkungan yang sebagian besar tertutup oleh tanaman dan pohon.
Kota
hutan ini diperkirakan akan dapat menyerap 10.000 ton karbon dioksida dan 57
ton polutan per tahun dan juga menyediakan 900 ton oksigen per tahunnya, serta
mengurangi suhu udara dan menyediakan habitat baru bagi satwa liar terlantar.
Bangunan yang ada dirancang untuk ditanami tanaman pada bagian fasad dan
disesain untuk swasembada energy dengan dilengkapi dengan panel surya.
Transportasi ke pusat kota juga direncanakan akan mengefisiensikan sumber daya
yang ada, yaitu berupa jalur kereta berkecepatan tinggi dan kendaraan listrik.
Forest City Johor, Malaysia
Di sisi
lain, Malaysia juga tengah mengembangkan kota hutan di salah satu pulau buatan
yang dimilikinya. Kota ini berlokasi di kawasan ekonomi khusus Iskandar, yang
berada di ujung paling selatan Semenanjung Malaysia yang berbatasan langsung
dengan Singapura. Proses pengembangannya memakan waktu sekitar 25-30 tahun
berdasarkan oleh Rencana Transformasi Ekonomi yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Malaysia pada tahun 2006.
Terletak
sekitar 2 km dari Singapura, kota ini dirancang untuk dapat mengakomodasi 700
ribu orang pada lahan seluas 14 km² (sekitar 4 kali luas Central Park di New
York). Kota ini juga mengusung konsep Smart City, dimana mobil tidak
diperbolehkan berada di area ini, selain itu bangunan dan gedung pencakar
langit akan dirancang untuk ditumbuhi tanaman pada bagian fasadnya untuk
mengurangi polusi suara dan polusi udara. Kota ini direncanakan akan selesai
dikembangkan pada tahun 2035 dan diklaim menciptakan sebanyak 220.000 lapangan
pekerjaan.
Yang menarik, dilansir dari media straitstimes.com, perdana menteri Malaysia sempat mengungkapkan bahwa hunian yang terdapat di kota ini tidak akan dijual kepada orang asing. Ungkapan ini dikeluarkan atas kekhawatiran bahwa warga lokal tidak akan dapat membeli hunian dengan harga yang terjangkau apabila sebagian hunian diperjualbelikan kepada warga negara asing.
Atlanta, Amerika Serikat
Atlanta
terletak di Georgia, Amerika Serikat, dan dikenal sebagai ‘City in the Forest’.
Kota ini dikelilingi oleh banyak pepohonan besar dan banyak jenis tanaman
lainnya yang menyelimuti sebagian besar insfrastruktur buatan manusia. Atlanta
memiliki sekitar 500 ribu penduduk. Populasi terus bertambah dan pemerintah mengkhawatirkan
kebutuhan akan rumah yang kemungkinan meningkat. Namun yang terjadi, kepadatan
penduduk tidak bertambah tetapi rumah yang semula berukuran kecil berubah
menjadi lebih luas dan menghabiskan lahan yang lebih besar.
Sebuah
studi menyatakan bahwa Georgia masuk ke dalam 5 negara bagian yang mengalami
kehilangan tutupan pohon perkotaan terbesar dan menyimpulkan bahwa wilayah
metropolitan Amerika Serikat kehilangan sekitar 36 juta pohon setiap tahunnya
(sekitar 175.000 hektar tutupan pohon). Pada tahun 2008, sekitar 48% wilayah
perkotaan Atlanta berhasil ditutupi oleh pepohonan yang ditanami baik oleh
sukarelawan maupun organisasi non-profit yang bekerja sama dengan pemerintah. Sejak
saat itu, pemerintah menetapkan terget untuk terus menaikkan presentase tutupan
pohon di Atlanta.
Departmen Perencanaan Kota Atlanta tengah membantu mengembangkan Urban Ecologi Framework atau Kerangka Kerja Ekologi Perkotaan, dengan melakukan penilaian terhadao kanopi, daerah aliran sungai, dan ruang hijau yang ada. Kerangka kerja tersebut diharapkan akan dapat menghasilkan lebih banyak perubahan kebijakan yang diperlukan untuk melindedungi tutupan pohon.
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/09/hutan4-1.png525950Authorhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngAuthor2019-09-23 15:59:052019-10-04 01:43:44Potret Kehidupan Kota Modern Di Antara Hutan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa
Jabodetabek merupakan sebuah akronim dari Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi.
Jabodetabek idealnya merupakan sebuah kawasan yang terintegrasi dengan baik
mengingat ribuan perjalanan dilakukan antar region setiap harinya. Bukanlah hal
ganjil seorang pekerja di tengah kota Jakarta memiliki rumah di Kota Bogor yang
jaraknya 60 km dan ia harus melakukan pegerakan ulang alik setiap harinya. Saat
ini rute dan moda pergerakan yang mendukung kegiatan ulang alik tersebut masih
terbatas. Dapat kita perhatikan setiap jam masuk ataupun pulang kantor,
stasiun-stasiun transit di Jakarta seperti Stasiun Manggarai dan Tanah Abang selalu
padat dan tumpah ruah oleh para komuter. Kadang, kapasitas kereta juga tidak
mampu menampung beban banyaknya penumpang, akibtanya banyak yang
berdesak-desakan sehingga membayahakan keselamatan.
Untuk mensiasati hal tersebut, maka diterbitkanlah Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) melalui Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018. RITJ merupakan sebuah pedoman bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan, pengembangan dan pengelolaan, serta pengawasan dan evaluasi transportasi di wilayah perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. RITJ akan dilaksanakan dalam kurun waktu 2018-2029. Adapun yang menjadi sasaran dalam penyelenggaran RITJ ini adalah sebagai berikut:
Untuk mencapai sasaran-sasaran yang
telah ditetapkan di atas, terdapat dua kebijakan mengenai pengembangan sistem
transportasi perkotaan berbasis jalan dan berbasis rel yang sangat menarik
untuk diulas. Mari kita simak seperti apa wajah sistem transportasi perkotaan
Jabodetabek 10 tahun mendatang!
Pengembangan
Sistem Transportasi Perkotaan Berbasis Jalan
Kebijakan pengembangan sistem transportasi
perkotaan berbasis jalan memiliki strategi pembentukan jaringan pelayanan
transportasi angkutan umum perkotaan yang meliputi jaringan trayek angkutan
orang dan jaringan lintas angkutan barang. Strategi tersebut memiliki 5 program
unggulan, yaitu:
Pengembangan rute Transjabodetabek Ekspres
Terdapat
37 rute baru dalam pengembangan Transjabodetabek Ekspres. Rute akan
menghubungkan 8 kota/kabupaten di luar provinsi Jakarta dengan titik-titik
transit strategis di Jakarta seperti Pasar Senen, Blok M, Lebak Bulus,
Manggarai dan lain sebagainya. Pengembangan rute-rute ini akan dilakukan selama
10 tahun masa berlaku RITJ.
Pengembangan Rute Transjabodetabek Reguler
Terdapat
37 rute dalam pengembangan Transjabodetabek Reguler. Origin dan destinasi dari ke-37
rute ini hampir sama dengan rute Transjabodetabek Ekspres. Yang membedakan
hanyalah akan terdapat lebih banyak pemberhentian sebelum mencapai destinasi
akhir. Pengembangan rute-rute ini juga akan dilakukan selama 10 tahun masa
berlaku RITJ.
Pengembangan Angkutan Pengumpan (Feeder)
yang melayani Transjabodetabek
Rencana
pengembangan angkutan pengumpan akan berlokasi di seluruh wilayah Jabodetabek.
Angkutan ini nantinya akan memudahkan pelaku pergerakan untuk berpindah dari
rumah menuju stasiun/halte jaringan transportasi utama. Pengembangan angkutan
pengumpan akan berlangsung sejak tahun 2018 hingga 2026.
Pengembangan Angkutan Pemadu Moda
Rencana
pengembangan angkutan pemadu moda akan difokuskan pada tiga Kota/Kabupaten,
yaitu Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, dan Kabupaten Tangerang. Nantinya
akan terdapat angkutan umum massal yang mengakomodir pegerakan menuju/dari
bandar udara dan pelabuhan laut. Rencana
ini akan diimplementasikan dalam kurun waktu 2018-2019.
Penataan Angkutan tidak Dalam Trayek
Penataan angkutan tidak dalam trayek terdiri dari penataan angkutan taksi, angkutan dengan tujuan tertentu (angkutan permukiman), angkutan pariwisata, dan angkutan kawasan tertentu. Penataan ini akan dilakukan dalam kurun waktu 2018-2021.
Pengembangan
Sistem Transportasi Perkotaan Berbasis Rel
Selain pengembangan sistem transportasi
perkotaan berbasis jalan, terdapat pula rencana pengembangan berbasis rel. Pengembangan
sistem transportasi berbasis rel memiliki strategi yaitu melalui pembangunan
dan pengembangan sistem angkutan umum massal perkotaan berbasis rel yang
menghubungkan wilayah Jabodetabek dengan program-program berupa:
Pembangunan Jalur Kereta Api Ringan (Light Rail Transit/LRT) baik di wilayah Jakarta maupun di luar
wilayah Jakarta (Bodetabek)
Dalam
RITJ, terdapat 25 rencana pengembangan jalur LRT. Pengembangan tersebut terdiri
dari 13 rute yang berada di dalam Jakarta, dan 12 rute yang menghubungkan
Jakarta dengan kota/kabupaten lain termasuk di dalamnya Bandara Internasional
Soekarno dan Hatta. Pengembangan seluruh jalur LRT tersebut akan dilakukan
dalam kurun waktu 2018-2029.
Pembangunan jalur Automated
People Mover (APM)/ Automated
Guideway Transit (AGT)/ Tram
Terdapat
9 lintasan yang akan direncanakan sebagai jalur tram pada kawasan Jabodetabek. Jalur-jalur
tersebut pada umumnya merupakan jalur istimewa seperti jalur kawasan industri,
jalur kawasan wisata dan jalur bandara-kemayoran. Pengembangan tram difokuskan
pada kawasan-kawasan di luar Jakarta. Pengembangan seluruh jalur tram ini juga
akan dilakukan dalam kurun waktu 2018-2029.
Pembangunan jalur kereta api massal cepat (Mass Rapid Transit/MRT)
Pengembangan
jalur MRT akan dilakukan pada dua koridor yaitu koridor Utara-Selatan (Kampung
Bandan-Bundaran HI-Lebak Bulus) dan koridor Timur-Barat (Cikarang-Ujung
Menteng-Kalideres-Balaraja). Pengembangan jalur MRT ditargetkan akan rampung
pada tahun 2029.
Pembangunan kereta api bandara
Pengembangan
kereta api bandara terdiri dari dua program yaitu pembangunan express line Bandara Soekarno-Hatta
(Manggarai-Sudirman-Tanah Abang-Angke-Pluit-Bandara SHIA) dan pembangunan commuter line (Soedirman-Duri-Batu
Ceper- Bandara SHIA). Pengembangan kereta bandara ini akan rampung pada tahun
2020.
Pembangunan loop line railway (Jakarta elevated loop line railway)
Pembangunan
loop line railway akan memakan waktu
6 tahun, terhitung sejak tahun 2018 hingga 2023. Adapun program yang terdapat
di dalamnya adalah Penyusunan DED dan pembangunan Jakarta Elevated Loop Line Railway.
Pembangunan jalur ganda (Double
Track)
Pembangunan jalur ganda yang merupakan rencana dari periode sebelumnya memiliki 4 jalur yang akan menghubungkan Tangerang, Bogor, Bekasi dan Jakarta. Program ini akan memakan waktu selama 4 tahun hingga tahun 2021.
Ketika sudah diimplementasikan, kedua
kebijakan tersebut akan menjadi wajah baru sistem transportasi Jabodetabek yang
menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Dengan adanya RITJ ini kian memberikan optimisme bahwa di masa mendatang
sistem transportasi di Indonesia akan setara dengan sistem pergerakan di negara
maju seperti Singapura dan Jepang. Namun disamping itu, banyak hal yang harus
disiapkan dan diperhatikan oleh seluruh stakeholders,
terutama oleh pemerintah, dalam upaya mewujudkan kedua kebijakan yang terkandung
dalam RITJ tersebut.
Selain menyiapkan sumberdaya dan anggaran, ke depannya pemerintah juga perlu menyiapkan hal-hal teknis terkait pengimplementasian RITJ. Sebagai contoh, dalam pengimplementasian rencana interkoneksi antarjaringan, pemerintah perlu menyiapkan rencana yang lebih detail dan rinci untuk mengembangkan konsep Transit Oriented Development (TOD). Pemerintah juga perlu mensiasati tentang bagaimana mewujudkan sistem kerjasama yang baik dan sistematis antara pemerintah dan pihak swasta melalui skema kerjasama public-private partnership (PPP) demi terciptanya sistem jaringan transportasi Jabodetabek yang berkelanjutan dan mengakomodir kebutuhan masyarakat. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus menyiapkan jenis kebijakan lain untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi sehingga sasaran penyelenggaraan transportasi Jabodetabek dapat tercapai. Kebijakan tersebut dapat berupa pemberlakukan kawasan 3 in 1, pembatasan usia kendaraan, peningkatan pemberlakuan pajak kendaraan, pembatasan area parkir kendaraan pribadi, dan penerapan syarat kepemilikan kendaraan pribadi.
Apakah pemerintah dan seluruh pihak yang relevan mampu mewujudkan RITJ dan menertibkan para pengguna kendaraan pribadi?
Daftar
Isi
Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018
tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/09/TRANS4-1.jpg15922196Authorhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngAuthor2019-09-23 15:44:082019-10-04 01:34:29Masa Depan Transportasi Umum Massal di Jabodetabek
Jalur
pejalan kaki merupakan salah satu aspek kota yang esensial. Keberadaannya
memiliki peran penting dalam menhubungkan berbagai titik antara satu dengan
yang lainnya. Namun sayangnya, keberadaan jalur pejalan kaki seringkali tidak
diindahkan, bahkan dilupakan. Padahal, dengan adanya jalur pejalan kaki yang
nyaman akan dapat membuat suatu wilayah menjadi hidup.
Dengan
adanya jalur pejalan kaki yang memadai, masyarakat dapat menikmati suasana kota
dengan lebih leluasa. Jika jalur pejalan kaki mampu dibuat lebih nyaman bagi
penggunanya, bukan tidak mungkin masyarakat akan lebih memilih untuk
menggunakan sarana tersebut dibandingkan dengan menggunakan moda transportasi.
Tentu saja hal tersebut harus didukung dengan tersedianya prasarana
transportasi yang juga memadai, dalam arti, nyaman dari segi kualitas dan mencukupi
dari segi kuantitas.
Di Indonesia sendiri, ketersediaan jalur pejalan kaki yang nyaman dan memadai masih tergolong minor. Keberadaan jalur pejalan kaki seringkali hanya sebatas formalitas dan tidak memperhatikan standar-standar yang seharusnya tersedia. Sebagai contoh, adanya tiang listrik di tengah jalur pejalan kaki, tidak adanya jalur bagi penyandang disabilitas, tinggi antar undakan yang tidak sama, dan bahkan yang lebih menyedihkan, jalur pejalan kaki juga seringkali dirampas oleh para pengguna kendaraan bermotor.
Padahal,
pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah
mengeluarkan prinsip umum penyediaan fasilitas pejalan kaki, yakni:
memenuhi
aspek keterpaduan sistem, dari penataan lingkungan, sistem transportasi, dan
aksesilibitas antar kawasan;
memenuhi
aspek kontinuitas, yaitu menghubungkan antara tempat asal ke tempat tujuan, dan
sebaliknya
memenuhi
aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanan;
memenuhi
aspek aksesibilitas, dimana fasilitas yang direncanakan harus dapat diakses
oleh seluruh pengguna, termasuk oleh pengguna dengan berbagai keterbatasan
fisik.
Penyediaan ruang bagi pejalan kaki memberikan banyak dampak positif, baik bagi individu maupun bagi perkembangan kota. Di statu sisi, adanya jalur pejalan kaki akan memberikan dampak baik bagi kesehatan individu. Dari sudut pandang kota, kehadiran ruang publik berupa jalur pejalan kaki akan mampu menarik beragam aktivitas sehingga akan menciptakan suatu titik atraksi yang menarik bagi para pejalan kaki.
Ketersediaan
jalur pejalan kaki yang nyaman akan menarik masyarakat untuk terus menggunakan
fasilitas tersebut. Ada beberapa manfaat serta nilai tambah yang bisa diperoleh
dari pembangunan jalur pejalan kaki, yaitu:
memberikan
lebih banyak lagi ruang publik bagi warga kota
mengurangi
kemacetan kota
membantu
penciptaan kesehatan lingkungan kota dengan penurunan tingkat polusi dan meningkatkan
kualitas udara kota.
salah
satu infrastruktur penting bagi pengembangan pariwisata di pusat kota
dapat
merangsang berbagai kegiatan ekonomi
merangsang
kegiatan publik seperti penyelenggaraan pameran, periklanan, dan lain
sebagainya.
dapat
menarik beragam kegiatan sosial, perkembangan jiwa dan spiritual.
Beberapa kota besar di Indonesia kini mulai berbenah. Sebagian besar telah menyadari pentingnya kehadiran jalur pejalan kaki yang nyaman dan aman. Komitmen dan niat baik para pemerintah daerah terkait penyediaan jalur pejalan kaki perlu diapresiasi dan didukung dengan baik.
DKI JAKARTA
Kota
Jakarta mulai berbenah sejak penyelenggaraan ASEAN GAMES di tahun 2018 silam. Selain
pembenahan transportasi melalui pembangunan jalur MRT (Mass Rapid Transit), berbagai
ruas jalan juga turut diperlebar dan ditambah dengan berbagai fasilitas
penunjang yang membuat nyaman penggunanya.
Pemerintah
DKI Jakarta mengalokasikan anggaran khusus untuk penataan jalur pejalan kaki
melalui APBD (Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah). Wacana penataan jalur
pejalan kaki telah dicanangkan sejak era pemerintahan Ahok, dengan target
penataan sepanjang 2.600 km yang tersebar pada 48 lokasi. Namun, apabila hanya
mengandalkan anggaran APBD maka penyelesaian target penataan jalur pejalan kaki
diperkirakan bari akan selesai dalam 50 tahun kemudian sehingga pemerintah mempertimbangkan
opsi penggunaan kompensiasi koefisien lantai bangunan (KLB) oleh pihak swasta. Dilansir
dari jakarta.bisnis.com, penataan jalur pejalan kaki yang berada di sepanjang
ruas Sudirman hingga MH Thamrin telah menggunakan skema pengenaan denda terhadap
kelebihan koefisien KLB yang dibiayai oleh PT Kepland Investama dan PT Mitra
Panca Persada, dengan dibantu oleh PT MRT Jakarta. Dengan beragam skema
tersebut, kini Jakarta telah memiliki wajah-wajah baru yang kian mempercantik
ibu kota negara ini. Hal ini turut didukung dengan antusias masyarakat yang
semakin banyak menggunakan fasilitas tersebut.
Sebagai contoh, jalur pejalan kaki yang membentang diantara Stasiun Kereta Api Sudirman dengan Stasiun MRT Dukuh Atas yang ramai dilewati oleh masyarakat, mampu menarik sebagian pihak untuk menyelenggarakan suatu pameran seni dalam waktu singkat namun efektif.
SOLO
Kota
Solo adalah salah satu kota yang menyadari akan pentingnya ketersediaan jalur
pedestrian. Jalur pejalan kaki di Kota Solo awalnya diperuntukkan sebagi tempat
berkumpul bagi para warga sembari duduk santai menikmati Kota Solo tanpa
terganggu oleh kendaraan yang melintas. Namun seiring berjalannya waktu, jumlah
pengunjung yang datang tak kunjung bertambah. Hal ini membuat Pemerintah Kota
Solo mengubah konsep penataan jalur pejalan kaki. Beberapa titik ruas jalan di
kota ini mulai dibenahi dan direvitalisasi secara total mulai dari standarisasi
jalur pejalan kaki, tata artistik, serta material yang dibuat menjadi lebih
baik. Pemerintah menginginkan Kota Solo dapat dikenal sebagai kota yang sangat
ramah untuk para pejalan kaki. Tak hanya ramah untuk para pejalan kaki, namun
juga dapat dimanfaatkan warga tempat interaksi warga untuk aktivitas warga Kota
Solo.
Pada tahun 2011, Kota Solo pernah menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan ajang ASEAN Para Games, sebuah pesta olahraga bagi para atlet berkebutuhan khusus. Pemerintah Kota Solo membenahi kota dengan membangun seluruh fasilitas publik yang ramah pada pengguna berkebutuhan khusus. Kota Solo bahkan menjadi yang pertama dalam menyusun regulasi terkait warga berkebutuhan khusus. Hasilnya Kota Solo kini menjadi salah satu kota yang memiliki jalur pejalan kaki terbaik di Indonesia.
SURABAYA
Pemerintah
Kota Surabaya terus melakukan penataan jalur pejalan kaki. Hingga akhir 2018,
penataan jalur pejalan kaki diklaim telah mencapai 52.700 meter. Penataan jalur
pejalan kaki dibangun dengan lebar 2 hungga 3 meter dan dilengkapi dengan
fasilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas. Selain pelebaran dan
penggantian material, tiap tahun berbagai pembenahan terus dilakukan, seperti
pengecatan agar lebih berwarna dan pemasangan hiasan. Penataan jalur pejalan
kaki juga dibangun untuk mengatasi banjir di tengah kota dengan membangun
saluran tepat di bawah jalur pejalan kaki agar tidak terjadi genangan air saat
musim hujan tiba.
Dengan klaim sebagai kota dengan jalur pejalan kaki terbaik di Indonesia, selain upaya revitalisasi yang dilakukan secara terus menerus, Pemerintah Kota Surabaya juga terus berupaya menjaga dan melakukan perawatan terhadap jalur pejalan kaki yang ada. Beberapa strategi perawatan yang utama adalah menjaga keamanan pejalan kaki, baik dari tindak kriminal maupun aman dari kendaraan bermotor. Selain itu, pemerintah kota juga rutin menjaga kebersihan jalur pejalan kaki dengan selalu membersihkannya dengan air bertekanan tinggi dan air sabun setiap hari. Dalam satu hari, tim satgas melakukan perawatan di 3 hingga 5 titik sehingga ja;ur pedestrian di Surabaya tampak selalu bersih dan rapi. Penempatan tampat sampah yang estetik juga tak luput dari perhatian. Lalu, penggantian material dan elemen yang sudah tak layak pakai juga selalu dilakukan. Jalur pejalan kaki umumnya rusak karena berlubang atau adanya keramik yang rusak dan pecah-pecah yang disebabkan oleh lapisan atas jalur yang tidak mampu menahan beban yang melintas.
BANDUNG
Kota
Bandung pernah menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika
pada tahun 2015. Dari keseluruhan ruas jalan yang ada, Jalan Asia Afrika adalah
jalur pejalan kaki terbaik yang ada di Kota Bandung. Kelengkapan fasilitas
jalan yang apik, kualitas bahan yang baik, badan trotoar yang berukuran lebar,
disediakan pula fasilitas lain berupa halte dan tempat duduk untuk bersantai.
Terdapat pula pot bunga berukuran besar, hiasan bola batu dan juga lampu hias, membuatnya menjadi sangat instagramable. Ruas jalan ini sangat diminati baik bagi warga lokal maupun bagi wisatawan. Pemerintah Kota Bandung telah menganggarkan APBD sebesar Rp 163 milyar dan ditambah dengan Rp 52 milyar dari bantuan Pemerintah Provinsi untuk mempercantik jalur pejalan kaki di kawasan ini.
Diharapkan,
kota-kota lain dapat segera berbenah untuk dapat menyediakan jalur pejalan kaki
yang aman, nyaman, dan ramah terhadap disabilitas. Tugas kita sebagai warga
kota yang baik adalah dengan mendukung dan ikut menjaga fasilitas kota yang
ada.
Sumber:
Perencanaan
Teknis Fasilitas Pejalan Kaki, Kementerian PUPR, Tahun 2018
Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di
Perkotaan, Direktorat Penataan Ruang Nasional, Direktorat Jenderal Penataan
Ruang, Departemen Pekerjaan Umum
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/09/kaki2-1.jpg8641152Authorhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngAuthor2019-09-23 15:32:042019-10-04 00:42:53Pesona Jalur Pejalan Kaki
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) merupakan produk hukum yang berisi persetujuan atau perizinan yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah setempat dan wajib dimiliki oleh pemilik bangunan. Kehadiran IMB berlaku bagi pemilik bangunan yang ingin membangun, merobohkan, menambah atau mengurangi luas, ataupun merenovasi bangunan. Proses mengurus IMB tidaklah rumit, namun terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kesalahan dalam pembuatannya.
Ketahui Peruntukkan Lahannya
Sebelum
mengajukan permohonan IMB, penting untuk mengetahui terlebih dahulu peruntukkan
ruang yang ada pada lokasi yang diinginkan. Jangan sampai ketika semua sudah
dikerjakan, ternyata tanah yang dimiliki tidak sesuai dengan peruntukkan yang
telah ditetapkan. Oleh karena itu, selalu cek peruntukkan ruang di dalam
Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) yang telah disahkan. Untuk wilayah DKI Jakarta,
dokumen RDTR dapat diakses melalui website resmi milik Pemerintah DKI Jakarta
yakni:
https://dcktrp.jakarta.go.id/beranda/rdtr.html
untuk mengakses dokumen Perda RDTR
http://smartcity.jakarta.go.id/maps/
untuk mengakses peta interaktif. Pilih ‘Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan
Pertanahan’ pada menu, lalu pilih wilayah yang diinginkan, pada bagian kanan
akan muncul tautan peta yang dapat diunduh untuk melihat peraturan zonasi pada
lokasi yang diinginkan.
Ketahui Persyaratan atau Perizinan yang Harus Dimiliki
Terdapat
beberapa jenis perizinan yang harus dimiliki oleh pemohon sebelum melakukan permohonan
penerbitan IMB. Secara umum jenis perizinan yang diatur oleh setiap daerah
tidak berbeda jauh antara satu dengan yang lainnya. Sebaiknya pemohon melakukan
kunjungan terlebih dahulu ke dinas terkait untuk mengetahui jenis perizinan apa
saja yang perlu ditempuh sebelum melakukan permohonan penerbitan IMB. Pada
beberapa kasus, terdapat beberapa perizinan yang dipersyaratkan sebelum
mendapatkan IMB, yakni:
Izin lingkungan
Izin dewatering (jika terdapat basement)
Izin peil lantai bangunan
Izin kelayakan lingkungan hidup
Izin membangun prasarana (IMP)
Izin instalasi pengolahan air limbah
dan lainnya
Kenali Prosesnya dan Ajukan Permohonan ke Dinas Setempat
Proses pembuatan IMB di DKI Jakarta dapat dilakukan di Dinas Penanaman Modal & Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Dinas PM & PTSP). Proses komunikasi dengan staff dinas dapat dilakukan secara daring maupun luring, bahkan disediakan pula layanan melalui telepon dan video call. Dilansir dari website dinas yakni pelayanan.jakarta.go.id terdapat lebih dari 500 izin yang dapat diurus melalui PTSP.
Terkait dengan pengurusan IMB untuk bangunan non hunian, terdapat 3 jenis permohonan pengajuan IMB yang dilayani oleh PTSP DKI Jakarta berdasarkan lama waktu penerbitan, yakni:
IMB Bangunan Non Rumah Tinggal Kelas A
Permohonan IMB bangunan kelas A diperuntukkan untuk bangunan non hunian yang memiliki tinggi lebih dari 8 lantai dengan luas bangunan diatas 2.000 m², dan pondasi dalam lebih dari 2 meter.
IMB Bangunan Non Rumah Tinggal Kelas B
Permohonan IMB bangunan kelas B diperuntukkan untuk bangunan non rumah tinggal dengan jumlah lantai kurang dari 8 lantai, rumah tinggal pemugaran cagar budaya golongan A, IMB reklame, dan IMB menara.
IMB Bangunan Non Rumah Tinggal Khusus (Paket IMB 3 Jam)
Dinas PTSP DKI Jakarta menyediakan layanan permohonan IMB yang dapat dikeluarkan dalam jangka waktu 1 hari, namun pelayanan tersebut terbatas pada bangunan yang memiliki tinggi tidak lebih dari 2 lantai dengan luas bangunan paling luas sebesar 1.300 m².
Demikian hal-hal mendasar yang penting untuk diperhatikan
sebelum mengurus IMB. Semoga bermanfaat!
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/09/imb7.jpg282425Authorhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngAuthor2019-09-23 15:22:152019-10-04 00:38:50Hal Yang Harus Diperhatikan Ketika Melakukan Permohonan Penerbitan Imb Untuk Bangunan Non Hunian Di DKI Jakarta
Setelah membahas tentang definisi, prinsip dan manfaat konsep TOD pada artikel sebelumnya, kali ini akan dibahas mengenai implementasi konsep TOD di beberapa kota di dunia. Sejak konsep ini digaungkan pada akhir 1980an, sudah banyak kota yang mengadopsi konsep tersebut dalam rangka mengefektifkan dan mengefisiensikan pergerakan masyarakat di dalamnya. TOD sudah banyak diterapkan di Amerika seperti di Kota Sacramento dan Evanston. Di Eropa pun konsep ini dirasa pas untuk mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi seperti yang terlihat di Kota Rotterdam. Baru-baru ini, DKI Jakarta juga mulai berbenah dan mencoba untuk menerapkan konsep TOD dengan memutakhirkan jaringan transportasi publik yang mereka miliki. Simak praktik-praktik penerapan konsep TOD di bawah ini:
Rotterdam, Belanda
Penerapan konsep TOD di negeri kincir angin, Belanda, terlihat dari fungsi sebuah kawasan yang berada di jantung hati kota Rotterdam yaitu kawasan Blaak. Blaak merupakan pusat kota Rotterdam dimana di dalamnya terdapat fungsi kawasan campuran, baik fungsi komersil, residensial maupun perkantoran. Di kawasan ini juga terdapat stasiun kereta yang menghubungkan Rotterdam dengan kota lain yaitu Kota Delft. Jalur kereta pada stasiun Blaak juga difungsikan sebagai jalur metro atau kereta bawah tanah yang menjadi jaringan antara area di dalam kota Rotterdam. Kawasan Blaak juga dilengkapi dengan ruang publik berupa plaza dan taman yang kerap digunakan oleh masyarakat untuk menghabiskan waktu di luar rumah. Setiap hari Selasa dan Sabtu, plaza tersebut digunakan sebagai pop-up market atau pasar dadakan yang menjual kebutuhan sehari-hari dengan harga yang relatif terjangkau. Untuk mendukung banyaknya aktivitas yang terdapat di Blaak, disediakan pula tempat parkir sepeda yang mampu menampung ribuan sepeda, terutama bagi pengguna sepeda yang transit dan hendak menlanjutkan perjalanan ke tempat lain. Kawasan Blaak telah memiliki segala komponen yang merupakan unsur utama pengembangan konsep TOD terutama jalur pedestrian dan sepeda yang memudahkan pergerakan dengan tanpa menggunakan kendaraan bermotor.
Sacramento, Amerika Serikat
Konsep TOD juga menjadi arah perencanaan di Kota Sacramento, Amerika Serikat. Dilansir dari website pemerintah Kota Sacramento, diketahui bahwa konsep yang termasuk rencana jangka panjang daerah ini sudah mulai diterapkan pada tahun 2018 yang lalu. Pemerintah Kota Sacramento mempertimbangkan untuk mendukung pergerakan transit dengan menggunakan moda kereta ringan namun tetap membatasi pembangunan di sekitar area transit pengimplementasian konsep TOD terarah. Pemerintah Sacramento berpendapat bahwa penerapan TOD akan mengurangi efek rumah kaca dan menciptakan komunitas yang lebih sehat dengan mendukung pergerakan tanpa moda bermotor. TOD dianggap akan memberikan keuntungan jangka panjang bagi pemilik tanah ke depannya dan akan memberikan kemudahan akses terhadap kebuuhan sehari-hari bagi kaum lansia yang tidak bisa berkendara secara mandiri. Pemerintah akan memberikan insentif terhadap developer yang dapat mengembangkan bangunan residensial dengan minimum unit berjumlah 25 unit atau lebih. Pemerintah juga berencana untuk mereduksi lahan parkir kendaraan bermotor di dekat stasiun transit.
Evanston, Illinois, Amerika Serikat
Evanston merupakan sebuah kota transit bagi
komunitas di pinggir kota North Shore dan merupakan tempat bagi
perusahaan-perusahaan besar bernaung. Evanston merupakan kota yang stabil dan
ideal untuk kegiatan residensial dan bisnis, kendati populasi di Evanston
sangat beragam dari segi ekonomi maupun ras. Pada tahun 1986, pemerintah kota
Evanston memiliki rencana untuk menciptakan kawasan dengan kepadatan yang
tinggi di sepanjang Chicago Avenue dan sekitar empat stasiun kereta yang mereka
miliki serta jalur pedestrian yang mumpuni. Kemudian puluhan tahun selanjutnya,
Pemerintah Kota Evanston merevisi rencana tersebut dengan detail-detail yang
menjadi nyawa dari konsep TOD.
Evanston memperbaharui peraturan zonasinya dengan mengurangi alokasi tempat parkir kendaraan bermotor pada area residensial multi-keluarga dan gedung-gedung bertingkat. Hal ini diperkirakan akan menstimulus kebiasaan masyarakat untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor ketika hendak melakukan pergerakan. Pemerintah Evanstom juga mendukung pembangunan area residensial kepadatan tinggi yang dikelilingi kawasan peruntukkan campuran dengan pusat transportasi. Peraturan zonasi tersebut berhasil meningkatkan frekuensi bus dan memperbanyak rute pergerakan dan destinasi. Peraturan tersebut juga menstimulus munculnya jalur pejalan kaki dan jalur sepeda di kota Evanston.
DKI Jakarta, Indonesia
Tidak hanya kota-kota di belahan benua Amerika dan Eropa saja yang telah menerapkan konsep TOD, Indonesia pun sudah mulai bergerak untuk mengimplementasikan konsep yang dapat menstimulus pergerakan masyarakat tanpa kendaraan pribadi bermotor ini. Salah satu kota yang menjadi pioner dalam pengembangan TOD adalah DKI Jakarta bersamaan dengan kota-kota besar di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek, telah direncanakan beberapa titik yang akan dikembangkan menjadi kawasan TOD. Berikut adalah lokasi potensial pengembangan TOD di Jabodetabek yang tertuang dalam perpres tersebut:
Adapun yang menjadi titik lokasi pengembangan TOD di Jakarta dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Pengembangan kawasan berorientasi transit di Jakarta ini akan dimulai
dengan pengembangan sistem jaringan transportasi umum yang mumpuni berupa MRT,
LRT, dan Bus Rapid Transit. Pada
April 2019, telah diresmikan kawasan TOD pertama di Jakarta yaitu Kawasan TOD
Dukuh Atas dimana terdapat titik-titik transit seperti Stasiun Kereta Api
Sudirman, Stasiun MRT Dukuh Atas, Stasiun BNI City (Kereta Bandara), dan
Stasiun Trans Jakarta dalam suatu kawasan yang sama.
Dilansir dari website jakartamrt.co.id (2019), dalam pengimplementasiannya, Pemerintah DKI Jakarta bekerjasama dengan PT. MRT Jakarta untuk menjadi operator utama pengelola kawasan TOD Dukuh Atas. Dalam mengembangkan perencanaan TOD, PT MRT Jakarta menggunakan delapan prinsip TOD, yaitu Fungsi Campuran; Kepadatan Tinggi; Peningkatan Kualitas Konektivitas; Peningkatan Kualitas Hidup; Keadlian Sosial; Keberlanjutan Lingkungan; Ketahanan Infrastruktur; dan Pembaruan Ekonomi. Diharapkan pengembangan konsep TOD di Jabodetabek khususnya di Jakarta dapat menuai manfaat dan mendorong berbagai keuntungan seperti:
Mengurangi penggunaan kendaraan, kemacetan jalan, dan polusi udara;
Pembangunan yang mendukung berjalan kaki serta gaya hidup sehat dan aktif;
Meningkatkan akses terhadap kesempatan kerja dan ekonomi;
Berpotensi menciptakan nilai tambah melalui peningkatan nilai properti;
Meningkatkan jumlah penumpang transit; dan
Menambah pilihan moda pergerakan kawasan perkotaan
Dari ulasan di atas dan contoh pengimplementasian konsep TOD di mancanegara, dapat diketahui bahwa sistem transit akan membuat pergerakan menjadi lebih efektif dan efisien. TOD dapat diimplementasikan dengan baik apabila terdapat dukungan dari pemangku kebijakan yang secara serius mengupayakan agar terwujudnya manfaat-manfaat TOD itu sendiri. Dari contoh di atas terlihat bahwa upaya mengurangi alokasi lahan untuk tempat parkir dapat mempengaruhi kebiasaan pergerakan masyarakat dan dapat menjadi satu langkah kecil untuk menerapkan konsep TOD di masa mendatang.
Daftar Isi
Peraturan
Presiden No. 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek
Gorewitz, et al
(2006). Communicating the Benefits of
TOD:The City of Evanston’s
Transit-Oriented Redevelopment and the Hudson Bergen Light Rail Transit System.
Center for TOD.
Zimbabwe, S et
al (2011). Planning for TOD at The Regional Scale. The Center for
Transit-Oriented Development.
Institute for
Transportation & Development Policy (2019). What is TOD?. https://www.itdp.org/library/standards-and-guides/tod3-0/what-is-tod/
Transit Oriented Development Institute (2019). Transit
Oriented Development. http://www.tod.org/
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/09/TOD8.jpg413620Authorhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngAuthor2019-09-18 14:13:532019-10-04 00:33:36TOD Series #2: Praktik Penerapan Konsep TOD di Berbagai Kota di Dunia
Transit Oriented Development (TOD) atau
yang dalam bahasa disebut Kawasan Berorientasi Transit merupakan sebuah konsep
yang kian populer dan mendunia dalam bidang perencanaan serta penataan kota. Konsep
ini pertama kali dicetuskan oleh seorang arsitek yang juga perancang kota yaitu
Peter Calthorpe pada akhir 1980-an. TOD kian manjadi sorotan dalam bidang
perencanaan modern ketika Calthorpe mempublikasikan buku yang berjudul “The New
American Metropolis” pada tahun 1993. Lantas apakah sebenarnya yang menjadi
definisi dari TOD itu sendiri?
Berdasarkan sebuah artikel yang diterbitkan oleh Institute for
Transportation & Development Policy (ITDP), TOD memiliki arti sebagai
sebuah kawasan yang didesain untuk menyatukan masyarakat kota, kegiatan
perkotaan, gedung dan bangunan, serta ruang publik secara bersamaan dilengkapi
dengan fasilitas pejalan kaki dan pesepeda yang memadai, serta dekat dengan
lokasi transit untuk menjangkau bagian kota lainnya.
Penerapan konsep TOD berpotensi untuk menciptakan kualitas lingkungan perkotaan dengan kualitas yang baik dengan mereduksi penggunaan kendaraan pribadi. Pengimplementasian konsep TOD akan menstimulus terbentuknya lingkungan masyarakat dengan status sosial-ekonomi yang beragam serta dapat mengurangi dampak negatif dari degradasi lingkungan, serta memberikan alternatif-alternatif nyata untuk menyelesaikan masalah kemacetan (Ditmarr dkk, 2004).
Pengembangan kawasan TOD hendaknya memperhatikan beberapa prinsip yang menjadi nayawa dari konsep tersebut. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
Manfaat Konsep TOD
Dalam penerapannya, konsep TOD memiliki beragam manfaat bagi kawasan
perkotaan baik dalam hal lingkungan, sosial maupun ekonomi. Dalam hal
lingkungan, TOD akan mereduksi penggunaan bahan bakar, mengurangi polusi udara
dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan bermotor. Penerapan
TOD juga akan meminimalisir kemungkinan terjadinya kemacetan dan kecelakaan lalu
lintas akibat banyaknya jumlah kendaraan bermotor pribadi yang melintas.
Dari sisi sosial, pengembangan konsep TOD akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat kota dengan tersedianya tempat tinggal, tempat kerja dan tempat rekreasi yang lebih kompak dan mudah diakses. Selain itu masyarakat kota juga dapat hidup lebih sehat mengingat kebiasaan berjalan kaki yang akan terbangun ketika konsep ini diterapkan. Rutinitas berjalan kaki diketahui juga dapat mereduksi tingkat stress pada masyarakat perkotaan. Hal itu juga berlaku bagi penggunaan sepeda.
Dari kacamata ekonomi, penerapan konsep TOD akan meningkatkan daya saing suatu kawasan seiring dengan meningkatnya peluang investasi pada kawasan tersebut. TOD juga berperan dalam mengurangi biaya pergerakan yang dikeluarkan oleh masyarakat sehari-harinya. Hal tersebut akan berpengaruh kepada kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya di luar kebutuhan transportasi. TOD juga memberikan dampak pada stabilitas harga properti di sekitar kawasan tersebut.
Daftar Isi
Gorewitz, et al
(2006). Communicating the Benefits of
TOD:The City of Evanston’s
Transit-Oriented Redevelopment and the Hudson Bergen Light Rail Transit System.
Center for TOD.
Zimbabwe, S et
al (2011). Planning for TOD at The Regional Scale. The Center for
Transit-Oriented Development.
Institute for Transportation & Development Policy (2019). What is TOD?. https://www.itdp.org/library/standards-and-guides/tod3-0/what-is-tod/
Transit Oriented Development Institute (2019). Transit Oriented Development. http://www.tod.org/
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2019/09/government-campus-plaza-parkade.jpg10061430Authorhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngAuthor2019-09-10 13:23:262019-10-04 00:27:11TOD Series #1: Transit Oriented Development, Sebuah Konsep Untuk Menjawab Tantangan Perkotaan
Bagi mereka yang sering berkecimpung di dunia pengembangan properti dan konstruksi bangunan, pastinya sudah tidak asing lagi dengan istilah manajemen konstruksi. Manajemen konstruksi disebut-sebut memiliki fungsi dan peranan yang krusial dalam memastikan keberhasilan suatu proyek. Namun bagi sebagian pihak yang tidak bersinggungan langsung dengan dunia pengembangan dan pembangunan, pasti hanya dapat menerka-nerka apa sebenarnya definisi manajemen konstruksi. Pengetahuan mengenai manajemen konstruksi dirasa perlu untuk diketahui oleh khalayak ramai mengingat nilai-nilai dalam proses pekerjaan seorang manajer konstruksi dapat diterapkan di bidang lain. Lantas, apakah sebenarnya definisi manajemen konstruksi itu sendiri?
Manajemen konstruksi memiliki arti sebagai proses penerpan fungsi-fungsi manajemen (planning, organizing, actuating dan controlling) secara sistematis dan terukur dengan memanfaatkan sumberdaya dan waktu yang tersedia secara efektif dan efisien demi tercapainya pencapaian tujuan yang optimal, dalam hal ini sering dikaitkan dengan pekerjaan pembangunan konstruksi dan properti. Adapun yang menjadi tujuan manajemen konstruksi adalah mengelola fungsi manajemen atau mengatur pelaksanaan pembangunan sedemikian rupa sehingga diperoleh hasil optimal sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan untuk keperluan pencapaian tujuan tersebut. Proses manajemen konstruksi dilaksanakan pada seluruh tahapan proyek. Tim manajemen konstruksi sudah menjalankan perannya sejak proses awal desain, pelelangan hingga pelaksanaan proyek tersebut dinyatakan selesai. Hal tersebut dikarenakan kelayakan suatu proyek dimulai dari tahap desain.
Tahapan Pekerjaan Manajemen Konstruksi
Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, pekerjaan manajemen konstruksi dibagi ke dalam beberapa tahapan. Setiap tahap memiliki fungsi masing-masing seperti yang dijelaskan pada skema di bawah ini:
Untuk dapat melakukan keempat tahapan tersebut, dibutuhkan tim manajemen konstruksi yang mumpuni serta berkapabiltas tinggi sehingga hasil pengembangan bangunan bisa sesuai ekspektasi pemberi kerja. Adapun yang menjadi tugas dari seorang manajer konstruksi adalah:
Mengawasi dan memastikan kelancaran pekerjaan yang sedang berjalan di lapangan
Mengontrol progres kontraktor dari laporan tertulis yang dikumpulkan secara berkala
Mengambil tindakan jika proses pekerjaan tidak berjalan dengan baik
Mengadakan pertemuan secara berkala dengan seluruh stakeholder yang terlibat
Bertanggungjawab kepada pemberi kerja dengan menyampaikan informasi progres secara berkala
Bertanggungjawab dalam pemilihan material yang digunakan dalam pembangunan
Mengelola, mengarahkan dan mengkordinasikan pelaksanaan pekerjaan oleh kontraktor dalam aspek mutu dan waktu
Bertanggungjawan apabila terdapat perubahan dalam kontrak pekerjaan
Melakukan pemeriksaan pada shop drawing dari kontraktor sebelum dilakukan pelaksanaan pekerjaan
Memastikan terlaksananya syarat K3LMP (kesehatan dan keselamatan kerja, lingkungan, mutu, dan pengamanan) oleh kontraktor
Memberikan intrusksi tertulis jika ada percepatan dalam pekerjaan
Peran Manajemen Konstruksi
Dalam menjalankan tanggung jawabnya, seorag manajer konstruksi memiliki peran yang harus ia jalankan demi mencapai tujuan proyek. Keempat peran tersbut adalah sebagai berikut:
Agency Construction Management (ACM)
Sebagai mediator atau sarana penghubung sekaligus
koordinator antara perancang konstruksi dengan pelaksana konstruksi hingga
seluruh kontraktor. Manajer konstruksi memiliki kewajiban untuk membuat kontrak
dengan para kontraktor sesuai dengan porsi pekerjaan dan jangka waktu
pelaksanaan.
Extended Service Construction Management (ESCM)
Peran kedua yang diberikan pada manajemen kontraktor adalah sebagai kontraktor. Tujuan dari dilakukannya hal ini adalah untuk menghindari konflik tujuan antara kontraktor dengan pihak manajemen. Bentuk lainnya adalah pihak manajemen bergerak berdasarkan permintaan dari pihak ESCM atau kontraktor.
Owner Construction Management (OCM)
Dalam
peran ini, manajemen konstruksi juga bertanggung jawab atas kelangsungan proyek
yang dilaksanakan berdasarkan kepentingan pemilik proyek.
Guaranted
Maximum Price Construction Management (GMPCM)
Peran manajemen konstruksi yang terakhir adalah bertanggung jawab kepada pemili atas waktu, biaya, hingga mutu proyek. Peran manajemen konstruksi sebagai GMPCM memungkinkan manajemen konstruksi bertindak sebagai pemberi kerja kepada kontraktor ataupun sub kontraktor.
Stakeholders yang Terlibat
Di dalam manajemen proyek, terdapat unsur-unsur pengelola proyek yang terlibat di dalam sebuah proyek, yaitu:
Pemberi kerja/Pemilik/Owner
Merupakan badan hukum/instansi atau perseorangan
yang berkeinginan mewujudkan suatu proyek dan memberikan pekerjaan bangunan
serta membayar biaya pekerjaan bangunan
Konsultan Perencana
Konsultan perencana merupakan perseroan atau badan
hukum yang bergerak pada jasa konstruksi bidang perencanaan pekerjaan
pembbangunan. Konsultan perenvana menerima pendelegasian/penyerahan pekerjaan
dari pemilik proyek/owner dengan dua
tahapan yaitu: rekayasa dan desain awal; dan rekayasa dan desain rinci.
Konsultan Pengawas
Konsultan pengawas merupakan perseorangan yang
diberi kuasa secara hukum untuk mengawasi/meliputi secara penuh atau teratas,
seluruh tahapan konstruksi.
Kontraktor Pelaksana
Kontraktor pelaksana adalah perseoran atau badan hukum yang mewujudkan ide pemberi tugas ke dalam bentuk tiga dimensi yaitu sesuai denga gambar kerja rencana.
Berdasarkan informasi-informasi yang telah dipaparkan di atas mengenai manajemen konstruksi, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen konstruksi bukanlah suatu hal sederhana dan mudah untuk dilakukan. Perlu adanya pengalaman serta kemampuan memanajerial yang baik untuk melakukan proses manajemen konstruksi. Demikianlah hal-hal yang dapat disampaikan mengenai manajemen konstruksi. Semoga bermanfaat!
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.png00Authorhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngAuthor2019-09-09 11:56:372019-10-04 00:20:05Mengenal Lebih Jauh Manajemen Konstruksi
Unmanned Aerial Vehicles (UAV) are unmanned
aircraft that have the ability to take high-quality images or photographs. UAVs
can be used in mapping purposes that can support data acquisition in 2D and 3D
models. Utilization of UAVs in terms of surveys and mapping is adopted to
conduct observations on a broad scale, with easier data collection process and
lower cost. The use of the UAV is considered as an improvement because it has
the ability to produce aerial photography with the best quality.
The
development of UAVs in the current era shifts High Resolution Satellite Image
(CSRT) which has the highest resolution of 15 x 15cm. UAV data acquisition can
defeat the resolution produced by CSRT with RGB values reaching 1cm. Another
advantage of UAV data is its’ ability to produce Digital Surface Model (DSM)
and Digital Terrain Model (DTM) data. This can facilitate reflective elevation
from the sea level to trees, buildings, altitude objects, and others at ‘Bare
Earth’. In addition, UAVs also have the advantage of presenting 3D data while
the CSRT can only display data in 2D [1].
UAV is widely used in Indonesia because of its superiority, especially in the field of surveying and mapping. The use of UAVs in Indonesia is regulated by the Ministry of Transportation as stipulated in the Minister of Transportation Regulation Number 90 of 2015 concerning controlling the operation of unmanned aircraft. The Ministerial Regulation was issued to improve flight safety related to the operation of UAVs in the Indonesian airway. These regulations govern flight zones, flight height, and flight plans. The licensing agency besides the Ministry of Transportation is AirNav which is under the auspices of the TNI-Air Force. AirNav as an airway control institution in Indonesia, in determining its policies adopts regulations from the Ministry of Transportation and has not included regulations from Civil Aviation Safety Regulations (CASR). The applicable regulations have not regulated thoroughly about the use, classification and sanctions of using UAVs.
This is deemed necessary because it considers the safety and security of UAV users by air transportation in Indonesia. In the CASR regulation the emphasis is on the use, classification and sanctions for UAV users who are expected to prevent accidents because they are based on the principles of flight safety and security. From the results of a literature study that has been carried out in practice the use of UAVs in Indonesia only adheres to the Ministry Regulation part 90 of 2015. The regulation is still considered weak because the widespread use of UAVs in Indonesia will grow rapidly. In Table 1 you can see a comparison between Ministerial Regulation No. 90 of 2015 with Civil Aviation Safety Regulation (CASR) series 107.
Ministerial Regulation Part 90 of 2015 generally only discusses operating rules from UAVs, however the ministerial regulation can adapt from CASR 107 in anticipating the development of UAV technology utilization in Indonesia. By compiling more complex regulations such as details about operating rules, operator cerification, unmaned aircraft registration. Reported by the media Republika.co.id The Ministry of Transportation targets regulations related to unmanned aircraft to be compiled, completed and valid in 2019 which discuss the shortcomings that exist in the previous regulations [4]. In the near future, the development of drone will expand to the process of shipping goods / cargo, commercial, defense and security. Each of these aspects should have different rules so that UAV users have specific flight guidance in their respective fields.
Source :
Bibliography:
[1]. Denny Antony.2017. Ketentuan Hukum Dalam
Penggunaan Drone Di Indonesia. Jakarta: Academia penerbitan.
[2] Pemerintah Indonesia. 2017.
Undang-Undang No. 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat
Udara. Lembaran Negara RI Tahun 2017, No. 60. Sekretariat Negara. Jakarta.
[3] Tjiang, H. 2018.
Menerbangkan drone dengan Aman. Diunduh dari https://www.herrytjiang.com. Pada 24 Juli 2019
[4] Nursalikah, A. 2019.
Kemenhub Targetkan Aturan Drone Berlaku Tahun Ini. Republika, 18 Juli 2019. https://www.republika.co.id
https://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.png00Authorhttps://www.handalselaras.com/wp-content/uploads/2022/09/KHS-Logo-2-300x126.pngAuthor2019-08-21 17:44:272019-10-04 00:15:19Unmanned Aerial Vehicle (UAV) Regulation in Indonesia
Scroll to top
var pageTitle = document.getElementById('whateverTheTitleElementIs').innerHTML;
if (pageTitle == 'Documentation H Sawangan City') {
}