Konsep Co-Housing: Sebagai Solusi Permasalahan Permukiman di Indonesia

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Mungkin belum banyak yang mengetahui serta familiar dengan konsep pembangunan rumah secara kolaboratif atau yang biasa disebut dengan konsep co-housing. Konsep ini disebut-sebut dapat menjadi alternatif permasalahan penyediaan perumahan khususnya bagi masyarakat perkotaan, dimana lahan yang tersedia akan semakin sedikit dan semakin mahal seiring berjalannya waktu. Konsep ini dapat menjadi solusi bagi penataan kawasan permukiman kumuh dan juga sebagai alternatif lain bagi kaum milenial untuk dapat memiliki rumah.  Lantas apa itu co-housing sebenarnya?

Definisi Co-Housing

Co-housing adalah konsep dimana sebuah grup/komunitas merencanakan, membiayai dan membangun rumah mereka secara bersama-sama di suatu lahan/persil yang sama dan memiliki ruang-ruang komunal di dalamnya. Proyek Co-housing didasari kebersamaan kolektif yang kuat antar anggotanya dan memberikan kesempatan bagi setiap individu anggota untuk berpartisipasi dalam merancang tempat tinggal mereka. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa implementasi co-housing lebih dari sekedar tinggal dalam suatu gedung yang sama, melainkan adanya proses interaksi dari masa perancangan bangunan sampai masa menjalani kehidupan sehari-hari yang didukung dengan keberadaan ruang atau aktivitas komunal seperti dapur, ruang makan, ruang serbaguna, tempat parkir,  tempat main anak dan lain sebagainya.     

Lahirnya konsep co-housing pada akhir abad 19 di negara-negara di Eropa, juga dipengaruhi oleh kebutuhan dari penduduk kelas menengah dalam mencari solusi atas mahalnya tarif kerja seorang asisten rumah tangga (ART) yang dapat memasak. Pada saat itu, tercetuslah ide konsep ‘ART kolektif’ yang dapat melayani keluarga-keluarga yang tinggal dalam satu lingkungan. Konsep ART kolektif ini kemudian diimplementasikan dalam pembangunan co-housing yang diinisiasi oleh Otto Fick, di Copenhagen pada tahun 1903. Co-housing tersebut bernama Einküchenhaus (bangunan dengan satu dapur). Bangunan ini berada dalam satu persil yang sama terdiri dari beberapa rumah warga, dimana di tengah-tengah bangunan tersebut terdapat sebuah dapur besar tempat ART bekerja dan menyiapkan makanan untuk seluruh warga. Konsep co-housing seperti yang telah dijelaskan di atas, juga dianggap sebagai sebuah opsi untuk mendukung adanya kesetaraan ­gender, bahwa kaum wanita dapat bekerja di luar rumah dikarenakan urusan rumah tangga sudah ditangani oleh ART kolektif tersebut. Namun saat ini, rumah kolaboratif sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga setiap unit/rumah memiliki dapur pribadi.

Rumah kolaboratif dapat berupa rumah tapak maupun rumah vertikal. Hal tersebut diputuskan melalui kesepakatan bersama antar anggota. Jumlah unit rumah terbaik untuk mengimplementasikan konsep co-housing adalah 12-36 unit rumah. Namun tidak menutup kemungkinan sebuah area/bangunan co-housing memiliki unit yang lebih sedikit atau lebih banyak dari angka tersebut. Jika jumlah lebih sedikit dari 12 unit, maka dikhawatirkan komunitas tersebut menjadi terlalu intim dan membutuhkan pembiayaan pembangunan yang lebih besar. Namun jika jumlah unit lebih banyak dari 36, dikhawatirkan akan menyulitkan sesama anggotanya untuk bersosialisasi dan menstimulus proses administratif yang sulit (pembagian proporsi iuran listrik, air, dsbg) (Scotthanson, 2005).            

Konsep co-housing disebut-sebut memiliki banyak manfaat. Seorang Arsitek penggiat co-housing, Grace Kim, mengatakan bahwa rumah kolaboratif dapat meminimalisir tingkat stress seseorang. Rasa kesepian karena hidup terisolasi kerap membawa pengaruh buruk terhadap kesehatan jasmani maupun rohani. Tinggal bersama orang-orang yang memiliki kesamaan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut. Selain itu, co-housing juga dapat menjadi salah satu alternatif dalam mensiasati harga tanah di kawasan perkotaan yang semakin mahal. Para anggota dapat membeli tanah dan membangun rumah secara kolektif sehingga biaya yang dikeluarkan tidak akan sebanyak ketika membangun rumah atau membeli apartemen secara swadaya.


Contoh Pengimplementasian Co-Housing
Keterangan ki-ka: Capitol Hill Urban Cohousing Seattle; Mountain View Cohousing; Duwamish Cohousing; dan Hearthstone Cohousing

Sumber: Berbagai Sumber, 2019

Co-Housing Sebagai Jawaban Masalah Perumahan di Indonesia

Bila dikaitkan dengan permasalahan perumahan yang terdapat di Indonesia, konsep co-housing dapat menjadi salah satu alternatif yang layak diperhitungkan oleh seluruh stakeholder perumahan. Konsep co-housing dirasa relevan bila diterapkan di Indonesia melihat tren ketersediaan lahan yang semakin sulit untuk diakses dan semakin mahalnya harga properti khususnya di kawasan perkotaan. Penerapan ­co-housing juga sesuai dengan sifat dan karakter masyarakat Indonesia pada umumnya yaitu suka bergotong-royong. Kekuatan modal sosial tersebut sejalan dengan nyawa dari konsep co-housing itu sendiri yakni, kolaboratif. Hal tersebut dapat menjadi peluang untuk mengatasi permasalahan permukiman informal yang kumuh dan juga sebagai jawaban atas terbatasnya akses serta kemampuan kaum milenial untuk memiliki rumah.

Saat ini, kota-kota besar di Indonesia sedang berlomba-lomba untuk mengentaskan kekumuhan yang terdapat di kawasan permukiman informal. Pemerintah daerah beserta masyarakat ramai-ramai mempercantik dan merehabilitasi permukiman tersebut dengan harapan dapat menciptakan kehidupan yang berkelanjutan dan sehat bagi warganya. Namun, masih sedikit yang mempertimbangkan pengimplementasian konsep co-housing pada penataan kawasan permukiman kumuh tersebut, padahal co-housing sejalan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat di kawasan permukiman informal yang memiliki modal sosial yang tinggi.

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asyah (2014), masyarakat di permukiman kumuh memiliki rasa kebersamaan dan tenggang rasa yang kuat. Hal tersebut terlihat dari kehidupan bertetangga yang saling bahu membahu. Para pemukim di kawasan kumuh tersebut mengaku jika suatu saat terjadi penggusuran, mereka berharap dapat tetap tinggal bersama dengan tetangga-tetangganya terdahulu. Mereka juga mengakui bahwa salah satu faktor yang kerap mempengaruhi kegagalan program pemerintah dalam merelokasi permukiman kumuh adalah kemungkinan terputusnya modal sosial yang sudah dimiliki oleh warga. Mereka berharap kemungkinan relokasi dapat diminimalisir dan digantikan dengan konsep rehabilitasi permukiman kumuh agar mereka tetap bisa bersama dan hidup bertetangga.

Melihat fakta tersebut, konsep co-housing dalam rehabilitasi permukiman kumuh berperan sebagai salah satu alternatif yang mumpuni dan layak untuk dicoba. Dengan konsep rumah kolaboratif, pemerintah tidak perlu menyediakan lahan baru untuk relokasi, melainkan dapat mendayagunakan lahan eksisting dengan desain dan fungsi yang lebih baik. Walaupun mungkin agak berbeda dengan prinsip rumah kolaboratif dimana anggotanya akan secara kolektif membiayai pembangunan rumah, pemerintah dapat memberikan subsidi untuk mengimplementasikan rencana tersebut.  Pemerintah juga dapat memberdayakan masyarakat dalam mendesain rumah mereka sehingga tercipta perencanaan partisipatif dimana hasil yang diharapkan akan lebih sesuai dengan ekspektasi dari user atau dalam hal ini masyarakat di permukiman kumuh.

Rumah kolaboratif juga dapat menjadi strategi pemerintah dalam menangani kawasan permukiman kumuh dan informal yang status kelegalan tanahnya biasanya dipertanyakan. Aspek legalitas pada co-housing nantinyasama dengan legalitas pada model properti lainnya. Untuk membangun, dibutuhkan IMB dari pemerintah. Untuk kepemilikan dari rumah tapak sama dengan prosedur kepemilikan dari rumah tapak pada umumnya. Sedangkan untuk kepemilikan rumah vertikal, skemanya sama dengan skema kepemilikan apartemen yaitu sang pemilik mendapatkan Hak Guna Bangunan (HGB) dalam jangka waktu tertentu.

Tidak hanya sebagai salah satu opsi penataan permukiman kumuh, konsep rumah kolaboratif juga dapat menjadi alternatif pilihan bagi kaum milenial untuk memenuhi kebutuhan papannya. Saat ini sering didengungkan bahwa akan sangat sulit bagi kaum milenial untuk dapat memiliki rumah pribadi. Hal tersebut didasari oleh semakin melambungnya harga properti yang tidak diimbangi dengan ability to pay atau kemampuan untuk membayar dari para milenial. Ditambah lagi dengan kondisi tidak tersedianya lahan kosong di daerah perkotaan yang kerap menjadi sasaran milenial untuk memiliki rumah tinggal.

Dilansir dari MIPIM World Blog, co-housing akan menarik perhatian para milenial karena harganya yang akan jauh lebih murah bila dibandingkan dengan apartemen pada umumnya di lokasi yang sama. Konsep co-housing dianggap sebagai solusi mengingat kaum milenial dapat berkolaborasi dengan komunitasnya sehingga modal sosial yang mereka miliki bisa semakin terjalin. Konsep co-housing ini lebih fleksibel dan sesuai dengan sifat dan ciri khas kaum milenial yang suka berkumpul dan melakukan aktivitas bersama. Para milenial dapat merencanakan tempat tinggal mereka bersama dengan keluarga, kerabat, atau bahkan teman yang memiliki nilai visi dan misi yang sama mengenai kebutuhan akan rumah. Mereka dapat secara kolektif membeli sebidang tanah dan menyepakati bersama desain dan tata letak fungsional ruang publik yang mereka kehendaki.

Masih menurut MIPI World Blog, diketahui bahwa saat ini terdapat pergeseran pola pikir yang dimiliki oleh milenial mengenai kepemilikan properti dan aset. Milenial sudah tidak lagi memprioritaskan status kepemilikan secara general. Sudah banyak keluarga muda yang tidak berniat untuk memiliki rumah pribadi di atas lahan yang luas atau memiliki kendaraan sendiri. Hal tersebut tentunya menjadi angin segar bagi pemerintah kota mengingat konsep co-housing akan meningkatkan kepadatan kawasan permukiman dalam kondisi yang lebih baik dan meminimalisir pergerakan.

Tren Perubahan Pola Pikir Kepemilikan Rumah di Indonesia

Pada bagian sebelumnya, sempat dibahas mengenai tren perubahan pola pikir generasi milenial terhadap kepemilikan rumah. Generasi milenial sudah tidak lagi memprioritaskan status kepemilikan properti/aset dan banyak mengalihkan pilihannya kepada rumah sewa. Hal ini sesuai dengan konsep besar dari co-housing dalam bentuk vertical building, dimana tidak terdapat satu anggota pun yang memegang sertifikat kepemilikan lahan. Hal tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk mengimplementasikan konsep vertikal co-housing di Indonesia mengingat sudah terbatasnya ketersediaan lahan di kota-kota besar di Indonesia. Namun apakah lapisan masyarakat lainnya di Indonesia sudah mengarah kepada tren tersebut?

Dilansir dari laman kompas.com pada tahun 2017, terjadi penurunan tren pembelian rumah karena terdapatnya preferensi masyarakat untuk menyewa terutama di daerah perkotaan. Kecenderungan preferensi terlihat dari keengganan masyarakat kota pada umumnya yang masih memiliki mobilitas tinggi. Menurut Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Lana Winayanti, tren dan perilaku seperti yang dijelaskan di atas termasuk gaya hidup yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah.

Tren perubahan pola pikir kepemilikan rumah juga terjadi pada masyarakat kelas menengah ke bawah secara perlahan. Menurut Asyah (2014), diketahui bahwa masyarakat yang bermukim di bantaran sungai tidak keberatan jika harus direlokasi ke hunian vertikal, dengan catatan memiliki akses kepada transportasi publik dan juga tidak mengganggu ikatan sosial yang sudah terbangun antar sesama warga di permukiman bantaran sungai tersebut. Tren perubahan pola pikir juga didukung oleh kondisi kekinian bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah sedang gencar untuk mengikuti program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang digalakkan oleh pemerintah dimana sebagian jenis rumah yang ditawarkan oleh program subsidi tersebut adalah hunian vertikal.

Dengan memahami terjadinya tren perubahan pola pikir terhadap kepemilikan rumah pada masyarakat Indonesia, maka dapat dilihat bahwa konsep co-housing khususnya dalam bentuk hunianvertikal dapat diimplementasikan di Indonesia.

Program Pemerintah yang Mendukung Penyelenggaraan Co-Housing

Setelah didapatkannya gambaran mengenai alternatif pemanfaatan konsep co-housing di Indonesia, perlu diketahui juga program-program pemerintah yang dapat mendukung terselenggaranya konsep tersebut sehingga akan semakin banyak masyarakat yang merasakan manfaatnya. Salah satu program yang dapat mendukung terselenggaranya konsep co-housing, yang pada dasarnya merupakan rumah dengan konsep swadaya, adalah program rintisan kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang bernama Program Penyelenggaraan Perumahan Berbasis Komunitas. Program perumahan berbasis komunitas ini dilatarbelakangi oleh urgensi adanya inovasi kebijakan, strategi dan program penyelenggaraan di Indonesia.

Nantinya komunitas yang berpartisipasi dalam program tersebut akan mendapatkan dua jenis bantuan dari pemerintah. Yang pertama adalah bantuan Pembangunan Baru Rumah Swadaya (PBRS) dan bantuan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU). Dalam pelaksanaan pembangunan rumah berbasis komunitas tersebut akan dilakukan pengawasan dan pengendalian oleh satuan kerja yang ditunjuk oleh menteri. Sedangkan proses pemantauan dan evaluasi akan dilakukan oleh direktorat teknis pada kementerian.

Adapun persyaratan bagi komunitas yang akan berpartisipasi adalah komunitas yang berbadan hukum atau ditetapkan oleh walikota/bupati; MBR dengan desil 1 s.d 4; tidak memiliki fixed income; belum pernah memiliki rumah; lahan atas nama sendiri atau berkelompok tapi dapat dipecah atas nama masing-masing; sudah berkeluarga; memiliki kemampuan berswadaya dan memiliki kelompok; dan jumlah minimal unit rumah adalah 50 unit. Hal ini cukup berbeda dengan penerapan konsep co-housing yang ideal dimana jumlah unit rumah yang dibangun sebaiknya berkisar antara 12-36 unit.  Selanjutnya mengenai lokasi pelaksanaan bantuan harus memenuhi persyaratan berupa: lokasi sesuai dengan RTR sebagai kawasan perumahan; legalitas kepemilikan tanah jelas; tanah tidak bersengketa; aksesibilitas lokasi baik dan kualitas medan atau lapangan sesuai. Selanjutnya terkait dengan peran pemerintah/pemda adalah memberi bantuan infrastruktur dasar untuk menunjang berfungsinya perumahan komunitas; mempermudah proses perizinan dan memfasilitasi penyusunan rencana. Sedangkan peran akademisi adalah mengembangkan konsep framework kolaborasi dan memfasilitasi penyusunan rencana.

Saat ini, sudah terdapat sekitar 24 komunitas yang akan melaksanakan program perumahan berbasis komunitas yang tersebar di 22 lokasi dengan unit pembangunan rumah mencapai sekitar 7.472 unit. Salah satu implementasi program yang sudah berjalan adalah Pengembangan Perumahan Berbasis Komunitas untuk Persaudaraan Pemangkas Rambut di Garut. Setelah memahami jenis program perumahan berbasis komunitas yang diselenggarakan oleh pemerintah, maka dapat diambil kesimpulan bahwasanya konsep co-housing sangat memungkinkan diterapkan di Indonesia melalui program tersebut yang menyasar masyarakat berpenghasilan rendah

Program Perumahan Berbasis Komunitas di Garut
Sumber: Paparan FGD Satgas Penyediaan Perumahan PU, 2019

Penutup

Setelah mengetahui dan memahami definisi, peluang pengimplementasian konsep Co-housing, tren perubahan pola pikir masyarakat terhadap kepemilikan rumah, dapat disimpulkan bahwa konsep tersebut tampak sebagai sebuah peluang emas dan keniscayaan di tengah-tengah tantangan perkotaan yang menyebabkan sedikitnya lahan yang bisa diakses dan mahalnya harga properti saat ini. Konsep rumah kolaboratif juga sesuai dan sejalan dengan karakteristik masyarakat di Indonesia dimana kekuatan modal sosial menjadi nilai utama yang dijunjung tinggi. Baik masyarakat di permukiman kumuh maupun kaum milenial dapat menentukan dimana dan dengan siapa mereka ingin tinggal serta jenis-jenis fasilitas publik yang sekiranya dibutuhkan oleh komunitas tersebut. Pergeseran pola pikir mengenai kepemilikan aset bagi kaum milenial juga menjadikan co-housing sebagai salah satu opsi yang patut dipertimbangkan. Namun demikian, untuk mewujudkan konsep co-housing dibutuhkan dukungan dari seluruh stakeholder khususnya pemerintah daerah menyusun regulasi terkait permukiman. Saat ini sudah terdapat sebuah program bernama Perumahan Berbasis Komunitas yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Sasaran dari program tersebut adalah komunitas masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan diadakannya program pemerintah tersebut, kita dapat melihat arah kebijakan dan inovasi yang mendukung terimplementasikannya konsep co-housing di Indonesia. Namun belum familiarnya masyarakat luas terhadap konsep ini juga dapat menjadi hambatan dalam pengimplementasiannya. Jadi, apakah konsep rumah kolaboratif ini akan berkembang di Indonesia dalam waktu dekat?

Daftar Pustaka

Vestbro, et al. 2012. Design for gender Equality – The History of Cohousing Ideas and Realities. Aalto University     

Tummers, L. 2016. The Re-emergence of Co-Housing in Europe. New York

Aziz, F. 2017. Cohousing Concept: Commercial Business Model Development For Millenials in Urban Area of Indonesia. Institut Teknologi Bandung           

Scotthanson, et al. 2005. The Cohousing Hanbook. Canada: New Society Publishers

Asyah, AN. 2014. Penentuan Preferensi Bermukim Masyarakat Permukiman Kumuh di Bantaran Sungai Ciliwung, Manggarai Jakarta Selatan. Institut Teknologi Sepuluh Nopember

https://www.schemataworkshop.com/chuc

https://properti.kompas.com/read/2017/12/29/090000021/investor-pilih-sewa-tren-pembelian-rumah-turun?page=all

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *