Oleh Galuh Shita

Indonesia adalah sebuah negara yang dianugerahi banyak sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Sebagai salah satu negara dengan jumlah populasi terbanyak di dunia, pada tahun 2010 setengah dari jumlah penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan. Namun yang mengejutkan, seiring dengan berjalannya waktu jumlah penduduk yang berpindah dari desa ke kota terus bertambah dan menciptakan berbagai isu dan permasalahan baru. Hampir sebagian besar kota-kota di Indonesia belum siap dengan datangnya arus urbanisasi yang pesat, mulai dari masalah penyediaan infrastruktur dasar yang memadai, pemenuhan kebutuhan rumah, hingga lapangan pekerjaan.

Dilansir dari Bappenas pada tahun 2017, pada tahun 1961 hanya terdapat sekitar 14,8% penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan. Terjadi kenaikan sebesar 38,8% dari tahun 1961 menuju tahun 2015 yang dilansir ada sebanyak 53,6% penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan. Arus urbanisasi ini akan terus meningkat hingga tahun 2035, yang diprediksi ada sekitar 66,6% penduduk akan tinggal di wilayah perkotaan. Hal ini memicu pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas kotanya agar dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya.

Hal ini kemudian menimbulkan sebuah pertanyaan baru, apakah penyelenggaraan perencanaan kota telah memprediksi potensi arus urbanisasi? Apakah kota tersebut telah mempersiapkan para pendatang untuk tinggal dan menetap? Apakah kota tersebut masih menjadi kota yang masih layak dihuni pada bertahun-tahun yang akan datang?

Indikator Kota Layak Huni

Ikatan Ahli Perencana (IAP) menafsirkan terminologi kota layak huni sebagai istilah yang menggambarkan sebuah lingkungan dan suasana kota yang nyaman sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat untuk beraktivitas yang dilihat dari berbagai aspek baik aspek fisik (fasilitas perkotaan, prasarana, tata ruang, dan lainnya) maupun aspek non fisik (hubungan sosial, aktivitas ekonomi, dan lainnya). Sebuah kota layak huni dapat dikatakan sebagai kota ideal berdasarkan indikator-indikator yang diberikan, yakni:

  1. Ketersediaan kebutuhan dasar (perumahan yang layak, air bersih, jaringan listrik, sanitasi, ketercukupan pangan, dan lainnya)
  2. Ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial (transportasi umum, taman, fasilitas kesehatan, dan lainnya)
  3. Ketersediaan ruang publik sebagai wadah untuk berinteraksi antar komunitas
  4. Keamanan dan keselamatan
  5. Kualitas lingkungan
  6. Dukungan fungsi ekonomi, sosial, dan budaya kota
  7. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan

Sebaran Wilayah Penelitian dalam Perumusan Most Livable City Index 2017

Sumber: diolah dari MLCI 2017

Indonesian Most Livable City Index

Most Livable City Index (MLCI) 2017 merupakan sebuah penelitian terkait kota layak huni yang dikeluarkan oleh IAP mencakup 26 kota yang tersebar di 19 provinsi di Indonesia. Penelitian terkait MLCI dilakukan oleh IAP pertama kali pada tahun 2009 dan terus berulang dalam periode 3 tahun sekali dengan jumlah kota yang terus bertambah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan seberapa nyaman sebuah kota untuk dihuni dan ditinggali oleh masyarakat yang menetap di kota tersebut.

Hasil rata-rata indeks nasional pada tahun 2017 adalah sebesar 62, menurun apabila dibandingkan dengan hasil survei yang dilakukan pada tahun 2014 yakni sebesar 63. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih banyak warga kota yang merasa tidak nyaman untuk tinggal di kotanya. Sedikit ironi, mengingat hampir sebagian besar penduduk di Indonesia tinggal di wilayah perkotaan namun mereka merasa tidak nyaman dengan kota yang ditinggalinya.

MLCI 2017 membagi hasil survei menjadi 3 lingkup besar, yakni top tier city (kota dengan indeks livability di atas rata-rata), average tier city (kota dengan nilai indeks livability rata-rata), dan bottom tier city (kota dengan nilai indeks livability di bawah rata-rata).

Hasil Survei MLCI 2017

  • TOP TIER CITY
  • 1. Solo (66,9)
    2. Palembang (66,6)
    3. Balikpapan (65,8)
    4. Denpasar (65,5)
    5. Semarang (65,4)
    6. Tangerang Selatan (65,4)
    7. Banjarmasin (65,1)
  • AVERAGE TIER CITY
  • 1. Pekalongan (64,7)
    2. Bandung (63,6)
    3. Yogyakarta (63,6)
    4. Malang (63,5)
    5. Surabaya (63,2)
    6. Bogor (63,2)
    7. Palangkaraya (62,9)
    8. Jakarta (62,6)
    9. Manado (62,5)
  • BOTTOM TIER CITY
  • 1. Pontianak (62)
    2. Depok (61,8)
    3. Mataram (61,6)
    4. Tangerang (61,1)
    5. Banda Aceh (60,9)
    6. Pekanbaru (57,8)
    7. Samarinda (56,9)
    8. Bandar Lampung (56,4)
    9. Medan (56,1)
    10. Makassar (55,7)

Sumber: MLCI 2017

Selama kurun waktu 2009 hingga 2017, beberapa kota yang menjadi lokasi penelitian dari MLCI mengalami kenaikan, namun tak jarang juga terdapat kota yang mengalami penurunan. Kota-kota yang selalu konsisten menjadi top tier cities adalah Solo, Balikpapan, dan Denpasar. Sementara Kota Pontianak, Samarinda, dan Medan konsisten sebagai bottom tier cities. Kota Yogyakarta dan Kota Makassar terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

Yang menarik adalah, beberapa kota besar tidak masuk ke dalam top tier cities. Bahkan ibukota negara Indonesia yaitu DKI Jakarta hanya bertahan di urutan terbawah dalam kategori average tier cities. Temuan menarik lainnya adalah tidak terkaitnya nilai perkapita suatu daerah dengan tingkat kelayakhunian daerah tersebut. Sebut saja DKI Jakarta dan Surabaya yang memiliki pendapatan asli daerah (PAD) terbesar hanya berada pada kelompok average tier cities. Kota Solo sebagai kota paling layak huni hanya memiliki PAD per kapita 800 ribu per tahun. Selain itu, kota-kota dengan jumlah penduduk di atas 2 juta jiwa tidak ada yang termasuk ke dalam kategori top tier cities. Kota metropolitan seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung, dan Makassar masih berjuang untuk dapat menjadi kota layak huni.

Kota-kota Penelitian dengan Rencana Tata Ruang yang Dimilikinya

Sumber: MLCI 2017

Hal yang menarik lainnya, belum ada pola keterhubungan antara keberadaan rencana tata ruang dengan indeks layak huni suatu kota. Perencanaan tata ruang yang baik seharusnya dapat berimbas pada tingkat layak huni suatu kota. Dapat dilihat pada gambar di atas bahwa keseluruhan 26 kota yang menjadi lokasi survei penelitian, hanya sekitar 5 kota yang memiliki kelengkapan perda RTRW dan RDTR. Keseluruhan kota yang memiliki kelengkapan produk penataan ruang tersebut tidak ada yang berada pada kategori top tier city. Masih diperlukan suatu kajian lebih lanjut untuk dapat melihat keterhubungan antara keberadaan rencana tata ruang dengan kelayakhunian kota.

Sudahkah Kota di Indonesia Layak Huni?

Selain hasil penelitian yang mengerucutkan berbagai kota di Indonesia dalam kategori layak huni, dokumen MLCI juga berhasil menangkap 5 isu besar yang menjadi keresahan sebagian besar masyarakat perkotaan di Indonesia. Adapun kelima isu besar tersebut adalah: (1) sebagian warga kota menilai kualitas jalur pejalan kaki buruk, (2) warga kota belum merasa aman dari bencana, (3) kemacetan di kota-kota besar di Indonesia dinilai semakin parah, (4) harga rumah semakin tidak terjangkau oleh warga kota, (5) warga kota merasa belum banyak dilibatkan dalam pembangunan.

Kelima isu besar tersebut sedikit berkaitan dengan keberadaan rencana tata ruang yang ada. Dalam arti, setiap pemerintah kota dapat menjadikan kelima isu tersebut sebagai bahan pertimbangan ketika hendak menyusun dokumen rencana tata ruang di daerahnya. Dengan pendekatan ini, diharapkan akan lebih banyak kota-kota di Indonesia yang dapat menyandang status sebagai kota layak huni. Bahkan diharapkan akan dapat menaikkan peringkat kota layak huni yang dimiliki Indonesia di tingkat internasional.

Seperti diketahui, bahwa dalam dokumen yang dikeluarkan oleh The Economist Intelegence Unit (EIU) di tahun 2019, Indonesia menempati urutan ke-115 dari total 140 kota layak huni di dunia versi mereka. Adapun indikator yang digunakan adalah aspek kesehatan (ketersediaan dan kualitas layanan, baik publik maupun swasta), stabilitas (kejahatan, kekerasan, ancaman teror, konflik militer), lingkungan dan budaya (iklim, tingkat korupsi), pendidikan (ketersediaan dan kualitas pendidikan swasta), dan infrastruktur (jalan, transportasi umum, perumahan, air, energi, telekomunikasi). Meskipun indikator yang digunakan berbeda, namun pada dasarnya penelitian semacam ini memiliki tujuan yang sama yaitu menggali seberapa nyaman kah sebuah kota untuk ditinggali bagi penduduknya? Apakah dengan penyediaan fasilitas yang lengkap dapat membuat masyarakat merasa nyaman? Ataukah sebuah kota tak cukup hanya dengan menyediakan pembangunan fisik namun juga sesuatu yang dapat dirasakan, seperti rasa aman saat berjalan kaki di malam hari. Yang jelas, dengan mengupayakan secara maksimal melalui penyediaan produk perencanaan ruang yang baik, diharapkan hal-hal yang dapat meningkatkan rasa nyaman dan bahagia penduduk suatu daerah dapat terakomodir dengan baik, serta isu-isu seperti fenomena potensi lonjakan arus urbanisasi di masa mendatang dapat difasilitasi dengan baik.

Jadi, seperti apakah indikator lain yang dapat meningkatkan peringkat kota layak huni yang ideal menurut Anda?

Sumber:

Ikatan Ahli Perencana. 2017. Most Livable City Index 2017. Jakarta.