Pemanfaatan Data LiDAR Untuk Analisis Hidrologi Dalam Pembangunan Perumahan

Oleh: Arszandi Pratama, S.T, M.Sc, Tike Aprillia S.T dan Dandy Muhamad Fadilah, S.T

Dalam merencanakan kawasan perumahan sangat penting untuk mengetahui titik potensi sumber banjir. Analisis hidrologi menjadi salah satu analisis penting dalam proses pembuatan masterplan perumahan, karena dari analisis hidrologi kita dapat mengetahui titik potensi sumber banjir di kawasan perencanaan, merencanakan tinggi lantai bangunan, perencanaan sistem drainase, bahkan penanggulangan bencana di kawasan perumahan. Salah satu contoh kegunaan analisis hidrologi dalam pembangunan perumahan adalah untuk melengkapi Izin Peil Banjir sebelum sebuah pengembang mulai mengerjakan proyek perumahan. Untuk itu dalam proses perencanaan kawasan perumahan penting sekali untuk melakukan analisis hidrologi. Mari kita bahas mengenai apa peran penting analisis hidrologi untuk kawasan perumahan? Data apa saja yang dibutuhkan dalam analisis hidrologi? Bagaimana pemanfaatan Teknologi LiDAR dalam proses analisis hidrologi?. 

Pentingnya Analisis Hidrologi

Analisis Hidrologi dimaksudkan untuk melakukan analisis dari informasi / fakta di lapangan mengenai fenomena hidrologi untuk mendapatkan hasil kajian yang dibutuhkan dalam proses analisis lanjutan yang berguna untuk perencanaan / pembangunan perumahan. Analisis hidrologi berperan penting untuk memutuskan apakah lokasi tersebut layak untuk dijadikan perumahan atau tidak sekaligus dapat sebagai bahan masukan dalam merencanakan mitigasi bencana. Contoh fenomena hidrologi yang dimaksud adalah: besarnya curah hujan, penguapan, lama penyinaran matahari, kecepatan angin, debit sungai, tinggi muka air sungai, kecepatan aliran dan konsentrasi sedimen sungai. Dengan mengetahui fenomena hidrologi didukung dengan data lain yang diperlukan maka akan sangat berguna dalam proses perencanaan pembangunan perumahan. 

Tujuan Analisis Dalam Pembangunan Perumahan

  1. Mengumpulkan informasi terkait kondisi/ fakta hidrologi di kawasan perencanaan;
  2. Sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perencanaan pembangunan perumahan;
  3. Sebagai bahan pertimbangan dalam penggunaan material bangunan perumahan;
  4. Mitigasi bencana.

Beberapa Data Yang Dibutuhkan Dalam Proses Analisis Hidrologi

  1. Data Iklim
  2. Data Topografi
  3. Data Tata Guna Lahan
  4. Data Jenis Tanah
  5. Data Sungai/ Waduk dan lainnya

Pemanfaatan LiDAR Dalam Analisis Hidrologi

LiDAR adalah teknologi yang menerapkan sistem penginderaan jauh sensor aktif untuk menentukan jarak dengan menembakkan sinar laser yang dipasang pada wahana pesawat. Sistem LiDAR pada umumnya banyak beroperasi dengan menggunakan gelombang near infrared (NIR). Namun beberapa sensor pun ada yang menggunakan spektrum gelombang hijau untuk menembus air dan mendeteksi keadaan di dasar air. Data yang dihasilkan dari akuisisi data LiDAR yaitu data dalam bentuk point cloud. Point cloud merupakan kumpulan titik yang mewakili bentuk atau fitur tiga dimensi (3D). Setiap titik memiliki koordinat X, Y, dan Z. Ketika terdapat banyak kumpulan point cloud yang disatukan, maka point cloud tersebut akan membentuk suatu permukaan atau objek dalam bentuk 3D. 

Data point cloud dapat digunakan untuk membuat model tiga dimensi permukaan bumi (3D), seperti digital elevation model (DEM), digital surface model (DSM), dan normalized digital surface model (NDSM). Selain itu, DEM yang dihasilkan pun dapat digunakan lagi untuk membuat garis kontur. Dalam analisis hidrologi, peran LiDAR adalah untuk menghasilkan Data DEM yang yang berguna untuk mengetahui topografi di kawasan perencanaan perumahan. Data DEM juga memiliki peranan penting untuk analisis lanjutan lainnya.

Contoh data DEM dari akuisisi LiDAR

Studi Kasus Proyek PT.KHS: Pemanfaatan LiDAR Dalam Studi Peil Banjir Kawasan Perumahan

Definisi Peil Banjir adalah pengaturan ketinggian minimal lantai bangunan yang ditentukan berdasarkan lokasi perumahan tersebut, yang bertujuan untuk mencegah air banjir meluap dan masuk ke dalam bangunan jika lantai terlalu rendah pada daerah yang memiliki intensitas pembangunan yang tinggi, rekomendasi Peil Banjir sangat dibutuhkan karena tingkat rawan banjir yang lebih beresiko.  Izin peil banjir ini adalah salah satu dari sekian izin yang harus dilengkapi sebelum sebuah pengembang mulai mengerjakan proyek perumahan. Tentu ketetapan tentang kerendahan muka tanah ini sangat berpengaruh bagi kelancaran pembangunan dan pengarahan desain bagian bawah sebuah bangunan. 

Dalam proses pengerjaannya, output yang dihasilkan oleh Tim KHS adalah dapat mengetahui debit banjir rencana yang digunakan untuk permodelan hidrolis banjir, mengetahui sistem air di area site dan rekomendasi pengelolaannya, menentukan level muka air banjir, serta memberikan rekomendasi peil banjir di kawasan perumahan.

Dalam studi kasus ini, Teknologi LiDAR digunakan untuk proses mendapatkan data ketinggian dan kontur kawasan yang sangat dibutuhkan dalam proses analisis hidrologi untuk studi peil banjir di kawasan perumahan. Dengan pengalaman proyek tersebut kami berpengalaman dalam proses pengambilan data ketinggian dan kontur kawasan perumahan menggunakan LiDAR serta melakukan analisis hidrologi. 

Skema Dasar Perencanaan Peil Banjir

Penutup

Analisis hidrologi menjadi sangat penting dalam proses pemilihan lokasi ataupun bahan pertimbangan mitigasi bencana di kawasan perumahan. Tidak hanya fenomena hidrologi yang dibutuhkan dalam proses analisis hidrologi, namun perlu data-data lain yang menunjang dalam proses analisisnya. Salah satunya adalah data ketinggian dan kontur kawasan. Untuk mendapatkan data tersebut, penggunaan teknologi LiDAR sangat berperan penting. PT. KHS memiliki sumber daya yang handal dalam penggunaan teknologi LiDAR.

Selain berpengalaman dalam mengerjakan proyek Analisis Hidrologi, kami juga berpengalaman dengan penggunaan teknologi LiDAR. PT.KHS juga didukung dengan teknologi UAV canggih dan pilot yang handal dan bersertifikat sehingga anda akan mendapatkan hasil kerja yang memuaskan dengan harga yang bersahabat. Tunggu apa lagi? Silahkan hubungi kami, PT. Kreasi Handal Selaras yang dapat memenuhi kebutuhan jasa LiDAR dan analisis hidrologi perusahaan anda. 

Untuk informasi lebih lanjut tentang Jasa Survei dan Pemetaan, silakan hubungi kami. Paket informasi lengkap dapat disediakan berdasarkan permintaan.

REFERENSI

  1. Apa itu Lidar. https://www.handalselaras.com/apa-itu-lidar/ Diakses pada 11 Oktober 2022.
  2. Negoro, Agung Noto dan Pramawan, Heri. (2008). Perencanaan Teknis Embung Silandak Sebagai Pengendali Banjir Kali Silandak Semarang – Jawa Tengah. Skripsi Universitas Dipenogoro.
  3. Tak Sekedar Kejar Untung, Developer Mesti Bereskan Analisa Hidrologi dalam https://rakyatbengkulu.com/2022/01/23/tak-sekedar-kejar-untung-developer-mesti-bereskan-analisa-hidrologi/ Diakses pada 11 Oktober 2022.
  4. Peil Banjir – Penting dlakukan Untuk Membangun Sebuah Proyek dalam https://smartplusconsulting.com/2019/07/peil-banjir-penting-dilakukan-sebelum-membangun-sebuah-proyek/ Diakses pada 21 Oktober 2022.
  5. Rekomendasi Peil Banjir dalam https://perizinanrealestate.wordpress.com/jenis-perizinan/rekomendasi-teknis/rekomendasi-peil-banjir/ Diakses pada 21 Oktober 2022.
  6. PT. Kreasi Handal Selaras. (2022). Studi Kasus Proyek Studi Peil Banjir Kawasan Perumahan.

Mengenal Tahapan Cut And Fill Dalam Persiapan Lahan

Oleh: Arszandi Pratama, S.T, M.Sc, Tike Aprillia S.T dan Dandy Muhamad Fadilah, S.T

Dalam persiapan lahan untuk gedung atau konstruksi lainnya seperti jalan, bendungan, dan lainnya proses Cut and Fill sangat lah penting.  Cut and fill merupakan salah satu istilah dalam konstruksi yang dikenal dengan menggali dan menimbun. Jadi Cut and Fill merupakan proses pengerjaan tanah dimana sejumlah material baik tanah maupun bebatuan yang diambil dari tempat tertentu dan kemudian dipindahkan ke tempat lain agar tercipta elevasi yang diinginkan. Oleh karena itu, sebelum pengerjaannya dibutuhkan pengukuran dan perhitungan yang teliti. Proses ini umumnya dilakukan pengembang untuk melakukan perataan lahan yang berkontur sehingga pembangunan kawasan perencanaan lebih efisien.

Tujuan Cut and Fill

Umumnya tujuan Cut and Fill adalah untuk menciptakan permukaan tanah yang lebih rata agar proses konstruksi pembangunan lebih mudah. Berikut beberapa tujuan dari cut and fill:

  1. Mencegah terjadinya penurunan permukaan tanah
  2. Meratakan permukaan tanah
  3. Menyangga bebatuan di sekelilingnya agar tidak longsor atau amblas
  4. Memberikan akses ke area lain.

Faktor Yang Mempengaruhi Proses Cut And Fill

Dalam proses Cut and fill, ada banyak faktor yang mempengaruhi prosesnya. Salah satunya adalah kondisi tanah. Inilah salah satu bagian penting dalam konstruksi dimana tanah sendiri merupakan material yang terdiri dari agregat mineral-mineral padat. Material tersebut tersementasi satu sama lain disertai dengan bahan organik yang melapuk serta zat cair dan gas yang akan mengisi ruang antara partikel padat dalam tanah. Salah satu contoh jenis tanah adalah lempung. Tanah ini sifatnya adalah kohesif dan plastis. Kondisi material tersebutlah yang bisa mempengaruhi volume tanah serta proses pendistribusiannya. Keadaaan material tersebut bisa digambarkan ke dalam beberapa kondisi, yaitu:

  • Keadaan asli, maksud dari “keadaan asli” adalah suatu kondisi material sebelum dilakukan pengerjaan atau ketika masih dalam ukuran alam. Keadaan inilah yang digunakan sebagai dasar perhitungan jumlah pemindahan.
  • Keadaan lepas adalah suatu kondisi tanah setelah diadakan pengerjaan. Contohnya adalah tanah yang berada di depan dozer blade ataupun di atas dump truck. Dalam kondisi ini ada penambahan rongga udara di antara butiran-butiran tanah. Hal ini membuat volume menjadi lebih besar.
  • Keadaan padat, keadaan ini adalah ketika material ditimbun dan dilakukan proses pemadatan. Pada kondisi ini maka terjadi perubahan volume karena adanya penyusutan rongga udara diantara partikel-partikel tanah yang membuatnya berubah ukuran meskipun beratnya tetap. Volume tanah setelah dilakukan pemadatan bisa jadi lebih besar maupun lebih kecil yang tergantung pada usaha pemadatan yang dilakukan.

Pada kedua proses cut and fill, maka dibutuhkan alat berat. Operator khusus juga dibutuhkan dalam pendistribusian tanah ini. Hal ini akan mendukung kerja konstruksi khususnya dalam mengawali sebuah proyek. Hal ini akan menjadi salah satu faktor penentu besaran budget proyek sampai dengan keberhasilan konstruksi yang dijalankan.

Pengaplikasian Metode Cut And Fill

  • Contoh pengaplikasian cut and fill yaitu saat pembukaan lahan baru, dimana sebelum melakukan kegiatan konstruksi bangunan akan dilakukan proses cut and fill agar sesuai dengan level yang diinginkan. Misalnya pembangunan gedung baru, pembuatan pondasi dan pekerjaan-pekerjaan sipil lainnya.
  • Pada pekerjaan pembuatan jalan, proses cut and fill dilakukan agar kondisi jalan rata, sesuai elevasi dan lebar yang diinginkan. Misalnya pembuatan jalan yang mana harus memotong tebing, ataupun memotong level tanah agar sesuai dengan rencana tebal limestone dan beton.
  • Cut and fill pada pertambangan dilakukan untuk mengambil material alam yang berharga. Kemudian bekas galian akan di urug kembali dengan tanah bebatuan agar dinding tanah tidak ambruk.

Tahapan Perencanaan Proses Cut And Fill

Dalam sebuah pembangunan atau pembukaan lokasi baru dalam konstruksi selalu berkaitan dengan proses penggalian tanah (cut) dan pengurugan tanah (fill). Dalam hal ini, maka pekerjaan tanah dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis contoh data permukaan tanah yaitu permukaan tanah asli (original ground) dan permukaan tanah yang direncanakan (design ground). Berikut merupakan langkah-langkah perencanaan cut and fill suatu lahan yang akan dikerjakan:

Gambar Langkah Perencanaan Cut And Fill

Sumber: Angga Nugraha dalam Perencanaan Cut And Fill (Teknik Sipil dan Lingkungan IPB)
  1. Original Ground

Yang dimaksud adalah peninjauan lokasi lahan existing yang akan dieksekusi atau dilakukan pembangunan sesuai peruntukannya. Hal ini agar diketahui lokasi tersebut berada dimana, akses jalan ataupun prasarana yang ada disana seperti apa, kondisi lingkungan, kondisi tanah serta data-data pendukung lainnya bagaimana, yang kemudian akan digunakan untuk perencanaan pembangunan lahan (design ground) serta faktor inilah akan menjadi penentu awal yang mempengaruhi besar kecilnya biaya yang akan dibutuhkan untuk pembangunan sesuai peruntukannya.

Contoh Data Ground Existing Yang Disurvei Menggunakan UAV LiDAR.

Sumber: Olahan Data PT. Kreasi Handal Selaras, 2022.

  1. Surveying/ Pengukuran Lahan

Langkah selanjutnya setelah peninjauan lokasi, maka dilakukanlah pengukuran lahan baik secara manual maupun menggunakan alat ukur seperti Lidar, theodolite, atau GPS maupun alat ukur lainnya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui secara presisi bentuk kontur lahan maupun batas lahan di lokasi tersebut. Hasil ini digunakan untuk menentukan perencanaan cut and fill lahan, penyediaan prasarana seperti jalan, instalasi air maupun titik-titik bangunan yang akan dibangun.

Contoh Kegiatan Survei Tim PT Kreasi Handal Selaras Dalam Pengambilan Data Untuk Membuat Kontur Menggunakan GPS Dan UAV LiDAR.

Sumber: Kegiatan survey kontur menggunakan GPS dan UAV LiDAR yang dilakukan PT. Kreasi Handal Selaras, 2022.

(Catatan Penulis: Hal ini tidak perlu dilakukan apabila lokasi lahan sudah mempunyai peta situasi yang terdapat garis-garis konturnya)

  1. Pengolahan Data Hasil Survey dan Perencanaan Lahan (Ground Design)

Data yang telah didapat dari hasil survei atau pengukuran lahan kemudian diolah agar dapat disajikan secara visual sehingga memudahkan dalam tahap pembangunan maupun perencanaan biayanya. Sebagai contoh, data lahan didapat dengan mengukur lahan menggunakan alat theodolite, kemudian data tersebut diinput kedalam software yang dapat menyajikan kontur seperti Surfer, CAD,  ataupun software-software GIS lainnya. Hasil pengolahan data tersebut dapat digunakan untuk merencanakan bangunan apa saja yang akan dan perlu disediakan disana, jenis prasarana apa saja yang perlu dibuat disana, instalasi airnya seperti apa agar dapat menyediakan kebutuhan air di lokasi tersebut serta titik-titik bangunannya yang akan dibangun di lokasi mana sehingga besarnya cut and fill tanah dapat menyesuaikan.

Contoh Pengolahan Data Hasil Survey Di Software Autocad

Sumber: Olahan Data PT. Kreasi Handal Selaras, 2022.

Contoh Gambar Penampang Galian (Cut) dan Timbunan (Fill)

Sumber: Angga Nugraha dalam Perencanaan Cut And Fill (Teknik Sipil dan Lingkungan IPB)

(Catatan Penulis: Perhitungan kebutuhan volume cut and fill dapat juga dilakukan manual dengan cara menghitung secara matematis tergantung kontur atau bentuk lahannya, misalnya berbetuk persegi yang tinggal mengitung volume persegi (p x l x t), misal berbetuk trapesium tinggal menggunakan rumus volume trapesium maupun lainnya, kuncinya terdapat pada data pengukuran lahan)

Contoh Gambar Penampang Galian (Cut) dan Timbunan (Fill)

Sumber: https://jasapengurukantanah.blogspot.com/p/cut-fill-land.html

Dari proses ini akan didapatkan jumlah volume yang perlu digali dan ditimbun, yang kemudian dapat digunakan dalam perhitungan RAB.

  1. Perhitungan RAB (Rencanan Anggaran Biaya)

Setelah diketahui kontur tanah dan dibuat desain perencanaan bangunan apa saja yang akan dibangun dan disediakan disana, maka dapatlah dihitung besarnya jumlah biaya yang perlu dikeluarkan terutama untuk hal paling pertama yaitu besarnya biaya cut and fill di lahan tersebut sesuai volume yang telah dihitung dan didapat dari data pengukuran dan pengolahan data.

(Catatan Penulis: untuk perhitungan RAB Cut and Fill diperlukan juga pengetahuan mengenai estimasi sewa alat yang dibutuhkan. Misal dalam cut, maka dibutuhkan excavator untuk menggali tanah, truk untuk mengangkut tanah yang dibuang, dozer untuk perataan tanah, serta biaya penyewaan area buangan tanah. Sedangkan untuk fill, maka dibutuhkan tanah untuk menimbun (dimana perhitungan tanah harus dikalikan waste, misal kebutuhan sesuai perhitungan adalah 1 m3, maka dibuatlah harga pembelian tanah sebanyak 1.2 x volume yaitu 1 m3 sehingga kebutuhan timbunan perhitungan 1 m3 perhitungan sama dengan 1.2 m3 total tanah real yang dibutuhkan dilapangan), truk untuk mengakut tanah ke lokasi, dozer untuk pemadatan dan perataan tanah)

Contoh Gambar Penampang Galian (Cut) dan Timbunan (Fill)

Sumber: Angga Nugraha dalam Perencanaan Cut And Fill (Teknik Sipil dan Lingkungan IPB)

(Catatan Penulis: Dalam proses cut and fill yang baik adalah saat mengcut tanah/menggali tanah, tanah galian tersebut harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mengfill tanah/menimbun tanah di titik bagian lokasi lain yang membutuhkan untuk ditimbun, hal ini bertujuan agar biaya cut fill dapat ditekan seminimal mungkin sehingga tidak terjadi overcost dikarenakan metode ini dapat mengurangi jumlah biaya untuk pembuangan tanah maupun biaya untuk pembelian tanah timbunan)

  1. Eksekusi/ Pelaksanaan Pembangunaan

Tahap terakhir setelah tahap-tahap diatas didapat, maka dilakukan pada tahap pembangunannya sesuai dengan rencana.

Penutup

Cut and fill sangat penting dalam proses perencanaan pembuatan perumahan, jalan, atau kegiatan konstruksi lainnya. Perencanaan cut and fill ini tidak sesederhana menggali dan menimbun saja. Kesalahan pengukuran dan perencanaan dalam tahapan ini dapat mengakibatkan banjir, longsor, dan hal lainnya. Salah satu hal terpenting lainnya adalah pada saat peninjauan lokasi dan pengukuran lahan. Dengan data yang presisi maka dapat membantu memperlancar proses kegiatan cut and fill. Selain itu, aspek perencanaan kedepannya  juga sangat terkait dalam cut and fill.

PT. KHS berpengalaman dalam melakukan survei topografi yang dibutuhkan dalam proses cut and fill. Penggunaan teknologi LiDAR dapat membantu proses cut and fill lebih cepat dan tepat. PT.KHS juga didukung dengan pilot yang handal dan bersertifikat dengan harga jasa yang bersahabat. Tunggu apa lagi? Silahkan hubungi kami, PT. Kreasi Handal Selaras yang dapat memenuhi kebutuhan survei topografi untuk proses cut and fill dalam proyek perusahaan anda. 

Untuk informasi lebih lanjut tentang Jasa Survei dan Pemetaan, silakan hubungi kami. Paket informasi lengkap dapat disediakan berdasarkan permintaan.

REFERENSI

  1. https://www.rei.or.id/newrei/berita-standar-ganda-beleid-cut-and-fill.html#:~:text=Dalam%20usaha%20properti%2C%20Cut%20and,pembangunan%20kawasan%20perumahan%20lebih%20efisien. Diakses pada 2 Oktober 2022.
  2. https://www.greenplanet.co.id/index.php/ind/single?id=166&category=Cut+and+Fill+Proyek Diakses pada 2 Oktober 2022.
  3. https://alitmix.com/mengenal-cut-and-fill-dan-perhitungan-volumenya/ Diakses pada 2 Oktober 2022.
  4. https://www.slideshare.net/AnggaNugraha15/perencanaan-cut-and-fill-lahan Diakses pada 2 Oktober 2022.
  5. https://www.jasaurug.com/read/cut-and-fill-lahan-proyek Diakses pada 2 Oktober 2022.
  6. https://jasapengurukantanah.blogspot.com/p/cut-fill-land.html .Diakses pada 2 Oktober 2022.
  7. Hasil survei lapangan dan analisis dari Tim Kreasi Handal Selaras, 2022.

Geographic Information System (GIS) untuk Pengawasan Jaringan Listrik PLN

Oleh : Rabby Awalludin, S.T dan Tike Aprillia, S.T

GIS atau Geographic Information System adalah sistem informasi yang secara khusus mengelola data-data dengan kandungan informasi spasial. Dalam arti yang lebih sempit, yaitu sistem yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi dengan referensi geografis, misalnya data yang disajikan menurut lokasinya, dalam sebuah database.

Produk umum dari GIS adalah Peta. Dalam penyajiannya GIS dapat menggabungkan elemen-elemen peta yang sebelumnya dihasilkan oleh berbagai metode survei, baik fotogrametri, Lidar, Pengindraan Jauh bahkan Terestris.

Berbagai analisis spasial dapat dilakukan dengan menggunakan data GIS diantaranya analisis banjir, kepadatan penduduk, analisis sebaran pemukiman, pengurusan Amdal kawasan perumahan, daerah rawan banjir,   daerah rawan longsor, klasifikasi wilayah pemukiman, dan sebagainya.

Alur sederhana penyediaan GIS adalah sebagai berikut:

  1. Pengambilan Data
  2. Pengolahan Data
  3. Analisis Data
  4. Integrasi Data pada satu platform
  5. Publikasi (WebGIS)
  6. Dashboard executive untuk pengambilan keputusan

Website GIS (WebGIS) merupakan penggabungan fungsi GIS (Geographic Information System) dengan fungsi dari website, sehingga aplikasi ini memungkinkan Anda untuk mengakses GIS atau informasi spasial secara online. WebGIS terdiri dari komponen client dan server. Server berperan sebagai penyedia yang saling tersambung melalui data dan web, sedangkan client merupakan user atau pengguna.

Adapun keuntungan dari penggunaan WebGIS diantaranya:

  1. Pengguna tidak memerlukan software khusus untuk dapat mengakses informasi WebGIS, user hanya dengan menggunakan browser yang bisa diakses melalui desktop ataupun perangkat handphone.
  2. Tersedianya peta-peta informasi secara digital yang disusun atas struktur dan managemen data yang baik sehingga bisa dimengerti dan dipahami secara mudah.
  3. Bersifat pendukung dalam perencanaan projek besar, pengambilan kebijakan, dan tata kelola dari pemerintahan.
  4. Mencari informasi berupa geografi, demografi, dan psikograf
  5. Mempermudah dalam mencari lokasi tertentu dengan mengetikan kata kunci dari data yang dicari.
  6. Menampilkan peta yang interaktif

Handal selaras sudah membangun infrastruktur GIS dalam penyajian dalam management data dan penyajian data dan. Merupakan penyajian data GIS yang dihasilkan dari pengambilan data ketinggian objek dengan menggunakan sensor LIDAR. Analisis yang dilakukan adalah menentukan jarak maksimal antara suatu objek terhadap konduktor dari suatu jalur kable listrik (SUTET dan SUTT) milik PLN.

Gambar 1 Tampilan WebGIS Handal Selaras Hasil  Klasifikasi

Sumber:

LiDAR (Light Detection and Ranging)

Oleh : Tike Aprillia, S.T dan Rabby Awalludin, S.T

LiDAR atau juga dikenal sebagai LADAR adalah akronim untuk light detection and ranging. LiDAR adalah teknologi yang menerapkan sistem penginderaan jauh sensor aktif untuk menentukan jarak dengan menembakkan sinar laser yang dipasang pada wahana pesawat. Jarak didapatkan dengan menghitung waktu antara ditembakkannya sinar laser dari sensor sampai diterima kembali oleh sensor.

Teknologi light detection and ranging (LiDAR) saat ini telah banyak dikembangkan. Output LiDAR berupa data tiga dimensi (3D) dengan akurasi yang cukup tinggi dan pengambilan data yang lebih cepat menjadikan teknologi ini mulai banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang. Sehingga, teknologi ini dapat digunakan sebagai alternatif dari teknologi pemetaan secara konvensional (pemetaan terestris).

Pada area pengukuran yang luas, LiDAR akan sangat efisien digunakan dibandingkan dengan metode pemetaan konvensional. Hal ini karena waktu pengambilan dan pemrosesan data dapat dilakukan lebih cepat. Selain itu output LiDAR sudah dalam bentuk digital, sehingga tidak perlu dilakukan proses digitalisasi.

Pada perkembangan awalnya, LiDAR dibawa oleh wahana pesawat udara atau disebut dengan Airborne LiDAR. Namun karena biaya sewa pesawat cukup mahal, maka dikembangkanlah wahana pesawat tanpa awak yang dapat membawa sensor LiDAR. Pesawat tanpa awak ini dikenal juga sebagai Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Dimana wahana yang dimaksud dapat terbang sesuai dengan perencanaan terbang (autopilot) dan dapat melakukan pengambilan data LiDAR. Berikut beberapa contoh UAV dan sensor yang digunakan untuk survei LiDAR:

Gambar 1. Sensor LiAir 220
Gambar 2. Lidar Livox dengan DJI Matrice 300 RTK

Data yang dihasilkan dari akuisisi data LiDAR yaitu data dalam bentuk point cloudPoint cloud merupakan kumpulan titik yang mewakili bentuk atau fitur tiga dimensi (3D). Setiap titik memiliki koordinat X, Y, dan Z. Ketika terdapat banyak kumpulan point cloud yang disatukan, maka point cloud tersebut akan membentuk suatu permukaan atau objek dalam bentuk 3D. Sehingga topografi dari area yang disurvei dapat langsung terlihat.

Gambar 3. Point Cloud Tergeoreferensi

LiDAR dapat memperoleh data di bawah kanopi pohon. Hal ini lah yang menjadi keunggulan LiDAR dibandingkan dengan fotogrametri dan pemetaan menggunakan citra satelit. Meskipun tidak semua data di bawah kanopi pohon dapat diperoleh, tetapi data tersebut dapat dijadikan sampel titik permukaan tanah di daerah yang berpohon tersebut. Hal ini karena LiDAR menggunakan sinar laser, sehingga selama masih ada celah cahaya yang bisa menembus ke bawah kanopi pohon, maka data LiDAR dapat diperoleh.

Gambar 4. Data ground dibawah pohon rimbun yang terambil oleh LiDAR.

Data point cloud dapat digunakan untuk membuat model tiga dimensi permukaan bumi (3D), seperti digital terrain model (DTM), digital surface model (DSM), dan normalized digital surface model (NDSM). Namun, sebelumnya point cloud harus diklasifikasikan menjadi ground point dan non-ground point terlebih dahulu. Ground point adalah point cloud yang membentuk permukaan bumi, tanpa objek-objek diatasnya seperti vegetasi, rumah, dll. Sedangkan non-ground point adalah point cloud yang membentuk objek-objek diatas permukaan bumi, seperti vegetasi, rumah, dll. Ground point ini akan digunakan untuk membuat DTM, sedangkan non-ground point akan digunakan untuk membentuk DSM dan NDSM. Selain itu, DEM yang dihasilkan pun dapat digunakan lagi untuk membuat garis kontur.

Digital Terrain Model (DTM) merupakan penyajian persebaran titik diskrit yang merepresentasikan distribusi spatial elevation permukaan yang berubah-ubah dengan referensi datum tertentu. DTM menyajikan permukaan bumi tanpa menampilkan fitur vegetasi, bangunan, dan struktur buatan manusia yang lainnya.

Gambar 5. Digital Terrain Model (DTM).

Digital Surface Model (DSM) adalah model permukaan bumi yang meluputi fitur alami maupun buatan manusia, misalnya gedung, vegetasi, dan pepohonan. DSM juga merupakan model elevasi topografis permukaan bumi yang memberi batas acuan yang benar secara geometris. DSM menggambarkan puncak fitur yang terdapat di atas bare earth.

Gambar 6. Digital Surface Model.

Normalized Digital Surface Model (NDSM) adalah penyajian model elevasi objek pada permukaan datar. Model ini diperoleh dari perbedaan antara DSM dan DEM. NDSM dihitung dengan cara mengurangkan DSM dengan DEM. Penghitungan ini akan didapatkan tinggi objek yang ada di atas permukaan tanah.

Gambar 7. Normalized Digital Surface Model (NDSM).

Garis kontur adalah garis khayal pada peta yang meghubungkan titik-titik dengan ketinggian yang sama. Garis kontur disajikan di atas peta untuk memperlihatkan naik turunnya keadaan permukaan tanah, juga untuk memberikan informasi slope (kemiringan tanah), irisan profil memanjam permukaan tanah terhadap jalur proyek, dan perhitungan galian serta timbunan (cut and fill) permukaan tanah.

Gambar 8. Garis Kontur 0.5 m.

Teknologi LiDAR yang menghasilkan output dengan akurasi data yang cukup akurat dan presisi, menjadikan teknologi ini mulai banyak digunakan. Berikut adalah aplikasi LiDAR dalam beberapa bidang:

  • Pemodelan Banjir

Dalam pemodelan banjir, LiDAR berperan dalam membentuk digital terrain model (DTM). DTM yang dihasilkan dari LiDAR memiliki kualitas data dan resolusi spasial yang lebih baik dibandingkan dengan citra satelit. DTM ini berfungsi untuk membentuk model geometri sungai yang akan digunakan pada tahapan simulasi banjir.

  • Mitigasi dan Pemantauan Tanah Longsor

Pada pemantauan tanah longsor, pengambilan data LiDAR dilakukan secara berkala dalam selang waktu tertentu. Pergerakan tanah dapat dipantau dari perubahan data yang didapatkan. Pemantauan tanah longsor menggunakan LiDAR akan menghasilkan model tiga dimensi dari lereng yang diamati.

  • Pemetaan Kawasan Hutan

Sinar laser yang dipancarkan oleh LiDAR dapat menembus celah-celah kecil pada kanopi pohon. Hal ini menjadikan LiDAR dapat merekam data di bawah kanopi pohon. Sehingga, dengan menggunakan LiDAR dapat dihasilkan DEM pada kawasan hutan. DEM dalam pemetaan kawasan hutan digunakan untuk menentukan zonasi bahaya kebakaran hutan.

  • Survei Pertambangan

Pada survei pertambangan LiDAR digunakan untuk memantau kemiringan lereng, menghitung volum stock pile, dan melakukan cut and fill.

  • Deteksi Bahaya Pada Jalur Transmisi Listrik

Output LiDAR yang dapat dikembangkan untuk kepentingan PLN yaitu point cloud tergeoreferensi, DTM, dan kontur. Point cloud dapat digunakan untuk analisis bahaya objek-objek pada jalur di sekitar kabel listrik dan SUTET atau SUTT. DTM dan kontur dapat digunakan untuk perencanaan desain pembuatan jalur listrik.

Gambar 9. Rincian Detail Dari Daftar Indikasi Bahaya (Kritis) Hasil Analisis.

  • Perencanaan Pembangunan Perumahan.

Data Lidar dapat memberikan data kontur sampai dengan 1:1.000 atau rentan 0,5m. Perencanaan “cut and fill” dapat di rencanakan dengan baik sehingga biaya untuk pematangan lahan bisa di optimalkan dari aset tanah yang ada. Perencanaan untuk infrastruktur kawasan seperti jalan dan drainase juga bisa bersamaan dilakukan. Selain itu DTM hasil dari data LiDAR dapat digunakan untuk analisis hidrologi di area perumahan yang dibangun.

  • Pemetaan Geohazard

DTM hasil dari pengolahan data LiDAR dapat digunakan untuk mengetahui besar kemiringan lereng (slope) dan arah pergerakan lereng (aspect). Data slope dan aspect selanjutnya dapat digunakan untuk analisis arah pergerakan tanah.

  • Inventarisasi Pohon

Inventarisasi pohon dapat dilakukan dengan survei lidar dengan kondisi area yang disurvei memiliki pohon dengan jenis, umur, dan jarak antar pohon yang sama. Analisis ini menggunakan point cloud dan data NDSM dari output LiDAR. Hasil analisis yang didapatkan yaitu jumlah, tinggi, dan diameter crown pohon.

UAV Lidar untuk perencanaan

UAV Lidar untuk Perencanaan Perumahan

UAV lidar untuk perencanaan perumahan

Dalam perencanaan perumahan salah satu elemen kunci adalah data lahan dari lahan yang akan dibangun. Data lahan yang diperlukan meliputi batas lahan, data topografi dan data tematik lainnya. Berikut adalah manfaat UAV Lidar untuk perencanaan perumahan

  1. Menentukan Garis Batas Lahan. Dengan foto udara dengan dikombinasikan oleh pengukuran Real Time Kinematic (RTK) GPS Geodetic di titik batas dan juga menggunakan Total Station garis baras dari lahan menjadi presisi. Ini sangat berguna untuk menentukan wilayah perencanaan dan strategi akusisi lahan.
  2. Data Topografi untuk “cut and fill”. Data Lidar dapat memberikan data kontur sampai dengan 1:1.000 atau rentan 0,5m. Perencanaan “cut and fill” dapat di rencanakan dengan baik sehingga biaya untuk pematangan lahan bisa di optimalkan dari aset tanah yang ada. Perencanaan untuk infrastruktur kawasan seperti jalan dan drainase juga bisa bersamaan dilakukan.
  3. Pembuatan Masterplan. Optimalisasi lahan yang ada agar dapat dijual atau yang dikenal dengan saleable area mejadi suatu perencanaan kunci dalam keberhasilan project perumahan. Merencakan blok rumah harus mempertimbangkan luasan, batas lahan, kontur, vegetasi, arah matahari dan mata angin.
  4. Studi Hidrologi. Aspek perizinan dalam pembuatan perumahan selain pengesahan siteplan adalah perizinan peil banjir atau studi hidrologi. Pada intinya studi ini membutuhkan kontur yang presisi untuk dapat memastikan tidak terjadi genangan aau banjir di kemudian hari.

Handal selaras sangat berpengalaman membantu perusahaan developer atau real estate dalam pengembangan desainnya. Sudah banyak perusahaan developer atau real estate menggunakan jasa UAV Lidar kami untuk mendapatkan data topografi untuk perencanaan masterplan, perencanaan detail, dan perizinan. UAV Lidar memastikan biaya, mutu dan waktu lebih baik dengan metodologi yang tepat. KHS memastikan biaya yang terjangkau, mutu yang terbaik, dan waktu tercepat dalam proses survey sampai penyajian data. 

Drone PPK dan RTK: Apa Bedanya?

Oleh: Annabel Noor Asyah, S.T., M.Sc

Bagi sebagian orang, istilah-istilah dalam pemetaan dengan utilisasi drone mungkin sedikit membingungkan. Banyak yang terkecoh dengan istilah-istilah seperti PPK dan RTK karena gagal memahami perbedaan di antara keduanya. Memang, pada dasarnya kedua istilah tersebut berada di landasan yang sama dalam dunia pemetaan drone. Baik PPK maupun RTK memiliki fungsi untuk mengoreksi lokasi dari data pemetaan drone dan mengeliminasi fungsi GCP. Keduanya menghasilkan tingkat akurasi yang absolut sampai ke rentang centimeter (cm).

Kendati demikian, memilih satu di antara keduanya kadang memiliki dampak yang signifikan terhadap data yang dihasilkan atau bagaimana keduanya mempengaruhi  kelancaran proses survei. Pada kegiatan survei udara, faktor-faktor seperti hambatan dan kondisi lingkungan sangat penting untuk dipertimbangkan. Dengan memilih metode koreksi yang tepat tentu akan menghemat proses pekerjaan dan biaya pengeluaran. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penting rasanya untuk mengulik lebih dalam perbedaan di antara keduanya.

Eliminasi Fungsi GCP

Sebelum melanjutkan perjalanan dan membahas lebih jauh mengenai PPK dan RTK, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu fungsi dari GCP atau Ground Control Points. Pada proses pemetaan menggunakan drone, GCP merupakan titik yang terletak di permukaan bumi yang berfungsi sebagai penanda suatu lokasi. GCP biasanya sengaja dibuat atau merupakan objek eksisting yang koordinatnya sudah diketahui atau mudah diamati. Sebelum dilakukan rektifikasi, atau proses transformasi data dari sebuah sistem grid menggunakan transformasi geometrik mengacu pada sistem koordinat tertentu, GCP digunakan sebagai titik referensi koordinat.

Dalam proses pemetaan digital, persiapan GCP dilakukan sebelum eksekusi pengambilan gambar udara. Tidak ada patokan jumlah GCP yang harus tersedia pada pemetaan dalam luasan tertentu. Banyak pendekatan yang dapat digunakan pada penentuan jumlah dan lokasi GCP, namun yang terpenting adalah GCP dapat terpotret dan dikenali dengan baik pada produk foto maupun video. Pemasangan GCP pada dasarnya akan memakan waktu yang lama, apalagi jika site yang akan diamati memiliki luasan yang besar.

Contoh GCP

Sumber: Internet, 2020

Untuk itu, melalui kecanggihan teknologi masa kini, pemetaan secara digital dengan utilisasi drone dapat menjadi lebih sederhana dan efisien. Salah satunya adalah dengan mentransformasi penggunaan GCP menjadi penggunaan GPS Correction Technology.

GPS Correction Technology meningkatkan kualitas lokasi data dengan memanfaatkan  global position system receivers untuk menghasilkan sebuah data yang akurat. Teknologi ini sudah difungsikan dengan menggunakan beragam alat beberapa tahun belakangan. Hanya saja hal tersebut tergolong baru di dunia pemetaan dengan utilisasi drone. Fungsi dari GCP dan GPS Correction Technology ada dasarnya sama, yang membedakan hanyalah GPS Correction Technology tidaklah memakan waktu yang lama untuk persiapan. GPS Correction Technology dapat meningkatkan proses pengumpulan data sebesar 75%. Dan dapat menghasilkan alur pekerjaan yang lebih lancar dikarenakan adanya efisiensi waktu. Saat ini terdapat dua teknologi yang mendominasi pembicaraan mengenai GPS Correction Technology, yaitu Post Processing Kinematic (PPK) dan Real Time Kinematic (RTK) yang akan menjadi inti pembahasan artikel ini.

Post Processing Kinematic (PPK)

PPK merupakan teknologi koreksi data lokasi setelah pengambilan data berupa pemotretan selesai dilaksanakan kemudian data tersebut haruslah diunggah ke dalam cloud. Drone PPK akan terbang bersama dengan GNSS PPK receiver  yang berfungsi mengumpulkan data dari satelit dan mencatatnya untuk kebutuhan pengambilan data setelah penerbangan.

Data satelit kerap kali mengalami error dikarenakan penundaan troposfer dan menyediakan akurasi data maksimal sekitar satu meter. Data satelit dari GNSS receiver dikumpulkan pada stasiun pangkalan dan setelah penerbangan berakhir data-data tersebut dikumpulkan dengan data drone untuk mengkoreksi sinyal error satelit, membawa akurasi turun ke tingkatan centimeter.

Dalam teknologi PPK, baik komunikasi data GNSS ke data drone, atau komunikasi data drone ke data koreksi drone sangatlah dibutuhkan. Ketika drone mendarat, proses koreksi harus diaplikasikan pada software yang sesuai. Data dengan akurasi yang absolut selanjutnya tersedia untuk tahap selanjutnya dan menghasilkan hasil survey pemetaan.

Proses PPK

Sumber: Handal Selaras, 2020

Keterangan:

PPK membutuhkan komunikasi yang konstan untuk mengoreksi lokasi data satelit.

1.    Garis antara satelit dan pangkalan GNSS atau jaringan CORS

2.    Garis antara satelit dan drone

Real Time Kinematic (RTK)

RTK merupakan teknologi koreksi data lokasi yang memungkinkan untuk dilakukan secara real time pada saat drone menjalankan fungsi pemotretannya. Drone RTK membawa serta GNSS RTK receiver pada armada drone yang berfungsi untuk mengumpulkan data dari satelit dan stasiun pangkalan untuk secara akurat mengoreksi gambar lokasi bersamaan saat armada drone tersebut terbang.

Data satelit kerap kali mengalami error dikarenakan penundaan troposfer dan menyediakan akurasi maksimal sekitar satu meter. Data dari pangkalan stasiun darat diperhitungkan untuk mengoreksi kesalahan sinyal satelit, membawa akurasi turun ke tingkatan centimeter (cm). Dalam perihal teknologi RTK, lancarnya jaringan komunikasi yang tidak terinterupsi merupakan sebuah persyaratan dari stasiun pangkalan GNSS, melalui stasiun pangkalan drone ke drone itu sendiri. Ketika drone mendarat, jika seluruh sinyal konstan dan stabil, data dengan akurasi yang absolut akan tersedia untuk proses selanjutnya yaitu hasil survey pemetaan.

Pada dasarnya akan sangat menguntungkan jika data dapat dikoreksi secara bersamaan ketika waktu terbang. Kendati demikian, pada kondisi sesungguhnya, terdapat hambatan-hambatan yang dapat mengganggu sinyal dan penerbangan. Hal tersebutlah yang menjadi pertimbangan utilisasi teknologi RTK pada survei pemetaan. Di waktu lain, ketika koneksi antara stasiun pangkalan dan drone stabil, RTK dapat mencapai tingkat akurasi yang setara dengan PPK.

Proses RTK

Sumber: Handal Selaras, 2020

Keterangan:

RTK membutuhkan empat garis komunikasi yang konstan untuk mengkoreksi data lokasi satelit.

  1. Garis antara satelit dan drone
  2. Garis antara satelit dan pangkalan GNSS atau jaringan CORS
  3. Garis antara pangkalan GNSS atau CORS/VRS dan stasiun drone
  4. Garis antara stasiun drone dan drone  

Perbandingan PPK dan RTK

Setelah mendapatkan gambaran mengenai apa itu PPK dan RTK, maka dapat dilakukan perbandingan di antara keduanya seperti pada tabel yang tertera di bawah ini:

Perbandingan PPK dan RTK

Sumber: heliguy.com, 2019

Setelah mengetahui karakteristik PPK dan RTK serta perbandingannya, maka teknologi mana yang sesuai dengan kebutuhan Anda?

Daftar Referensi

Wingtra. 2020. What’s the Difference Between PPK and RTK Drones, and Which One is Better?. https://wingtra.com/ppk-drones-vs-rtk-drones/?utm_campaign=Facebook%20paid%20ads%202020&utm_source=facebook&utm_medium=paidsocial&utm_content=ppk-vs-rtk&hsa_acc=187616638541841&hsa_cam=23846058559280553&hsa_grp=23846094172900553&hsa_ad=23846094172890553&hsa_src=fb&hsa_net=facebook&hsa_ver=3

Rabkin, B. 2020. GCP Vs. PPK/RTK: Which is Best to Receive Fast and Accurate Data?. https://www.identifiedtech.com/blog/drone-technology/gcps-ppk-rtk-best-receive-fast-accurate-data/

Willoughby, J. 2019. Is RTK The Future of Drone Mapping?. https://www.heliguy.com/blog/2019/01/24/is-rtk-the-future-of-drone-mapping/

TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS)

Oleh : Tike Aprillia, ST, Fella Faradiva, dan Mutia Arifah Rachim

Suatu perairan pasti mengalami perkembangan sedimentasi. Perkembangan sedimentasi dapat dilihat dari material padatan tersuspensi. Total suspended solid (TSS) atau padatan tersuspensi total merupakan residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Material yang termasuk kedalam TSS antara lain bakteri, jamur, ganggang, tanah liat, lumpur, sulfida, dan logam oksida. Material tersebut merupakan tempat berlangsungnya reaksi heterogen yang berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal yang  dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik pada suatu perairan. Besarnya TSS pada suatu perairan menunjukkan kondisi sedimentasi dari perairan tersebut.

Gambar 1 Total Suspended Solid (TSS)

Total  Suspended  Solid  (TSS)  atau  muatan padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 μm) yang tertahan pada saringan miliopore dengan diameter pori 0.45 μm. TSS terdiri dari pasir halus, lumpur, dan jasad renik. Penyebab  TSS  di   perairan  yang   utama  adalah kikisan  tanah  atau  erosi  tanah  yang  terbawa  ke badan air. Konsentrasi TSS yang tinggi mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis yang diakibatkan oleh menghambat masuknya cahaya ke dalam air. Pengolahan TSS dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan citra Landsat 8 dengan menerapkan algoritma tertentu.

Berikut garis besar pengolahan TSS dengan menggunakan citra Landsat 8:

  1. Pemotongan citra

Cropping atau pemotongan citra bertujuan untuk menfokuskan daerah yang digunakan dalam penelitian dengan cara pembentukan ROI pada daerah penelitian.

2. Kalibrasi radiometrik

Kalibrasi radiometrik bertujuan untuk menghilangkan distorsi radiometrik yang menurunkan kualitas citra pada saat satelit merekam bumi. Distorsi radiometrik adalah kesalahan akibat pergeseran nilai atau derajat keabuan elemen gambar (piksel) pada citra. Distorsi yang terjadi diakibatkan karena jarak antara satelit  yang berbeda di  ruang angkasa dengan permukaan bumi yang sangat jauh, sehingga mempengaruhi kemampuan sensor satelit dalam merekam reflektan obyek muka bumi.

3. Koreksi atmosfer

Koreksi atmosfer dilakukan untuk menghilangkan kesalahan radiansi pada citra akibat hamburan atmosfer (path radiance). Salah satu metode koreksi atmosfer yang dapat digunakan yaitu metode Second Simulation of A Satellite Signal in the Solar Spectrum-Vector. Metode koreksi atmosfer ini mengkonversikan nilai reflektan (pTOA) ke koreksi atmosfer (pBOA) dengan rumus:

Y=Xa*(Lλ)-Xb

Acr= y/((1+Xc*y))

Dimana:

Acr                        = atmospheric corrected reflectance

λ                            : dalam radian

Xa, Xb, dan Xc     = parameter koreksi

4. Pemisahan darat dan laut. Pemisahan darat dan laut dilakukan untuk memilih daerah perairan yang akan diamati agar memudahkan pengolahan selanjutnya.

5. Pemilihan algoritma TSS. Algoritma yang dapat digunakan dalam pengolahan TSS dengan menggunakan citra Landsat 8:

a. Algoritma Syarif Budiman. Syarif Budiman melakukan penelitian TSS pada tahun 2004 dengan studi kasus pada wilayah perairan Delta Mahakam, provinsi Kalimantan Timur. Berikut algoritma TSS yang digunakan:

TSS(mg/l)= 8,1429*(exp (23,70*0,94*(Rrs54,59)) )

b. Algoritma Parwati. Parwati melakukan penelitian TSS pada tahun 2006 dengan studi kasus pada wilayah perairan Berau, provinsi Kalimantan Timur. Berikut algoritma TSS yang digunakan:

TSS(mg/l)= 3,3238*(exp (34,099*(654,59)) )

c. Algoritma Guzman-Santella. Guzman-Santella melakukan penelitian TSS pada tahun 2009 dengan studi kasus pada wilayah perairan Mayaguez Bay, Puerto Rico. Berikut algoritma TSS yang digunakan:

TSS(mg/l)=602,63*(0,0007e 47,755*(Rrs(654,65)) )+3,1481

d. Algoritma Nurahida Laili. Nurahida Laila melakukan penelitian TSS pada tahun 2015 dengan studi kasus pada wilayah perairan Pulau Poteran, Kabupaten Sumenep. Berikut algoritma TSS yang digunakan:

TSS(mg/l)=31,42*log((RRS(482,04))/(log(Rrs(654,59)))-12,719

e. Algoritma Jaelani. Jaelani melakukan penelitian TSS pada tahun 2016 dengan studi kasus pada wilayah perairan Gili Iyang, Kabupaten Sumenep. Berikut algoritma TSS yang digunakan:

Log(TSS)=1.5212(log(Rrs(482,04))/log10(Rrs561,41)))-0,3698

Total Suspended Solid (TSS) merupakan besarnya materi yang tersuspensi dalam air. Untuk mengetahui besarnya TSS dalam suatu perairan dapat dilakukan dengan beberapa algoritma. TSS memiliki dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi jumlah sinar matahari yang akan masuk ke dalam air dan menujukkan tingkat kekeruhan air yang tinggi yang menyebabkan gangguan pertumbuhan organisme pada suatu perairan. 

SUMBER:

Indeswari, L., Hariyanto, T., & Pribadi, C. B. (2018). Pemetaan Sebaran Total Suspended Solid (TSS) dengan Menggunakan Citra Landsat Multitemporal dan Data In Situ (Studi Kasus: Perairan Muara Sungai Porong, Sidoarjo). Jurnal Teknik ITS, C71-C76.

Jiyah, Sudarsono, B., & Sukmono, A. (2016). Studi Distribusi Total Suspended Solid (TSS) di Perairan Pantai Kabupaten Demak Menggunakan Citra Landsat. Jurnal Teknik Geodesi Undip, 41-47.

Sukmono, A. (2020). Materi Kuliah Pengolahan Citra Digital/Penginderaan Jauh Lingkungan. Semarang: Universitas Diponegoro.

Close Range Photogrammetry (CRP)

Oleh : Tike Aprillia, ST, Fella Faradiva, dan Mutia Arifah Rachim

Bidang fotogrametri dewasa ini berkembang hingga fotogrametri jarak dekat atau biasa disebut sebagai CRP (Close Range Photogrammetry). Teknologi yang semakin maju memunculkan adanya kamera digital dengan resolusi yang tinggi. CRP merupakan metode untuk mengambil data ukuran dari citra foto untuk dibuat model 3D dari sebuah objek atau untuk kebutuhan pemetaan. Dengan kamera SLR non-metrik, metode CRP dapat menjadi alternatif yang lebih murah dari laser scanner.

Gambar 1 Kondisi Kolinearitas

Pada fotogrametri jarak dekat menggunakan sistem proyeksi sentral dengan kamera sebagai pusat proyeksi, pengukuran terhadap suatu objek dilakukan terhadap hasil perekaman dari kamera. Saat sebuah foto diambil, berkas sinar dari objek akan menjalar menuju pusat lensa kamera hingga mencapai bidang film. Kondisi dimana titik objek, titik pusat kamera dan titik objek pada bidang foto terletak satu garis dalam ruang dinamakan kondisi kesegarisan berkas sinar atau kondisi kolinearitas (colinearity condition). Kondisi ini merupakan syarat fundamental dalam fotogrametri. Pada fotogrametri jarak dekat, jarak antar objek dan kamera tidak lebih dari 100 meter.

Secara garis besar proses pengolahan CRP dilakukan sebagai berikut:

Gambar 2 Proses pengolahan CRP
  1. Kalibrasi kamera

Kalibrasi kamera adalah proses menentukan parameter internal dari sebuah kamera. Parameter internal digunakan untuk merekontruksi ulang berkas sinar saat pemotretan dilakukan dan digunakan untuk mengetahui besarnya kesalahan sistematik dari sebuah kamera. Proses kalibrasi bertujuan untuk mencari parameter intrinsik dan parameter ekstrinsik menggunakan image 2D pada suatu objek, yang dikorespondensikan dengan koordinat 3D objek. Korespondensi tersebut dapat diartikan sebagai transformasi antar sistem koordinat. Beberapa parameter tersebut antara lain, resolusi kamera, rotasi kamera, focal lenght, titik pusat koordinat, dan distorsi lensa. Salah satu software yang dapat digunkan pada tahap kalibrasi kamera digital non metrik adalah software Photomodeler. Metode kalibrasi pada Photomodeler menggunakan prinsip menghitung parameter internal kamera secara analisis terhadap titik target dengan mengunakan self calibration bundle adjustment. Saat proses kalibrasi nilai Average Photo Point Coverage minimal berjumlah 80% dan nilai RMS kurang dari 1. Nilai tersebut bertujuan agar objek yang diamati semakin detail. Jika nilai Average Photo Point Coverage masih kurang dari 80% dan RMS lebih dari 1 maka harus mengkalibrasi ulang.

2. Pengambilan objek

Sebelum melakukan pengambilan objek, perlu diperhatikan agar foto dapat dimodelkan menjadi 3D, syarat tersebut berdasarkan 3 prinsip dasar CRP yaitu kesegarisan, interseksi ruang, dan reseksi ruang. Saat pengambilan objek harus memenuhi beberapa persyaratan seperti objek harus terlihat dari semua sisi (360°), garis orientasinya konsisten dan logis, jarak pemotretan konsisten atau sama, fokus kamera DSLR harus sama dengan fokus saat kalibrasi, terjadi pertampalan antar foto, dan orientasinya sama.

3. Pengolahan model 3D objek

Pemodelan yaitu membentuk suatu benda atau obyek sehingga terlihat seperti hidup. Sesuai dengan obyek dan basisnya, proses pembentukan model 3D objek secara keseluruhan dikerjakan dengan komputerisasi. Keseluruhan obyek bisa diperlihatkan secara 3 dimensi melalui proses dan desain sehingga disebut sebagai pemodelan 3 dimensi (3D modelling). Prinsip dasar dari proses CRP adalah model 3D diperoleh dari pengukuran pertampalan antar foto dengan berbagai sudut pandang dan pengukuran dari orientasi kamera. Model 3D terbentuk dari point clouds yang dihasilkan foto stereo secara otomatis yang kemudian diproses secara komputerisasi. Pemilihan data point clouds berperan penting dalam penentuan kerapatan objek dan keaslian bentuk objek. Pengolahan model 3D objek dapat dilakukan dengan software Photomodeler.

Close range photogrammetry atau fotogrametri jarak dekat dapat menjadi solusi alternatif yang lebih murah untuk pembuatan model 3D dari sebuah objek atau untuk kebutuhan pemetaan. Namun, metode ini memakan waktu yang cukup lama dalam memproses data citra fotonya, selain itu metode ini sangat dibatasi oleh kemampuan hardware dan software dalam mengkalkulasi parameter-parameter yang ada, baik parameter orientasi kamera ataupun koordinat objek yang diukur.

REFERENSI:

Atkinson, K. B. (1996). Close Range Photogrammetry and Machine Vision. Caithness: Whittles Publising.

Prasetyo, Y. (2019). Materi Kuliah Fotogrametri II. Semarang: Universitas Diponegoro.

Soetaat. (1994). Diktat Fotogrametri Analitik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

LAND SURFACE TEMPERATURE (LST)

Oleh Fella Faradiva, Mutia Arifah Rachim, dan Tike Aprillia Hartini

Dewasa ini, perubahan iklim dunia terus menjadi perbincangan di kalangan publik dunia. Perubahan iklim ini berpengaruh terhadap perubahan pola musim dan cuaca, mencairnya es di kutub, dan naiknya permukaan air laut. Perubahan iklim ini disebabkan karena terjadinya peristiwa pemanasan global, yang berarti bumi mengalami kenaikan suhu dari waktu ke waktu. Hal ini terlihat dari data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), pengingkatan suhu bumi saat ini sekitar 0,6 oC dibandingkan pada tahun 1750.

Suhu permukaan tanah atau Land Surface Temperature (LST) merupakan salah satu unsur iklim yang penting dalam neraca energi. Sehingga apabila terjadi perubahan variasi suhu permukaan maka akan berpotensi mengubah unsur-unsur iklim yang lainnya. Peningkatan suhu permukaan dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung akibat kegiatan manusia. Peningkatan jumlah penduduk akan diiringi dengan banyaknya proses pembangunan. Dalam proses pembangunan ini lahan vegetasi akan diubah menjadi lahan non-vegetasi, yang digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat berkegiatan manusia. Akibat dari semakin sedikitnya lahan non-vegetasi, maka suhu permukaan menjadi meningkat karena tidak ada vegetasi yang menyerap panas. Selain itu, dengan banyaknya pabrik yang dibangun dan banyaknya penggunaan kendaraan bermotor mengakibatkan kadar CO2 semakin banyak di atmosfer dan suhu permukaan pun menjadi ikut meningkat.

Distribusi LST perlu diketahui pada suatu wilayah, agar dapat diketahui daerah mana saja yang mengalami kenaikan suhu permukaan dan selanjutnya dapat digunakan dalam proses perencanaan penggunaan dan pemanfaatan lahan. Distribusi LST ini dapat dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh dengan memanfaatkan data citra satelit, seperti Landsat, NOAA, dan MODIS.

Land Surface Temperature (LST) adalah suhu pada permukaan bumi yang merupakan hasil pantulan objek yang terekam oleh citra satelit pada waktu tertentu. LST dapat didefinisikan juga sebagai suhu permukaan rata – rata yang digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan berbagai tipe permukaan yang berbeda. Besarnya nilai LST dipengaruhi oleh panjang gelombang. Panjang gelombang yang paling sensitif terhadap suhu permukaan adalah inframerah thermal. Namun, pada dasarnya setiap panjang gelombang akan sensitif terhadap respon perubahan suhu yang mempengaruhi nilai pantul objek. Untuk dapat mengetahui informasi LST, dilakukan proses identifikasi suhu permukaan tanah dengan memanfaatkan gelombang thermal yang terdapat pada citra satelit.

Data yang diperlukan dalam proses pengidentifikasian LST menggunakan citra satelit Landsat yaitu Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), citra Landsat 8 band 10, dan citra Landsat 8 band 11. Proses pengidentifikasian dilakukan dengan mengubah nilai digital ke nilai radian. Kemudian nilai radian yang telah didapatkan diubah menjadi satuan temperatur agar dapat mengetahui besarnya suhu secara pasti. Data LST ini sering kali digunakan sebagai data masukan dalam model perhitungan evapotranspirasi, kelembapan udara, kelengasan tanah, serta neraca energi. Berikut adalah contoh distribusi LST di suatu wilayah:

Suhu Permukaan Tanah yang Diturunkan dari data Landsat Tahun 2005, 2009, 2014, 2016.

(Sumber : Ningrum, Widya dan Narulita, Ida dalam Deteksi Perubahan Suhu Permukaan Menggunakan Data Satelit Landsat Multi-Waktu)

DAFTAR REFERENSI

  • Fahwari, N., Yanuarsyah, I., & Hudjimartsu, S. A. (2019). Hubungan Suhu Permukaan Tanah Dengan Zona Rawan Longsor Menggunakan Land Surface Temperature. SEMNATI 2019, 366-371.
  • Guntara. (2016, Oktober 4). Pengertian Suhu Permukaan Lahan (Land Surface Temperature). Diambil kembali dari Guntara.com Informasi Berguna Bagi Nusantara: https://www.guntara.com/2016/10/pengertian-suhu-permukaan-lahan-land.html
  • Ningrum, Widya dan Narulita, Ida. 2018. Deteksi Perubahan Suhu Permukaan Menggunakan Data Satelit Landsat Multi-Waktu (Studi Kasus : Cekungan Bandung). Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 19, No.2.
  • Santi, Amri, S. B., Aspin, & Amsyar, S. (2018). Identifikasi Ketersediaan Dan Kebutuhan RTH Serta Pengaruhnya. Seminar Nasional Teknologi Terapan Berbasis Kearifan Lokal (SNT2BKL), 26-33.
  • Utomo, Anggoro Wahyu., Suprayogi, Andri., dan Sasmito, Bandi. 2017. Analisis Hubungan Variasi Land Surface Temperature Dengan Kelas Tutupan Lahan Menggunakan Data Citra Satelit Landsat (Studi Kasus : Kabupaten Pati). Jurnal Geodesi Undip, Volume 6, No. 2.

APLIKASI UAV LIDAR DALAM PENGEMBANGAN PANAS BUMI

Revanza Anwar, ST, M.Si
Tike Aprillia, ST

Energi Panas Bumi (Geothermal Energy)

Energi panas bumi adalah energi panas yang tersimpan dalam batuan di bawah permukaan bumi dan fluida yang terkandung di dalamnya. Energi panas bumi telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik di Itali sejak tahun 1913 dan di New Zealand sejak tahun 1958. Pemanfaatan energi panas bumi untuk sektor non‐listrik (direct use) telah berlangsung di Iceland sekitar 70 tahun. Meningkatnya kebutuhan akan energi serta meningkatnya harga minyak, khususnya pada tahun 1973 dan 1979, telah memacu negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat, untuk mengurangi ketergantungan mereka pada minyak dengan cara memanfaatkan energi panas bumi. Saat ini energi panas bumi telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik di 24 Negara, termasuk Indonesia. Disamping itu fluida panas bumi juga dimanfaatkan untuk sektor non-listrik di 72 negara, antara lain untuk pemanasan ruangan, pemanasan air, pemanasan rumah kaca, pengeringan hasil produk pertanian, pemanasan tanah, pengeringan kayu, kertas, dll.

Di Indonesia usaha pencarian sumber energi panas bumi pertama kali dilakukan di daerah Kawah Kamojang pada tahun 1918. Pada tahun 1926 hingga tahun 1929 lima sumur eksplorasi dibor dimana sampai saat ini salah satu dari sumur tersebut, yaitu sumur KMJ‐3 masih memproduksikan uap panas kering atau dry steam. Pecahnya perang dunia dan perang kemerdekaan Indonesia mungkin merupakan salah satu alasan dihentikannya kegiatan eksplorasi di daerah tersebut. Kegiatan eksplorasi panas bumi di Indonesia baru dilakukan secara luas pada tahun 1972. Direktorat Vulkanologi dan Pertamina, dengan bantuan Pemerintah Perancis dan New Zealand melakukan survei pendahuluan di seluruh wilayah Indonesia. Dari hasil survei dilaporkan bahwa di Indonesia terdapat 217 prospek panas bumi, yaitu di sepanjang jalur vulkanik mulai dari bagian Barat Sumatera, terus ke Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan kemudian membelok ke arah utara melalui Maluku dan Sulawesi. Survei yang dilakukan selanjutnya telah berhasil menemukan beberapa daerah prospek baru sehingga jumlahnya meningkat menjadi 256 prospek, yaitu 84 prospek di Sumatera, 76 prospek di Jawa, 51 prospek di Sulawesi, 21 prospek di Nusatenggara, 3 prospek di Irian, 15 prospek di Maluku dan 5 prospek di Kalimantan. Sistem panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistem hidrotermal yang mempunyai temperatur tinggi (>225 oC), hanya beberapa diantaranya yang mempunyai temperatur sedang (150‐225 oC).

Berdasarkan data Direktorat Panas Bumi EBTKE, potensi panas bumi yang dimiliki Indonesia sangatlah besar yaitu sekitar 23,9 GW, pemanfaatan panas bumi secara nasional baru 8% atau sekitar 2.130,7 MW. Pemanfaatan panas bumi pada saat ini setara dengan pemakaian BBM domestik sebesar 32.000* BOE per hari (= 92.000 BOE per hari minyak mentah) atau sekitar 81.200 BOE* per hari BBM domestik pada tahun 2025 jika target RUPTL sebesar 6.310 MW tercapai. Perhitungan ini dengan asumsi 1 MWh PLTP = 0,613 SBM (HESSI, KESDM 2018). Pemerintah menargetkan pengembangan panas bumi hingga satu dasawarsa kedepan (tahun 2020-2030) mencapai 8.007,7 MW. Ini artinya, dengan kapasitas terpasang saat ini yaitu 2.130,7 MW, masih diperlukan sekitar 177 proyek pengembangan panas bumi dengan kapasitas total sekitar 5.877 MW hingga tahun 2030. Pemerintah Indonesia juga mencanangkan bauran energi baru terbarukan mencapai 23% pada 2025 dan naik lagi 31 persen pada 2050. Sebaliknya, bauran energi dari minyak bumi pada 2050 diturunkan separuhnya dari saat ini 40%. Di sisi lain, pengembangan panas bumi masih memerlukan insentif tambahan untuk mencapai kelayakan proyeknya ditengah tingginya resiko eksplorasi dan keterbatasan akses infrastruktur ke lokasi pengembangan.

Risiko Eksplorasi, Eksploitasi, dan Pengembangan Lapangan Panas Bumi

Proyek panas bumi memiliki resiko yang tinggi dan memerlukan dana yang besar, oleh karena itu sebelum suatu lapangan panas bumi dikembangkan perlu dilakukan pengkajian yang hati-hati untuk menilai apakah sumber daya panas bumi yang terdapat di daerah tersebut menarik untuk diproduksikan. Penilaian kelayakan meliputi beberapa aspek, yang utama adalah: aspek teknis, pasar dan pemasaran, finansial, legal, serta sosial ekonomi.

Dari segi aspek teknis, hal‐hal yang harus dipertimbangkan adalah:

  1. Sumber daya mempunyai kandungan panas atau cadangan yang besar sehingga mampu memproduksikan uap untuk jangka waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 25‐30 tahun.
  2. Reservoirnya tidak terlalu dalam, biasanya tidak lebih dari 3 km.
  3. Sumber daya panas bumi terdapat di daerah yang relatif tidak sulit dicapai.
  4. Sumber daya panas bumi memproduksikan fluida yang mempunyai pH hampir netral agar laju korosinya relatif rendah, sehingga fasilitas produksi tidak cepat terkorosi. Selain itu hendaknya kecenderungan fluida membentuk skala relatif rendah.
  5. Sumber daya panas bumi terletak di daerah dengan kemungkinan terjadinya erupsi hidrotermal relatif rendah. Diproduksikannya fluida panas bumi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya erupsi hidrotermal.
  6. Hasil kajian dampak lingkungan.

Dari aspek pasar dan pemasaran, hal‐hal yang harus dipertimbangkan adalah kebutuhan konsumen dan ketersediaan jaringan distribusi. Dari aspek finansial, perlu dilakukan pengkajian terhadap dana yang diperlukan, sumber dana, proyeksi arus kas, indikator ekonomi, seperti NPV, IRR, PI dll, serta perlu juga dipertimbangkan pengaruh perubahan ekonomi makro. Dari aspek sosial ekonomi, perlu dipertimbangkan pengaruh proyek terhadap penerimaan negara, kontribusi proyek terhadap penerimaan pajak, jasa‐jasa umum yang dapat dinikmati manfaatnya oleh masyarakat dan kontribusi proyek terhadap kesempatan kerja, alih teknologi dan pemberdayaan usaha kecil

Light Detection and Ranging (LiDAR)

LiDAR atau juga dikenal sebagai LADAR adalah akronim untuk light detection and ranging. LiDAR adalah teknologi yang menerapkan sistem penginderaan jauh sensor aktif untuk menentukan jarak dengan menembakkan sinar laser yang dipasang pada wahana pesawat. Jarak didapatkan dengan menghitung waktu antara ditembakkannya sinar laser dari sensor sampai diterima kembali oleh sensor.

LiDAR dapat dengan cepat mengukur permukaan bumi dengan laju pengambilan sampel data lebih besar dari 150 kilohertz (150.000 pulsa per detik)[1]. LiDAR menghasilkan produk berupa kumpulan titik awan (points cloud) yang tergeoreferensi, sehingga menghasilkan representasi tiga dimensi (3D) dari permukaan bumi dan objek-objek diatasnya. Sistem LiDAR pada umumnya banyak beroperasi dengan menggunakan gelombang near infrared (NIR). Namun beberapa sensor pun ada yang menggunakan spektrum gelombang hijau untuk menembus air dan mendeteksi keadaan di dasar air.

LiDAR dapat memperoleh data di bawah kanopi pohon. Hal ini lah yang menjadi keunggulan LiDAR dibandingkan dengan fotogrametri dan pemetaan menggunakan citra satelit. Meskipun tidak semua data di bawah kanopi pohon dapat diperoleh, tetapi data tersebut dapat dijadikan sampel titik permukaan tanah di daerah yang berpohon tersebut. Hal ini karena LiDAR menggunakan sinar laser, sehingga selama masih ada celah cahaya yang bisa menembus ke bawah kanopi pohon, maka data LiDAR dapat diperoleh.

Teknologi UAV LiDAR dalam Pengembangan Panas Bumi

Teknologi light detection and ranging (LiDAR) saat ini telah banyak dikembangkan. Output LiDAR berupa data tiga dimensi (3D) dengan akurasi yang cukup tinggi dan pengambilan data yang lebih cepat menjadikan teknologi ini mulai banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang. Sehingga, teknologi ini dapat digunakan sebagai alternatif dari teknologi pemetaan secara konvensional (pemetaan terestris). Pada area pengukuran yang luas, LiDAR akan sangat efisien digunakan dibandingkan dengan metode pemetaan konvensional. Hal ini karena waktu pengambilan dan pemrosesan data dapat dilakukan lebih cepat. Selain itu output LiDAR sudah dalam bentuk digital, sehingga tidak perlu dilakukan proses digitalisasi. Pada perkembangan awalnya, LiDAR dibawa oleh wahana pesawat udara atau disebut dengan Airborne LiDAR. Namun karena biaya sewa pesawat cukup mahal, maka dikembangkanlah wahana pesawat tanpa awak yang dapat membawa sensor LiDAR. Pesawat tanpa awak ini dikenal juga sebagai Unmanned Aerial Vehicle (UAV).

Secara garis besar di bidang panas bumi, teknologi LiDAR bisa membantu mulai dari perencanaan pembuatan infrastruktur sampai dengan monitoring seluruh lokasi pada tahap eksploitasi. Selanjutnya akan dibahas secara detail aplikasi UAV LiDAR pada pengembangan panas bumi.

Aplikasi UAV LiDAR

Teknologi LiDAR yang menghasilkan output dengan akurasi data yang akurat, menjadikan teknologi ini mulai banyak digunakan dalam pengembangan Geotermal dimana lokasi panas bumi yang pada umumnya berada di kawasan hutan dengan topografi berbukit:

  1. Pemetaan Kawasan Hutan

Sinar laser yang dipancarkan oleh LiDAR dapat menembus celah-celah kecil pada kanopi pohon. Hal ini menjadikan LiDAR dapat merekam data di bawah kanopi pohon. Sehingga, dengan menggunakan LiDAR dapat dihasilkan Data Elevation Model (DEM) pada kawasan hutan. DEM dalam pemetaan kawasan hutan digunakan untuk menentukan rencana pembuatan infrastruktur lokasi pemboran panas bumi.

Gambar 1. Point cloud LiDAR bisa langsung memberikan gambaran profil dalam hutan.

(Hasil Olahan PT. Kreasi Handal Selaras, 2020)

  • Perencanaan Infrastruktur

Data LiDAR memudahkan perencanaan dan pengembangan infrastruktur panas bumi (desain lokasi kluster pemboran, akses jalan, dan fasilitas pendukung lainnya). Selain itu juga digunakan dalam penyiapan data perizinan dan pembebasan lahan. Perencanaan dan pengembangan infrastruktur dapat lebih spesifik, karena UAV LiDAR bisa terbang rendah.

Gambar 2. Point cloud LiDAR mengenai semua obyek di atas permukaan tanah.

(Hasil Olahan PT. Kreasi Handal Selaras, 2020)

  • Mitigasi dan Pemantauan Tanah Longsor

Pada pemantauan tanah longsor, pengambilan data LiDAR dilakukan secara berkala dalam selang waktu tertentu. Pergerakan tanah dapat dipantau dari perubahan data yang didapatkan. Pemantauan tanah longsor menggunakan LiDAR akan menghasilkan model tiga dimensi dari lereng yang diamati.

Gambar 3. Digital Elevation Model (DEM) tanah longsor.

(Hasil Olahan Data PT. Kreasi Handal Selaras)

Data LiDAR dalam Pemetaan Geohazard

Data berupa LiDAR, foto udara, peta geologi, dan peta tata guna lahan dikumpulkan untuk diolah menjadi zonasi rawan longsor yang kemudian digunakan sebagai Peta Rekomendasi Lahan. Peta ini digunakan sebagai acuan awal dalam penentuan lokasi yang baik berdasarkan kajian geoteknik. Kajian geoteknik ini merupakan upaya pengidentifikasian titik/daerah yang berpotensi menjadi geohazard secara local maupun regional. Persiapan berikutnya adalah membuat Peta Tata Guna Lahan dan Peta Kemiringan Lereng berdasarkan data LiDAR dan foto udara. Kemudian, Peta Tata Guna Lahan, Peta Kemiringan Lereng, dan Peta Geologi dibagi berdasarkan kelas tertentu dan pemberian bobot pada masing-masing kelas dilakukan.

            Gambar 4. Peta Tata Guna Lahan, Peta Kemiringan Lereng, Peta Geologi

Ketiga peta tersebut digabungkan dengan metode Weighted Overlay. Pemberian bobot juga dilakukan untuk masing-masing peta berdasarkan pengaruh terhadap potensi pergerakan tanah. Kemudian, Peta Rekomendasi Lokasi terbentuk sesuai dengan zonasi potensi longsor yang terbagi menjadi 5 kelas, yaitu Sangat Aman, Aman, Layak, Rawan, dan Sangat Rawan. Berdasarkan Peta Rekomendasi Lahan dan Peta Daerah Tangkapan Air yang didapatkan dari hasil pengolahan data LiDAR, lokasi yang berpotensi mengalami pergerakan tanah dapat diinterpretasi arah pergerakannya. Arah pergerakan dari potensi pergerakan tanah tersebut juga telah didasarkan pada kondisi lapangan.

Gambar 5. Potensi Pergerakan Tanah

Referensi :

[1] Center, N. C. (2012). Lidar 101: An Introduction to Lidar Technology, Data, and Applications. Charleston: SC: NOAA Coastal Services Center.

PROYEKSI PETA

Oleh Tike Aprillia, ST, Fella Faradiva, dan Mutia Arifah Rachim

Proyeksi peta merupakan model matematis untuk mengkonversi posisi tiga dimensi suatu titik di permukaan bumi ke dalam dua dimensi atau bidang datar. Dalam prosesnya, proyeksi peta menyebabkan distorsi pada aspek-aspek geometri permukaan bumi yaitu distorsi jarak, distorsi arah, distorsi bentuk, dan distorsi skala. Untuk memperoleh peta yang ideal diperlukan:

  1. luas, jarak, arah dan bentuk yang benar
  2. membagi daerah yang dipetakan menjadi daerah yang lebih sempit
  3. menggunakan bidang datar atau bidang yang didatarkan

Proses memproyeksikan peta dibutuhkan model proyeksi, setiap model memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Apabila satu jenis distorsi diminimalkan maka jenis distorsi lain pasti akan membesar. Distorsi pada proyeksi peta memiliki 4 sifat yaitu:

1. Konform

Konform adalah bentuk yang digambarkan pada proyeksi peta harus sesuai dengan aslinya dan mempertahankan kemiripan dengan bentuk aslinya yang tampak pada bumi.

2. Ekuivalen

Ekuivalen adalah luas yang tergambar pada peta harus sesuai dengan luas yang sama di gambaran aslinya.

3. Ekuidistan

Ekuidistan adalah peta yang digambarkan pada proyeksi peta jaraknya harus sama pada jarak sebenarnya sesudah dikalikan dengan skala yang tercantum pada proyeksi peta.

4. Azimuthal

Azimuthal adalah peta yang digambarkan pada proyeksi peta dengan ketentuan arahnya sama dengan yang sebenarnya.

Berdasarkan Bidang Proyeksi

Berdasarkan bidang proyeksinya, proyeksi peta dibagi menjadi 3 yaitu planar, kerucut dan silinder.

Macam Proyeksi Peta

1. Planar

Proyeksi ini sering juga disebut sebagai proyeksi zenithal atau azimuthal. Proyeksi planar merupakan sebuah proyeksi peta yang memakai sebuah bidang datar untuk digunakan sebagai proyeksinya. Pada proyeksi ini membahas mengenai bola bumi yang mana hanya berpusat pada satu titik. Umumnya digunakan untuk menggambarkan lintang kutub atau daerah yang cakupannya kecil. Proyeksi ini cocok untuk pencitraan daerah kutub. Pada proyeksi ini dapat dibagi kembali menjadi 3 jenis berdasarkan sumber cahaya proyeksi yaitu:

A. Proyeksi Orthografik

Proyeksi orthografik memproyeksikan bumi pada bidang datar dengan sumber titik proyeksi yang tak terhingga.
Seluruh titik proyeksi tersebut kemudian ditarik garis orthogonal kedalam bidang datar.
.

Proyeksi Orthografik
B. Proyeksi Stereografik

Proyeksi stereografik memproyeksikan bumi pada bidang datar dengan satu titik sumber proyeksi.
Satu sumber dari titik proyeksi tersebut kemudian dipancarkan ke segala arah.
.
.

Proyeksi Stereografik
C. Proyeksi Gnomonik

Proyeksi gnomonik memproyeksikan bumi pada bidang datar dengan satu titik sumber proyeksi yang terletak pada pusat bumi. Satu sumber titik proyeksi tersebut kemudian dipancarkan ke segala arah dari pusat bumi ke permukaan bumi.

Proyeksi Gnomonik

2. Kerucut

Proyeksi peta kerucut adalah proyeksi peta menggunakan bentuk kerucut sebagai bidang proyeksi. Proyeksi peta ini digunakan untuk memetakan belahan bumi lintang tengah seperti benua Eropa. Proyeksi peta kerucut tidak dapat digunakan untuk menggambarkan daerah kutub dan juga daerah khatulistiwa.

3. Silinder

Proyeksi peta silinder adalah proyeksi peta menggunakan bentuk silinder sebagai bidang proyeksi. Proyeksi peta ini digunakan untuk memetakan belahan bumi daerah khatulistiwa. Proyeksi peta silinder tidak dapat digunakan untuk memetakan belahan bumi bagian kutub.

Berdasarkan Kedudukan Sumbu Simetri

Berdasarkan kedudukan sumbu simetri, proyeksi peta dibagi menjadi 3, yaitu proyeksi normal, miring, dan transversal.

1. Proyeksi Normal

Garis karakteristik bidang proyeksi berimpitan dengan sumbu bola bumi.

2. Proyeksi Miring

Garis karakteristik bidang proyeksinya membentuk sudut lancip dengan sumbu bola bumi.

3. Proyeksi Transversal

Garis karakteristik bidang proyeksi berpotongan tegak lurus dengan sumbu bola bumi.

Ilustrasi Bidang Proyeksi

Dari penjelasan diatas, maka dalam pembuatan peta harus dipilih model proyeksi peta yang sesuai dengan kebutuhannya agar meminimalkan distorsi fitur-fitur yang dianggap penting. Jenis proyeksi peta dapat diketahui berdasarkan bidang proyeksi dan kedudukan sumbu simetrinya. Proyeksi peta berdasarkan bidang proyeksinya dibagi menjadi 3, yaitu planar, kerucut, dan silinder. Proyeksi peta berdasarkan kedudukan sumbu simetrinya dibagi menjadi 3, yaitu proyeksi normal, proyeksi miring, dan proyeksi transversal.


SUMBER:

Geography, G. (2020, Maret 5). GIS Geography. Dipetik Juli 9, 2020, dari https://gisgeography.com/: https://gisgeography.com/azimuthal-projection-orthographic-stereographic-gnomonic/#:~:text=At%20the%20opposite%20end%20where,it%20preserves%20shapes%20(conformal).

Yuwono, B. D. (2019). Materi Kuliah Proyeksi Peta. Semarang: Universitas Diponegoro.

SISTEM KOORDINAT

Oleh Tike Aprilia, ST, Fella Faradiva, dan Mutia Arifah Rachim

Posisi atau kedudukan seseorang atau suatu benda dapat dinyatakan dengan koordinat (baik dua dimensi atau tiga dimensi) yang mengacu pada sistem koordinat tertentu. Sistem koordinat adalah suatu sistem (termasuk di dalamnya teori, konsep, deskripsi fisis serta standar dan parameter) yang digunakan dalam pendefinisian koordinat dari suatu atau beberapa titik dalam ruang. Sistem koordinat memudahkan pendeskripsian, perhitungan, dan analisa, baik yang sifatnya geometrik maupun dinamik.

Sistem koordinat didefinisikan dengan menspesifikasi tiga parameter, yaitu:

1. Lokasi titik origin atau titik nol dari sistem koordinat
A. Geosentrik (di pusat bumi)

Sistem koordinat geosentrik memiliki titik nol yang berpusat di massa bumi (geocenter) dengan sumbu Z atau sumbu rotasi bumi searah dengan Conventional International Origin (CIO), sumbu X ditarik dari pusat bumi kearah perpotongan ekuator dengan meridian Greenwich, dan sumbu Y tegak lurus dengan sumbu X dan Z sesuai dengan kaidah tangan kanan.

Gambar 1 Sistem Koordinat Geosentrik

B. Toposentrik (di permukaan bumi)

Sistem koordinat toposentrik merupakan sistem koordinat yang bersifat lokal dengan titik nol mengacu pada garis gaya berat bumi, n (northing) mengacu ke arah utara geodetik, dan e (easting) tegak lurus dengan n.

Gambar 2 Sistem Koordinat Toposentrik

C. Heliosentrik (di pusat matahari)

Sistem koordinat heliosentrik merupakan sistem koordinat dimana matahari menjadi pusat koordinat. Benda langit lainnya seperti bumi dan planet bergerak mengitari bumi dan matahari. Titik referensi yang digunakan yaitu Vernal Equinoks (VE) yang didefinisikan sebagai sumbu X.

Gambar 3 Sistem Koordinat Heliosentrik

2. Orientasi sumbu-sumbu koordinat
A. Terikat bumi (Conventional Terestrial System)

Pada umumnya digunakan untuk menyatakan posisi titik – titik yang berada di bumi. Sumbu – sumbunya ikut berotasi bersama dengan bumi. Dalam sistem koordinat terikat bumi titik nol adalah pusat bumi dan sumbu-sumbu sistem koordinatnya terikat ke bumi. Sumbu Z mengarah ke CTP (Conventional Terrestrial Pole), sumbu X berada dalam meredian Greenwich dan berada di bidang ekuator bumi, dan sumbu Y yang tegak lurus dengan sumbu X dan Z membentuk sistem koordinat tangan kanan.

Gambar 4 Conventional Terestrial System

B. Terikat langit (Conventional Inertial System)

Pada umumnya digunakan untuk menytakan posisi titik dan objek di angkasa, seperti satelit maupun benda – benda langit lainnya. Dalam sistem koordinat terikat langit, titik nol adalah pusat bumi dan sumbu-sumbu sistem koordinatnya terikat ke langit. Sumbu Z yang mengarah ke Conventional Ephemeris Pole (CEP) pada epok standar J2000, sumbu mengarah ke titik semi (Vernal Equinoks) dan terletak pada bidang ekuator bumi, serta sumbu Y yang tegak lurus dengan sumbu X dan Z dan membentuk sistem koordinat tangan kanan.

Gambar 5 Conventional Inertial System

3. Besaran yang digunakan dalam mendefinisikan posisi
A. Kartesian (X,Y,Z)

Sistem koordinat kartesian menggunakan titik pusat bumi sebagai titik pusat sistem koordinat. Posisi suatu titik pada sistem koordinat ini didefinisikan dengan sumbu X, Y dan Z. Sumbu Z  merupakan garis dalam arah Conventional Terrestrial Pole (CTP), sumbu X merupakan perpotongan antara meridian Greenwich dengan bidang ekuator, dan sumbu Y tegak lurus dengan sumbu X dan Z sesuai dengan kaidah tangan kanan.

B. Geodetik (φ,λ,h)

Sistem koordinat geodetik menggunakan model permukaan bumi yang didekati dengan model ellipsoid sebagai model referensi. Posisi suatu titik didefinisikan oleh lintang(φ), bujur(λ) dan ketinggian(h). Lintang geodetik(φ) dari suatu titik terbentuk dari sudut lancip oleh garis normal ellipsoid yang melalui titik tersebut dengan bidang ekuator dengan nilai antara 0° sampai 90° lintang utara dan 0° sampai 90° lintang selatan. Bujur geodetik(λ)  merupakan sudut yang dibentuk antara meridian lokal dengan meridian Greenwich dengan nilai antara 0° sampai 180° bujur barat dan 0° sampai 180° bujur timur. Tinggi suatu titik diatas ellipsoid (h) dihitung sepanjang garis normal ellipsoid yang melalui titik tersebut.

Gambar 6 Sistem Koordinat Kartesian dan Geodetik

Sistem koordinat adalah sebuah cara atau metode untuk menentukan letak suatu titik. Untuk menentukan dan mendeskripsikan titik yang dicari, sistem koordinat menggunakan 3 parameter yaitu lokasi titik origin atau titik nol dari sistem koordinat, orientasi sumbu-sumbu koordinat, dan besaran yang digunakan dalam mendefinisikan posisi. Setelah memenuhi 3 parameter di atas, sistem koordinat dapat digunakan untuk mengetahui posisi suatu titik yang dicari.


SUMBER:

Abiddin, H. Z. (2001). Geodesi Satelit. Bandung: PT Anem Kosong Anem.

Enacademic. (2017, November 18). https://enacademic.com. Dipetik Juli 9, 2020, dari Academic: https://enacademic.com/dic.nsf/enwiki/30988

Eren, O., & Hajiyev, C. (2013). Aircraft Position and Velocity Determination Based On GPS Measurements Using Distance Difference and Doppler Methods. Istanbul: Istanbul Technical University.

Firdaus, H. S. (2019). Materi Kuliah Hitung Proyeksi Geodesi. Semarang: Universitas Diponegoro.

Antara Geoids dan Ellipsoids, Apa Bedanya?

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T., M.Sc

Untuk setiap pekerjaan survei dan pemetaan dimana vertical measurement atau pengukuran vertikal memiliki peran yang penting, kemampuan dan keandalan dalam menghitung ketinggian lokal secara akurat sangatlah krusial. Ketika melakukan pengukuran menggunakan GNSS/GPS nilai ketinggian yang didapatkan sesungguhnya adalah ketinggian di atas ellipsoid, bukan di atas geoid. Oleh karena itu, kita memerlukan besaran nilai undulasi untuk mendapatkan tinggi orthometric di atas titik tersebut. Namun, sebelum berbicara lebih lanjut mengenai undulasi, marilah kita bahas satu persatu apa itu geoid dan ellipsoid.

Geoids

Salah satu pemodelan bentuk bumi yang populer adalah geoid. Geoid adalah representasi dari permukaan bumi yang memiliki asumsi bahwa bumi diselimuti oleh laut. Representasi ini juga disebut sebagai “permukaan dengan potensi gravitasi yang sama” atau lebih mudahnya diartikan sebagai “permukaan laut rata-rata”. Sesungguhnya, model geoid bukanlah perwakilan yang tepat untuk menggambarkan permukaan laut. Banyak elemen-elemen yang harus diperhatikan seperti efek dinamis dimana unsur gelombang dan pasang surut permukaan lain tidak diperhitungkan dalam model geoid.

Kendati demikian, geoid memiliki peran yang cukup krusial dalam beragam bidang seperti untuk keperluan aplikasi geodesi, oseanografi dan geofisika. Untuk bidang geodesi, yaitu penggunaan teknologi GPS dalam penentuan tinggi orthometric untuk berbagai keperluan praktis seperti rekayasa, survei, dan pemetaan membutuhkan informasi geoid yang teliti dan akurat. Pada saat ini dan masa yang akan datang, kebutuhan akan model geoid akan sangat mendesak karena pesatnya pemakaian GPS untuk berbagai keperluan rekayasa dan survei pemetaan.

Bentuk Geoid Bumi

Sumber: wikiwand, 2020

Ellipsoids

Lain geoid, lain pula ellipsoid. Bagi sebagian orang yang sudah lama berkecimpung di dunia permodelan, istilah ellipsoid bukanlah sesuatu yang baru. Istilah ini kerap digunakan untuk merepresentasikan bentuk bumi. Ellipsoid berasal dari kata ‘elips’ yang sering digeneralisasikan sebagai bentuk lingkaran atau bola.  Namun sejatinya, bumi itu sendiri tidak berbentuk bola sempurna, melainkan berbentuk ellipsoid dimana bumi sebenarnya lebih lebar bila dibandingkan dengan tingginya. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh data yang mengatakan bahwa keliling khatulistiwa bumi sekitar 42 milimeter lebih panjang bila dibandingkan dengan garis bujurnya. Jadi dapat dibilang bahwa planet ini tidaklah berbentuk bulat sempurna. Meskipun banyak pemodelan bumi lainnya, model ellipsoid dianggap paling sesuai dengan bentuk bumi yang sebenar-benarnya.

Banyak ahli yang telah mengembangkan beragam model bumi ellipsoid sejak bertahun-tahun yang lalu. Namun yang paling populer adalah model yang dirancang sebagai basis data untuk referensi sistem koordinat WGS84. WGS84 merupakan sistem referensi koordinat geografis, yang berarti kontekstualisasi titik pada permukaan 3D – dalam hal ini, bumi – menggunakan derajat lintang dan bujur. Koordinat pada data GPS diturunkan dengan menggunakan WGS84.

Model ellipsoid digunakan untuk mengukur jarak yang melintasi antar permukaan bumi. Di Indonesia sendiri, model ellipsoid masih cenderung memiliki ketelitian yang cukup rendah, yakni kurang lebih 1 meter. Hal tersebut terjadi karena masih sedikitnya pengukuran gaya berat di Indonesia.

Tidak seperti geoid, model ellipsoid mengasumsikan bahwa permukaan bumi rata. Bukan dalam rangka mendukung teori bahwa bumi itu datar, melainkan hal tersebut memiliki arti bahwa tidak ada gunung atau parit sehingga permukaan bumi berada di titik ketinggian yang sama. Jarak vertikal yang terdapat di antara geoid dan ellipsoid merupakan sebuah hasil dari diperhitungkannya keberadaan gunung dan parit dalam pemodelan bumi geoid. Perbedaan tersebut dikenal dengan istilah ‘geoid height’ atau ketinggian geoid (undulasi). Perbedaan antara ellipsoid dan geoid dapat menjadi sangat signifikan, karena sejatinya ellipsoid hanyalah garis dasar untuk mengukur ketinggian topografi. Pada model ellipsoid, diasumsikan bahwa permukaan bumi halus, sedangkan pada model geoid permukaan bumi tidaklah demikian adanya.

Ilustrasi Geoid dan Ellipsoid

Sumber: Geodesy and Geodynamics Journal, 2020

Datum Vertikal

Baik ellipsoid maupun geoid merupakan contoh dari datum vertikal. Untuk surveyor, datum vertikal berfungsi sebagai titik referensi dari mana ketinggian (ketinggian positif dan negative) dapat ditentukan. Terdapat dua jenis datum vertikal. Yang pertama adalah datum pasang surut, dan yang kedua adalah datum geodetik. Untuk sejenak pembahasan akan difokuskan pada datum geodetik yang lebih relevan dengan pekerjaan surveyor.

Ketepatan besaran inci pada pekerjaan survey adalah sebuah hal yang sangat penting dan harus diperhatikan dengan baik. Hal tersebut sangatlah kritikal sehingga para surveyor haruslah menggunakan datum geodetic yang sama dalam satu rangkaian proyek. Peralihan model ellipsoid atau geoid di pertengahan jalan akan menyebabkan perbedaan data yang signifikan. Jika kumpulan data survey menggunakan sistem referensi dan koordinat yang berbeda, maka perlu dilakukan perubahan untuk mencocokan satu dengan yang lainnya, jika tidak pengukuran tidak akan berhasil.

Daftar Pustaka

Zeidel, A. 2020. Geoids vs. Ellipsoids: What’s the Difference?. Propeller

Smith, N. 2017. The Difference Between Geoid & Ellipsoid. Sciencing.com

Jasaukurtanah.com. 2016. Mengenal Ap aitu Geoid, Undulasi, dan Tinggi Orthometrik. Jasaukurtanah.com

Geodesy.gd.itb.ac.id. 2007. Studi Geoid Teliti dan Permodelannya di Daerah Indonesia. Geodesy.gd.itb.ac.id

https://www.handalselaras.com/converter/

Apa Itu Skala Peta?

Oleh Tike Aprilia Hartini, S.T & Annabel Noor Asyah, S.T., M.Sc

Mendefinisikan Peta

Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata ‘peta’? Beragam interpretasi dan definisi bisa saja muncul. Bagi sebagian orang, peta didefinisikan sebagai penunjuk arah ketika hendak menuju suatu tempat. Wujudnya pun beragam, ada yang tergambar di sehelai kertas atau yang sudah termutakhirkan dalam bentuk digital. Kita mengenalnya lewat beberapa aplikasi seperti google maps, waze dan lain sebagainya. Bagi sebagian lainnya, peta berarti gambaran informasi dan data yang merepresentasikan suatu wilayah. Informasi dan data tersebut dapat mengenai ketinggian tanah, kontur, sebaran fasilitas umum dan lain sebagainya. Lalu, apa yang sebenarnya menjadi definisi resmi dari peta?

Menurut International Cartographic Association (ICA) pada tahun 1973, Peta adalah suatu gambaran atau representasi unsur-unsur atau kenampakan-kenampakan alam atau buatan di atas permukaan bumi dan digambarkan pada suatu bidang datar. Peta merupakan penyajian muka bumi dalam bentuk yang lebih kecil dari daerah yang dipetakan, dengan syarat bahwa besaran suatu jarak dibuat sebanding dengan besaran jarak yang disajikan di peta. Dilansir dari blog geograph88, Peta juga kerap disebut sebagai wadah komunikasi atau suatu signal antara pengirim pesan (pembuat peta) dengan si penerima pesan (pengguna peta). Apa yang menjadi pesannya? Yang menjadi pesannya adalah informasi tentang realita dari fenomena geografi. Pada dasarnya peta adalah sebuah data yang didesain untuk menghasilkan informasi geografis melalui proses pengorganisasian dari kolaborasi data lainnya yang berkaitan dengan bumi untuk menganalisis, memperkirakan dan menghasilkan gambaran kartografi.

Tidak hanya itu, peta juga didefinisikan dalam produk hukum dan kebijakan seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang. Dalam peraturan pemerintah tersebut, disebutkan bahwa peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan atau buatan manusia, yang berada di atas maupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala tertentu.

Skala Peta dan Jenis-Jenisnya

Berbicara tentang peta, tentu tidak bisa terlepas dari pembahasan mengenai skala peta. Dalam penyajian suatu peta perlu diperhitungkan skala peta yang akan digunakan, karena hal ini akan berpengaruh kepada tingkat kedetailan dari unsur-unsur permukaan bumi yang disajikan. Masih menurut peraturan pemerintah yang sama seperti yang dijelaskan di atas, Skala adalah perbandingan jarak dalam suatu peta dengan jarak yang sama di muka bumi. Lebih lanjut, fungsi skala peta yaitu untuk menghitung jarak antara dua lokasi dalam peta, sehingga memungkinkan mengukur jarak secara langsung dengan hanya melihat pada peta tanpa harus mendatangi lokasi sebenarnya dan melakukan pengukuran.

Skala peta erat kaitannya dengan ketelitian peta yang memiliki definisi sebagai ketepatan, kerincian dan kelengkapan data, dan/atau informasi georeferensi dan tematik, sehingga merupakan penggabungan dari sistem referensi geometris, skala, akurasi atau kerincian basis data, format penyimpanan secara digital termasuk kode unsur, penyajian kartografis mencakup simbol, warna, arsiran dan notasi serta kelengkapan muatan peta.

Terdapat beberapa istilah dalam penyebutan suatu skala peta, yaitu:

● Peta skala besar, angka pembandingnya sekitar 500 sampai dengan 10.000, yaitu peta dengan skala 1:500 sampai dengan 1:10.000.

●   Peta skala sedang, angka pembandingnya sekitar 25.000 sampai dengan 50.000, yaitu peta dengan skala 1:25.000 sampai dengan 1:50.000.

●   Peta skala kecil, angka perbandingannya lebih besar dari 50.000, yaitu peta dengan skala mulai dari 1:100.000 sampai dengan tak terhingga.

Pemilihan suatu skala peta tergantung dari tujuan penggunaan peta bersangkutan. Hal ini pun berkaitan dengan kedetailan unsur-unsur muka bumi yang ingin disajikan dalam suatu peta. Semakin besar skala peta, maka unsur muka bumi yang disajikan akan lebih detail.

Pada peta dengan skala 1:1000 dan 1:5000 akan terdapat perbedaan dalam penyajian unsur-unsur muka buminya. Penyajian yang lebih detail akan disajikan pada peta dengan skala 1:1000. Hal ini karena objek terkecil di lapangan yang harus disajikan pada peta yaitu berukuran 1 m x 1 m, sedangkan pada skala 1:5000 yaitu 5 m x 5 m. Begitu pun dengan garis ketinggian yang disajikan pada peta (garis kontur). Pada skala peta 1:1000, garis kontur yang disajikan akan lebih rapat dibandingkan dengan skala peta 1:5000. Perhitungan interval kontur yaitu setengah dari skala peta. Sehingga selang kontur pada skala peta 1:1000 yaitu 0,5 m, sedangkan pada skala 1:5000 yaitu 2,5 m.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat kedetailan unsur-unsur muka bumi ditentukan oleh skala peta. Sehingga, penentuan skala peta terhadap penggunaan peta sangatlah penting. Untuk kepentingan pemetaan yang detail, maka perlu digunakan peta skala besar. Berbeda dengan jika ingin mengetahui perubahan tutupan lahan, peta dengan skala sedang pun sudah cukup.

DAFTAR REFERENSI:

Soendjojo, H & Riqqi, A. 2016. Kartografi. Institut Teknologi Bandung.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Np. 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang.

KONVERTER KOORDINAT LAT/LONG DAN EASTING/NORTHING

Sistem koordinat geografi digunakan untuk menunjukkan suatu titik di Bumi berdasarkan garis lintang dan garis bujur.

Garis lintang adalah garis horizontal yang mengukur sudut antara suatu titik dengan garis katulistiwa. Titik di utara garis katulistiwa dinamakan Lintang Utara sedangkan titik di selatan katulistiwa dinamakan Lintang Selatan.

Garis bujur adalah garis vertikal yang mengukur sudut antara suatu titik dengan titik nol di Bumi yaitu Greenwich di London Britania Raya yang merupakan titik bujur 0° atau 360° yang diterima secara internasional. Titik di barat bujur 0° dinamakan Bujur Barat sedangkan titik di timur 0° dinamakan Bujur Timur.

Tranformasikan kordinat yang dibutuhkan, Silahkan gunakan coordinates converter untuk dapat membantu anda dalam menyediakan data kordinat yang dibutuhkan. Kalkulator bisa membantu merubah data LAT/LONG menjadi EASTING/NORTHING atau sebaliknya. Silahkan klik link berikut

https://www.handalselaras.com/converter/

KALKULATOR GROUND SAMPLING DISTANCE (GSD) DALAM TINGGI TERBANG UAV

Ground Sampling Distance (GSD) adalah ukuran resolusi piksel dari hasil foto udara, baik foto udara dengan kamera metrik maupun foto udara dengan kamera non metrik. GSD dan resolusi spasial memiliki pengertian yang sama. Biasanya dalam foto udara digunakan istilah GSD, sedangkan pada citra satelit digunakan istilah resolusi spasial. GSD atau resolusi spasial menentukan kualitas foto udara atau citra satelit yang dihasilkan. GSD atau resolusi spasial merupakan rasio antara nilai ukuran foto udara atau citra satelit dengan nilai ukuran sebenarnya. Nilai GSD 3 cm/piksel menyatakan bahwa satu piksel pada foto udara sama dengan 3 cm pada ukuran sebenarnya.

Semakin besar nilai GSD pada foto udara, maka resolusi spasial yang dihasilkan akan semakin rendah, dan tingkat kedetailan dari objek-objek pada foto udara akan semakin berkurang. Apabila pengguna ingin mendapatkan hasil foto udara yang jelas dan detail, maka nilai GSD yang digunakan harus kecil.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa besarnya GSD ditentukan oleh ketinggian terbang pada saat proses akuisisi data foto udara, sehingga pemotretan harus dilakukan pada ketinggian yang tepat untuk mendapatkan GSD yang diharapkan. Kami mempublikasikan secara gratis kalkulator GSD. Silahkan klik link berikut

https://www.handalselaras.com/calculator/

DJI Agras T16, Agriculutural Spraying Drone

Oleh : Sarah Sherida, ST

Salah satu kegunaan drone selain mengambil foto udara maupun video aerial adalah membantu bidang agrikultur dalam melakukan pengawasan serta penyiraman pestisida di areal perkebunan dan perhutanan yang sangat luas.

Saat ini terdapat berbagai jenis drone yang bisa mempermudah pekerjaan petani dalam mengawasi, menyemprot, melakukan pemupukan, dan menyeprotkan pestisida, salah satunya DJI Agras T-16.
Drone Dji Agras T-16 menjadi drone andalan dari banyak professional, dimana drone hexacopter ini sangat memberikan efisiensi kerja untuk membantu dalam memberikan pestisida secara menyeluruh dan akurat kepada tanamannya.

DJI Agras T16

Daya yang Dioptimalkan, Performa Tak Tertandingi

Agras T16 memiliki struktur keseluruhan yang disempurnakan dengan desain modular dan mendukung muatan tertinggi dan lebar semprotan terluas untuk drone pertanian dan perhutanan DJI. Dengan perangkat keras yang lebih kuat dan tangguh, mesin Artifical Intelegent, dan perencanaan operasi 3D, DJI Agras T16 membawa efisiensi operasi ke tingkat yang baru.

DJI Agras T16 Fly

Struktur Merevolusi. Operasi yang Handal.

Desain modular T16 yang serba baru menyederhanakan perakitan dan mempercepat perawatan harian. Peringkat IP67 memberikan perlindungan yang andal untuk komponen kunci drone. Sebuah badan pesawat ringan, namun tahan lama terbuat dari komposit serat karbon dan dapat dengan cepat dilipat untuk 25% dari ukuran aslinya, sehingga mudah untuk transportasi. Baterai dan tangki semprotan mudah ditukar, secara signifikan meningkatkan efisiensi pasokan daya dan cairan.

Payload Lebih Tinggi. Peningkatan Efisiensi.

Didukung oleh kinerja terbangnya yang luar biasa, tangki semprotan T16 dapat mengangkut hingga 16 L, dan lebar semprotan telah meningkat menjadi 6,5 m. Sistem penyemprotan memiliki 4 pompa pengiriman dan 8 alat penyiram dengan kecepatan semprot maksimum 4,8 L / menit. T16 dapat menyemprotkan 24,7 acre (10 hektar) [1] per jam. Sistem penyemprotan juga memiliki flow meter elektromagnetik baru, memberikan presisi dan stabilitas yang lebih tinggi daripada flow meter konvensional.

Radar Yang Lebih Canggih. Mudah Dioperasikan.

Sistem radar T16 yang ditingkatkan dapat merasakan lingkungan operasi di siang atau malam hari, tanpa terpengaruh oleh cahaya atau debu. Drone ini telah sangat meningkatkan keselamatan penerbangan dengan penghindaran rintangan maju dan mundur dan FOV horizontal (bidang pandang) 100 °, dua kali lipat drone pertanian DJI sebelumnya. T16 juga dapat mendeteksi sudut kemiringan dan menyesuaikannya secara otomatis bahkan di daerah pegunungan. Sistem radar inovatif ini mengadopsi teknologi Digital Beam Forming (DBF), yang mendukung pencitraan cloud titik 3D yang secara efektif merasakan lingkungan dan membantu menghindari rintangan.

Keunggulan DJI Agras T16 Dibandingkan Dengan Spraying Drone Lainnya

  • Efisiensi maksimum
  • Penyemprotan akurat
  • Mudah digunakan
  • Memiliki kecerdasan memori
  • Desain yang dapat dilipat
  • Memiliki sensor ketinggian
  • Dikendalikan dengan remot kontrol

SPESIFIKASI DJI AGRAS T16

Aircraft Frame

Diagonal Wheelbase1520 mm
Frame Arm Length625 mm
Dimensions1471mm x 1471mm x 482mm (arm unfolded, without propellers)780mm x 780mm x 482mm (arm folded)

Motor

Diagonal Wheelbase1520 mm
Frame Arm Length625 mm
Dimensions1471mm x 1471mm x 482mm (arm unfolded, without propellers)780mm x 780mm x 482mm (arm folded)

ESC

Max Allowable Current (Continuous)25 A
Operating Voltage12S LiPo
Signal Frequency30 to 450 Hz
Drive PWM Frequency12 kHz

Foldable Propeller

MaterialHigh-performance engineered plastics
Diameter / Pitch21×7.0 inch (533×178 mm)
Weight58 g

Liquid Tank

Volume10 L
Standard Operating Payload10 kg
Max Battery Size151mm x 195mm x 70mm

Nozzle

ModelXR11001
Quantity4
Max Spray Speed0.43 L/min (per nozzle, for water)
Spray Width4 – 6 m (4 nozzles, 1.5 – 3 m above the crops)
Droplet Size*XR11001: 130~250 μm*Droplet size may vary according to operation environment and spraying speed.

Flight Parameters

Total Weight (without batteries)8.8 kg
Standard Takeoff Weight22.5 kg
Max Takeoff Weight24.5 kg (@ sea level)
Max Thrust-Weight Ratio1.81 (with 22.5 kg takeoff weight)
Power BatteryDJI Designated Battery (MG-12000)
Max Power Consumption6400 W
Hovering Power Consumption3250 W (with 22.5 kg takeoff weight)
Hovering Time24 min (@ with 12.5 kg takeoff weight)10 min (@ with 22.5 kg takeoff weight)
Max Operating Speed8 m/s
Max Flying Speed22 m/s
Recommended Operating Temperature0 to 40℃

Remote Controller

ModelGL690B(Japan Only), GL658C
Operating Frequency2.400 – 2.483 GHz
Max Transmission Range (unobstructed, free of interference)1km
EIRP100 mW @ 2.4 GHz
Built-in Battery6000 mAh, 2S LiPo
ChargingDJI charger
Output Power9 W
Operating Temperature Range-10 to 40℃
Storage Temperature RangeLess than 3 months: -20 to 45℃More than 3 months: 22 to 28℃
Charge Temperature Range0 to 40℃

Remote Controller Charger

ModelA14-057N1A
Voltage17.4 V
Rated Power57 W

SUMBER :

https://www.dji.com/id/t16/info

Canopy Height Model (Chm) Menggunakan Survei Fotogrametri Untuk Perhitungan Tinggi Pohon

Oleh : Rabby Awalludin, ST

Kemunculan fotogrametri dengan menggunakan pesawat nirawak (UAV) menjadi jalan baru penggunaan metode fotogrametri dalam analisis lingkungan seperti lingkungan hutan dan daerah sulit terjamah oleh metode akuisisi lainnya. Jika dibandingkan dengan pengukuran fotogrametri dengan kamera metric dan penerbangan dengan ketinggian tinggi maupun dengan survey berbasis LiDAR, metode ini tetap memiliki resolusi spasial dan temporal yang tinggi [1].

CHM atau Canopy Height Model merupakan representasi dari tinggi pohon pada wilayah pengukuran. Tinggi pohon diukur melalui jarak antara ground (permukaan) dengan titik tertinggi pohon. Untuk daerah dengan tutupan lahan yang secara keseluruhannya merupakan pepohonan, tidak diperlukan tindakan lebih lanjut sebelum CHM dikalkulasi. Beda hal jika terdapat perumahan atau bangunan dalam area tersebut, untuk kondisi ini diperlukan pembersihan terlebih dahulu data tersebut.

Muncul pertanyaan, apa saja yang dapat kita lakukan dengan adanya CHM ini? Banyak pemanfaatan yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam berbagai fungsi pemetaan dan analisis spasial (keruangan). Beberapa diantaranya sebagai berikut [2]:

  1. Evaluasi resiko tinggi vegetasi terhadap saluran listrik
  2. Memantau penebangan dan pemulihan hutan
  3. Menilai kesesuaian habitat untuk satwa liar
  4. Mengidentifikasi lokasi pohon-pohon yang memenuhi syarat masuk dalam kategori pohon besar (klasifikasi pohon hutan)
  5. Mengevaluasi pertumbuhan dan perkembangan pohon hutan industri

CHM merupakan hitungan turunan dari Digital Elevation Model (DEM) dan Digital Surface Model (DSM). Nilai CHM dapat diketahui dengan banyak cara, salah satunya adalah dengan melakukan pengurangan nilai DSM oleh DEM. DSM yang merupakan representasi dari nilai ketinggian keseluruhan objek di permukaan bumi dihilangkan permukaan tanahnya (ground) oleh DEM sehingga dihasilkan nilai ketinggian dari objek yang dihitung nol dari permukaan tanah. Secara singkat perhitungan nilai CHM dilakukan dengan cara berfikir seperti berikut:

DSM – DEM = CHM

Sebelum dapat menghasilkan nilai CHM dari DSM dan DEM, tentunya terdapat beberapa langkah dan metode yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Sebelum menghasilkan nilai DSM, diperlukan data PointCloud, yang dapat dihasilkan dengan menggunakan metode fotogrametri maupun LiDAR. Secara singkat dengan menggunakan metode fotogrametri dapat dijelaskan sebagai berikut [3]:

Dilakukan aerial triangulation untuk mendapatkan nilai posisi dan ketinggian objek dari foto-foto yang diambil dengan menggunakan metode fotogrametri. Hasil ini berupa Sparse Point Cloud yang merupakan titik jarang yang merepresentasikan posisi suatu objek.


Nilai titik jarang tersebut kemudian diperbanyak sehingga menghasilkan titik-titik dengan kerapatan padat yang disebut dengan istilah Dense Point Cloud.

Interpolasi Dense Point Cloud yang menghasilkan Digital Surface Model (DSM)

Dilakukan proses klasifikasi, otomatis maupun manual yang menghasilkan data ketinggian Ground (DEM)

Kombinasi antara DSM dan DEM sehingga menghasilkan CHM

Perhitungan nilai CHM dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS, Global Mapper, Simactive, dan perangkat lunak pengolahan data spasial lainnya. Perhitungan dilakukan secara otomatis dengan menggunakan bahasa pemrograman yang terdapat pada masing-masing perangkat lunak.

Nilai ketelitian dari tinggi pohon yang diperoleh dengan menggunakan CHM dapat diperoleh dengan cara membandingkan beberapa sampel yang sama antara CHM dan data lapangan yang dipilih secara acak. Nilai ketelitian dari CHM sangat berpengaruh terhadap beberapa faktor, diantaranya:

·         Nilai GSD (Ground Sample Distance)

Seperti yang kita ketahui bersama, nilai GSD merupakan ukuran resolusi piksel dari hasil foto udara, baik foto udara dengan kamera metrik maupun foto udara dengan kamera non metrik. Model permukaan bumi terbentuk dari data elevasi digital dalam tiga dimensi (X, Y, Z). Data elevasi digital ini disimpan dalam format piksel grid (raster). Setiap piksel mempunyai nilai elevasi yang mewakili ketinggian titik di permukaan bumi. Semakin besar nilai GSD pada foto udara, maka resolusi spasial yang dihasilkan akan semakin rendah, dan tingkat kedetailan dari objek-objek pada foto udara akan semakin berkurang [4]. Jika GSD yang digunakan besar (resolusi rendah), nilai tinggi yang direpresentasikan oleh CHM menjadi buruk. Hal ini dipengaruhi dengan besarnya GSD, nilai tertinggi sebenarnya dari pohon tidak dapat didefinisikan dengan jelas. Sehingga representasi hasil tinggi kurang atau tidak mendekati nilai tinggi sebenarnya di lapangan.

·         Kualitas GCP

Kualitas Ground Control Point atau GCP juga ikut andil dalam ketelitian dari CHM yang dihasilkan. GCP berpengaruh dalam menentukan kedekatan posisi termasuk posisi horizontal dan vertikal dari objek pengamatan dalam hal ini pohon. Semakin baik kualitas GCP, maka akan semakin baik pula posisi dari objek pengamatan, yang secara langsung juga berpengaruh terhadap nilai CHM yang dihasilkan.

 ·         Nilai Pembanding

Nilai ketelitian hasil suatu metode didapatkan dengan membandingkan dengan hasil metode lainnya. Namun nilai pembanding tersebut harus memiliki nilai yang lebih dipercaya sehingga jika hasil metode yang dibandingkan semakin mendekati pembanding, maka metode tersebut dapat digunakan. Misalkan nilai CHM dibandingkan dengan hasil pengukuran lapangan. Metode perhitungan yang dilakukan dalam pengukuran lapangan haruslah metode yang memiliki nilai kepercayaan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.

Jonathan Lisein, Stephanie Bonnet and Philippe Lejeune dari Universitas Liege – Gembloux Agro-Biotech melakukan penelitian mengenai ketelitian CHM dengan menggunakan metode fotogrametri dengan pesawat nirawak (UAV) yang dibandingkan dengan pengukuran tinggi di lapangan [3] . Didapatkan hasil seperti pada tabel berikut :

Resolusi/GSDRMSE
25cm2.1m

Dari hasil yang didapatkan, dapat ditarik kesimpulan berupa:

  1. Penggunaan DEM dengan resolusi rendah dan akurasi yang tidak diketahui merusak nilai presisi dari DSM itu sendiri.
  2. Rekonstruksi Tiga Dimensi pohon rapat dengan menggunakan foto bergantung pada kuat dan arah angin yang menyebabkan pergerakan daun, serta pengulangan bentuk pada kanopi hutan yang padat dan berdaun lebar, keduanya dapat menghambat/membingungkan dalam proses pembentukan dense point cloud.
  3. Hasil co-registrasi DSM dan DTM untuk kawasan hutan tidak ketat secara ilmiah, karena kurangnya visibilitas tanah (tinggi vegetasi = 0) pada DSM.
  4. Penggunaan fotogrametri untuk kawasan hutan rentan terhadap error, karena nilai tanah dibawah pohon tidak terlihat.

Kerapatan point cloud dapat mempengaruhi ketelitian dari nilai tinggi yang dihasilkan. Dapat terlihat pada gambar berikut:

Sumber : www.mpdi.com

Secara keseluruhan, metode menentukan ketinggian pohon (CHM) dengan menggunakan metode survei fotogrametri cukup efektif dan efisien jika dilakukan untuk menghasilkan data dengan ketelitian yang cukup baik. Untuk dapat memastikan layak atau tidaknya metode ini dilakukan, diperlukan pemilihan metoda akuisisi dan pengolahan data yang tepat seperti proses klasifikasi point cloud, spesifikasi alat, nilai GSD yang digunakan, metode pembanding yang digunakan, penggunaan parameter dalam pengolahan data pada perangkat lunak pengolahan data yang digunakan, dsb.

Sumber Referensi :

[1] Watts A.C., Ambrosia V.G., Hinkley E.A. [2012]. Unmanned Aircraft Systems in Remote Sensing and Scientific Research: Classification and Considerations of Use. Remote Sensing 4 (6), 1671–1692.

[2] https://www.earthdefine.com/spatialcover_chm/

 [3] https://orbi.uliege.be//bitstream/2268/129781/1/ModeleNumCanopee_drone_poster.pdf

 [4] https://www.handalselaras.com/ground-sampling-distance-gsd/

PRESISI VS AKURASI PADA DATA LIDAR

Tike Aprillia Hartini

Keyword: presisi, akurasi, LiDAR (Light Detection and Ranging).

Dalam melakukan suatu pengukuran, untuk memastikan hasil ukuran yang didapatkan baik atau tidak digunakan istilah presisi dan akurasi. Presisi adalah tingkat konsistensi dari pengamatan yang ditentukan dari besarnya perbedaan dalam nilai data yang dihasilkan. Presisi sangat ditentukan oleh kestabilan kondisi pengamatan, kualitas alat, kemampuan dari pengamat, dan prosedur pengamatan. Sedangkan akurasi adalah tingkat kedekatan dari nilai pengamatan dengan nilai sebenarnya. Nilai sebenarnya dari suatu pengukuran tidak pernah dapat ditentukan, sehingga akurasi selalu tidak diketahui. [1] Namun, untuk mendekati nilai yang dianggap benar sering kali digunakan nilai rata-rata dari keseluruhan data yang diukur. Sehingga, hasil pengukuran akan memiliki tingkat akurasi yang tinggi apabila mendekati nilai rata-rata. Perbedaan presisi dan akurasi dapat dilihat pada ilustrasi di bawah ini:

Gambar 1. Akurasi dan Presisi.[1]

(1a) Akurat dan Presisi, (1b) Akurat, (1c) Presisi, (1d) Tidak Akurat dan Tidak  Presisi.

Presisi dan akurasi pun sering dikaitkan dengan kesalahan sistematis dan kesalahan acak. Kesalahan sistematis adalah kesalahan dengan kecenderungan menggeser semua pengukuran secara sistematis, sehingga nilai rata-rata secara konstan bergeser atau bervariasi dan dapat diprediksi perubahannya serta dapat dikoreksi. Sedangkan kesalahan acak adalah kesalahan dengan variasi nilai kesalahannya tidak terduga dan tidak dapat dikoreksi. Kesalahan acak ini dapat disebabkan karena faktor lingkungan di tempat pengukuran, seperti terjadi kebisingan, adanya kabut, dan getaran sehingga mempengaruhi hasil pengukuran. Apabila hasil pengukuran memiliki nilai akurasi yang rendah, maka kemungkinan besar terdapat kesalahan sistematis pada alat pengukuran. Sehingga diperlukan kalibrasi pada alat tersebut. Apabila hasil pengukuran memiliki nilai presisi yang rendah, kemungkinan besar terdapat kesalahan acak pada pengukuran yang dilakukan.

Dalam pengukuran LiDAR, presisi dan akurasi dapat dilihat dari sebaran data point cloud yang dihasilkan antar jalur terbang. Keakuratan data LiDAR dapat dilihat dari tingkat kedekatan point cloud dengan posisi aktual dari lingkungan yang dijelaskan. Sedangkan kepresisian dari data LiDAR dapat dilihat dari tingkat kekonsistenan point cloud antar jalur terbang pada titik yang sama. Sehingga, untuk mendapatkan nilai presisi ini harus dilakukan pengukuran lebih pada suatu objek. Oleh karena itu, pada saat melakukan akuisisi data lidar diperlukan pertampalan antar jalur terbang (sidelap dan overlap). Data LiDAR yang memiliki tingkat presisi yang tinggi akan menghasilkan point cloud yang lebih tipis karena memiliki jarak antar point cloud yang kecil dan memiliki sedikit noise.[2] Ilustrasi dari akurasi dan presisi dari data LiDAR dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Akurasi dan Presisi.[2]

Sehingga untuk mendapatkan hasil pengukuran yang mendekati nilai sebenarnya, kesalahan sistematik maupun acak harus dihindari agar tingkat akurasi dan presisi dari data yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. 

DAFTAR REFERENSI:

[1] Ghilani, Charles D dan Wolf, Paul R. 2006. Adjusment Computations Spatial Data Analysis. United States of America.

[2] Accuracy vs Precision. https://www.yellowscan-lidar.com/knowledge/wait-accuracy-vs-precision-isnt-rocket-science/?utm_source=hs_email&utm_medium=email&utm_content=81181499&_hsenc=p2ANqtz-9lnwORNL6_GfpxQre3qYVG3_Ykh7ZPDIctygB9BjeMocx-SeKScUmQ1DfHAia-2NGsymbjAHnuo2GoSb_CU-52hPyIMZV-oNjj-oPVj6w23CPnSpk&_hsmi=81181499, diakses pada tanggal 3 Februari 2020.

Perbedaan Data Hasil Dari Fotogrametri dan LiDAR (Light Detection and Ranging) Dalam Aplikasi Inspeksi Jaringan Listrik Tegangan Tinggi (SUTET)

Oleh : Tike Aprilia, ST

Fotogrammetri dan LiDAR (Light detection and ranging) menggunakan wahana UAV (Unmanned Aerial Vehicle) memiliki perbedaan yang signifikan dalam akusisi dan hasilnya. Berikut adalah beberapa perbedaan antara Foto Udara dan LiDAR menggunakan wahana UAV:

1. Foto udara menggunakan alat dasar kamera foto menghasilkan data raster (data grid) sedangkan Lidar menghasilkan data Point yang biasa disebut point cloud. Data foto udara dapat membentuk data point cloud, namun dengan kualitas dan densitas point yang lebih rendah dibandingkan point cloud yang dihasilkan oleh LiDAR

Gambar 1. Point Cloud Yang Dihasilkan Oleh Foto Udara

Pada Gambar 1. terlihat SUTET dan kabel listrik tidak terbentuk dengan sempurna. Selain itu objek pohon memiliki bentuk seperti bukit.

Gambar 2. Point Cloud yang Dihasilkan Oleh LiDAR

Pada Gambar 2. point cloud yang dihasilkan LiDAR memiliki densitas titik yang sangat rapat. Sehingga objek-objek terlihat seperti bentuk aslinya dalam tiga dimensi. Point cloud yang dihasilkan dapat ditampilkan berdasarkan ketinggian dan RGB dari masing-masing objek.

Gambar 3. SUTET dan Kabel yang Dihasilkan dari Akuisisi LiDAR

2. Foto udara menggunakan alat dasar kamera foto, pada dasarnya menghasilkan data dua dimensi yang memiliki akurasi lebih baik pada X dan Y (posisi). Sedangkan LiDAR menggunakan sensor yang dapat menembakkan gelombang terhadap objek dan gelombang yang dipantulkan diterima kembali oleh sensor tersebut. LiDAR akan menghasilkan data tiga dimensi yang memiliki karakteristik akurasi lebih baik pada Z (tinggi) dan dapat menembus permukaan tanah di bawah pohon selama terdapat celah cahaya yang dapat menembus pohon.

Gambar 4. Foto Udara yang Dihasilkan dari Akuisisi Fotogrametri Berupa Data Dua Dimensi
Gambar 5. Point Cloud yang Dihasilkan dari Akuisis LiDAR Berupa Data Tiga Dimensi

3. Analisisi Vegetasi dibawah jaringan listrik tegangan tinggi (SUTET) membutuhkan data Digital Terrain Model (DTM) yang akan diterjemahkan menjadi data kontur, data ketingian pohon dari data Digital Surface model (DSM), serta data model tiang dan kabel. Untuk itu, analisis vegetasi idealnya menggunakan data LiDAR. Namun untuk melakukan updating data dapat dilakukan dengan menggunakan data Foto Udara,  dengan mendapatkan data DSM vegetasi dan mengesampingkan model tiang dan kabel SUTET.

Gambar 6. Dengan Point Cloud LiDAR Dapat Diketahui Perbedaan Tinggi Kabel dan Objek Di Bawahnya
Gambar 7. Data LiDAR Dapat Diolah Untuk Mengetahui Danger Area Disekitar SUTET.
Gambar 8. SUTET terbentuk dalam point cloud foto udara, namun tidak sejelas pada data LiDAR. Sedangkan kabel listrik tidak terbentuk pada point cloud foto udara.
Gambar 9. Analisis menggunakan foto udara dapat menghitung jumlah pohon yang terdapat di bawah SUTET dan dapat dibuat analisis ketinggiannya, namun tidak bisa mendapatkan ketinggian dari kabelnya.