Digital Elevation Model, Digital Terrain Model, dan Digital Surface Model

Oleh : Tike Aprillia Hartini

Dalam kebutuhan perencanaan seringkali dibutuhkan model permukaan bumi yang merepresentasikan kondisi topografi yang sebenarnya. Model permukaan bumi ini banyak digunakan dalam berbagai bidang pada tahap perencanaan sampai tahap pemeliharaan. Dalam bidang konstruksi, model permukaan bumi ini digunakan untuk melakukan perencanaan bagaimana struktur bangunan akan dibangun berdasarkan topografi di lapangan. Seringkali kondisi topografi harus mengikuti desain dari perencanaan yang telah dibuat, sehingga perlu dilakukan rekayasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, seperti melakukan cut and fill. Dimana cut and fill dilakukan untuk membuang atau menambahkan permukaan tanah agar sesuai dengan desain perencanaan yang diinginkan. Maka mengetahui model permukaan bumi pada kawasan yang akan dibangun menjadi sangat penting.

Dari penjelasan diatas kemudian muncul beberapa pertanyaan, apakah model permukaan bumi itu? Ada berapa macam model permukaan bumi yang dapat digunakan? Bagaimana perbedaan antar masing-masing model permukaan bumi? Bagaimana kualitas dari model permukaan bumi yang terbentuk? Dan apa saja kegunaan dari setiap model permukaan bumi dalam berbagai bidang?

Model Permukaan Bumi

Model permukaan bumi terbentuk dari data elevasi digital dalam tiga dimensi (X, Y, Z). Data elevasi digital ini disimpan dalam format piksel grid (raster). Setiap piksel mempunyai nilai elevasi yang mewakili ketinggian titik di permukaan bumi.

Nilai Elevasi Digital Dalam Format Piksel Grid

Model permukaan bumi terdiri dari Digital Elevation Model (DEM), Digital Terrain Model (DTM), dan Digital Surface Model (DSM). Model permukaan bumi ini dapat diperoleh dengan pengukuran secara tidak langsung, seperti fotogrametri, penginderaan jauh (remote sensing), dan Light Detection and Ranging (LiDAR). Gelombang dari sensor dipancarkan kepada objek di permukaan bumi, sehingga ada yang mengenai pohon, rumah, permukaan tanah, atau objek yang lainnya, kemudian dipantulkan kembali dan ditangkap oleh sensor. Hasil dari pantulan objek-objek ini kemudian akan menjadi representasi ketinggian yang beragam tergantung dari pantulan objek yang diterima oleh sensor.

DIGITAL ELEVATION MODEL (DEM)

Digital Elevation Model (DEM) meupakan bentuk penyajian ketinggian bumi secara digital. DEM terbentuk dari titik-titik sample yang memiliki nilai koordinat 3D (X, Y, Z). Titik sample merupakan titik-titik yang didapat dari hasil sampling permukaan bumi. Hasil sampling permukaan bumi didapatkan dari pengukuran atau pengambilan data ketinggian titik-titik yang dianggap dapat mewakili relief permukaan bumi. Data sampling titik-titik tersebut kemudian diolah hingga didapat koordinat titik-titik sample.

Jika titik-titik sample sangat padat, maka permukaan topografi akan didefinisikan secara mendalam. Jika titik-titik sample kurang padat, maka karakter-karakter medan yang penting dapat hilang. Contohnya, di area pengukuran terdapat bukit yang memiliki perbedaan tinggi dengan permukaan tanah disekitarnya, namun karena titik sample tidak diambil di bukit tersebut maka DEM yang dihasilkan menjadi rata dan bentuk bukit tidak tersaji dalam DEM tersebut.

Digital Elevation Model (DEM)

Permukaan tanah dalam DEM dimodelkan dengan membagi area menjadi bidang-bidang yang terhubung satu sama lain dimana bidang-bidang tersebut terbentuk oleh titik-titik pembentuk DEM. Titik-titik tersebut dapat berupa titik sample permukaan tanah atau hasil interpolasi dan ekstrapolasi titik-titik sample.

DIGITAL TERRAIN MODEL (DTM)

Digital Terrain Model (DTM) identik dengan DEM. DTM tidak hanya mencakup DEM, tetapi mencakup medan yang dapat memberikan definisi yang lebih baik tentang karakteristik permukaan topografi. Dalam DTM fitur alami seperti sungai, jalan, garis punggungan, dan lain-lain telah didefinisikan. Pada DTM telah ditambahkan fitur breaklines dan pengamatan selain data asli untuk mengoreksi kondisi topografi yang terbentuk. Breaklines digunakan untuk menentukan perubahan ketinggian yang mendadak pada permukaan tanah.

Breaklines mendefinisikan dan mengontrol perilaku permukaan pada saat proses interpolasi. Seperti namanya, breaklines adalah fitur linier. Breaklines memiliki efek signifikan dalam hal menggambarkan perilaku permukaan ketika dimasukkan dalam model permukaan. Breaklines dapat menggambarkan dan menegakkan perubahan perilaku permukaan. Nilai-Z sepanjang breakline bisa konstan atau dapat bervariasi sepanjang breakline.

Ilustrasi DEM yang Telah Ditambahkan Breaklines
Sumber: Mertotaroeno, Saptomo. H, 2016

DIGITAL SURFACE MODEL (DSM)

Digital Surface Model (DSM) adalah model permukaan bumi dengan menggambarkan seluruh objek permukaan bumi yang terlihat. Objek bangunan dan vegetasi yang menutupi tanah, serta objek tanah yang terbuka termasuk dalam data DSM. Kenampakan DSM akan menggambarkan bentuk permukaan bumi seperti keadaan nyata yang terlihat dari foto atau citra satelit.

Digital Surface Model

PERBEDAAN DEM, DTM, DAN DSM

Perbedaan dari ketiga model permukaan bumi yang telah dijelaskan terdapat pada informasi ketinggian yang disajikan dalam setiap model permukaa bumi. DEM/DTM hanya menyajikan ketinggian permukaan tanah saja, sedangkan DSM menyajikan ketinggian permukaan tanah dan objek-objek yang terlihat dari atas tanah seperti, vegetasi, bangunan, dan lain-lain. DTM merupakan DEM yang telah ditambahkan fitur breaklines sehingga dapat memberikan definisi yang lebih baik tentang karakteristik permukaan topografi, seperti sungai, garis punggungan, dan lain-lain. Namun untuk kepentingan praktis, DEM umumnya identik dengan Digital Terrain Model (DTM).

Ilustrasi Perbedaan DEM, DTM dan DSM
Sumber: Zonaspacial.com

KUALITAS DEM, DSM, DAN DTM

Kualitas data dari DEM, DTM, dan DSM dapat dilihat dari akurasi dan presisi data yang dihasilkan. Dilihat dari akurasinya, nilai ketinggian titik (Z) pada DEM, DTM, dan DSM dibandingkan dengan nilai sebenarnya yang dianggap benar. Nilai Z yang dianggap benar ini ditentukan dengan melakukan pengukuran titik sample secara langsung pada area pengukuran. Dilihat dari kepresisiannya, kualitas DEM, DTM, dan DSM ditentukan oleh banyaknya informasi yang dapat diberikan. Presisi bergantung pada jumlah dan sebaran titik-titik sample dan ketelitian titik sample sebagai masukan/input bagi pembentukan DEM, DTM, dan DSM serta metode interpolasi untuk mendapatkan ketinggian titik-titik pembentuk DEM, DTM, dan DSM. Titik-titik sample yang dipilih untuk digunakan harus dapat mewakili bentuk terrain secara keseluruhan sesuai dengan kebutuhan aplikasi penggunaannya.

APLIKASI DEM/DTM DAN DSM

Aplikasi DEM/DTM dan DSM telah banyak digunakan dalam berbagai bidang, pada tahap perencanaan sampai pemeliharaan. Berikut beberapa aplikasi DEM/DTM, antara lain:

  • visualisasi 3D suatu liputan permukaan (landscape architecture),
  • analisis statistik dan perbandingan jenis terrain / permukaan tanah,
  • menghitung kemiringan, arah kemiringan, jarak miring (kalkulasi air limpasan dan erosi),
  • simulasi genangan banjir, simulasi jangkauan tsunami,
  • nilai Z dapat disubstitusi dengan berbagai variabel seperti iklim, curah hujan, kebisingan, polusi atau variabel air tanah,
  • penentuan lokasi RBS, telepon selular, dan stasiun/menara relay TV,
  • perencanaan jalan raya, jalan kereta api dan kalkulasi timbunan serta galian, dan
  • penentuan rencana jalur listrik tegangan tinggi

Aplikasi DSM dalam pemodelan 3D dapat digunakan untuk perencanaan kota, penerbangan, dan lain-lain. Dalam perencanaan kota DSM dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai perbedaan tutupan lahan dan kondisinya. Dalam penerbangan, DSM dapat digunakan untuk menentukan penghalang landasan di zona pendaratan pesawat terbang.

Jadi, apakah kegunaan lainnya dari DEM/DTM dan DSM menurut Anda?

Sumber Referensi

Mertotaroeno, Saptomo. H. 2016. Materi Kuliah Digital Elevation Models and Indirect Contouring. Institut Teknologi Bandung.
http://www.gisresources.com, diakses pada tanggal 21 Oktober 2019.
http://desktop.arcgis.com/en/arcmap/10.3/guide-books/extensions/3d-analyst/breaklines-in-surface-modeling.htm, diakses pada tanggal 21 Oktober 2019.
https://zonaspasial.com/2018/12/perbedaan-dsm-dem-dan-dtm-dalam-model-digital-muka-bumi/, diakses pada tanggal 21 Oktober 2019.

Analisis NDVI Untuk Kesehatan Tanaman Hutan Tanaman Industri

Indonesia merupakan negara agraris dengan luas hutan tanaman industri yang besar. Secara tidak langsung sektor ini juga ikut andil dalam menumpu pertumbuhan perekonomian Indonesia. Peningkatan produksi tentu saja menjadi tujuan utama demi memperbesar keuntungan hasil produksi yang diperoleh.  Peningkatan jumlah produksi harus berimbang dengan kegiatan perawatan dan monitoring yang dilakukan.  Kegiatan monitoring dan perawatan ini bertujuan untuk mengontrol pertumbuhan dan perkembangan dari tanaman itu sendiri. Saat ini kemajuan teknologi di bidang pemetaan fotogrametri memungkinkan dilakukannya analisis mengenai kesehatan dari vegetasi dengan menggunakan NDVI.

Apa itu NDVI?

NDVI atau Normalized Difference Vegetation Index adalah indikator tingkat kepadatan, tingkat kehijauan serta kondisi dari vegetasi suatu wilayah. Indikator ini dipengaruhi oleh tutupan tanah oleh vegetasi, kerapatan hingga tingkat kehijauan suatu vegetasi. Ini menunjukkan kapasitas fotosintesis dari vegetasi yang menutupi permukaan tanah. Indeks vegetasi merupakan kombinasi matematis antara band merah dan band NIR (Near-Infrared Radiation) yang telah lama digunakan sebagai indikator keberadaan dan kondisi vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1997).

Setiap objek di muka bumi memiliki kemampuan untuk menyerap atau memantulkan berkas sinar yang dipancarkan oleh sumber cahaya dalam hal ini matahari. Vegetasi tanaman hijau menyerap berkas sinar gelombang visible light (red, blue) sebagai bagian dari proses fotosintesis, sehingga berkas sinar ini tidak dipantulkan dengan baik. Pada waktu yang sama berkas sinar gelombang NIR dipantulkan dengan sangat baik oleh vegetasi hijau. Perbedaan kemampuan menyerap berkas sinar gelombang ini memungkin dilakukannya penelitian mengenai kesehatan serta tingkat kehijauan suatu vegetasi. 

Nilai dari NDVI dapat dikalkulasikan dengan menggunakan gelombang cahaya pada kanal merah dan Near Infrared (NIR) dari citra multispektral.

NDVI = (rNIR-rRED)/(rNIR+rRED)

Dimana :

rNIR : radiasi gelombang cahaya Near Infrared (NIR)

rRed : radiasi gelombang cahaya merah

Nilai dari NDVI akan selalu berada pada angka -1 atau +1. Daerah hutan akan memiliki nilai NDVI yang besar akibat kepadatan tanaman yang besar serta tutupan kanopi yang hijau. Semakin kecil nilai NDVI dari vegetasi maka kemungkinan terjadi tekanan air pada tanaman, atau sakit bahkan kematian pada vegetasi tersebut. Nilai vegetasi pada tanah dan urban area biasanya mendekati nol sedangkan nilai NDVi dari badan air seperti sungai, saluran air, danau, serta genangan air memiliki nilai NDVI negatif mendekati -1.  Tanaman/vegetasi yang sehat memantulkan lebih banyak NIR dan gelombang cahaya hijau dibandingkan dengan gelombang lainnya, dan paling banyak menyerap gelombang cahaya merah dan biru. Inilah yang menyebabkan mata manusia melihat vegetasi sebagai warna hijau.

Kemampuan Refleksi dan Absorsi Vegetasi Terhadap Beberapa Gelombang Cahaya
Sumber: Image Courtesy of NAS

Gambar di atas memperlihatkan bahwa tanaman/vegetasi yang hijau dan sehat memantulkan lebih banyak NIR dibandingkan dengan tanaman yang tidak hijau. Vegetasi yang sehat dan hijau hanya memantulkan sedikit visible light, dan pantulan tersebut merupakan gelombang cahaya hijau, karena gelombang merah dan biru terserap dengan baik.

Pada mulanya, analisis NDVI menggunakan citra yang diambil dengan wahana satelit yang dikhususkan sebagai satelit penginderaan jauh seperti Landsat, IKONOS, QuickBird, dsb. Namun dewasa ini, mulai digunakan kamera dengan sensor multispektral yang diangkut dengan wahana terbang tanpa awak atau yang lebih populer dengan sebutan UAV. Penggunaan metode ini dapat menghasilkan data yang jauh lebih teliti dibandingkan dengan citra satelit. Namun tentunya cakupan wilayah yang dapat diambil dengan menggunakan metode ini jauh lebih sedikit dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan cakupan wilayah yang sama dengan citra satelit. Cakupan wilayah yang kecil tidak telak membuat metode dengan wahana UAV tidak berkembang di Indonesia.

Hasil Pengolahan Citra Multispektral

Gambar diatas merupakan citra multispektral yang dihasilkan dari kamera multispektral jenis  Micasense RedEdge. Kamera jenis ini memiliki kanal gelombang cahaya merah, biru, hijau, RedEdge, dan NIR. Data citra multispektral tersebut kemudian diolah lagi menggunakan software pengolahan data citra seperti ArcGIS. Salah satu hasil dari olahan data citra multispektral diatas adalah NDVI yang dapat dilihat pada gambar dibawah

NDVI Hasil Pengolahan Multispektral

Dapat dengan jelas dilihat pada citra NDVI diatas perbedaan antara vegetasi,bangunan,serta permukaan tanah. Bagian citra yang berwarna putih merupakan objek yang teridentifikasi sebagai vegetasi. Kemudian objek dengan warna abu-abu ke hitam merupakan urban area dan permukaan tanah.

Penggunaan analisis  NDVI pada hutan tanaman industri seperti kelapa sawit, eucalyptus, akasia, dan lainnya akan sangat membantu dalam usaha meningkatkan nilai hasil produksi. Peningkatan produksi ini dapat dilakukan dengan melakukan monitoring sekaligus menganalisis kesehatan tanaman yang berpengaruh pada kemampuan tanaman untuk tumbuh dan berkembang dengan baik sampai proses produksi dilakukan.  Dalam proses penanaman bibit hingga produksi terdapat banyak hal-hal yang mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya individu tanaman terganggu. Mulai gangguan yang hanya menyebabkan si tanaman sakit, sampai yang dapat menyebabkan tanaman itu mati. Maka dari itu, mengikutsertakan metode NDVI ini dalam proses monitoring tanaman dirasa perlu agar dapat membantu proses pencegahan dan penanganan yang efektif dan efisien.

Sumber Referensi:

Ryan L.  1997. Creating a Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) image Using MultiSpec.  University of New Hampshire

Lillesand T.M dan R.W. Kiefer. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Diterjemahkan : Dulbahri, Prapto Suharsono, Hartono, Suharyadi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

http://www.bom.gov.au/climate/austmaps/about-ndvi-maps.shtml. Diakses pada 17/10/2019 pukul 10.21

https://gisgeography.com/ndvi-normalized-difference-vegetation-index/ . Diakses pada 17/10/2019 pukul 10.21

Aplikasi Survei Fotogrametri Menggunakan UAV Pada Hutan Tanaman Industri

Oleh: Rabby Awalludin

Dewasa ini perkembangan teknologi mendorong manusia untuk mengubah cara pandang dan pemikirannya terhadap pemanfaatan yang tepat guna terhadap teknologi itu sendiri. Pemanfaatan tepat guna ini tentunya bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pekerjaan yang dilakukan. Beberapa hal yang awal mulanya dilakukan secara manual dengan waktu pengerjaan yang lama, kini mulai berangsur-angsur tergantikan dengan metode baru, yang mana metode ini mulai menerapkan otomatisasi menggunakan teknologi yang berkembang saat ini.

Tak terkecuali dalam sektor pertanian dan perkebunan hutan tanaman industri, penerapan teknologi berbasis digital juga sangat diperlukan saat ini demi peningkatan hasil produksi. Area yang sangat luas dengan tuntutan produksi yang cepat, mendorong teknologi masuk untuk menggantikan cara-cara lama yang sebelumnya dilakukan secara manual. Metode lama yang umum digunakan memanfaatkan kemampuan subjektif manusia yang mana penilaian subjektif tersebut cenderung berpeluang besar menyebabkan kesalahan-kesalahan blunder.  Kesalahan blunder merupakan hasil dari kesalahan yang disebabkan kecerobohan (kekurang hati-hatian) pengamat dalam mengamati/menganalisis objek. Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan teknologi untuk dapat melengkapi kekurangan-kekurangan yang mungkin saja terjadi jika menggunakan metode-metode lama tersebut.  

Analisis yang dilakukan pada tanaman hutan industri seperti perhitungan jumlah pohon, penilaian subjektif manusia terhadap kesehatan tanaman, perhitungan tinggi pohon, dan analisis objek lainnya akan sangat bergantung terhadap kemampuan analisis dari si pengamat itu sendiri. Sehingga untuk meningkatkan akurasi dari data analisis yang dihasilkan, maka diperlukan kemampuan teknologi yang mumpuni dan dapat diandalkan. Kebutuhan tersebut sekarang dapat teratasi dengan memanfaatkan metode pemetaan yang menggunakan wahana terbang yang dikenal dengan teknologi pemetaan menggunakan metode fotogrametri.

Fotogrametri Dalam Pemetaan

Fotogrametri merupakan suatu metode yang dapat menghasilkan data dan informasi dari objek fisik di permukaan bumi dengan menggunakan kamera yang dipasang pada wahana terbang. Metoda ini sangat menjanjikan saat ini dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya. Beberapa keuntungan yang diberikan adalah sebagai berikut:

  1. Cakupan area yang luas
  2. Waktu yang singkat
  3. Cost rendah
  4. Akses yang mudah dari udara
  5. Menggambarkan detail yang besar

Dengan berbagai keunggulan yang telah disebutkan diatas, teknologi survei ini menjadi primadona dalam dunia pemetaan saat ini. Teknologi ini dapat menghasilkan peta foto yang sangat membantu dalam analisis-analisis spasial yang dibutuhkan dalam berbagai bidang seperti pertambangan, perminyakan, hutan industri, dsb. Selain itu hasil dari fotogrametri juga dapat menyajikan informasi berupa tinggi suatu objek, baik tinggi tanaman maupun topografis daerah yang dipetakan. Sektor industri yang saat ini cukup banyak memanfaatkan teknologi ini adalah industri kelapa sawit dan beberapa tanaman industri lainnya seperti akasia dan eukaliptus.

Penggunaan fotogrametri dalam pemetaan dengan pesawat tanpa awak atau drone atau yang lebih dikenal dengan sebutan UAV (Unmanned Aerial Vehicle) berkembang pesat pada dekade ini. UAV merupakan wahana terbang yang dikontrol oleh seorang pilot melalui remote control, dimana pilot tersebut dapat melakukan kontrol terhadap wahana terbang tanpa harus naik diatasnya. Berdasarkan jenis alat penggeraknya, UAV dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu UAV Fixed Wing dan UAV Multirotor. UAV jenis Fixed Wing dilengkapi dengan sayap di kedua sisinya. UAV jenis ini sendiri memiliki beberapa bentuk dan ukuran, bergantung pada kegunaannya masing masing. Tenaga penggerak yang digunakan bersumber dari baterai dan dapat pula dengan menggunakan bahan bakar. UAV Multirotor adalah UAV yang menggunakan baling-baling (propellers) pada tiap lengannya. UAV jenis ini biasa dikenal dengan nama Multicopter dan untuk penamaan UAV jenis ini sendiri disesuaikan dengan banyaknya propeller atau baling-baling yang digunakan. UAV jenis ini menggunakan sumber tenaga berupa baterai dan merupakan jenis UAV terbanyak yang dijual di pasaran saat ini.

Penggunaan jenis UAV dalam pemetaan fotogrametri dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti luasan area pengukuran, tinggi terbang, kondisi topografi wilayah dan ketepatan waktu yang dibutuhkan.  Pada tabel berikut akan dijabarkan kelebihan yang terdapat pada masing-masing UAV.

Kapabilitas Fixed Wing dan Multirotor

No.KapabilitasFixed WingsMultirotor
1Panjang line terbang (1 misi)± 60km±8km
2Tinggi Aman Maksimal300m150m
3Kecepatan Terbangcepat5-8m/s
4Lahan datar luasbutuhKurang butuh
5Kestabilan Terbang+
6Cakupan Wilayah (1 misi)besarkecil

Berdasarkan tabel diatas, jika melakukan survei fotogrametri dengan area yang luas serta waktu pengerjaan yang sedikit akan sangat efektif jika menggunakan UAV Fixed Wings. Namun jika membutuhkan hasil peta foto dengan nilai GSD yang kecil, maka sebaiknya menggunakan UAV multirotor.

Jenis-jenis UAV

Fotogrametri Pada Hutan Tanaman Industri

Berdasarkan data Kementrian Pertanian Republik Indonesia, total luasan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia berada pada kisaran 14 juta hektar dengan laju pertumbuhan dari tahun 2016 ke tahun 2017 adalah sebesar 25,4%. Dikutip dari ekonomi.kompas.com, Dirjen Perkebunan Kementrian Pertanian, Bambang, pernah mengatakan bahwa tingkat produksi dari perkebunan sawit di Indonesia masih dibawah standar dengan rata-rata tingkat produksi  3,6 ton per hektar. Selain itu, masih ada potensi yang dapat dikembangkan untuk sektor ini di Indonesia. Dalam proses peningkatan produksi tentu diperlukan beberapa tindakan tepat guna. Peningkatan tingkat produksi dapat dilakukan dengan melakukan monitoring secara berkala guna melihat pertumbuhan dan perkembangan yang baik dari hutan kelapa sawit itu sendiri.

Secara manual, proses monitoring dilakukan dengan menerjunkan langsung pekerja dengan jumlah yang  banyak. Selain itu dengan luasan area yang besar ditambah dengan metoda yang dilakukan manual, penyajian data tentunya akan memakan waktu yang lama dan sangat riskan mengandung kesalahan-kesalahan. Untuk dapat mengurangi kemungkinan kesalahan serta pengefisienan waktu, saat ini fotogrametri dapat menjadi pilihan yang tepat.  Untuk pengerjaan dengan luasan area yang besar serta kepentingan peningkatan produksi hasil dibutuhkan teknologi seperti fotogrametri yang dapat menyajikan sumber data tepat guna sesuai dengan kebutuhan tersebut. Metode dengan teknologi fotogrametri dapat menghasilkan representasi gambar tegak suatu wilayah dalam bentuk peta foto (orthophoto) yang akan sangat membantu dalam proses analisis-analisis yang dibutuhkan seperti penentuan jumlah pohon, wilayah tanam kosong, kesehatan tanaman, dsb. 

Orthophoto atau peta foto awalnya dibuat dengan melakukan proses align atau penggabungan data citra foto yang sebelumnya telah diakuisisi. Kemudian proses align tersebut menghasilkan data sparse point cloud yang merupakan titik-titik jarang yang merepresentasikan titik objek yang memiliki kesamaan posisi dari tiap raw data foto yang berdekatan. Kemudian dilanjutkan dengan menghasilkan foto tegak/orthophoto yang selanjutnya akan dimanfaatkan dalam proses digitasi.

Digitasi merupakan proses mengkonversi data raster menjadi data vektor dimana pada data hasil digitasi tersebut dapat disertakan atribut atau informasi tambahan dari objek yang dimaksud. Pada saat ini, proses digitasi dapat dilakukan dengan menggunakan komputer yang lebih populer dengan sebutan Digitasi on Screen.  Sejauh ini penggunaan hasil dari teknologi fotogrametri dalam industri kelapa sawit adalah dalam analisis menghitung jumlah pokok pohon, kesehatan tanaman, blank spot (area tanam kosong), tinggi pohon dan kondisi topografis wilayah perkebunan. Proses digitasi untuk mendapatkan hasil analisis saat ini umumnya dilakukan secara manual on screen oleh interpretasi manusia dari peta foto (ortophoto/foto tegak) yang dihasilkan.  Jika dibandingkan dengan metoda lama dengan keharusan pengamat terjun langsung ke lapangan guna melakukan analisis, tentu saja metode fotogrametri ini sangat membantu dari segi efektifitas waktu survei dan efisiensi anggaran yang diperlukan. Selain itu, tingkat produksi pekerja menjadi lebih cepat dan efisien sehingga delivery data dapat lebih cepat dilakukan.

Secara garis besar tahapan pengolahan data pada proses penghitungan jumlah pohon sawit dengan metoda manual on screen adalah sebagai berikut:

Orthophoto dapat dihasilkan dengan menggunakan beberapa software pengolahan data foto seperti Agisoft Photoscan, Pix4DMapper, DroneDeploy, APS Menci, dsb. Kemudian dari hasil pengolahan orthophoto tersebut dilakukan pemotongan citra sesuai dengan yang luasan wilayah yang diinginkan. Proses interpretasi merupakan proses dimana objek yang terlihat pada orthophoto dibagi berdasarkan penampakan visualnya yang kemudian ditandai dengan melakukan proses digitasi. Sehingga akhirnya nanti didapatkan sebaran pohon dan analisis lainnya. Beberapa perangkat lunak yang umum digunakan dalam proses digitasi manual on screen adalah ArcGIS, qGIS, GlobalMapper, dsb.

Hasil Digitasi Pohon

Selain menggunakan cara digitasi manual on screen, penghitungan jumlah pohon dan analisis lainnya juga dapat dilakukan secara otomatis dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan. Tentu saja untuk dapat menghasilkan perangkat kecerdasan buatan membutuhkan waktu yang cukup lama dan data orthophoto yang banyak. Dalam hal ini kecerdasan buatan didesain untuk mengidentifikasi objek yang dianalisis terlebih dahulu melalui hasil digitasi manual on screen. Penggunaan kecerdasan buatan dapat mempercepat proses digitasi dan analisis lainnya karena semua proses dijalankan dengan prinsip otomatis.  Dari segi akurasi atau angka kepercayaan, metoda otomatis masih kurang dibandingkan dengan metoda manual on screen. Namun untuk meningkatkan angka kepercayaan dari data yang dihasilkan metoda otomatis, dapat dilakukan penggabungan antara metode digitasi manual on screen dan digitasi otomatis. Berikut tabel beberapa perbandingan antara metode otomatis dan manual on screen:

Aspek PenilaianOtomatisManual
Waktu+
Akurasi+
Identifikasi Pohon Belum Tumbuh+

Selain dengan menggunakan perangkat lunak dengan kecerdasan buatan yang dibuat sendiri, analisis juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak pengolahan data yang dikhususkan untuk analisis sebaran pohon sawit seperti software berbayar eCognition Oil Palm Application.

Fotogrametri Pada Hutan Industri Akasia, Eukaliptus, Dll

Hasil produksi maksimal yang berlimpah merupakan target utama bagi setiap perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan tanaman industri. Untuk mencapai tujuan itu, tentunya perlu dilakukan langkah-langkah tepat guna yang meningkatkan keefisienan dan keefektifan jalannya proses hingga kegiatan produksi dilaksanakan. Penggunaan metode lama dengan prinsip sampling memiliki kemungkinan kesalahan yang besar, sehingga tidak dapat digunakan sebagai patokan atau dasar dari perhitungan perkiraan jumlah hasil produksi yang didapatkan.

Selain industri kelapa sawit, pemanfaatan teknologi fotogrametri juga dapat dilakukan pada tanaman industri lain seperti hutan tanaman industri akasia, eucalyptus, pinus, cemara dsb.  Beberapa analisis yang dapat dilakukan dengan menggunakan orthophoto hasil dari metode fotogrametri diantaranya adalah analisis titik tanam kosong (blankspot), jarak tanam, wilayah banjir, menghitung jumlah pohon, analisis pohon liar yang tumbuh di area tanam hingga sebaran gulma di area tanam.

Blank spot merupakan daerah kosong yang berada dalam kawasan tanam yang tidak ditumbuhi oleh tanaman inti. Blankspot menjadi indikator penentu maksimal atau kurang maksimalnya pemanfaatan luasan lahan yang dapat ditanami. Selain itu, blank spot juga dapat terjadi akibat matinya tanaman sebelum tumbuh dan berkembang sehingga menyebabkan kosongnya wilayah tersebut. Hal ini tentu harus dihindari untuk memaksimalkan produksi yang dihasilkan. Blankspot dapat dengan mudah dianalisis dengan melihat tampakan atas area tanam yang dapat dihasilkan dari survei fotogrametri (orthophoto).

Daerah banjir (flood area) dapat menjadi salah satu penyebab matinya tanaman sebelum tumbuh dan berkembang. Dengan analisis yang didapat dari proses digitasi on screen, flood area akan dapat dengan cepat ditangani. Selain flood area, keberadaan gulma juga dapat menjadi faktor penghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman, bahkan juga dapat menyebabkan tanaman mati sebelum tumbuh. Menurut Nasution (1986):”Gulma merupakan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang tidak diinginkan sehingga menimbulkan kerugian bagi kehidupan manusia. Kerugian yang ditimbulkan antara lain pengaruh persaingan (kompetisi) mengurangi ketersediaan unsur hara tanaman mendorong efek allelophaty “. Zat allelophaty merupakan zat yang bersifat racun bagi tanaman sehingga harus ditanggulangi dengan cepat sebelum berefek besar. Dengan hasil fotogrametri, keberadaan gulma dan sebarannya dapat dengan mudah dianalisis sehingga dapat dilakukan tindak lanjut yang efektif dan efisien.

Sama halnya dengan tanaman kelapa sawit, otomatisasi dengan menggunakan kecerdasan buatan juga dapat dimanfaatkan untuk hutan tanaman industri lainnya. Namun lagi-lagi dibutuhkan waktu yang cukup lama dan data yang banyak untuk membiasakan kecerdasan buatan ini melakukan analisis terhadap objek seperti tanaman inti, daerah banjir, tanaman liar, blank spot, jalan, dan sebagainya secara otomatis.

Selain dengan menggunakan orthophoto, analisis lain dapat dilakukan dengan menggunakan data DEM yang juga dihasilkan dari olahan data fotogrametri. Digital Elevation Model (DEM) adalah gambaran model relief rupabumi tiga dimensi (3D) yang menyerupai keadaan sebenarnya di dunia nyata (real world) divisualisasikan dengan bantuan teknologi komputer grafis dan teknologi virtual reality. Terdapat tiga jenis data elevasi (ketinggian) yang dapat dijadikan sebagai data dasar analisis, yaitu data CHM (Canopy Height Model), DSM (Digital Surface Model), dan data DTM (Digital Terrain Model). CHM merepresentasikan ketinggian suatu objek dari permukaan bumi. Data ini diperoleh dengan melakukan proses pemotongan data DSM oleh data DTM. DSM merupakan bentuk digital dari permukaan tanah (termasuk objek diatasnya) sedangkan DTM merupakan representasi dari dari permukaan tanah yang tidak mengikutsertakan objek-objek yang berada diatasnya. Nilai tinggi objek yang dihasilkan CHM memungkinkan dilakukannya analisis mengenai apakah suatu tanaman memiliki tinggi rata-rata yang sama dengan tinggi tanaman yang seumuran dengannya yang kemudian data tersebut dapat dijadikan sebagai dasar analisis, apakah suatu tanaman tumbuh dan berkembang sesuai dengan rata-rata pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang seumuran dengannya pada umumnya.

Perbedaan Kenampakan DTM dan DSM
Sumber: gisresources.com

Selain dengan menggunakan orthophoto RGB dan data elevasi seperti DTM, CHM, DSM, analisis mengenai tanaman hutan industri juga dapat dilakukan dengan menggunakan orthophoto hasil dari pengambilan data dengan menggunakan kamera dengan sensor multispektral.

Sumber Referensi :

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/02/26/203000426/kementerian-pertanian–lahan-sawit-indonesia-capai-14-03-juta-hektare diakses pada 20/10/2019, 15:09 WIB.

https://docplayer.info/47906778-Teknik-digitasi-oleh-edi-sugiarto-s-kom-m-kom.html  diakses pada 20/10/2019, 15:09 WIB.

Purwanto, TH. 2015. “Digital Terrain Modelling,” Univ. Gadjah Mada.

http://www.gisresources.com/confused-dem-dtm-dsm/ diakses pada 20/10/2019, 17:02 WIB.

https://pertanian.pontianakkota.go.id/artikel/48-gulma-dan-cara-menanggulanginya.html  diakses pada 21/10/2019, 08:31 WIB.

Citra Multispektral UAV Untuk Monitoring Kesehatan Vegetasi

Oleh : Rabby Awalludin

Data penginderaan jauh dengan resolusi tinggi sangat dibutuhkan akhir-akhir ini oleh pemerintah maupun swasta di Indonesia. Pemanfaatannya sangat beragam seperti penyedian peta skala rinci dalam mendukung pembangunan pedesaan, pengembangan wilayah perkotaan, perencanaan pembangunan jalan dan bangunan, analisis kepadatan kota, sebaran vegetasi perkotaan, hingga monitoring perkebunan. Data-data tersebut umumnya dapat diperoleh melalui satelit komersial seperti WorldView, GeoEye, IKONOS, dsb. Namun ketersedian data tersebut terkadang tidak sesuai dengan alokasi waktu yang dianggarkan dalam proyek, karena hasil citra sangat bergantung pada kondisi awan dan biasanya delivery order memakan waktu yang cukup lama. Bahkan untuk beberapa daerah terkadang tidak memiliki data citra satelit sama sekali.

Seiring perkembangan teknologi, dengan keberadaan pesawat tanpa awak (UAV) kini kebutuhan akan citra dengan resolusi tinggi dapat dengan mudah terpenuhi. Pesawat tanpa awak yang kini popular dengan sebutan UAV merupakan mesin terbang yang dikendalikan oleh seorang pilot yang berada di permukaan bumi secara manual maupun otomatis.  Terdapat dua variasi kontrol UAV, variasi pertama yaitu dikontrol melalui pengendali jarak jauh dan variasi kedua adalah pesawat yang terbang secara mandiri berdasarkan program yang dimasukan ke dalam pesawat sebelum terbang. UAV memungkinkan terpenuhinya kebutuhan peta foto yang tidak dipotret oleh satelit, serta dapat diambil sesuai dengan waktu-waktu yang diinginkan. Penggunaan UAV memungkinkan tidak terdapatnya isu awan pada peta foto yang dihasilkan, ini tentunya menjadi poin plus yang membuat UAV menjadi lebih populer saat ini.

Sudah menjadi rahasia umum dimana Indonesia merupakan negara agraris dengan luas hutan tanaman industri yang besar. Secara tidak langsung sektor ini juga ikut andil dalam menumpu pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Peningkatan produksi tentu saja menjadi tujuan utama demi memperbesar keuntungan yang diperoleh dari hasil industri.  Peningkatan jumlah produksi ini haruslah berimbang dengan kegiatan perawatan dan monitoring yang dilakukan.  Kegiatan monitoring dan perawatan ini bertujuan untuk mengontrol pertumbuhan dan perkembangan dari tanaman itu sendiri. Untuk menjawab kebutuhan tersebut, fotogrametri dengan wahana UAV memungkinkan pengambilan gambar dengan menggunakan kamera multispektral yang mana citra ini dapat dimanfaatkan untuk beberapa keperluan sebagai berikut:

  • Monitoring kesehatan tanaman
  • Penyelidikan kesuburan tanah dengan mengidentifikasi kemunculan hama
  • Penanda awal munculnya titik api
  • Dapat dijadikan pendeteksi praktik pencurian kayu yang dilakukan pada malam hari
  • Pendeteksian korban bencana alam yang sulit dijangkau
  • Mendeteksi panas pada komponen listrik secara lebih rinci, yang dapat meminimalisasi timbulnya kerusakan yang parah

Apa yang dimaksud dengan kamera atau sensor multispektral? Berbeda dengan sensor kamera pada umumnya. Sensor kamera pada umumnya merupakan sensor kamera dengan gelombang cahaya visible yang terdiri dari 3 kanal gelombang cahaya yaitu merah, hijau dan biru. Sedangkan untuk kamera sensor multispektral memiliki kanal tambahan seperti Near InfraRed dan beberapa kanal lainnya.  Hasil citra yang dihasilkan oleh kamera multispektral merupakan sebuah gambar yang memiliki data dengan frekuensi yang sangat detail yang disuguhkan dalam spektrum elektromagnetik. Panjang gelombang elektromagnetiknya dibagi ke dalam beberapa filter dengan menggunakan instrumen yang sensitif dengan panjang gelombang, termasuk frekuensi penglihatan manusia (visible). Frekuensi penglihatan manusia berada pada panjang gelombang 400 hingga 700 nm. Ini menyebabkan manusia hanya dapat melihat dan membedakan warna mulai dari ungu hingga merah. Kamera multispektral memungkinkan manusia untuk menggunakan spektrum cahaya lain yang sangat bermanfaat bagi berbagai macam kebutuhan manusia. Berikut beberapa pembagian kanal gelombang cahaya yang ada pada sensor multispektral:

Kanal Biru

Gelombang ini memiliki panjang energi 450-520 nm yang biasa digunakan untuk pencitraan gambar yang ada di atmosfer dan bawah air dengan tingkat kedalaman hingga 50 meter

Kanal Hijau

Gelombang ini memiliki panjang energi dari 520-600 nm yang biasa digunakan untuk pencitraan gambar agrikultural dan struktur bawah air dengan kedalaman hingga 30 meter

Kanal Merah

Memiliki panjang energi 600-690 nm, yang banyak digunakan untuk pencitraan benda-benda buatan manusia, objek di bawah air dengan kedalam 9 m, pertambangan, dan agrikultural

Kanal Near Infrared (NIR)

Spektrum ini memiliki panjang energi 750-900 nm, banyak digunakan untuk kebutuhan agrikultural.

Kanal Mid Infrared (MIR)

Panjang energi dari gelombang ini adalah 1550-1750 nm, yang banyak diaplikasikan pada kebutuhan agrikultural, tingkat kesuburan tanah, dan upaya pemadaman titik api di hutan

Kanal Far Infrared (FIR)

Memiliki panjang gelombang 2080-2350 nm yang banyak digunakan untuk pengontrolan kesuburan tanah, pertambangan, dan pemadaman titik api di hutan

 Kanal Thermal Infrared

Gelombang ini memiliki panjang energi 10400-125000 nm, banyak digunakan untuk kebutuhan pertambangan, upaya pemadaman titik api di hutan, dan penelitian di malam hari.

Beberapa kamera dengan sensor multispektral yang biasa digunakan pada survey fotogrametri adalah sebagai berikut:

  1. Parot Sequoia, merupakan kamera multispektral pertama yang memberikan pengukuran reflektansi absolut tanpa perlu menggunakan target kalibrasi radiometrik. Berkat pipeline pemrosesan radiometrik Pix4D yang baru, Parrot Sequoia + memungkinkan evaluasi yang lebih konsisten terhadap data yang dikumpulkan dan meningkatkan pengalaman pengguna dengan menghilangkan kebutuhan akan target kalibrasi radiometrik. Berat 135gr.
  2. RedEdge, menyediakan banyak pilihan untuk integrasi dari yang berdiri sendiri (di mana Anda hanya menyediakan daya ke kamera) untuk sepenuhnya terintegrasi. Integrasi lanjutan memanfaatkan antarmuka fleksibel termasuk pemicu Ethernet, serial, RTK, dan PWM / GPIO, untuk integrasi yang mulus dengan drone apa pun. Berat 170gr.
(a) Parot Sequioa, (b) Micrasense RedEdge
Sumber: fulldronesolutions.com

Beberapa kanal yang ada kamera multispektral Micasense RedEdge dan tampilan raw data foto yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Terlihat cukup jelas pada contoh-contoh citra pada tabel diatas. Kenampakan abu-abu pada objek pohon terdapat pada citra dengan kanal hijau, NIR dan RedEdge yang menandakan bahwa berkas sinar ketiganya dipantulkan sebagian oleh vegetasi pohon tersebut. Pada kanal merah dan biru, kenampakan objek vegetasi pohon berwarna hitam gelap yang mengindikasikan bahwa berkas sinar pada kanal ini terserap (terabsorbsi) dengan baik oleh vegetasi pohon.

Seperti yang dibahas sebelumnya, hasil dari kamera dengan sensor multispektral dapat digunakan sebagai dasar analisis dari monitoring kesehatan vegetasi (tanaman hijau). Penggunaan kanal untuk keperluan analisis ini biasanya adalah kanal hijau, merah, biru dan Near Infrared (NIR). Kamera digital yang umum saat ini ditengah masyarakat merupakan kamera yang bekerja pada kanal visible (biru, hijau, dan merah) dengan hasilnya merupakan citra seperti yang terlihat oleh mata normal manusia. Kemudian ditambahkan kanal baru yang peka terhadap zat hijau daun yaitu kanal NIR.  Penambahan ini dilakukan agar dapat dengan mudah melakukan analisis terhadap tingkat kehijauan vegetasi atau tanaman hijau pada hasil citra.

Karakteristik pantulan spektral dari vegetasi (tanaman) dipengaruhi oleh kandungan pigmen daun, material organik, air, dan karakteristik struktural daun seperti bentuk dan luas daun (Huete and Glenn, 2011). Spektral merupakan interaksi antara energi elektromagnetik (EM) dengan suatu objek. Objek dimuka bumi memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda satu dengan lainnya sehingga kemampuan dalam memantulkan cahayanya pun berbeda.  Berdasarkan karakteristik pantulan spektralnya, dapat dibagi dua, yaitu spektrum tampak (visible spektrum) dan spektrum NIR. 

Kurva Reflektansi
Sumber: raharjabayu.wordpress.com

Berdasarkan kurva diatas, kanal merah dan biru lebih banyak terserap dari pada dipantulkan pada objek vegetasi sehingga kurang baik jika digunakan sebagai analisis vegetasi. Berbanding terbalik dengan kanal NIR yang pada tanaman hijau lebih banyak dipantulkan daripada diserap, terlihat dari nilai reflektan yang besar. Maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai reflektan dari kanal NIR suatu objek tanaman hijau, maka semakin sehat tanaman hijau tersebut.

Identifikasi kesehatan tanaman hijau tidak cukup hanya dengan menggunakan citra hasil dari kamera multispektral. Terdapat suatu metode lanjutan lain yang menggunakan citra multispektral sebagai data dasar dalam analisisnya. Metode tersebut adalah Normalized Difference Vegetation Index atau yang lebih populer dengan sebutan NDVI. 

Sumber Referensi:

https://www.fulldronesolutions.com diakses pada 17/10/2019 pukul 09:30 WIB

http://jogjasky.com/kamera-multispectral/ diakses pada 17/10/2019 pukul 09:50 WIB

Uktoro I. Arief. 2017. Jurnal Agroteknose. Volume VIII No. II Tahun 2017 ANALISIS CITRA DRONE UNTUK MONITORING KESEHATAN TANAMAN KELAPA SAWIT

http://raharjabayu.wordpress.com diakses pada 17/10/2019 pukul 11:10 WIB


GROUND SAMPLING DISTANCE (GSD)

Oleh : Tike Aprillia Hartini

Pemanfaatan foto udara dan citra satelit telah banyak digunakan dalam berbagai kepentingan, seperti pemetaan, perencanaan wilayah dan kota, kebencanaan, serta kehutanan. Dalam pemanfaatannya foto udara atau citra satelit akan menghasilkan kualitas data yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. Dalam proses perencanaan suatu wilayah yang detail dibutuhkan kualitas foto udara atau citra satelit yang sangat baik agar objek-objek pada foto udara atau citra satelit terlihat jelas dan tajam. Di sisi lain pengguna tidak memerlukan foto udara atau citra satelit yang memiliki kualitas yang sangat baik, jika foto udara atau citra satelit hanya digunakan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan. Dengan kata lain, kualitas foto udara atau citra satelit perlu disesuaikan dengan kebutuhan penggunaannya.

Kualitas foto udara atau citra satelit akan mempengaruhi tinggi terbang dan lamanya pengambilan data. Dalam foto udara dikenal istilah ground sampling distance (GSD), sedangkan dalam citra satelit dikenal istilah resolusi spasial untuk mengetahui kualitas data foto udara atau citra satelit yang diambil. Oleh karena itu, perlu dipahami apa itu GSD dan resolusi spasial agar pengambilan data dapat dilakukan dengan lebih efisien.

Dari penjelasan diatas, muncullah beberapa pertanyaan, Apa itu GSD dan resolusi spasial? Bagaimana hubungan GSD dan tinggi terbang? Bagaimana hubungan GSD/resolusi spasial dan skala yang dihasilkan?

GROUND SAMPLING DISTANCE (GSD) DAN RESOLUSI SPASIAL

Ground Sampling Distance (GSD) adalah atau merupakan ukuran resolusi piksel dari hasil foto udara, baik foto udara dengan kamera metrik maupun foto udara dengan kamera non metrik. GSD dan resolusi spasial memiliki pengertian yang sama. Biasanya dalam foto udara digunakan istilah GSD, sedangkan pada citra satelit digunakan istilah resolusi spasial. GSD atau resolusi spasial menentukan kualitas foto udara atau citra satelit yang dihasilkan. GSD atau resolusi spasial merupakan rasio antara nilai ukuran foto udara atau citra satelit dengan nilai ukuran sebenarnya. Nilai GSD 5 cm/piksel menyatakan bahwa satu piksel pada foto udara sama dengan 5 cm pada ukuran sebenarnya.

Semakin besar nilai GSD pada foto udara, maka resolusi spasial yang dihasilkan akan semakin rendah, dan tingkat kedetailan dari objek-objek pada foto udara akan semakin berkurang. Apabila pengguna ingin mendapatkan hasil foto udara yang jelas dan detail, maka nilai GSD yang digunakan harus kecil.

Ilustrasi Perbedaan Nilai GSD Terhadap Foto Udara Yang Dihasilkan
Sumber: Hasil Olahan

Menurut Sandau (2010), GSD dibagi menjadi dua sesuai dengan arah terbang yaitu GSDx dan GSDy. GSDx merupakan nilai GSD yang searah dengan jalur terbang. Sedangkan GSDy merupakan nilai GSD yang berlawanan dengan arah jalur terbang. Hubungan GSD dengan arah terbang dan tinggi terbang diilustrasikan pada gambar berikut :

Ilustrasi Hubungan GSD Dengan Arah dan Tinggi Terbang
Sumber: Sandau. 2010

Untuk menghitung kedua GSD dapat digunakan rumus sebagai berikut (Sandau, 2010):

dan

dimana:

GSDx       : nilai GSD searah arah terbang,

GSDy       : nilai GSD berlawanan arah terbang,

px             : ukuran resolusi pixel searah jalur terbang,

py             : ukuran resolusi pixel berlawanan arah jalur terbang,

h               : tinggi terbang,

f                : focus lensa kamera.

HUBUNGAN GSD DAN TINGGI TERBANG

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa besarnya GSD ditentukan oleh ketinggian terbang pada saat proses akuisisi data foto udara, sehingga pemotretan harus dilakukan pada ketinggian yang tepat untuk mendapatkan GSD yang diharapkan. Berikut adalah hubungan antara GSD dengan tinggi terbang :

Dari rumus diatas dapat disimpulkan bahwa semakin kecil nilai GSD, maka tinggi terbang harus semakin rendah. Untuk mendapatkan kualitas foto udara yang baik, maka wahana foto udara harus terbang lebih rendah. Hal ini berdampak pada cakupan area yang diakuisisi, sehingga dalam sekali terbang area yang diakuisisi menjadi lebih sedikit dan waktu akuisisi data menjadi lebih lama.

Ilustrasi Tinggi Terbang dan Cakupan Area Yang Diakuisisi

Ketika melakukan pengambilan data dengan ketinggian konstan, terkadang setiap foto tidak memiliki GSD yang sama. Hal ini disebabkan karena perbedaan ketinggian medan dan perubahan sudut kamera saat memotret. Namun pada saat melakukan proses orthomosaic, GSD dari setiap foto akan dihitung dan dirata-ratakan. Sehingga, nilai GSD pada orthomosaic merupakan nilai rata-rata dari setiap foto yang diambil. Orthomosaic merupakan gabungan dari seluruh foto yang telah ditegakkan.

HUBUNGAN GSD/RESOLUSI SPASIAL DAN SKALA

GSD berkaitan dengan kedetailan objek-objek yang diambil pada foto udara. Sehingga apabila foto udara akan didigitasi maka kedetailan objek pada foto udara harus disesuaikan dengan skala peta yang diinginkan. Mr. Tobler, seorang professor pada bidang Geografi dari Universitas California-Santa Barbara, Amerika, menyatakan rumusan kesepadanan antara foto udara atau citra satelit dengan skala peta. Aturan kesepadanan skala peta dan resolusi spasial citra dari Tobler ini adalah “bagi bilangan penyebut skala peta dengan 1000 (penggunaan angka 1000 dimaksudkan agar terdeteksi dalam satuan meter) maka resolusi citra yang sepadan adalah setengah dari hasil pembagian tersebut”.

Sebagai contoh, jika dibutuhkan skala peta 1:1000, maka GSD yang diperlukan adalah 0.5 m. Nilai ini didapatkan dari perhitungan sebagai berikut:

Jika nilai GSD yang diperlukan telah diketahui, maka tinggi terbang dapat ditentukan berdasarkan nilai GSD yang diperlukan.

Dari penjelasan diatas, sebelum melakukan pengambilan foto udara sangatlah penting untuk mengetahui kebutuhan penggunaannya. Sehingga akuisisi data dapat dilakukan dengan lebih efisien. Penentuan GSD, skala peta yang diinginkan, tinggi terbang, dan lamanya pengambilan data harus diperhitungkan dan disesuaikan dengan kebutuhan.

Jadi, apakah ada faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai GSD, menurut Anda?

DAFTAR REFERENSI:

Sandau, Rainer. 2010. Digital Airborne Camera, Introduction and Technology.

Suwargana, Nana. 2013. Resolusi Spasial, Temporal, dan Spektral Pada Citra Satelit Landsat, Spot, dan Ikonos. Jurnal Ilmial WIDYA.

https://support.pix4d.com/hc/en-us/articles/202559809-Ground-sampling-distance-GSD, diakses pada tanggal 21 Oktober 2019.

http://aerogeosurvey.com/2016/09/19/apa-itu-ground-sampling-distance-gsd-atau-resolusi-spasial/, diakses pada tanggal 21 Oktober 2019.