Pos

Mengenal Transfer of Development Rights (TDR)

Mengenal Transfer of Development Rights (TDR)

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Transfer of Development Rights (TDR) adalah salah satu jenis teknik pengaturan zonasi yang digunakan untuk melindungi secara permanen lahan yang memiliki nilai konservasi (seperti lahan pertanian, ruang terbuka masyarakat, atau sumber daya alam atau budaya lainnya) dengan mengarahkan kembali pembangunan yang seharusnya terjadi di lahan tersebut (wilayah pengirim). ke suatu kawasan yang direncanakan untuk menampung pertumbuhan dan perkembangan (daerah penerima).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR memberikan pengertian bahwa teknik pengaturan zonasi ini memungkinkan pemilik tanah untuk menjual haknya untuk membangun kepada pihak lain, sehingga si pembeli dapat membangun propertinya dengan intensitas lebih tinggi. Umumnya, TDR digunakan untuk melindungi penggunaan lahan pertanian atau penggunaan lahan hijau lainnya dari konversi penggunaan lahan, dimana pemilik lahan pertanian/hijau dapat mempertahankan kegiatan pertaniannya dan memperoleh uang sebagai ganti rugi atas haknya untuk membangun.

TDR digunakan untuk menambah intensitas pemanfaatan ruang pada kawasan terbangun dengan kriteria sebagai berikut:

  • hanya dapat diaplikasikan sebagai upaya terakhir setelah tidak ada lagi teknik pengaturan zonasi lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan intensitas pemanfaatan ruang;
  • diaplikasikan pada satu blok peruntukan yang sama. Bila diaplikasikan pada zona yang sama namun antara blok peruntukan berbeda, harus didahului dengan analisis daya dukung daya tampung terkait dengan perubahan intensitas pemanfaatan ruang pada blok peruntukan yang menerima tambahan intensitas ruang; dan
  • hanya dapat diaplikasikan pada zona komersial dan zona perkantoran.

Program TDR berupaya untuk melestarikan nilai aset pemilik tanah dengan memindahkan hak untuk membangun dari lokasi di mana pembangunan dilarang (misalnya untuk alasan lingkungan) ke lokasi di mana pembangunan akan dilakukan. Pada lokasi di mana pembangunan didorong di bawah ketentuan TDR, maka zonasi akan diubah untuk memungkinkan lebih banyak unit yang dibangun. Ini akan memberikan peluang untuk mendapatkan lebih banyak pendapatan dari pembangunan, dibandingkan dengan yang akan diterima oleh pemilik tanah jika tidak ada program TDR. Pendapatan yang diterima dari adanya perubahan zonasi ini merupakan hak bagi pemilik lahan yang telah bersedia menyerahkan hak membangunnya. Jika hal ini berjalan dengan baik, maka tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan secara finansial.

Cara kerja TDR adalah dengan mengalihkan sebagian dari harga pembelian tanah di lokasi yang didorong pembangunannya kepada pemilik tanah di tempat yang dilarang pembangunannya. Pengalihan hak membangun dapat menjaga lahan dengan mengalihkan pembangunan yang seharusnya terjadi di lahan daerah pengirim ke daerah penerima yang cocok untuk pengembangan yang lebih padat. Teknik ini bekerja sehingga pemilik di area pengirim dapat diberi kompensasi atas hak pengembangan mereka yang dialihkan.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, program TDR memberikan kompensasi finansial kepada pemilik tanah karena memilih untuk tidak mengembangkan sebagian atau seluruh tanah mereka. Pada penerapan di beberapa negara lain, pemilik tanah diberikan pilihan di bawah naungan peraturan zonasi untuk secara hukum memutuskan hak pengembangan dari tanah mereka dan menjual hak ini kepada pemilik tanah lain atau pengembang untuk digunakan di lokasi yang berbeda. Tanah yang hak pengembangannya telah terputus dilindungi secara permanen melalui kemudahan konservasi atau perjanjian pembatasan. Nilai pengembangan dari tanah yang hak pengembangannya telah diterapakan pada lokasi lain akan ditingkatkan dengan mengizinkan bentuk pemanfaatan ruang baru atau khusus; kepadatan atau intensitas yang lebih besar; atau fleksibilitas peraturan lainnya. TDR memungkinkan pemilik lahan di area yang umumnya dikategorikan sebagai daerah pertanian atau penggunaan perumahan dengan kepadatan sangat rendah untuk mendapatkan imbalan finansial yang sama seperti pemilik lahan yang berasa di area yang dikategorikan untuk penggunaan lahan pinggiran kota dan perkotaan.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR
  • The World Bank. “Transferable Development Rights”. Diakses 27 September 2021 dari https://urban-regeneration.worldbank.org/node/22
  • Rutgers. “What Is a Transfer of Development Rights (TDR) Program?”. Diakses 27 September 2021 dari https://njaes.rutgers.edu/highlands/transfer-development-rights.php
  • Conservationtools.org. “Transfer of Development Rights”. Diakses 27 September 2021 dari https://conservationtools.org/guides/12-transfer-of-development-rights

RDTR, Investasi dan OSS

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Seperti diketahui, percepatan penyusunan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) sedang dikebut penyelesaiannya oleh Pemerintah. Hal ini dikarenakan ketersediaan dokumen RDTR sangatlah krusial, terutama dalam kaitannya dengan investasi. RDTR dan PZ merupakan suatu kesatuan dokumen yang berperan langsung dalam proses dikeluarkannya Konfirmasi Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) sehingga produk penataan ruang yang dihasilkan diharapkan akan berjalan sesuai dengan rencana dan tersinkronisasi dengan baik.

Melihat peran penting tersebut, tentu ketiadaan RDTR akan berpotensi menghambat pertumbuhan investasi di Indonesia. Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan Djalil, mengakui bahwa telah terdapat beberapa daerah di Indonesia yang telah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), namun tidak dengan RDTR. Ketiadaan RDTR di berbagai daerah akan sangat berpengaruh dengan perkembangan suatu kota/kabupaten. Sebagai contoh, ketiadaan RDTR mungkin saja dapat menyebabkan tumpang tindih kebijakan dikarenakan tidak adanya suatu dokumen pedoman dalam perencanaan pengembangan pemanfaatan ruang, sehingga kondisi suatu kota/kabupaten tersebut menjadi tidak terarah.

Dalam beberapa tahun lalu, Indonesia telah berhasil meraih beberapa peringkat terkait investasi dan kemudahan berusaha secara internasional. Dilansir dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) yang bertajuk “World Investment Report 2017”, Indonesia berhasil menempati posisi ke-4 sebagai negara dengan tujuan investasi paling prospektif periode 2017-2019. Posisi Indonesia berada di bawah Amerika Serikat, Tiongkok, dan India.  Dengan posisi tersebut, Indonesia mengalahkan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.

Terdapat sepuluh indicator yang mengindikasikan peningkatan investasi melalui kemudahan berusaha atau disebut dengan Ease of Doing Business (EoDB), yakni kemudahan memulai usaha; perizinan terkait pendirian bangunan; pendaftaran properti; penyambungan listrik; pembayaran pajak; perdagangan lintas negara; akses perkreditan; perlindungan terhadap investor minoritas; penegakan kontrak; dan penyelesaian perkara kepailitan. Berdasarkan laporan EoDB pada tahun 2018, Indonesia berhasil meraih peringkat ke-72 dunia. Bahkan posisi ini terus meningkat sejak tahun 2015, dimana pada tahun tersebut Indonesia meraih posisi ke-106, kemudian pada tahun 2016 meraih posisi ke-91, dan kemudian pada tahun 2017 (yang dirangkum dalam laporan tahun 2018) meningkat menjadi posisi ke-72. Hal ini kemudian mendorong pemerintah agar kegiatan berinvestasi dapat dipermudah. Terlebih adanya situasi pandemi yang tak terduga, maka pemerintah perlu menyiapkan beberapa strategi agar kegiatan berinvestasi dapat terus berjalan agar sektor ekonomi juga dapat terus berjalan.

Kemudahan investasi perlu didukung dengan implementasi pelayanan perizinan berusaha yang transparan, cepat, sederhana, dan yang terpenting adalah mampu memberikan kepastian. Hal ini juga kemudian mendorong pemerintah untuk menerbitkan Pelayanan sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PBTSE) atau yang lebih dikenal dengan nama sistem Online Single Submission (OSS). Adapun OSS memiliki beberapa manfaat seperti:

  • Mempermudah pengurusan berbagai perizinan berusaha baik prasyarat untuk melakukan usaha (izin terkait lokasi, lingkungan, dan bangunan), izin usaha, maupun izin operasional untuk kegiatan operasional usaha di tingkat pusat ataupun daerah dengan mekanisme pemenuhan komitmen persyaratan izin;
  • Memfasilitasi pelaku usaha untuk terhubung dengan semua stakeholder dan memperoleh izin secara aman, cepat dan real time, karena sebelum adanya OSS pelaku usaha harus memproses perizinan dari beberapa instansi sehingga membutuhkan waktu yang tidak sebentar;
  • Memfasilitasi pelaku usaha dalam melakukan pelaporan dan pemecahan masalah perizinan dalam satu tempat;
  • Memfasilitasi pelaku usaha untuk menyimpan data perizinan dalam satu identitas berusaha atau Nomor Induk Berusaha (NIB). Ketika seseorang mengajukan OSS maka dia akan mendapatkan NIB yang juga berfungsi sebagai Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Angka Pengenal Importir (API) dan akses kepabeanan.

Dalam kaitannya dengan investasi, sistem OSS akan mengintegrasikan data dan informasi rencana tata ruang sehingga diharapkan produk investasi yang dihasilkan dapat tersinkronisasi serta selaras dengan rencana yang telah disahkan. Hal ini tentu merupakan suatu kondisi ideal yang diharapkan oleh semua pihak. Namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa keberadaan dokumen RDTR belum sepenuhnya tersedia di Indonesia. Menteri ATR/BPN, Sofyan A. Djalil menyatakan bahwa sebelumnya tata ruang menjadi salah satu hal yang menghambat investasi. Dikatakan bahwa “Ada investasi yang tidak bisa dilakukan karena tata ruangnya belum ada, atau tata ruang dalam proses pembaharuan namun belum disahkan, atau terkendala perundang-undangan di daerah, tentu ini sangat menyangkut investasi,” ucapnya seperti dilansir dari laman Kementerian ATR/BPN. Ke depannya, pemerintah berupaya untuk terus memperbaiki pelayanan administrasi pertanahan. Saat ini telah terdapat 4 layanan pertanahan yang berbasis digital yakni mulai dari Pengecekan Sertipikat, Informasi Zona Nilai Tanah, Hak Tanggungan Elektronik, serta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah.


Bahan Bacaan

  • Riyadi, Dodi S. 2019. “Percepatan Penetapan RDTR dan Dampaknya Terhadap Peningkatan Investasi” dalam Buletin Penataan Ruang (hlm. 18-24). Jakarta: Kementerian ATR/BPN.
  • Kementerian ATR BPN. 2021. “Sukseskan Pembangunan Infrastruktur, Kementerian ATR/BPN Tegaskan Kepastian Hak Atas Tanah di Indonesia”. Diakses 22 September 2021 dari https://www.atrbpn.go.id/?menu=baca&kd=5DrT8Q3GECv7rY67osANHpZczLBhiplfzQbakF3Xfj7GjZCNvhAAfNzpDEc3bdA9
  • Kontan. 2020. “Masih sedikitnya RDTR dinilai akan hambat investasi di daerah”. Diakses 23 September 2021 dari https://nasional.kontan.co.id/news/masih-sedikitnya-rdtr-dinilai-akan-hambat-investasi-di-daerah

Pengembangan Infrastruktur melalui Tata Ruang

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Infrastruktur berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat, khususnya masyarakat di Indonesia. Hal ini dikarenakan infrastruktur merupakan roda penggerak ekonomi. Dengan adanya infrastruktur yang berkualitas, maka akan dapat memberikan peningkatan kualitas hidup serta kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Dilansir dari laman Kementerian Investasi/BKPM, terdapat beberapa manfaat positif dari ketersediaan infrastruktur yang memadai, yakni:

  • Pemerataan pembangunan. Dengan kemampuan ekonomi yang lebih baik, sebuah daerah maupun negara dapat menghidupi dirinya sendiri. Setelah tercapainya infrastruktur yang baik, maka semua akan mendapatkan kesempatan yang sama untuk terlibat dalam proses ekonomi di dalamnya.
  • Menciptakan lapangan kerja baru.
  • Membantu pemerataan pertumbuhan ekonomi. Dengan terbukanya kesempatan seperti ini melalui pembangunan infrastruktur Indonesia, maka akan semakin banyak juga investor yang ikut serta memajukan daerah tersebut dan membuat Indonesia semakin mencapai apa yang telah dicita-citakan selama ini.

Hasil studi yang dilakukan oleh World Bank pada tahun 1994 menyatakan bahwa elastisitas PDB (Produk Domestik Bruto) terhadap infrastruktur di suatu negara adalah antara 0,07 sampai dengan 0,44. Hal ini berarti dengan kenaikan 1 (satu) persen saja ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 7% sampai dengan 44%. Inilah mengapa pemerintah terus berupaya menyediakan beragam infrastruktur di seluruh penjuru negeri dengan harapan kesejahteraan dapat segera meningkat.

Pemerintah melalui Kementerian PUPR melakukan pembangunan infrastruktur di Indonesia dengan menggunakan pendekatan pengembangan wilayah yang berupa stratego Wilayah Pengembangan Strategis (WPS) yang direncanakan terdiri dari 35 WPS yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Pendekatan WPS menjadi basis dari perencanaan keterpaduan pembangunan infrastruktur. Selain itu, pendekatan kewilayahan juga dilakukan agar pembangunan dapat sesuai dengan daya dukung dan daya tampung suatu wilayah.

Terdapat beberapa isu strategis serta permasalahan yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam pengembangan infrastruktur wilayah, diantaranya adalah:

  • Penurunan ketimpangan antar wilayah, dimana kemiskinan di barat dan kawasan timur Indonesia yang tinggi, ketimpangan pendapatan perdesaan perkotaan dan konsentrasi kegiatan ekonomi di kawasan barat Indonesia terutama Pulau Jawa.
  • Pemenuhan pelayanan dasar dan peningkatan daya saing daerah yang dikarenakan akses dan kualitas pelayanan dasar yang masih terbatas.
  • Pengelolaan urbanisasi, dimana penduduk perkotaan yang akan mencapai 60 persen dan bonus demografi 2030, serta kontribusi urbanisasi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang rendah.
  • Isu pemanfaatan ruang. Belum optimalnya pengelolaan ruang yang berdasarkan RTR baik di perkotaan maupun perdesaan yang berdampak terhadap dukungan pembangunan infrastruktur dan daya dukung lingkungan.
  • Isu pendanaan, kebutuhan akan pembangunan infrastruktur sangatlah tinggi, namun tidak diimbangi dengan kondisi keuangan yang terbatas.

Dalam pengembangan infrastruktur PUPR, pemerintah mengacu pada arahan kebijakan pembangunan nasional. Beberapa fokus dan lokus penanganan antara lain: Kawasan Strategis Prioritas Nasional yakni 12 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, 20 Kawasan Strategis Industri, 12 Kawasan Strategis Perdesaan, 10+1 Kawasan Strategis Kota Baru, 24 Kawasan Strategis Pelabuhan, 12 Kawasan Strategis Ekonomi Khusus, 10 Kawasan Strategis Perbatasan, 12 Kawasan Strategis Metropolitan, dan 12 Kawasan Strategis Bandar Udara.

Proses perencanaan yang terpadu dapat tercapai melalui ketersediaan dokumen penataan ruang. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan dengan mengacu pada dokumen perencanaan ruang yang ada. Hal ini seperti disampaikan oleh Kepala BPIW Kementerian PUPR, Hadi Sucahyono, yang menyatakan bahwa Perencanaan terpadu pembangunan infrastruktur PUPR dan pengembangan wilayah yang dilakukan BPIW mengacu pada Rencana Tata Ruang sesuai hirarki sejak dari RTR Nasional, RTRWN, RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota dan RDTR. Dalam kaitannya dengan pengembangan infrastruktur pada daerah yang belum memiliki dokumen rencana tata ruang yang disahkan, maka dilakukan assessment potensi dan masalah serta kebutuhan infrastruktur sebagai dasar penyusunan rencana dan program, yang juga dilakukan dengan pembahasan bersama dengan daerah. Pembangunan infrastruktur tidak dapat dipisahkan dengan arahan pemanfaatan ruang sehingga koordinasi dan komunikasi yang baik antar Kementerian/Lembaga harus terus diperlukan.


Bahan Bacaan

  • Buletin Penataan Ruang Kementerian ATR/BPN
  • BKPM. “Pentingnya Pembangunan Infrastruktur Indonesia Untuk Investasi”. Diakses 20 September 2021 dari https://www.investindonesia.go.id/id/artikel-investasi/detail/pentingnya-pembangunan-infrastruktur-indonesia-untuk-investasi
  • Haris, Abdul. “Pengaruh Penatagunaan Tanah Terhadap Keberhasilan Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi”.  Bappenas. Diakses 20 September 2021 dari https://bappenas.go.id/files/3013/5228/3483/05abdul__20091014131228__2260__0.pdf

Mengenal ITBX dalam Peraturan Zonasi

Ketika mendengar peraturan zonasi, istilah matriks ITBX tentu bukan hal yang asing untuk didengar. Seperti diketahui, peraturan zonasi disusun untuk setiap zona peruntukan baik zona budidaya maupun zona lindung dengan memperhatikan esensi fungsinya yang ditetapkan dalam rencana rinci tata ruang dan bersifat mengikat/regulatory. Peraturan zonasi terdiri atas aturan dasar dan teknik pengaturan zonasi. Aturan dasar yang terdapat di dalam peraturan zonasi inilah yang akan mengikat ketentuan ruang melalui ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan yang merupakan materi wajib daro dokumen RDTR dan PZ.

Di dalam Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR, defiinisi dari ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan adalah ketentuan yang berisi kegiatan dan penggunaan lahan yang diperbolehkan, kegiatan dan penggunaan lahan yang bersyarat secara terbatas, kegiatan dan penggunaan lahan yang bersyarat tertentu, dan kegiatan dan penggunaan lahan yang tidak diperbolehkan pada zona lindung maupun zona budi daya. Ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan dirumuskan berdasarkan ketentuan maupun standar yang terkait dengan pemanfaatan ruang, ketentuan dalam peraturan bangunan setempat, dan ketentuan khusus bagi unsur bangunan atau komponen yang dikembangkan.

  • Klasifikasi I

Merupakan klasifikasi untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan/diizinkan. Kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi I memiliki sifat sesuai dengan peruntukan ruang yang direncanakan. Pemerintah kabupaten/kota tidak dapat melakukan peninjauan atau pembahasan atau tindakan lain terhadap kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi I.

  • Klasifikasi T

Merupakan klasifikasi untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang bersyarat secara terbatas. Pemanfaatan bersyarat secara terbatas bermakna bahwa kegiatan dan penggunaan lahan dibatasi dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. pembatasan pengoperasian, baik dalam bentuk pembatasan waktu beroperasinya suatu kegiatan di dalam subzone maupun pembatasan jangka waktu pemanfaatan lahan untuk kegiatan tertentu yang diusulkan;
  2. pembatasan luas, baik dalam bentuk pembatasan luas maksimum suatu kegiatan di dalam subzona maupun di dalam persil, dengan tujuan untuk tidak mengurangi dominansi pemanfaatan ruang di sekitarnya; dan
  3. pembatasan jumlah pemanfaatan, jika pemanfaatan yang diusulkan telah ada mampu melayani kebutuhan, dan belum memerlukan tambahan, maka pemanfaatan tersebut tidak boleh diizinkan atau diizinkan terbatas dengan pertimbangan-pertimbangan khusus.
  • Klasifikasi B

Merupakan klasifikasi untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang bersyarat tertentu. Hal ini bermakna bahwa untuk mendapatkan izin atas suatu kegiatan atau penggunaan lahan diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu yang dapat berupa persyaratan umum dan persyaratan khusus, dapat dipenuhi dalam bentuk inovasi atau rekayasa teknologi. Persyaratan dimaksud diperlukan mengingat pemanfaatan ruang tersebut memiliki dampak yang besar bagi lingkungan sekitarnya. Beberapa contoh persyaratan umum diantaranya adalah dokumen AMDAL, dokumen UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan), serta pengenaan disinsentif misalnya biaya dampak pembangunan (development impact fee).

  • Klasifikasi X

Merupakan klasifikasi untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak diperbolehkan. Artinya, kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi X memiliki sifat tidak sesuai dengan peruntukan lahan yang

direncanakan dan dapat menimbulkan dampak yang cukup besar bagi lingkungan di sekitarnya. Kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi X tidak boleh diizinkan pada zona yang bersangkutan.

Contoh Matriks ITBX di Kawasan Perkotaan Pangururan, Sumatera Utara

Sumber: Dokumen Laporan RDTR Kawasan Perkotaan Pangururan

Untuk menentukan ITBX pada setiap persil, terdapat beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan yang tercantum di dalam Permen ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR, diantaranya adalah:

Pertimbangan Umum

Pertimbangan umum berlaku untuk semua jenis penggunaan lahan, seperti kesesuaian dengan RTRW kabupaten/kota, keseimbangan antara kawasan lindung dan kawasan budi daya, kelestarian lingkungan, perbedaan sifat kegiatan bersangkutan terhadap fungsi zona terkait, definisi zona, kualitas lokal minimum, toleransi terhadap tingkat gangguan dan dampak terhadap peruntukan yang ditetapkan, serta kesesuaian dengan kebijakan lainnya.

Pertimbangan Khusus

Berlaku untuk masing-masing karakteristik guna lahan, kegiatan atau komponen yang akan dibangun. Pertimbangan khusus dapat disusun berdasarkan rujukan mengenai ketentuan atau standar yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang, rujukan mengenai ketentuan dalam peraturan bangunan setempat, dan rujukan mengenai ketentuan khusus bagi unsur bangunan atau komponen yang dikembangkan.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR

Mengenal Teknik Pengaturan Zonasi

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Peraturan zonasi disebut-sebut sebagai buku manual dalam hal perencanaan tata ruang kota sehingga keberadaannya memiliki peran yang sangat penting. Tanpa adanya peraturan zonasi, maka pengembangan pembangunan ruang kota dapat menjadi tidak terarah. Dalam dokumen peraturan zonasi, dapat diterapkan beberapa pengaturan tambahan untuk menjembatani kekakuan perencanaan demi mendapatkan manfaat yang lebih luas ke depannya, yang seringkali disebut sebagai teknik pengaturan zonasi. Teknik pengaturan zonasi berfungsi untuk memberikan fleksibilitas dalam penerapan peraturan zonasi dasar serta memberikan pilihan penanganan pada lokasi tertentu sesuai dengan karakteristik, tujuan pengembangan, dan permasalahan yang dihadapi pada zona tertentu, sehingga sasaran pengendalian pemanfaatan ruang dapat dicapai secara lebih efektif.

Teknik pengaturan zonasi adalah aturan yang disediakan untuk mengatasi kekakuan aturan dasar di dalam pelaksanaan pembangunan. Penerapan teknik pengaturan zonasi tidak dapat dilakukan secara serta-merta, melainkan harus direncanakan sejak awal mengenai teknik apa saja yang akan diaplikasikan dan didukung oleh perangkat dan kelembagaan yang auditable. Teknik pengaturan zonasi dapat dipilih dari berbagai alternatif dengan mempertimbangkan tujuan pengaturan yang ingin dicapai. Setiap teknik mempunyai karakteristik, tujuan, konsekuensi dan dampak yang berbeda. Oleh karena itu, pemilihannya harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Terdapat beberapa jenis peraturan zonasi yang dapat diterapkan, yaitu:

  • Transfer Development Right

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang memungkinkan pemilik tanah untuk menjual haknya untuk membangun kepada pihak lain, sehingga si pembeli dapat membangun properti dengan intensitas lebih tinggi. Umumnya, TDR digunakan untuk melindungi lahan yang bersifat konservatif.

  • Bonus Zoning

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang memberikan izin kepada pengembang untuk meningkatkan intensitas pemanfaatan ruang melebihi aturan dasar, dengan kompensasi berupa penyediaan sarana publik tertentu.

  • Conditional Uses

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang memungkinkan suatu pemanfaatan ruang yang dianggap penting atau diperlukan keberadaannya untuk dimasukkan ke dalam satu zona peruntukkan tertentu.

  • Zona Performa (Performance Zoning)

Merupakan ketentuan pengaturan pada satu atau beberapa zona/subzone dalam satu blok atau beberapa blok yang aturannya tidak didasarkan pada aturan perspektif, namun didasarkan pada kualitas kinerja tertentu yang ditetapkan.

  • Zona Fiskal (Fiskal Zoning)

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang ditetapkan pada satu zona atau beberapa zona yang berorientasi kepada peningkatan pendapatan daerah.

  • Zona Pemufakatan Pembangunan (Negotiated Development)

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang memberikan fleksibilitas dalam penerapan peraturan zonasi yang diberikan dalam bentuk peningkatan intensitas pemanfaatan ruang yang didasarkan pada pemufakatan pengadaan lahan untuk infrastruktur dan/atau fasilitas publik. Dapat diterapkan sebagai bentuk insentif imbalan.

  • Zona Pertampalan Aturan (Overlay Zone)

Merupakan peraturan zonasi yang memberikan fleksibilitas dalam penerapan peraturan zonasi yang berupa pembatasan intensitas pembangunan melalui penerapan dua atau lebih aturan.

  • Zona Ambang (Floating Zone)

Merupakan ketentuan pengaturan pada blok peruntukkan yang diambangkan pemanfaatan ruangnya dan peruntukkan ruangnya ditentukan kemudian berdasarkan perkembangan pemanfaatan ruang pada blok peruntukkan tersebut.

  • Zona Banjir (Flood Plain Zone)

Merupakan teknik pengaturan zonasi pada zona rawan banjir untuk mencegah atau mengurangi kerugian akibat banjir.

  • TPZ Khusus

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang memberikan pembatasan pembangunan untuk mempertahankan karakteristik dan/atau objek khusus yang dimiliki zona, yang penetapan lokasinya dalam peraturan zonasi. Dapat diterapkan sebagai bentuk disinsentif pemberian persyaratan tertentu dalam perizinan.

  • Zona Pengendalian Pertumbuhan (Growth Control)

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang diterapkan melalui pembatasan pembangunan dalam upaya melindungi karakteristik kawasan. Dapat diterapkan sebagai bentuk disinsentif persyaratan tertentu dalam perizinan.

  • Zona Pelestarian Cagar Budaya

Merupakan teknik pengaturan zonasi yang memberikan pembatasan pembangunan untuk mempertahankan bangunan dan situs yang memiliki nilai budaya tertentu. Dapat berupa persyaratan khusus dalam perizinan untuk tidak merubah struktur dan bentuk asli bangunan.

  • TPZ Lainnya

Merupakan teknik pengaturan zonasi lainnya yang tidak termasuk pada jenis TPZ dan dapat didefinisikan sesuai dengan kebutuhan masing-maisng pemerintah daerah.

Salah satu contoh penerapan teknik peraturan zonasi adalah pembangunan Simpang Susun Semanggi yang menerapkan teknik pengaturan zonasi berupa bonus zoning. Pembangunan Jalan Simpang Susun Semanggi yang didanai oleh kompensasi dari perhitungan penambahan ketinggian bangunan beberapa gedung di sekitar Simpang Semanggi. Dilansir dari okezone, pembiayaan proyek SSS bersumber dari nilai kompensasi pelampauan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) satu pengembang properti di kawasan Semanggi, yakni PT Mitra Panca Persada, satu anak perusahaan dari Grup Mori Building Company. Perusahaan tersebut mengajukan peningkatan KLB dari standar yang ditetapkan, yakni dari KLB-7 menjadi KLB-13.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR
  • Okezone. 2017. “Simpang Susun Semanggi Resmi Beroperasi, Jokowi: Ini Jantung Indonesia”. Diakses 6 September 2021 dari https://economy.okezone.com/read/2017/08/18/320/1758262/simpang-susun-semanggi-resmi-beroperasi-jokowi-ini-jantung-indonesia

Wilayah Perencanaan di dalam RDTR

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Dalam proses menyusun RDTR, terdapat satu langkah penting yang ditetapkan lebih awal untuk dapat menyusun perencanaan ruang yang mendetail, yaitu melakukan delineasi WP dan menetapkan tujuan penataannya. Seperti diketahui bahwa penyusunan RDTR didasarkan pada area WP terpilih sehingga dengan menetapkan tujuan penataannya maka proses analisis wilayah akan semakin terarah sesuai dengan tujuan awal yang telah ditetapkan. Penetapan tujuan ini tentu saja harus seirama dengan peraturan yang ada di atasnya sehingga akan terjadi keselarasan dalam pengembangannya kelak.

Wilayah Perencanaan atau disingkat WP merupakan bagian dari kabupaten/kota yang akan atau perlu disusun RDTRnya. Wilayah perencanaan di dalam RDTR ditetapkan oleh kepala daerah. Penetapan WP dapat mencakup wilayah administratif maupun fungsional. WP dapat dipilih berdasarkan kriteria-kriteria yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik dari kawasan perkotaan di wilayah perencanaan. Kriteria dan pertimbangan dalam melakukan delineasi WP dapat didasarkan pada beberapa aspek, seperti kesesuaian terhadap arahan peruntukan ruang, kajian kemampuan lahan, peluang pengembangan, kebijakan kawasan hutan dan peta bidang tanah, kawasan rawan bencana, aspek fisik wilayah, aspek penanganan sempadan pantai, arahan tema pengembangan peraturan di atasnya, dan sebagainya. Beberapa aspek pertimbangan dalam merumuskan delineasi WP akan menghasilkan wilayah perencanaan yang akan didetilkan lebih lanjut di dalam RDTR dan PZ.

Dalam menentukan delineasi ataupun analisis terhadap WP, perlu dilakukan pemahaman kedudukan dan keterkaitan WP dalam sistem yang lebih luas, seperti dalam kaitannya dengan aspek sosial, ekonomi, lingkungan, sumber daya, sistem prasarana, budaya, pertahanan, kemananan, dan lainnya. Atau dalam sistem regional, keterkaitan tersebut dalam berupa sistem kota, wilayah lainnya, kabupaten atau kota yang berbatasan, atau bahkan pulau, di mana WP dapat berperan secara strategis. Setelah itu, maka hal yang perlu dilakukan adalah menentukan tujuan dari penataannya. Adapun tujuan penataan WP berfungsi sebagai:

  • Acuan untuk penyusunan rencana pola ruang, penyusunan rencana struktur ruang, penyusunan ketentuan pemanfaatan ruang, dan penyusunan peraturan zonasi
  • Untuk menjaga konsistensi dan keserasian pengembangan kawasan perkotaan dengan RTRW kabupaten/kota

Berdasarkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR, perumusan tujuan penataan WP didasarkan pada 3 hal, yakni: arahan pencapaian sebagaimana ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota; isu strategis WP, yang antara lain dapat berupa potensi, masalah, dan urgensi penanganan; dan karakteristik wilayah perencanaan. Sedangkan tujuan penataannya dirumuskan dengan mempertimbangkan keseimbangan dan keserasian antarbagian dari wilayah kabupaten/kota; fungsi dan peran WP; potensi investasi; keunggulan dan daya saing WP; kondisi sosial dan lingkungan WP; peran dan aspirasi masyarakat dalam pembangunan; dan prinsip-prinsip yang merupakan penjabaran dari tujuan tersebut. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam menetapkan tujuan penataan atau tema pengembangan kawasan perencanaan adalah perlunya memperhatikan arah perkembangan perkotaan di masa yang akan datang, seperti disampaikan oleh Direktur Pembinaan Perencanaan Tata Ruang dan Pemanfaatan Ruang Daerah, Kementerian ATR BPN.

Setiap WP ataupun SWP (sub wilayah perencanaan) terdiri atas blok yang dibagi berdasarkan batasan fisik antara lain seperti jalan, sungai, dan sebagainya. Dalam hal luas WP relatif kecil, rencana pola ruang dapat digambarkan secara langsung ke dalam blok. Zona dapat dibagi lagi menjadi subzona. Apabila dampaknya kecil dan tidak memiliki urgensi pengaturan, maka tidak perlu diklasifikasikan sebagai zona dan cukup dimasukkan ke dalam daftar kegiatan pada matriks ITBX. Penjabaran zona menjadi sub zona harus memperhatikan dua hal yaitu:

a. perbedaan dasar pengertian antara zona peruntukan ruang dengan kegiatan; dan

b. hakekat zona adalah fungsi ruang, dan penjabarannya pun sebaiknya mengikuti perbedaan fungsi ruang.

Dalam menuangkannya ke dalam peta, apabila WP terlalu luas untuk digambarkan ke dalam satu peta berskala 1:5.000, maka peta, baik peta struktur ataupun pola ruang dapat digambarkan kedalam beberapa lembar peta berdasarkan SWP.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR
  • Atrbpn.go.id

Mengenal Peraturan Zonasi (PZ)

Arszandi Pratama dan Galuh Shita

Peraturan Zonasi atau disebut dengan zoning regulation, merupakan perangkat aturan pada skala blok yang umum digunakan di negara maju dikarenakan pola ruang wilayah yang ada didasarkan pada pola pengembangan blok kawasan. Hal ini berbeda dengan di Indonesia, sehingga ketentuan peraturan zonasi disesuaikan dengan kondisi pengembangan pola ruang yang umumnya menggunakan delineasi administratif. Pada beberapa negara, istilah peraturan zonasi biasa disebut dengan zoning code, land development code, zoning ordinance, zoning resolution, zoning by law, dan sebagainya.

Peraturan Zonasi disusun untuk setiap zona peruntukkan yang terdapat di dalam dokumen RDTR, baik zona budidaya maupun zona lindung. Pada setiap zona peruntukkan akan berlaku satu aturan dasar tertentu yang mengatur perpetakan, kegiatan, intensitas ruang dan taat bangunan. Peraturan zonasi atau disingkat PZ merupakan ketentuan yang tidak terpisahkan dari dokumen RDTR yang memiliki fungsi penting sebagai:

  • Perangkat operasional pengendalian pemanfaatan ruang
  • Acuan dalam pemberian rekomendasi Keseuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, termasuk di dalamnya air right development dan pemanfaatan ruang di bawah tanah
  • Acuan dalam pemberian insentif dan disinsentif
  • Acuan dalam pengenaan sanksi
  • Rujukan teknis dalam pengembangan atau pemanfaatan lahan dan penetapan lokasi investasi

Selain itu, peraturan zonasi juga bermanfaat untuk menjamin dan menjaga kualitas ruang WP minimal yang ditetapkan; menjaga kualitas dan karakteristik zona dengan meminimalkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik zona; serta meminimalkan gangguan atau dampak negatif terhadap zona.

Peraturan zonasi terdiri dari aturan dasar dan teknik pengaturan zonasi. Aturan dasar menjadi materi wajib yang harus disediakan dalam proses perencanaan dokumen sementara teknik pengaturan zonasi merupakan materi pilihan yang bersifat tidak wajib atau dapat dilampirkan apabila diperlukan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR. Terdapat perbedaan muatan PZ berdasarkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2018 dengan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021, Adapun perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Perbandingan Perubahan Substansi RDTR

Aturan dasar yang terdapat di dalam PZ merupakan rangkaian persyaratan pemanfaatan ruang, yang meliputi ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan, ketentuan intensitas pemanfaatan ruang, ketentuan tata bangunan, ketentuan prasarana dan sarana minimal, ketentuan khusus, dan/atau ketentuan pelaksanaan. Sementara teknik pengaturan zonasi merupakan ketentuan lain dari zonasi konvensional yang dikembangkan untuk memberikan fleksibilitas dalam penerapan aturan zonasi dan ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam penerapan peraturan zonasi dasar, mempertimbangkan kondisi kontekstual kawasan dan arah penataan ruang. Teknik pengaturan zonasi dapat berupa transfer development right (TDR), bonus zoning, conditional use, dan lainnya. Penerapan teknik pengaturan zonasi dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan.

RDTR bersama dengan PZ menjadi sebuah dokumen penting yang dapat mengatur pemanfaatan ruang secara mendetil. Tentunya disertai dengan perhitungan terkait dengan kepadatan serta kondisi lingkungan dari area yang diberikan ketentuan ruang. Dengan kata lain, peraturan zonasi merupakan salah satu instrumen penting dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini dikarenakan peraturan zonasi ini dapat menjadi rujukan dalam perizinan, penerapan insentif/disinsentif, penertiban ruang, menjadi jembatan dalam penyusunan rencana tata ruang yang bersifat operasional, serta dapat menjadi panduan teknis dalam pengembangan/pemanfaatan lahan.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan PZ
  • Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR
  • Simtaru Serang Kota. 2017. “Peraturan Zonasi”. Diakses 4 Agustus 2021 dari https://simtaru.serangkota.go.id/index.php/blog/2017/06/peraturan-zonasi