Upaya Pengurangan Risiko Bencana

Galuh Shita

Pengurangan risiko bencana adalah konsep dan praktek mengurangi risiko bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisa dan mengurangi faktor-faktor penyebab bencana. Beberapa contoh upaya yang dilakukan mencakup upaya mengurangi paparan terhadap bahaya, mengurangi kerentanan manusia dan properti, manajemen terhadap pengelolaan lahan dan lingkungan, meningkatkan kesiapan terhadap dampak bencana, dan lainnya. Pengurangan risiko bencana meliputi manajemen bencana, mitigasi bencana dan kesiapsiagaan bencana. Tak hanya itu, pengurangan risiko bencana juga merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan.

Upaya pengurangan risiko bencana sangat penting untuk dilakukan. Bahkan, perlu untuk diupayakan pengarusutamaannya dalam setiap aspek kehidupan. Peristiwa bencana tidak dapat dihindari, namun upaya pengurangan risikonya sangat penting untuk dioptimalkan sehingga pada saat terjadi bencana, masyarakat dapat segera melenting balik dan pulih dengan cepat.

Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa pengurangan risiko bencana dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam situasi sedang tidak terjadi bencana, yang mencakup kegiatan:

  • pengenalan dan pemantauan risiko bencana
  • perencanaan partisipatif penanggulangan bencana
  • pengembangan budaya sadar bencana
  • peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana
  • penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana

Upaya menyelenggarakan pengurangan risiko bencana tidaklah mudah untuk dilakukan, perlu kerja sama dari seluruh pihak agar upaya ini dapat berjalan dan terselenggarakan dengan baik. Hal ini dikarenakan bencana merupakan urusan bersama. Upaya pengurangan risiko bencana dapat dilakukan dengan menyiapkan instrumen manajemen kebencanaan dengan baik. Manajemen penanggulangan bencana sendiri dapat didefinisikan sebagai segala upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang dilakukan pada tahapan sebelum, saat dan setelah bencana.

Manajemen penanggulangan bencana merupakan suatu proses yang dinamis, yang dikembangkan dari fungsi manajemen klasik yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pembagian tugas, pengendalian dan pengawasan dalam penanggulangan bencana. Proses tersebut juga melibatkan berbagai macam organisasi yang harus bekerjasama untuk melakukan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan akibat bencana.

Siklus Penanggulangan Bencana

Sumber: Diolah dari Panduan Perencanaan Kontinjensi Menghadapi Bencana, BNPB

Dari keseluruhan kegiatan manajemen kebencanaan, poin terpenting yang perlu untuk dipersiapkan berada pada fase pra bencana. Pada fase ini, sangat penting untuk dapat meningkatkan upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta penguatan sistem peringatan dini. Hal ini juga sesuai dengan poin yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di mana dalam situasi tidak terjadi bencana, lingkup kegiatan yang dapat dilakukan adalah mencakup perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, dan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

Secara umum, upaya pengurangan risiko bencana dapat dilaksanakan melalui beberapa langkah berikut:

  • Pengaturan pemanfaatan ruang secara spasial. Perencanaan tata ruang berperan penting dalam membantu mewujudkan produk tata ruang yang baik dan berkualitas, termasuk di dalamnya mencakup aspek kebencanaan. Pengaturan pemanfaatan ruang dapat dimulai dengan pemetaan daerah rawan bencana, kemudian mengalokasikan pemanfaatan ruang untuk pembangunan berintensitas tinggi ke luar area rawan bencana. Sedangkan perencanaan pemanfaatan ruang di daerah rawan bencana perlu diatur secara tepat dan optimal untuk mengurangi potensi hingga dampak negatif yang dapat muncul.
  • Pengoptimalan rekayasa teknis bangunan. Umumnya berupa rekayasa teknis terhadap bangunan, lahan, ataupun infastruktur yang disesuaikan dengan kondisi, keterbatasan, dan ancaman bencana. Misalnya konstruksi bangunan rumah tahan gempa.
  • Peningkatan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Permasalahan akibat bencana cukup rumit, bahkan seringkali menimpa kawasan dengan kondisi masyarakat yang cukup rentan seperti kemiskinan, kurangnya kewaspadaan, ketidakberdayaan, sulitnya aksesibilitas, dan sebagainya. Peningkatan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat untuk mengurangi tingkat kerentanan dan keterisolasian menjadi penting untuk dilakukan. Untuk mewujudkannya, diperlukan elemen-elemen penting seperti adanya tokoh penggerak masyarakat; tersedianya konsep penanggulangan dan penanganan bencana alam yang jelas; adanya objek aktivitas masyarakat yang jelas; kuatnya kohesivitas masyarakat setempat, bahasa komunikasi kerakyatan yang tepat berbasis pada kearifan budaya lokal; serta jaringan informasi yang mudah diakses.
  • Kelembagaan. Terkait dengan kelembagaan, ada beberapa hal yang harus dipenuhi, yaitu struktur organisasi dan tata cara kerja yang jelas; fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang aplikatif; serta tercukupinya ketersediaan sumberdaya manusia, pembiayaan, dan perlengkapan.
  • Pengkajian potensi dan risiko bencana. Upaya ini merupakan sebuah pendekatan untuk memperlihatkan potensi negatif yang mungkin timbul akibat suatu bencana yang melanda. Hal ini perlu dilakukan secara sistematis dan akademis, sehingga hasil kajian tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Hasil kajian akan menjadi acuan dan berperan penting dalam menentukan kebijakan dasar dalam upaya pengurangan risiko di suatu wilayah yang sistematis dan terencana. Pengkajian ini tercakup di dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), yang terdapat baik dalam lingkup nasional ataupun lingkup daerah kabupaten/kota.

Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Widiati, Ati. “Aplikasi Manajemen Risiko Bencana Alam dalam Penataan Ruang Kabupaten Nabire”. Dalam Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol 10 Tahun 2008

Sistem Penanggulangan Bencana di Indonesia

Galuh Shita

Berbicara tentang kebencanaan sudah pasti akan berkaitan erat dengan banyak pihak. Seperti diketahui bahwa aspek kebencanaan merupakan salah satu aspek penting yang perlu untuk diwaspadai dan dipersiapkan sedemikian rupa agar pada saat bencana terjadi, dampak negatif yang dirasakan dapat dipulihkan dengan segera. Indonesia sendiri termasuk ke dalam salah satu negara yang sangat rentan terhadap bencana, terutama bencana alam seperti longsor, gempa bumi, ataupun bencana letusan gunung berapi.

Dilansir dari antaranews, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan bahwa berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Bank, Indonesia merupakan salah satu dari 35 negara yang memiliki risiko ancaman bencana yang tinggi. Seperti diketahui bahwa Indonesia memilki sekitar 500 gunung api, di mana sekitar 127 diantaranya merupakan gunung api aktif. Selain itu, Indonesia juga memiliki sekitar 300 patahan lempeng yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah pantai barat Sumatera, Jawa, Sulawesi, hingga ke Papua. Indonesia juga berada pada pertemuan tiga subduksi, yaitu Indo Australia, Eurasia, dan Pasifik, yang membuat Indonesia berpotensi mengalami bencana gempa bumi dan tsunami secara berulang. Tidak hanya itu, Indonesia memiliki dua musim yang seringkali dihadapkan pada persoalan kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, banjir, tanah longsor, hingga banjir bandang.

Kebencanaan merupakan pembahasan yang sangat komprehensif dan multi dimensi. Menyikapi kebencanaan yang frekuensinya terus meningkat setiap tahun, pemikiran terhadap penanggulangan bencana harus dipahami dan diimplementasikan oleh semua pihak. Hal ini dikarenakan bencana adalah urusan semua pihak. Di Indonesia sendiri, pemerintah telah membangun sistem nasional penanggulangan bencana yang mencakup 3 aspek, yakni legislasi, kelembagaan, serta pendanaan.

Legislasi

Pengaturan mengenai kebencanaan sendiri telah diatur oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam peraturan perundangan tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana memiliki definisi sebagai serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Penanggulangan Bencana merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yaitu serangkaian kegiatan Penanggulangan Bencana sebelum, pada saat maupun sesudah terjadinya bencana.

Prinsip penanggulangan bencana haruslah cepat dan tepat, prioritas, koordinasi dan keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna, transparansi dan akuntabilitas, kemitraan, pemberdayaan, nondiskriminatif, dan nonproletisi. Hal ini dikarenakan penanggulangan bencana bertujuan untuk:

  • memberikan pelindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana
  • menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada
  • menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh
  • menghargai budaya lokal
  • membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta
  • mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan
  • menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

Selain Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah juga mengesahkan berbagai produk hukum di bawahnya untuk dapat memaksimalkan upaya penanggulangan bencana, antara lain melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Kepala Kepala Badan, serta peraturan daerah.

Kelembagaan

Kelembagaan terkait kebencanaan terdiri atas lembaga formal dan nonformal. Secara formal, tanggung jawab penanggulangan bencana berada pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Adapun tugas dan kewenangan yang diberikan mencakup tugas-tugas penting yang dilaksanakan pada keseluruhan siklus bencana, yang mencakup masa prabencana, saat bencana, dan pasca bencana. Hal ini sejalan dengan amanat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Hal ini didasarkan pada hak setiap masyarakat Indonesia untuk mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, termasuk di dalamnya kelompok masyarakat rentan.

Aspek kebencanaan harus mampu menjangkau seluruh pihak dan perlu dilakukan secara tepat dan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Hal ini tentu saja dilakukan dengan tujuan utama untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul. Kegiatan pengurangan risiko bencana mencakup pengenalan dan pemantauan risiko bencana, perencanaan partisipatif penanggulangan bencana, pengembangan budaya sadar bencana, peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana, serta penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.

Sementara dari sisi non formal, forum-forum baik di tingkat nasional dan lokal dibentuk untuk memperkuat penyelenggaran penanggulangan bencana di Indonesia. Di tingkat nasional, terbentuk Platform Nasional (Planas) yang terdiri unsur masyarakat sipil, dunia usaha, perguruan tinggi, media dan lembaga internasional. Pada tingkat lokal, terdapat Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Yogyakarta dan Forum PRB Nusa Tenggara Timur.

Pendanaan

Kebencanaan bukan hanya menjadi isu lokal atau nasional, namun dapat pula menjadi isu global hingga melibatkan pihak internasional. Komunitas internasional dapat mendukung Pemerintah Indonesia dalam membangun manajemen penanggulangan bencana menjadi lebih baik. Di sisi lain, kepedulian dan keseriusan Pemerintah Indonesia terhadap masalah bencana sangat tinggi dengan dibuktikan dengan penganggaran yang signifikan khususnya untuk pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan. Terdapat beberapa pendanaan terkait dengan penanggulangan bencana di Indonesia, antara lain yaitu Dana DIPA (APBN/APBD), Dana Kontijensi, Dana On-call, Dana Bantual Sosial Berpola Hibah, Dana yang bersumber dari masyarakat, serta Dana dukungan komunitas internasional.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Antaranews. 2020. “Indonesia salah satu negara dengan ancaman bencana tertinggi dunia”. Diakses 10 Mei 2021 dari https://www.antaranews.com/berita/1918460/indonesia-salah-satu-negara-dengan-ancaman-bencana-tertinggi-dunia#mobile-src
  • BNPP. “Sistem Penanggulangan Bencana”. Diakses 10 Mei 2021 dari https://www.bnpb.go.id/sistem-penanggulangan-bencana

Zona Ekonomi Ekslusif dan Pertahanan Sumber Daya Perikanan Indonesia

Galuh Shita

Batas perairan Indonesia telah diatur dalam peraturan perundangan sejak lama. Batas wilayah perairan ini merupakan batas perairan yang luasannya telah disepakati secara internasional, meski begitu, permasalahan atau konflik yang berkaitan dengan batas negara ataupun pemanfaatan di atasnya kerap kali terjadi hingga saat ini.

Ketentuan mengenai zona ekonomi eksklusif telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dalam peraturan tersebut telah didefinisikan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Di dalam ZEE, Indonesia disebutkan mempunyai dan melaksanakan:

  • Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin
  • Yurisdiksi yang berhubungan dengan :
  • pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya;
  • penelitian ilmiah mengenai kelautan;
  • perlindungan dan pelestarian lingkungan taut
  • Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan Konvensi Hukum Laut yang berlaku

Ilustrasi Batas Zona Ekonomi Eksklusif dalam UNCLOS

Sumber Gambar: obaradai.com

Aturan yang berkaitan dengan ZEE tertuang dalam ketentuan hukum laut internasional atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang disepakati oleh PBB pada tahun 1982. UNCLOS 1982 membahas hal-hal yang berkaitan dengan hukum kelautan. Konvensi ini ditandatangani pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika dan mulai berlaku pada 16 November 1994. Seluruh negara peserta konvensi harus tunduk pada peraturannya, termasuk Indonesia. Secara garis besar, konvensi ini berisikan tentang penetapan batas kelautan, pengendalian lingkungan, penelitian ilmiah terkait kelautan, kegiatan ekonomi dan komersial, transfer teknologi, serta penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan masalah kelautan. Atas dasar konvensi ini pula, Indonesia ditetapkan memiliki 3 batas besar wilayah perairan yakni batas laut teritorial, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif.

Dilansir dari kompas, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Profesor Hikmahanto menyatakan bahwa negara pemegang hak ZEE berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Sebaliknya bagi negara lain, ketika akan memanfaatkan sumber daya di zona tersebut, maka harus meminta izin terlebih dahulu pada negara yang berdaulat atas ZEE. Negara pemilik ZEE hanya berdaulat atas sumber daya di dalamnya, namun perairannya secara hukum adalah laut internasional.

Namun beberapa kasus masuknya kapal asing yang juga mengambil sumber daya laut Indonesia secara ilegal masih kerap terjadi. Menteri Kelautan dan Perikanan pada periode sebelumnya kerap kali menenggelamkan kapal asing yang tertangkap mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia. Salah satu contoh negara yang memiliki konflik dengan batas perairan Indonesia adalah Cina. Dilansir dari pelayananpublik.id, disebutkan bahwa Cina menganggap aturan ZEE bertumpang tindih dikarenakan wilayah ZEE Indonesia dianggap sebagai wilayah perikanan tradisional (traditional fishing ground) milik Cina, yang juga muncul dalam Peta Nine Dash Lines. Namun, setelah ditelusuri Pemerintah Cina mendasarkan batas tersebut atas dasar sejarah. Sementara pada UNCLOS, Pemerintah Cina tidak memiliki dasar yang tertuang dalam konvensi tersebut. Traditional Fishing Zone yang diakui dan ditanda-tangani oleh Indonesia berada di Selat Malaka yang berbatasan dengan Pemerintah Malaysia.

Pengaturan yang berkaitan dengan izin operasi kapal asing di wilayah ZEE Indonesia kemudian dimunculkan dalam UU Cipta Kerja. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah.

Dilansir Kembali dari kompas, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan bahwa negara dapat mengelola wilayah ZEE dengan bekerja sama dengan negara lain. Kerja sama yang telah dilakukan berlangsung hingga tahun 2006, sebelum pemerintah akhirnya menerbitkan peraturan Menteri yang mewajibkan seluruh kapal penangkap ikan yang memanfaatkan hasil laut harus berbendera Indonesia sehingga secara langsung peraturan ini mencegah kapal berbendera asing untuk menangkap ikan di wilayah ZEE Indonesia.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
  • Kompas. 2021. “Ketentuan Konvensi PBB 1982 Tentang Hukum Laut”. Diakses 5 Mei 2021 dari https://www.kompas.com/skola/read/2021/04/20/131425269/ketentuan-konvensi-pbb-1982-tentang-hukum-laut
  • Kompas. 2020. “Mengenal Apa Itu ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif di Laut”. Diakses 5 Mei 2021 dari https://money.kompas.com/read/2020/09/15/071705426/mengenal-apa-itu-zee-atau-zona-ekonomi-eksklusif-di-laut?page=all#:~:text=ZEE%20adalah%20zona%20yang%20luasnya,atas%20kekayaan%20alam%20di%20dalamnya
  • Kompas. 2020. “Soal Kapal Asing di UU Cipta Kerja, KKP: Tetap Tak Boleh Beroperasi!”. Diakses 5 Mei 2021 dari https://money.kompas.com/read/2020/10/08/180800226/soal-kapal-asing-di-uu-cipta-kerja-kkp–tetap-tak-boleh-beroperasi-
  • Pelayanan Publik. 2019. “Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), Pengertian, Manfaat, Fungsi dan Kegiatan di Dalamnya”. Diakses 5 Mei 2021 dari https://pelayananpublik.id/2019/08/01/zona-ekonomi-ekslusif-zee-pengertian-manfaat-fungsi-dan-kegiatan-di-dalamnya/

Kelembagaan Pemanfaatan Ruang dalam PP Nomor 21 Tahun 2021

Galuh Shita

PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang memberikan terobosan di bidang pengawasan ruang, yakni dengan memberikan kesempatan bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk membentuk forum penataan ruang, yang ditujukan untuk mendorong inklusivitas masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan melalui kolaborasi dengan masyarakat di bidang penataan ruang. Hal tersebut tertuang dalam pasal 237 yang berbunyi “Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang secara partisipatif, Menteri dapat membentuk forum penataan ruang”. Terobosan terkait pembentukan forum penataan ruang juga merupakan amanat dari UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada tahun 2020.

Forum penataan ruang berfungsi untuk dapat memberikan pertimbangan terhadap Konfirmasi Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) yang akan diterbitkan. Sehingga secara langsung para anggota forum anggota penataan ruang juga bertanggung jawab terhadap hasil penerbitan KKPR yang direkomendasikan. Forum penataan ruang dapat memiliki anggota yang berasal dari perwakilan kementerian/lembaga (untuk pusat) atau perangkat daerah, asosiasi profesi, asosiasi akademisi, serta tokoh masyarakat. Nantinya keanggotaan forum akan diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri.

Adapun forum penataan ruang memiliki peran untuk merekomendasikan perubahan RDTR akibat adanya perubahan kebijakan yang bersifat nasional serta memberikan pertimbangan untuk persetujuan KKPR. Hal ini berarti, apabila terdapat kebijakan yang bersifat strategis nasional, maka forum penataan ruang dapat merekomendasikan untuk terjadinya perubahan muatan RDTR. Selain itu, forum penataan ruang juga dapat memberikan pertimbangan untuk persetujuan KKPR. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan terkait RDTR yang memungkinkan untuk dapat direvisi lebih dari 1 kali dalam periode 5 tahun, apabila terdapat kebijakan yang bersifat strategis nasional.

Dalam laman portal milik Kementerian ATR/BPN, Dirjen Penataan Ruang, Abdul Kamarzuki, mengatakan bahwa di masa transisi, istilah ini masih dikenal dengan nama TKPRD (Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah) namun ke depannya akan dikenal dengan nama forum penataan ruang. TKPRD yang dibentuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota tetap melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sampai keanggotaan forum penataan ruang dibentuk. Di samping itu, forum penataan ruang nantinya akan bekerja menggunakan tools yang berupa aplikasi real time tata ruang yang sedang dibangun secara detail melalui big data. Dengan demikian,seluruh KKPR yang terbit akan diintegrasikan dan masuk ke dalam database real time tersebut. Diharapkan pula pemerintah daerah dapat bergegas membuat data base tentang tata ruang di wilayahnya masing-masing sehingga ke depannya data tersebut dapat diintegrasikan melalui real time tata ruang.

Aplikasi Real Time dalam Mekanisme Forum Penataan Ruang

Sumber: Bahan Paparan Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang PP Nomor 21 Tahun 2021 oleh Direktur Jenderal Tata Ruang, Kementerian ATR/BPN

Keberadaan forum penataan ruang ini diharapkan akan dapat banyak membantu pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam memberikan masukan dan rekomendasi yang berkaitan dengan penataan ruang, terlebih apabila terdapat kasus ketidaksesuaian tata ruang yang menyebabkan sengketa. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum Koordinator DPP REI, Hari Ganie, yang menyatakan bahwa secara umum REI menilai keberadaan forum ini merupakan salah satu langkah maju dalam menumbuhkan iklim investasi berusaha yang kondusif. REI berharap agar forum penataan ruang akan memiliki kewenangan yang kuat sehingga tidak hanya dapat memberikan masukan dalam penyusunan tata ruang, tetapi juga dalam pemberian perizinan. REI juga menyatakan bahwa selama ini sengketa tata ruang banyak terjadi terutama di daerah, karena kelalaian rencana tata ruang atau perubahan kebijakan tata ruang karena adanya pergantian kepala daerah. Banyak pelaku usaha sudah mendapatkan izin lengkap untuk pembangunan, namun beberapa tahun kemudian ternyata terjadi perubahan tata ruang yang dilakukan pemerintah daerah sehingga tidak dapat lagi dilakukan pengembangan di lokasi yang sama. Sehingga kemudian diharapkan penyelesaian kasus ini dapat diselesaikan dengan matang melalui forum penataan ruang.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
  • Bahan Paparan Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang PP Nomor 21 Tahun 2021 oleh Direktur Jenderal Tata Ruang, Kementerian ATR/BPN
  • Kementerian ATR/BPN. 2021. “Sosialisasikan PP Penyelenggaraan Penataan Ruang, Kementerian ATR/BPN Perkenalkan Istilah KKPR”. Diakses 28 Mei 2021 melalui https://tataruang.atrbpn.go.id/Berita/Detail/4010
  • REI. 2020. “Forum Penataan Ruang Diharapkan Bantu Penyelesaian Sengketa”. Diakses 28 Mei 2021 melalui http://rei.or.id/newrei/berita-forum-penataan-ruang-diharapkan-bantu-penyelesaian-sengketa.html

Pengendalian dan Pengawasan Pemanfaatan Ruang dalam PP Nomor 21 Tahun 2021

Galuh Shita

Berbicara tentang penataan ruang tak hanya soal perencanaan, namun bagaimana pengendalian pemanfaatan ruang dapat diwujudkan. Hal ini demi mewujudkan tata ruang yang tertib sehingga pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang (RTR) yang telah ditetapkan. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang menyatakan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan untuk mendorong setiap orang agar menaati RTR yang telah ditetapkan, memanfaatkan ruang sesuai dengan RTR, dan mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan KKPR. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui beberapa bagian, yakni penilaian pelaksanaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, penilaian perwuiudan RTR, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi dan penyelesaian sengketa penataan ruang.

Pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilaksanakan dengan melibatkan kelompok masyarakat, forum penataan ruang, asosiasi profesi, dan lainnya. Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang juga dapat dilakukan dengan menggunakan pengembangan inovasi teknologi, yaitu berupa pengaduan online, sistem teknologi informasi, dan lainnya.

Penilaian Pelaksanaan Kesesuaian Pemanfaatan Ruang

Penilaian pelaksanaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dilaksanakan untuk memastikan kepatuhan pelaksanaan ketentuan KKPR serta memastikan pemenuhan prosedur perolehan KKPR. Pelaku UMK juga diharuskan membuat pernyataan mandiri untuk memastikan kebenaran pernyataan mandiri, apabila ditemukan ketidaksesuaian, maka akan dilakukan pembinaan. Penilaian KKPR dilakukan pada 2 periode, yakni:

  • selama pembangunan, yang dilakukan untuk memastikan kepatuhan pelaksanaan dalam menenhi ketentuan dalam KKPR. Dilakukan paling lambat 2 tahun sejak diterbitkannya KKPR. Apabila ditemukan ketidaksesuaian, maka harus dilakukan penyesuaian terhadap kegiatan pemanfaatan ruang.
  • pasca pembangunan, yang dilakukan untuk memastikan hasil pembangunan sesuai dengan ketentuan dokumen KKPR. Apabila ditemukan ketidaksesuaian, maka dilakukan pengenaan sanksi.

Penilaian Perwujudan RTR

Penilaian perwujudan RTR dilakukan dengan melakukan penilaian perwujudan struktur dan pola ruang, yakni terhadap kesesuaian program, kesesuaian lokasi, dan kesesuaian waktu pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang. Pada penilaian terhadap perwujudan struktur ruang, dilakukan penyandingan pelaksanaan program pembangunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana. Sedangkan penilaian terhadap perwujudan pola ruang, dilakukan penyandingan pelaksanaan program pengelolaan lingkungan, pembangunan berdasarkan perizinan berusaha, dan hak atas tanah. Hasil penilaian akan terbagi menjadi 3, yakni muatan rencana yang terwujud, muatan yang belum terwujud, dan pelaksanaan program yang tidak sesuai dengan muatan rencana struktur/pola ruang.

Terhadap hasil penilaian, dilakukan pula pengendalian implikasi kewilayahan untuk membantu terwujudnya keseimbangan pengembangan wilayah yang telah tertuang di dalam RTR. Adapun pengendalian implikasi dilakukan pada zona kendali (zona dengan konsentrasi kegiatan Pemanfaatan Ruang atau dominasi kegiatan Pemanfaatan Ruang tertentu yang tinggi dan berpotensi melarnpaui daya dukung dan daya tampung) dan zona yang didorong (zona dengan konsentrasi kegiatan Pemanfaatan Ruang dan/atau dominasi kegiatan pemanfaatan ruang tertentu yang sangat rendah yang perlu dittngkatkan perwujudannya sesuai diengan RTR). Kegiatan dilaksanakan dengan membatasi konsentrasi Pemanfaatan Ruang tertentu pada wilayah tertentu yang tidak sesuai dengan skenario perwujudan RTR dan dominasi kegiatan pemanfaatan ruang tertentu.

Kegiatan penilaian perwujudan RTR dilakukan secara periodik dan terus menerus, yaitu setiap 1 kali per 5 tahun dan 1 tahun sebelum peninjauan kembali RTR. Namun dapat pula dilakukan apabila terdapat perubahan kebijakan yang bersifat strategis nasional.

Pemberian Insentif dan Disinsentif

Pemberian insentif dan disinsentif dilakukan untuk:

  • meningkatkan upaya pengendalian pemanfaatan ruang dalam rangka mewujudkan tata ruang sesuai dengan RTR;
  • memfasilitasi kegiatan pemanfaatan ruang agar sejalan dengan RTR; dan
  • meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam rangka pemanfaatan ruang yang sejalan dengan RTR

Insentif merupakan perangkat untuk memotivasi, mendorong, memberikan daya tarik, atau memberikan percepatan terhadap kegiatan pemanfaatan ruang yang memiliki nilai tambah pada zona yang perlu didorong pengembangannya. Sedangkan disinsentif merupakan perangkat untuk mencegah atau memberikan batasan terhadap kegiatan Pemanfaatan Ruang yang sejalan dengan RTR dalam hal berpotensi melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Pengenaan Sanksi dan Penyelesaian Sengketa

Pengenaan sanksi dan penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan hasil kegiatan audit tata ruang terlebih dahulu. Apabila terbukti melakukan ketidaksesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dengan RTR, maka akan dilakukan proses penyelesaian. Perbuatan tidak menaati RTR akan berakibat pada berubahnya fungsi ruang sehingga secara langsung telah melanggar peraturan perundangan.

Bentuk Pengenaan Sanksi dan Penyelesaian Sengketa

Sanksi AdministratifSengketa Penataan Ruang
– Peringatan tertulis
– Denda administratif
– Penghentian sementara kegiatan
– Penghentian sementara pelayanan umum
– Penutupan lokasi
– Pencabutan KKPR
– Pembatalan KKPR
– Pembongkaran bangunan
– Pemulihan fungsi ruang
– Tahap Pertama penyelesaian sengketa penataan ruang diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat
– Apabila tidak terjadi kesepakatan, dapat ditempuh upaya penyelesaian sengketa pengadilan di luar pengadilan melalui negosiasi, mediasi, atau konsiliasi.  

Sumber: Bahan Paparan Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang PP Nomor 21 Tahun 2021 oleh Direktur Jenderal Tata Ruang, Kementerian ATR/BPN

Jika pengendalian berfungsi untuk meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan penataan ruang, maka pengawasan penataan ruang berfungsi untuk menjamin bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapat berjalan sesuai ketentuan. Pengawasan penataan ruang diselenggarakan untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang, menjamin terlaksananya penegakan hukum bidang penataan ruang, dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan penataan ruang. Kegiatan yang tercakup dalam pengawasan penataan ruang terdiri atas kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan, yang dilakukan terhadap:

  • pengaturan penataan ruang, pembinaan penataan ruang, dan pelaksanaan penataan ruang
  • fungsi dan manfaat penyelenggaraan penataan ruang
  • pemenuhan standar pelayanan bidang penataan ruang dan standar teknis penataan ruang kawasan

Apabila terdapat kondisi khusus berdasarkan hasil pengawasan penataan ruang atau laporan berdasarkan aduan masyarakat yang bersifat mendesak untuk ditindaklanjuti, maka dilakukan pengawasan khusus penataan ruang. pengawasan khusus yang dimaksud meliputi kegiatan:

  • merekonstruksi terjadinya kondisi khusus
  • menganalisis dampak dan prediksi
  • merumuskan alternatif penyelesaian kondisi khusus

Bahan Bacaan

  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
  • Bahan Paparan Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang PP Nomor 21 Tahun 2021 oleh Direktur Jenderal Tata Ruang, Kementerian ATR/BPN

Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR)

Galuh Shita

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang mengubah beberapa nomenklatur yang ada di Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Salah satu nomenklatur yang mengalami perubahan adalah Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), yang semula merupakan izin pemanfaatan ruang. Di dalam PP tersebut, definisi dari KKPR adalah kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang.

Dengan berubahnya nomenklatur tersebut, maka dengan kata lain KKPR akan digunakan sebagai penilaian kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dengan Rencana Tata Ruang serta sebagai dasar administrasi pertanahan. Selain itu, KKPR akan diberikan sebagai bukti kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usaha dengan rencana detail tata ruang (RDTR) melalui beberapa ketentuan.

Salah satu poin utama dari dikeluarkannya PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang adalah untuk menyederhanakan persyaratan dasar perizinan berusaha dengan tetap menjaga kualitas penataan ruang. Hal ini sejalan dengan penyebutan di beberapa pasal yang menyatakan bahwa penetapan dokumen RTRW dan RDTR menjadi dipercepat jangka waktunya. Dengan begitu, diharapkan seluruh daerah di Indonesia akan segera memiliki dokumen tata ruang yang lengkap dan proses perizinan dapat dengan mudah mengacu pada dokumen rencana tata ruang tersebut. Di samping itu, pemerintah juga akan mendorong optimalisasi platform Online Single Submission (OSS) sehingga keseluruhan proses perizinan berusaha dapat dilakukan secara mudah dan transparan.

Pada saat PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang berlaku, maka pelaku usaha wajib untuk mengajukan KKPR apabila izin pemanfaatan ruang yang dimiliki sudah habis masa berlakunya. Sementara bagi pelaku usaha yang akan mengajukan permohonan baru dapat langsung mengajukan dan akan diproses sesuai dengan ketentuan yang baru. Namun bagi para pelaku usaha yang izin pemanfaatan ruangnya masih belum habis masa berlaku dan pemanfaatannya masih sesuai dengan peruntukkan, maka tidak wajib untuk mengajukan KKPR.

Pelaksanaan KKPR terdiri atas KKPR untuk kegiatan berusaha, kegiatan nonberusaha, dan kegiatan yang bersifat strategis nasional. Apabila dokumen RDTR telah tersedia pada wilayah tersebut, maka pengurusan KKPR dilakukan dengan menggunakan skema konfirmasi KKPR, sedangkan apabila dokumen RDTR belum tersedia, maka pengurusan yang dapat dilakukan adalah melalui skema persetujuan KKPR.

Kelengkapan Dokumen Yang Dibutuhkan dalam Pengurusan KKPR

Sumber: PP Nomor 21 Tahun 2021

Sementara bagi rencana kegiatan pemanfaatan ruang yang belum termuat dalam RTR, RZ KAW, dan RZ KSNT, maka jenis KKPR yang diberikan adalah berupa rekomendasi KKPR. Adapun rencana kegiatan yang dimaksud adalah berupa rencana kegiatan pemanfaatan ruang di atas tanah bank tanah dan rencana kegiatan pemanfaatan ruang di kawasan atau di atas tanah yang akan diberikan hak pengelolaan untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional. Persyaratan dokumen yang dibutuhkan saat pendaftaran mencakup informasi koordinat lokasi, kebutuhan luas lahan kegiatan pemanfaatan ruang, informasi penguasaan tanah, informasi jenis kegiatan, rencana jumlah lantai bangunan, rencana luas lantai bangunan, dokumen prastudi kelayakan kegiatan pemanfaatan ruang, serta rencana teknis bangunan dan/atau rencana induk kawasan.

Pada saat PP Nomor 21 Tahun 2021 berlaku, maka wajib hukumnya bagi para pelaku usaha dengan izin pemanfaatan ruang yang sudah habis berlakunya atau para pelaku usaha yang akan mengajukan permohonan baru untuk segera mengajukan persyaratan KKPR. Sementara bagi para pelaku usaha yang izin pemanfaatan ruangnya masih belum habis masa berlaku dan pemanfaatannya masih sesuai dengan peruntukan maka tidak diwajibkan untuk segera mengajukan persyaratan KKPR.

Terkait dengan pelaksanaan kegiatan yang lokasinya berada di kawasan hutan dan mengalami perubahan fungsi serta belum dimuat dalam RTR, maka wajib untuk mengajukan KKPR. Hal ini juga sebagai bentuk adaptasi dari perubahan yang terdapat di PP Nomor 21 Tahun 2021 dengan peraturan sebelumnya yakni PP Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Pada peraturan lama disebutkan bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan dapat dilaksanakan meskipun belum ditetapkan perubahan pada RTRW. Pada peraturan baru, yaitu PP Nomor 21 Tahun 2021, ditetapkan bahwa pemanfaatan ruang yang lokasinya berada pada kawasan hutan dan mengalami perubahan peruntukkan dan fungsi serta belum dimuat dalam RTR maka kegiatan pemanfaatan ruangnya hanya dapat dilaksanakan setelah mendapatkan KKPR.

Pelaksanaan KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional diberikan untuk rencana kegiatan pemanfaatan ruang yang telah termuat ataupun yang belum termuat dalam RTR, RZ KAW, dan RZ KSNT. Sementara KKPR strategis nasional yang belum termuat dalam dokumen RTR. RZ KAW, dan RZ KSNT dilakukan melalui rekomendasi KKPR. Rekomendasi KKPR adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian rencana kegiatan pemanfaatan ruang yang didasarkan pada kebijakan nasional yang bersifat strategis dan belum diatur dalam RTR dengan mempertimbangkan asas dan tujuan penyelenggaraan penataan ruang.

Dalam masa transisi, Menteri ATR/BPN akan mendelegasikan kewenangan penerbitan PKKPR untuk kegiatan berusaha dan penerbitan KKPR untuk kegiatan nonberusaha secara non-elektronik kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pendelegasian ini tidak mengurangi kewenangan Menteri dalam penerbitan KKPR. Pendelegasian kewenangan kepada Gubernur/Bupati/Walikota dikecualikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang merupakan rencana pembangunan dan pengembangan objek vital nasional, kegiatan strategis nasional, kegiatan yang perizinan berusahanya merupakan kewenangan kementerian/lembaga, dan kegiatan yang lokasinya bersifat lintas provinsi. Selain itu, Menteri dapat membatalkan status KKPR yang diterbitkan apabila kegiatan pemanfaatan ruang menimbulkan dampak negatif seperti kerawanan sosial, gangguan keamanan, kerusuhan lingkungan hidup, dan gangguan terhadap fungsi objek vital nasional.

Proses Bisnis Pelaksanaan KKPR secara Non-elektronik dalam Masa Transisi

Sumber: bahan paparan Dirjen Tata Ruang Sosialisasi PP 21 Tahun 2021

KKPR Kegiatan Berusaha

KKPR untuk kegiatan berusaha terdiri atas kegiatan berusaha untuk non-UMK (konfirmasi KKPR dan persetujuan KKPR) dan untuk UMK. Konfirmasi KKPR dilaksanakan melalui OSS dengan tahapan pendaftaran, penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang terhadap RDTR, dan penerbitan konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. Adapun kelengkapan dokumen pendaftaran yang harus dilengkapi adalah koordinat lokasi, kebutuhan luas lahan kegiatan pemanfaatan ruang, informasi penguasaan tanah, informasi jenis usaha, rencana jumlah lantai bangunan, dan rencana luas lantai bangunan. Sedangkan penerbitan konfirmasi KKPR akan memuat dokumen dengan muatan lokasi kegiatan, jenis kegiatan pemanfaatan ruang, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, ketentuan tata bangunan, dan persyaratan pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang. Jangka waktu penerbitan konfirmasi KKPR ditetapkan paling lama 1 hari sejak pendaftaran atau pembayaran penerimaan bukan pajak.

Sementara persetujuan KKPR dilaksanakan melalui OSS dengan tahapan pendaftaran, penilaian dokumen usulan KKPR terhadap RTR, RZ KSNT, dan RZ KAW, serta penerbitan persetujuan KKPR. Persetujuan KKPR dapat diberikan tanpa melalui tahapan penilaian dokumen usulan kegiatan apabila berlokasi di kawasan industri dan kawasan pariwisata yang telah memiliki perizinan berusaha sesuai dengan ketentuan perundang-undangan serta KEK yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Alur Proses KKPR dalam Perizinan Berusaha

Sumber: bahan paparan Dirjen Tata Ruang Sosialisasi PP 21 Tahun 2021

KKPR Kegiatan Nonberusaha

Pelaksanaan KKPR dilakukan melalui proses konfirmasi dan persetujuan KKPR. Konfirmasi kesesuaian diberikan berdasarkan kesesuaian rencana lokasi kegiatan pemanfaatan ruang dengan RDTR. Konfirmasi KKPR dilaksanakan melalui OSS dengan tahapan pendaftaran, penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang terhadap RDTR, dan penerbitan konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. Adapun persyaratan dokumen pendaftaran yang harus dilengkapi adalah koordinat lokasi, kebutuhan luas lahan kegiatan pemanfaatan ruang, informasi penguasaan tanag, informasi jenis kegiatan, rencana jumlah lantai bangunan, dan rencana luas lantai bangunan.

Sedangkan konfirmasi KKPR akan memuat lokasi kegiatan, jenis kegiatan pemanfaatan ruang, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, ketentuan tata bangunan, dan persyaratan pelaksananaan kegiatan pemanfaatan ruang. Jangka waktu penerbitan KKPR dilakukan maksimal 1 hari sejak pendaftaran atau penerimaan negara bukan pajak.

Alur Proses KKPR dalam Perizinan NonBerusaha

Sumber: bahan paparan Dirjen Tata Ruang Sosialisasi PP 21 Tahun 2021


Bahan Bacaan

  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
  • Bahan Paparan Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang PP Nomor 21 Tahun 2021 oleh Direktur Jenderal Tata Ruang, Kementerian ATR/BPN
  • Tempo. 2020. “Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Jadi Kunci Masuknya Investasi”. Diakses 20 Mei 2021 dari https://nasional.tempo.co/read/1403439/kesesuaian-kegiatan-pemanfaatan-ruang-jadi-kunci-masuknya-investasi/full&view=ok

Penetapan dan Revisi RTR dalam PP Nomor 21 Tahun 2021

Galuh Shita

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Direktorat Jenderal Tata Ruang masih terus melakukan Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang seiring dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Seperti diketahui bahwa penataan ruang sendiri telah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka secara otomatis mengubah beberapa hal yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Salah satu terobosan yang dimunculkan dalam peraturan ini adalah penetapan rencana tata ruang yang semakin dipermudah. Hal ini dilakukan untuk dapat mendorong ketersediaan dokumen rencana tata ruang di lapangan. Seperti diketahui bahwa masih terdapat beberapa daerah yang belum memiliki kelengkapan dokumen rencana tata ruang.

Dilansir dari rumah.com, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Dirjen Tata Ruang Kementerian ATR/BPN Abdul Kamarzuki menyatakan bahwa proses penyusunan dan penetapan RTR pada saat sebelum diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, umumnya memiliki jangka waktu yang sangat lama dan penyelesaiannya bergantung pada kecepatan penyelesaian di daerah tersebut. Setelah diterbitkannya peraturan ini, maka jangka waktu untuk penyusunan dokumen RTR telah ditetapkan. Seperti untuk dokumen RTRW paling lama 18 bulan sementara RDTR paling lama 12 bulan. Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa hal ini dilakukan pemerintah pusat sebagai dorongan untuk pemerintah daerah supaya setiap daerah memiliki RTR masing-masing dan dapat melaksanakan mekanisme KKPR. Dengan begitu daerah bisa mendorong dan mempercepat investasi yang masuk ke daerah tersebut dan mempercepat pergerakan perekonomian daerah.

Proses Bisnis Penetapan RTRW

Terkait dengan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah, terobosan yang dilakukan diantaranya adalah jangka waktu penyusunan dan penetapan RTRW yang kini dibatasi hanya maksimal 18 bulan terhitung sejak pelaksanaan penyusunan RTRW. Selain itu kajian terkait lingkungan hidup strategis diintegrasikan ke dalam materi teknis RTRW dan tidak lagi disusun dalam dokumen terpisah guna menghindari terjadinya tumpang tindih kebijakan. Khusus bagi RTRW provinsi, materi teknis muatan perairan pesisir yang telah diintegrasikan haruslah sudah mendapatkan persetujuan teknis dari Menteri Kelautan dan Perikanan. Sementara untuk RTRW Kabupaten/Kota, evaluasi Ranperda RTRW sebelum penetapan dilakukan oleh Gubernur dan bukan oleh Kementerian Dalam Negeri.

Adapun pada tahap awal penyusunan RTRW, di dalamnya turut memuat substansi pengaturan wilayah perairan pesisir (khusus RTRW Provinsi), berita acara pembahasan dari Pemerintah Provinsi (khusus bagi RTRW Kabupaten/Kota), validasi dokumen kajian lingkungan hidup strategis dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan rekomendasi peta dasar dari Badan Informasi Geospasial. Khusus bagi validasi dokumen kajian lingkungan hidup serta rekomendasi peta dasar harus dapat diselesaikan dalam waktu maksimal 10 hari. Apabila persyaratan persetujuan tidak diterbitkan hingga batas waktu, maka dokumen yang diajukan oleh pemerintah daerah dianggap telah disetujui dan dapat langsung melanjutkan ke tahapan selanjutnya.

Tahapan pembahasan lintas sektor dilakukan dengan mengintegrasikan program/kegiatan sektor, kegiatan yang bersifat strategis nasional, batas daerah, garis pantai, dan kawasan hutan. Tahapan ini dilakukan bersama dengan ATR, Pemprov/Pemkab/Pemkot, DPRD, dan Kementerian/Lembaga/Dinas terkait lainnya. Kegiatan pembahasan lintas sektor dan penerbitan persetujuan dilakukan dalam kurun waktu maksimal 20 hari.

Alur Proses Penetapan RTRW Kabupaten/Kota

Sumber: diolah dari bahan paparan Dirjen Tata Ruang Sosialisasi PP 21 Tahun 2021

Proses penetapan Perda Provinsi/Kabupaten/Kota dilaksanakan paling lama 2 bulan sejak mendapat persetujuan substansi. Namun apabila rancangan Perda Provinsi/Kabupaten/Kota belum ditetapkan, maka Gubernur/Bupati/Walikota menerapkan rancangan Perda RTRW paling lama 3 bulan sejak mendapat persetujuan substansi. Dan jika Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota belum ditetapkan, maka Menteri menetapkan Peraturan Menteri paling lama 4 bulan sejak mendapatkan persetujuan substansi, yang wajib ditindaklanjuti oleh Gubernur/Bupati/Walikota melalui penetapan Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota.

Proses Bisnis Penetapan RDTR

Sementara berkaitan dengan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah, jangka waktu penyusunan dan penetapan RDTR dibatasi paling lama 12 bulan, terhitung sejak pelaksanaan penyusunan RDTR. Beberapa proses yang dihilangkan adalah tahapan penyusunan dan validasi KLHS dan rekomendasi BIG dalam penyusunan RDTR, serta proses evaluasi Kementerian Dalam Negeri pada penetapan RDTR. Pada tahap pembahasan lintas sektor, dilakukan pengintegrasian program/kegiatan sektor, kegiatan yang bersifat strategis nasional, batas daerah, garis pantai, dan kawasan hutan. Tahapan ini dilakukan bersama dengan ATR, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD, dan Kementerian/Lembaga/Dinas terkait lainnya. Kegiatan pembahasan lintas sektor dan penerbitan persetujuan dilakukan dalam kurun waktu maksimal 20 hari, sementara tahapan penetapannya dilakukan dalam kurun waktu tidak lebih dari 1 bulan. Adapun alur proses penetapan RDTR dapat dilihat lebih jelas pada gambar berikut:

Alur Proses Penetapan Proses RDTR Kabupaten/Kota

Sumber: diolah dari bahan paparan Dirjen Tata Ruang Sosialisasi PP 21 Tahun 2021

Proses Penetapan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) RDTR Kabupaten/Kota dilaksanakan paling lama 1 bulan sejak mendapatkan persetujuan substansi. Jika Perkada RDTR Kabupaten/Kota belum ditetapkan paling lama 2 bulan sejak mendapatkan persetujuan substansi, maka Menteri menetapkan Peraturan Menteri yang wajib ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota dengan penetapan Perkada RDTR Kabupaten/Kota.

Proses Peninjauan Kembali dan Revisi RTR

Ketentuan peninjauan kembali serta revisi rencana tata ruang dilakukan 1 kali dalam periode 5 tahun. Peninjauan kembali terhadap dokumen RTR dapat dilakukan lebih dari 1 kali dalam periode 5 tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa bencana alam skala besar, perubahan batas teritorial negara, perubahan batas daerah, atau perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. Peninjauan kembali terhadap Perkada kabupaten/kota tentang RDTR akibat adanya perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis dapat direkomendasikan oleh Forum Penataan Ruang berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.

Alur Proses Peninjauan Kembali dan Revisi Dokumen RTR

Sumber: diolah dari bahan paparan Dirjen Tata Ruang Sosialisasi PP 21 Tahun 2021

Permohonan peninjauan kembali dan revisi terhadap dokumen rencana tata ruang dapat dilakukan melalui 2 cara, yakni pengajuan permohonan peninjauan kembali oleh pemerintah daerah kepada Menteri ATR atau pengajuan rekomendasi peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang akibat ketidaksesuaian yang diajukan oleh Menko Perekonomian kepada Menteri ATR. Adapun Menko Perekonomian dapat menetapkan rekomendasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan apabila terjadi ketidaksesuaian antara rencana tata ruang dengan batas daerah, dengan kawasan hutan, atau ketidaksesuaian RTRW Provinsi dengan RTRW Kabupaten/Kota. Revisi rencana tata ruang yang dilakukan, dilaksanakan dengan tetap menghormati hak kepemilikan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
  • Bahan Paparan Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang PP Nomor 21 Tahun 2021 oleh Direktur Jenderal Tata Ruang, Kementerian ATR/BPN

Muatan Substansi pada Pembahasan Lintas Sektor dalam PP 21 Tahun 2021

Galuh Shita

Dokumen rencana tata ruang, khususnya RTRW, mengalami perubahan muatan substansi sesuai dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Seperti diketahui bahwa dokumen rencana tata ruang tersebut kini mengintegrasikan tata ruang darat dan laut dalam satu kesatuan dokumen. Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam menghindari adanya tumpang tindih kebijakan terkait penataan ruang. Dalam pengintegrasian tersebut, diperlukan suatu pembahasan lintas sektor guna membahas hal-hal yang berkaitan dengan proses pengintegrasian sektor-sektor tersebut.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, pembahasan lintas sektor dilaksanakan untuk mengintegrasikan program/kegiatan sektor, kegiatan yang bersifat strategis nasional, batas daerah, garis pantai, dan kawasan hutan. Adapun ketiga aspek tersebut merupakan aspek penting yang perlu untuk diintegrasikan ke dalam muatan substansi rencana tata ruang. Pembahasan lintas sektor sendiri ditetapkan untuk dapat diselesaikan dalam kurun waktu paling lama 20 hari sampai dengan diterbitkannya persetujuan substansi oleh Menteri.

Batas Daerah

Pengintegrasian batas daerah diatur pada Pasal 64, Pasal 78, dan Pasal 87 yang terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Pada peraturan perundangan tersebut disebutkan bahwa pengintegrasian menggunakan batas daerah yang telah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.

Adapun proses penyelesaian sengketa terhadap batas daerah dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri menetapkan batas daerah paling lama yaitu 5 bulan. Apabila pemerintah daerah tidak bersepakat terhadap ketentuan batas daerah yang telah ditetapkan, maka menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri berwenang memutuskan dan menetapkan penegasan batas daerah paling lama 1 bulan.

Garis Pantai

Pengintegrasian garis pantai diatur dalam Pasal 65, pasal 79, dan Pasal 88. Disebutkan bahwa proses pengintegrasian garis pantai menggunakan unsur garis pantai yang termuat dalam peta rupabumi Indonesia termutakhir dan telah ditetapkan oleh BIG. Apabila terdapat perbedaan dengan kebutuhan rencana tata ruang atau kepentingan Hak Atas Tanah (HAT), maka persetujuan substansi oleh Menteri perlu mencantumkan garis pantai dalam peta RBI dan garis pantai sesuai kebutuhan yang digambarkan dengan simbol atau warna khusus.

Penyelesaian ketidaksesuaian antara garis pantai dengan Hak Atas Tanah (HAT) atau Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah, yaitu:

  • Dalam hal terjadi dinamika perubahan garis pantai, maka titik dasar dan garis pangkal di Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) tetap diakui dan berlaku, serta pemerintah wajib memulihkan kondisi fisik lahan menjadi daratan
  • HAT/HPL yang ada di laut akibat dinamika perubahan garis pantai sebelum ditetapkannya unsur garis pantai dalam peta RBI pertama, HAT/HPL tetap diakui

Kawasan Hutan

Pengintegrasian kawasan hutan diatur dalam Pasal 66, Pasal 80, dan Pasal 89. Dalam pasal-pasal tersebut disesebutkan bahwa proses pengintegrasian kawasan hutan dilakukan dengan menggunakan delineasi kawasan hutan termutakhir yang ditetapkan oleh menteri LHK, atau menggunakan delineasi kawasan hutan yang disepakati paling lama 10 hari sejak dimulainya pembahasan lintas sektor.

Penyelesaian ketidaksesuaian antara kawasan hutan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK) dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah, yaitu:

  • Melakukan revisi RTRW P/K dengan mengacu pada kawasan hutan yang ditetapkan terakhir, apabila kawasan hutan ditetapkan lebih awal
  • Melakukan tata batas dan pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan RTRW P/K, apabila RTRW P/K ditetapkan lebih awal

Bahan Bacaan

  • Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021
  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Alur Proses Integrasi Tata Ruang Darat dan Laut

Galuh Shita

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang telah disahkan beberapa waktu lalu. Di dalam peraturan perundangan ini telah diamanatkan bahwa dokumen rencana tata ruang perlu mengintegrasikan tata ruang darat dan laut. Seperti diketahui bahwa sebelumnya rencana tata ruang darat dan laut berada dalam dokumen yang terpisah sehingga menimbulkan potensi terjadinya tumpang tindih kebijakan terkait ketentuan pemanfaatan ruang. Setelah diintegrasikan, nantinya keseluruhan dokumen rencana tata ruang akan dimuat dalam sebuah platform digital guna mendukung One Spatial Planning Policy. Hal ini dilakukan supaya masyarakat dapat mengetahui poin-poin penting terkait perencanaan penataan ruang serta untuk mewujudkan proses transparansi data kepada publik.

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang disebutkan pula bahwa RTR sebagai hasil dari perencanaan tata ruang akan menjadi acuan bagi:

  • penerbitan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang
  • pemanfaatan ruang untuk seluruh kegiatan pembangunan sectoral dan pengembangan wilayah dan kawasan yang memerlukan ruang
  • penerbitan perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut serta pemberian hak atas tanah dan hak pengelolaan

Selain itu, disebutkan bahwa proses perencanaan rencana tata ruang dilakukan melalui beberapa tahapan, yakni tahapan persiapan penyusunan rencana tata ruang, pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, perumusan konsepsi rencana tata ruang, serta penyusunan rancangan peraturan tentang rencana tata ruang. Penyusunan rencana tata ruang akan menghasilkan beberapa dokumen turunan yakni konsepsi Rencana Tata Ruang, konsepsi Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT), konsepsi Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah (RZ KAW), rancangan peraturan tentang Rencana Tata Ruang, rancangan peraturan tentang RZ KSNT, dan rancangan peraturan tentang RZ KAW.

Berkaitan dengan proses pengintegrasian tata ruang darat dan laut, terutama dalam penyusunan rencana tata ruang, maka dilakukan dengan tahapan persiapan penyusunan (penyusunan kerangka acuan kerja dan penetapan metodologi), pengumpulan data (wilayah administrasi, data dan informasi kependudukan, pertanahan, kebencanaan, kelautan dan peta dasar serta peta tematik yang dibutuhkan).

Alur Proses Integrasi Tata Ruang Darat dan Laut

Sumber: Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021

Seperti dapat dilihat pada gambar di atas, bahwa alur proses integrasi tata ruang darat dan laut sejatinya mencakup berbagai hal. Pengolahan data dan analisis yang dilakukan tidak hanya mencakup kondisi eksisting darat maupun laut, tetapi juga mencakup analisis terhadap potensi dan permasalahan regional dan global serta analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis.

Pengumpulan data dasar baik berdasarkan materi teknis darat dan materi teknis laut, akan dituangkan ke dalam sebuah peta dasar baru, baik berupa peta dasar rupabumi Indonesia ataupun peta dasar lainnya. Perlu diingat bahwa ketentuan bagi peta dasar rupabumi Indonesia merupakan peta termutakhir yang telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial, yakni Badan Informasi Geospasial (BIG). Dalam rangka percepatan penyusunan RDTR, daerah yang belum memiliki Peta Rupabumi Indonesia dapat menggunakan Peta Dasar Lainnya sesuai ketentuan tingkat ketelitian RTR yang disertai oleh rekomendasi dari Badan Informasi Geospasial (BIG).

Ilustrasi Penggunaan Peta Dasar

Sumber: Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan One Spatial Planning Policy, maka RTR darat dan laut yang telah terintegrasi kemudian akan ditetapkan ke dalam satu produk hukum, yaitu berupa Peraturan Presiden RTR KSN, Perda/Pergub RTRW Provinsi, Perda/Peraturan Kepala Daerah RTRW Kabupaten/Kota, dan Peraturan Kepala Daerah RDTR.


Bahan Bacaan

  • Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021
  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Kelautan dan Perikanan dalam PP Nomor 27 Tahun 2021

Galuh Shita

Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Disahkannya peraturan ini secara otomatis mencabut peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2020 tentang Bangunan dan Instalasi Laut. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 ini diharapkan mempu memberikan dampak positif bagi pelaku usaha perikanan di Indonesia. Peraturan ini juga hadir sebagai pembaharuan beberapa ketentuan yang lama sebagai imbas dari lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja. Adapun perubahan tersebut mencakup perubahan dan penyempurnaan dari berbagai peraturan perundang-undangan mengenai perubahan status zona inti, kriteria dan persyaratan pendirian, penempatan, dan/atau pembongkaran bangunan dan instalasi di laut, pengelolaan sumber daya ikan, standar mutu hasil perikanan, penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan bukan untuk tujuan komersial, kapal perikanan, kepelabuhanan perikanan, standar laik operasi, pengendalian impor komoditas perikanan dan impor komoditas pergaraman.

Dilansir dari wartaekonomi, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyatakan bahwa keberadaan peraturan ini merupakan solusi dari tumpang tindih regulasi yang menghambat investasi, khususnya di bidang kelautan dan perikanan. Diharapkan sektor kelautan dan perikanan dapat berperan penting terhadap pemulihan ekonomi nasional yang terganggu akibat adanya pandemi Covid-19.

Terkait dengan ruang laut, peraturan ini juga mengatur beberapa hal pokok yang berkaitan dengan sektor kelautan dan perikanan. Pertama, dalam pemanfaatan ruang laut diatur kewajiban untuk melindungi sumber daya kelautan dan perikanan seperti tidak merusak terumbu karang sehingga sumber daya kelautan dan perikanan dapat tetap terjaga dan juga berkelanjutan. Kedua terkait penataan ruang laut, adanya peraturan ini maka diharapkan akan dapat mewujudkan keterpaduan, keserasian, dan keselarasan pengelolaan ruang darat dan laut.

Peraturan ini mengatur pembaharuan terkait perubahan zona inti pada kawasan konservasi. Di mana kegiatan pemanfaatan hanya dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional yang diatur dengan peraturan perundang-undangan melalui penetapan proyek strategis nasional. Perubahan status zona inti atau kategori kawasan konservasi tidak mengubah alokasi ruang untuk kawasan konservasi yang ada di dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K), Rencana Zonasi Kawasan Antar Wilayah (RZ KAW), Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT), atau pola ruang dalam Rencana Tata Ruang Laut (RTRL) atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional. Adapun maksud dari perubahan zona inti adalah sebagai dasar dalam perubahan rencana zonasi kawasan konservasi.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan juga mengemukakan bahwa perubahan zona inti hanya dapat dilakukan demi kepentingan masyarakat yang lebih besar atau bersifat strategis nasional selama tetap memperhatikan keberlanjutan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Proses perubahan zona inti dilakukan dengan membentuk tim peneliti terpadu yang terdiri dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dan kementerian/lembaga terkait, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perguruan Tinggi, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Masyarakat yang ada di daerah sekitar kawasan konservasi dan masyarakat sekitar kawasan konservasi. Tim kemudian akan bertugas menyampaikan rekomendasi perubahan status zona inti dan/atau kategori kawasan konservasi kepada Menteri.

Dilansir dari laman bisnis.com, terdapat beberapa kelebihan yang dapat dirasakan manfaat sebagai imbas dari dikeluarkannya peraturan ini, diantaranya adalah:

  • Kemudahan perizinan terkait kapal perikanan. Jika selama ini perizinan terkait kapal perikanan tersebar di berbagai kementerian dan instansi, kini hanya berada pada satu pintu yaitu melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan saja. Hal ini sesuai dengan amanah Presiden untuk mempermudah masyarakat yang ingin berusaha dan mempercepat transformasi ekonomi, khususnya di bidang kelautan dan perikanan.
  • Adanya jaminan sosial bagi Anak Buah Kapal (ABK) perikanan. Pemilik kapal perikanan, operator kapal perikanan, agen awak kapal perikanan, atau nakhoda harus memberi jaminan sosial terhadap ABK. Jaminan ini meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan kehilangan pekerjaan.
  • Terkait dengan impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman, khususnya yang digunakan sebagai bahan baku dan bahan penolong industri, penyusunan distribusi alokasi impor perikanan kini menggunakan neraca komoditas perikanan dan pergaraman yang disusun oleh Menteri Kelautan dan Perikanan untuk kemudian disampaikan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Hal ini dilakukan agar penyerapan garam produksi dalam negeri dapat diserap dengan lebih maksimal.
  • Pengawasan dan sanksi yang selama ini berorientasi pada pemidanaan, kini akan mengedepankan sanksi administratif.

Bahan Bacaan

  • Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan
  • Bisnis.com. 2021. “Ini Kelebihan PP 27/2021, Ada Aspek Keberlanjutan hingga Jaminan Sosial ABK”. Diakses 6 Mei 2021 dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20210303/99/1363364/ini-kelebihan-pp-272021-ada-aspek-keberlanjutan-hingga-jaminan-sosial-abk
  • Wartaekonomi. 2021. “Peraturan Pemerintah Nomor 27 Diharapkan Dongkrak Investasi Perikanan”. Diakses 6 Mei 2021 dari https://www.wartaekonomi.co.id/read330383/peraturan-pemerintah-nomor-27-diharapkan-dongkrak-investasi-perikanan
  • Infopublik. 2021. “KKP Siapkan Aturan Turunan PP 27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan”. Diakses 6 Mei 2021 dari https://infopublik.id/kategori/nasional-ekonomi-bisnis/517047/kkp-siapkan-aturan-turunan-pp-27-2021-tentang-penyelenggaraan-bidang-kelautan-dan-perikanan

Wilayah Pengelolaan Perikanan di Perairan Darat

Galuh Shita

Pengelolaan perikanan darat perlu untuk dimaksimalkan agar manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Seperti diketahui bahwa potensi perikanan di Indonesia sangatlah besar. Tak hanya di laut, namun juga di darat. Perairan umum daratan memegang peranan penting bagi industri perikanan nasional. Salah satunya, karena perairan tersebut bisa menghasilkan komoditas perikanan bernilai ekonomi tinggi dan disukai masyarakat. Dilansir dari Trubus, dosen IPB Dr. Gatot Yulianto menyebutkan bahwa bahwa pengelolaan perikanan darat di Indonesia harus berbasis wilayah. Setiap daerah memiliki keragaman ekosistem dan spesies serta kondisi sosial ekonomi yang berbeda.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia di Perairan Darat memberikan definisi bagi wilayah pengelolaan perikanan di perairan darat sebagai wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan. Wilayah pengelolaan perikanan di perairan darat mencakup sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya, yang juga meliputi kolong atau bekas galian, situ, dan embung.

Adapun 14 wilayah pengelolaan perikanan di perairan darat terdiri atas:

  1. WPPNRI PD 411, meliputi Pulau Papua bagian utara, Kepulauan Yapen, Pulau Numfor, Pulau Biak dan Pulau Yerui
  2. WPPNRI PD 412, meliputi Pulau Papua bagian selatan, Kepulauan Romang, Kepulauan Letti, Kepulauan Damer, Kepulauan Babar, Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Kur, Kepulauan Tayando, Kepulauan Kai, Kepulauan Aru, Pulau Kisar, Pulau Nuhuyut, Pulau Kolepom, dan Pulau Komolom.
  3. WPPNRI PD 413, meliputi Pulau Papua bagian barat, Kepulauan Sula, Kepulauan Raja Ampat, Kepulauan Banda, Kepulauan Gorom, Kepulauan Watubela, Kepulauan Obi, Pulau Morotai, Pulau Halmahera, Pulau Ternate, Pulau Tidore, Pulau Makian, Pulau Kayoa, Pulau Kasiruta, Pulau Bacan, Pulau Mandioli, Pulau Buru, Pulau Ambalau, Pulau Seram, dan Pulau Ambon.
  4. WPPNRI PD 421, meliputi Pulau Sulawesi, Kepulauan Talaud, Kepulauan Sangihe, Kepulauan Sitaro, Kepulauan Banggai, Kepulauan Selayar, Kepulauan Wakatobi, Pulau Unauna, Pulau Togian, Pulau Batudaka, Pulau Walea Besar, Pulau Menui, Pulau Wawonni, Pulau Buton, Pulau Muna, dan Pulau Kabaena.
  5. WPPNRI PD 422, meliputi Pulau Timor (bagian wilayah Indonesia), Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, Pulau Flores, Pulau Sumba, Kepulauan Solor, Kepulauan Alor, Pulau Sabu, Pulau Wetar, dan Pulau Rote.
  6. WPPNRI PD 431, meliputi Pulau Jawa bagian timur, Kepulauan Kangean, Pulau Madura, Pulau Giliraja, Pulau Puteran, Pulau Giligenting, Pulau Sapudi, Pulau Raas, Pulau Nusabarong, Pulau Bali, dan Pulau Nusapenida.
  7. WPPNRI PD 432, meliputi Pulau Jawa bagian selatan, Pulau Panaitan, dan Pulau Tinjil.
  8. WPPNRI PD 433, meliputi Pulau Jawa bagian barat-utara, Kepulauan Seribu, Pulau Sangiang, Pulau Panjang, dan Pulau Tunda.
  9. WPPNRI PD 434, meliputi Pulau Jawa bagian tengah-utara, Kepulauan Karimun Jawa, dan Pulau Bawean.
  10. WPPNRI PD 435, meliputi Pulau Kalimantan bagian barat-selatan, Kepulauan Karimata, Pulau Maya, Pulau Laut, dan Pulau Sebuku.
  11. WPPNRI PD 436, meliputi Pulau Kalimantan bagian timur dan Kepulauan Derawan.
  12. WPPNRI PD 437, meliputi Pulau Kalimantan bagian utara, Pulau Tarakan, Pulau Bunyu, Pulau Nunukan, dan Pulau Sebatik (bagian wilayah Indonesia).
  13. WPPNRI PD 438, meliputi Pulau Sumatera bagian timur, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kepulauan Meranti, Kepulauan Anambas, Kepulauan Natuna, dan Pulau Rupat.
  14. WPPNRI PD 439, meliputi Pulau Sumatera bagian barat-utara, Kepulauan Banyak, Kepulauan Batu, Kepulauan Mentawai, Kepulauan Pagai, Pulau Weh, Pulau Bateeleblah, Pulau Simeuleu, Pulau Nias, dan Pulau Enggano.

Terdapat beberapa potensi besar yang dimiliki perairan darat Indonesia. Pertama, Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah spesies ikan air tawar terbesar ke-3 di dunia, yaitu sebanyak ± 1.400 jenis ikan. Kedua, terdapat 9 jenis spesies dan subspecies ikan sidat yang berada di Indonesia, dari 18 jenis spesies dan subspecies yang ada di dunia. Ketiga, ikan hias perairan darat yang mendunia merupakan jenis asli dari Indonesia. Keempat, Indonesia memiliki ragam kuliner khas nusantara yang berasal dari perairan darat. Beberapa contohnya adalah ikan belida yang menjadi kuliner khas Palembang, ikan baung, ikan lais, ikan patin, serta ikan tapah yang juga menjadi kuliner khas wilayah Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, terdapat pula beberapa kontribusi perikanan perairan darat terhadap pembangunan nasional, diantaranya adalah:

  • Sumber protein dan ketahanan pangan. Ikan produksi perikanan tangkap di perairan darat merupakan sumber protein hewani yang terjangkau dan digemari oleh masyarakat. Ikan produksi perikanan tangkap perairan darat umumnya lebih segar dan bebas bahan pengawet, karena sistem penangkapan dilakukan pada jarak yang dekat dan waktu dan tidak lama.
  • Sumber devisa dan pendapatan asli daerah. Adanya potensi perputaran ekonomi yang besar per tahunnya. Selain itu, terdapat potensi pemasaran ikan sidat dan ikan hias perairan darat ke mancanegara, serta potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pengelolaan TPU dan sistem lelang/sewa kawasan penangkapan ikan.
  • Sumber ekonomi rakyat. Terdapat sejumlah masyarakat yang mencari nafkah dengan menangkap ikan di perairan daray serta banyaknya unit usaha kuliner yang memiliki bahan baku yang berasal dari produksi perikanan tangkap di perairan darat.
  • Obyek pariwisata. Terdapat beberapa lokasi perairan darat di Indonesia yang mendunia, seperti Danau Toba, Danau Kerinci, Danau Matano, serta Danau Sentarum. Selain itu, terdapat pula potensi sport fishing atau recreational yang dapat dikembangkan di Indonesia.

Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia di Perairan Darat
  • Bahan paparan Kementerian Kelautan dan Perikanan. “PELUANG, TANTANGAN DAN ARAHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN DARAT YANG BERKELANJUTAN DI INDONESIA. Juni 2020
  • Trubus. 2020. “Pengelolaan Perikanan Darat Berbasis Masyarakat Kedepankan Keberlanjutan Ekologi”. Diperoleh 4 Mei 2021 dari https://m.trubus.id/baca/37364/pengelolaan-perikanan-darat-berbasis-masyarakat-kedepankan-keberlanjutan-ekologi

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara

Galuh Shita

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, wilayah perairan Indonesia terbagi menjadi 11 wilayah pengelolaan perikanan. Dasar penentuan wilayah pengelolaan perikanan mengacu pada kondisi fisik, ekologi dan oseanografi perairan Indonesia. Selain itu WPP RI dalam kodefikasinya juga mengacu pada kodefikasi Food and Agriculture Organization (FAO) untuk dapat digunakan secara regional dan internasional. Secara internasional, perairan untuk perikanan dibagi menjadi dua yaitu perairan umum dan perairan darat. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan untuk pembagian kode statistic kawasan tersebut adalah sebagai berikut:

  • Batas alami wilayah dan pembagian alami lautan dan laut
  • Kawasan yang dikembangkan oleh badan-badan perikanan yang dibentuk berdasarkan konvensi dan perjanjian antar negara
  • Praktek-praktek umum yang berlaku secara nasional
  • Batas-batas maritim negara
  • Sistem grid bujur dan lintang
  • Distribusi fauna aquatik
  • Distribusi sumberdaya dan kondisi lingkungan di kawasan tersebut

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia mendefinisikan WPP RI sebagai wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, danpengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia. Keseluruhan wilayah pengelolaan perikanan tersebut kemudian dibagi ke dalam 11 wilayah pengelolaan.

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Indonesia

Adapun 11 wilayah pengelolaan perikanan Negara Indonesia yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:

  1. WPPNRI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman
  2. WPPNRI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda
  3. WPPNRI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat
  4. WPPNRI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan
  5. WPPNRI 712 meliputi perairan Laut Jawa
  6. WPPNRI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali
  7. WPPNRI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda
  8. WPPNRI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau
  9. WPPNRI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera
  10. WPPNRI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik
  11. WPPNRI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur

Dilansir dari publikasi milik Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010, perairan Indonesia berada pada dua area berdasarkan pembagian wilayah statistik perikanan FAO, yaitu area 57 kawasan Samudera Hindia bagian timur (Eastern Indian Ocean) dan area 71 (the Western Central Pacific) kawasan Indo-Pasifik bagian barat. Satuan penomoran yang digunakan dalam kodesifikasi WPP RI mengikuti kedua area tersebut dengan kode lokal berurutan dari nomor 1 dan seterusnya dimulai dari arah barat ke timur.

Potensi erikanan utama yang berada di area 57 adalah shad, catfish, ponyfishes, croackers, mullets, carangids, sarden, anchovies, tuna dan spesies mirip tuna, makarel, hiu, prawns, udang, lobster, cockles, dan cephalopoda. Sementara perikanan pada area 71 sangat kaya akan sumberdaya demersal, termasuk udang bungkuk (penaeid shrimp), dan sumberdaya pelagis kecil. Sementara pada kawasan lepas pantai yang meliputi perluasan pulau-pulau Samudera Pasifik, adalah kawasan yang sangat kaya akan ikan tuna.

Dengan wilayah laut Indonesia yang begitu luas, sangat dimungkinkan bahwa dengan pengelolaan yang baik maka akan dapat mensejahterakan hidup masyarakat Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan membenarkan potensi Indonesia yang sangat kaya dengan hasil laut. Hal ini dibuktikan dengan nilai ekspor hasil perikanan Indonesia yang jumlahnya cukup besar. Pada triwulan 1 tahun 2020, pemerintah mencatat nilai ekspor hasil perikanan Indonesia pada Maret 2020 yang mencapai USD427,71 Juta atau meningkat 3,92% dibandingkan dengan Maret 2019. Sedangkan volume ekspor hasil perikanan pada Maret 2020 mencapai 105,20 ribu ton atau meningkat 4,89% dibandingkan dengan Maret 2019. Adapun negara-negara yang menjadi tujuan ekspor terbesar adalah Amerika Serikat, Tiongkok, beberapa negara di ASEAN, Jepang, dan Uni Eropa. Dari sisi komoditas, udang mendominasi ekspor ke negara-negara tersebut dengan nilai mencapai USD466,24 juta (37,56%). Disusul tuna-tongkol-cakalang (TTC) dengan nilai USD 176,63 juta (14,23%), cumi-sotong-gurita dengan nilai USD 131,94 juta (10,63%), rajungan-kepiting dengan nilai USD105,32 Juta (8,48%) dan rumput laut dengan nilai USD53,75 Juta (4,33%).


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2014 tentang WPP RI
  • KKP. 2020. “TRIWULAN I 2020, NILAI EKSPOR PERIKANAN CAPAI USD1,24 MILIAR”. Diperoleh 4 Mei 2021 dari https://kkp.go.id/artikel/18769-triwulan-i-2020-nilai-ekspor-perikanan-capai-usd1-24-miliar#:~:text=Berdasarkan%20data%20Badan%20Pusat%20Statistik,34%25%20dibanding%20ekspor%20Februari%202020.&text=%E2%80%9CVolume%20ekspor%20hasil%20perikanan%20Indonesia,37%25%20dibanding%20ekspor%20Februari%202020
  • Pelakita. 2020. “Apa itu WPP dan dari mana sumber penomoran itu?”. Diperoleh 4 Mei 2021 dari https://pelakita.id/2020/07/26/apa-itu-wpp-dan-dari-mana-sumber-penomoran-itu/
  • Publikasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya

Galuh Shita

Sebagai negara yang sangat luas dengan jumlah pulau-pulau kecil yang sangat banyak, seluruh rakyat Indonesia tentu berharap agar kondisi ini dapat memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia. Pemerintah memiliki regulasi dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada UU tersebut, disebutkan bahwa pemerintah mengizinkan penanaman modal asing dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya yang dapat diperoleh melalui izin menteri.

Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dengan Luas di Bawah 100 Km². Terbitnya peraturan ini tentu sangatlah menunjukkan sikap kepedulian pemerintah untuk mengatur pemanfaatan pulau kecil dan perairan sekitarnya menjadi lebih baik.

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya dalam Rangka Penanaman Modal Asing

Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib untuk memperhatikan pemanfaatan sumber daya hayati dan/atau pemanfaatan jasa lingkungan berkelanjutan, kerentanan dan kelestarian ekosistem pulau-pulau kecil, daya dukung dan daya tampung lingkungan, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, keberadaan situs budaya tradisional, teknologi yang digunakan, dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Adapun pemanfaatan pulau-pulau kecil juga wajib untuk menyediakan akses publik, memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan pulau-pulau kecil dan perairan, serta wajib untuk mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota yang berwenang.

Sementara persyaratan yang harus dipenuhi berkaitan dengan penanaman modal asing yaitu wajib untuk bekerja sama dengan peserta Indonesia, pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia, dan pengalihan teknologi. Hal ini dilakukan pemerintah agar negara dapat turut berperan dan terlibat langsung dalam pemanfaatannya. Terkait dengan pengalihan saham, ketentuan yang diatur dalam peraturan ini adalah sebanyak minimal 20% dan harus dilaksanakan dalam kurun waktu 10 tahun sejak diterbitkannya izin usaha.

Prioritas Kegiatan dalam Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya dalam Rangka Penanaman Modal Asing

Jenis serta luasan lahan yang akan dimanfaatkan haruslah sesuai dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K), Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT), serta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota. Pulau-pulau kecil yang akan dimanfaatkan oleh penanaman modal asing juga diarahkan untuk berada pada pulau-pulau yang tidak memiliki penghuni dan belum dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Alokasi pemanfaatan ruang di pulau kecil diatur dengan kriteria sebagai berikut:

  • paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau dikuasai langsung oleh Negara (digunakan untuk area publik, kepentingan masyarakat, dan lainnya)
  • paling banyak 70% (tujuh puluh persen) dari luas pulau dapat dimanfaatkan oleh Pelaku Usaha. Atau luasan dapat disesuaikan arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota
  • paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luasan lahan yang dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau atau kawasan lindung

Ilustrasi Alokasi Pemanfaatan Ruang di Pulau-Pulau Kecil

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan

Izin pemanfaatan pulau kecil dalam rangka penanaman modal asing perlu mendapat persetujuan menteri, yang diberikan kepada pelaku usaha berbadan hukum yang berbentuk perseroan terbatas. Sebelumnya, pelaku usaha harus mengajukan permohonan terlebih dahulu melalui Lembaga Online Single Submission (OSS). Adapun dokumen rencana yang harus dipersiapkan adalah sebagai berikut:

  • surat rekomendasi dari bupati/walikota
  • rencana usaha, yang harus memuat:
    • penjelasan rencana usaha dan jenis kegiatan
    • peta lokasi pemanfaatan tanah dan perairan disertai luasan dan koordinat geografis
    • rencana pemberian akses publik
    • rencana pengalihan teknologi
    • rencana kerja sama dengan peserta Indonesia
    • rencana pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia
    • pertimbangan aspek ekologi, aspek sosial budaya, dan aspek ekonomi dalam pelaksanaan usaha

Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dengan Luas di Bawah 100 Km²

Pemerintah juga memberikan rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km² melalui peraturan menteri yang sama. Disebutkan bahwa persyaratan permohonan untuk izin pemanfaatan juga dilakukan dengan melalui sistem OSS. Izin rekomendasi ini dikecualikan bagi masyarakat lokal dan masyarakat tradisional untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Pelaku usaha perorangan dan badan hukum koperasi atau korporasi dapat mengajukan rekomendasi pemanfaatan, dengan memenuhi beberapa persyaratan dokumen seperti:

  1. Nomor Induk Berusaha (NIB)
  2. Rencana usaha yang paling sedikit memuat:
  3. penjelasan rencana usaha dan jenis kegiatan
  4. peta lokasi pemanfaatan lahan dan perairan disertai luasan dan koordinat geografis
  5. data daya dukung lingkungan dan kerentanan pulau
  6. mengikuti aturan luasan lahan di Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
  7. Bukti pemilikan dan/atau penguasaan tanah yang sah dan menyatakan bahwa sudah tidak terdapat permasalahan dengan pihak lain.

Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dengan Luas di Bawah 100 Km

Izin Lokasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Galuh Shita

Setiap investasi dan pemanfaatan ruang di wilayah laut haruslah mengantongi izin lokasi. Pengaturan terhadap izin lokasi ini menjalankan amanat yang terkandung di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut (RTRL). Seperti diketahui bahwa peraturan terkait RTRL merupakan acuan serta alat kendali pemerintah untuk memastikan keberlanjutan di wilayah perairan. Hal ini dikarenakan PP ini menjadi acuan dalam penyusunan perencanaan zonasi untuk kawasan strategis nasional, kawasan strategis nasional tertentu, kawasan antarwilayah, serta wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagai acuan penyusunan kebijakan kelautan nasional, dan acuan pemberian izin di laut.

Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 54 Tahun 2020 tentang Izin Lokasi, Izin Pengelolaan, dan Izin Lokasi di Laut, disebutkan bahwa pelaku usaha yang melakukan pemanfaatan ruang atau pemanfaatan sumber daya di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi secara menetap dan terus menerus selama paling singkat 30 hari diwajibkan untuk memiliki izin lokasi, izin pengelolaan, atau izin lokasi di laut. Di mana disebutkan bahwa wilayah perairan meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut territorial. Sementara cakupan wilayah yurisdiksi meliputi zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen.

Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Sementara pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² beserta kesatuan ekosistemnya.

Izin Lokasi

Izin lokasi merupakan izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian perairan pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil. Izin lokasi berupa dokumen kesesuaian ruang atau zonasi yang dipersyaratkan dalam perizinan sektor lain sesuai dengan ketentuan perundangan. Izin lokasi juga menjadi dasar untuk pemberian izin pengelolaan atau izin usaha sektor lain yang memanfaatkan ruang laut secara menetap di sebagian perairan pesisir dan izin pelaksanaan reklamasi.

Izin lokasi diberikan berdasarkan rencana zonasi, yang meliputi rencana zonasi KSN, KSNT, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta rencana pengelolaan kawasan dan zonasi kawasan konservasi. Namun, pemberian izin juga dapat diberikan berdasarkan data RTRL, seperti:

  • pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang bernilai strategis nasional dan belum dimuat dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, rencana zonasi KSN, rencana zonasi KSNT, atau rencana pengelolaan kawasan dan zonasi kawasan konservasi
  • pendirian atau penempatan bangunan dan instalasi di laut berupa pipa dan/atau kabel bawah laut, dan instalasi minyak dan gas bumi yang melintasi perairan pesisir

Izin Pengelolaan

Izin pengelolaan merupakan izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil. Izin pengelolaan dapat diberikan berdasarkan izin lokasi. Pelaku usaha dapat melakukan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan produksi garam, wisata bahari, pemanfaatan laut selain energi, pengusahaan pariwisata alam perairan di kawasan konservasi, pengangkatan BMKT (Benda Muatan Kapal Tenggelam), biofarmakologi laut, dan bioteknologi laut.

Izin Lokasi di Laut

Izin lokasi di laut merupakan izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang secara menetap di sebagian ruang laut yang mencakup permukaan laut, kolom air, permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu, dan dapat diberikan berdasarkan rencana zonasi kawasan antarwilayah atau data RTRL. Izin lokasi di laut TIDAK DAPAT diberikan pada zona inti di kawasan konservasi dan kawasan konservasi untuk kegiatan pertambangan mineral dan batu bara dengan metode terbuka, dumping, dan reklamasi.

Tidak hanya kepada pelaku usaha, untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, pemerintah memberikan fasilitasi perizinan terhadap masyarakat lokal untuk kegiatan perikanan tangkap dengan alat penangkapan ikan statis, perikanan budidaya menetap, pergaraman, wisata bahari, dan permukiman di atas air. Masyarakat lokal memperoleh fasilitasi perizinan yang ditetapkan oleh bupati atau walikota. Berbeda dengan pelaku usaha yang dapat mengajukan pengurusan izin lokasi melalui Lembaga OSS (Online Single Submission). Luasan izin lokasi dapat diberikan dengan mempertimbangkan jenis kegiatan dan skala usaha, daya dukung dan daya tamping/ketersediaan ruang perairan, kebutuhan ruang untuk mendukung kepentingan kegiatan, pemanfaatan perairan yang telah ada, teknologi yang digunakan, serta potensi dampak yang lingkungan yang mungkin ditimbulkan dari kegiatan yang diusulkan.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 54 Tahun 2020 tentang Izin Lokasi, Izin Pengelolaan, dan Izin Lokasi di Laut

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Galuh Shita

Indonesia sebagai negara yang kepulauan yang sangat luas memiliki wilayah pesisir serta keberadaan pulau-pulau kecil yang membentang luas dan tersebar di seluruh penjuru. Hal ini tentu berbanding lurus dengan potensi yang dimilikinya untuk dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Berdasarkan hal tersebut maka pengelolaan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu diatur pengelolaannya.

Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dinilai strategis untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dilansir dari penjelasan Undang-Undang tersebut, dikatakan bahwa dalam pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil belum memberikan hasil yang optimal. Pemerintah kemudian melakukan perubahan pada Undang-Undang tersebut dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.

Definisi dari Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah untuk:

  • melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan
  • menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
  • memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan
  • meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil

Lingkup Perencanaan dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K)

RSWP-3-K merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pembangunan jangka panjang setiap Pemerintah Daerah.

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K)

RZWP-3-K diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota, yang memiliki muatan sebagai berikut:

  • pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut
  • keterkaitan antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut dalam suatu Bioekoregion
  • penetapan pemanfaatan ruang laut
  • penetapan prioritas Kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi, transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan dan keamanan.

Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K)

Dokumen rencana ini berisikan muatan sebagai berikut

  • kebijakan tentang pengaturan serta prosedur administrasi penggunaan sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang
  • skala prioritas pemanfaatan sumber daya sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • jaminan terakomodasikannya pertimbangan-pertimbangan hasil konsultasi publik dalam penetapan tujuan pengelolaan Kawasan serta revisi terhadap penetapan tujuan dan perizinan
  • mekanisme pelaporan yang teratur dan sistematis untuk menjamin tersedianya data dan informasi yang akurat dan dapat diakses
  • ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih untuk mengimplementasikan kebijakan dan prosedurnya.

Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K)

RAPWP-3-K dilakukan dengan mengarahkan Rencana Pengelolaan dan Rencana Zonasi sebagai upaya mewujudkan rencana strategis.

Setiap warga negara Indonesia, badan hukum, ataupun masyarakat adat pesisir dapat melakukan pemanfaatan pengusahaan di perairan pesisir dengan sebelumnya perlu untuk mengantongi hak pengusahaan terlebih dahulu. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) merupakan hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.

Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap juga wajib memiliki izin lokasi yang diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun izin lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.

Kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil mencakup kegiatan produksi garam, biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain energi, wisata bahari, pemasangan pipa dan kabel bawah laut, dan pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, wajib memiliki Izin Pengelolaan. Sementara pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budi daya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industry perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, dan pertahanan dan keamanan negara. Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan, maka pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat, dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Tata Ruang Laut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang RTRL

Galuh Shita

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dan memiliki garis pantai yang panjang membentang berbanding lurus dengan hasil kekayaan laut Indonesia begitu melimpah, sehingga diperlukan suatu tata ruang khusus agar tidak disalahgunakan. Dilansir dari antaranews, direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan alasan perlunya dilakukan sebuah perencanaan tata ruang laut di Indonesia, yakni dikarenakan adanya pandangan bahwa laut merupakan properti bersama, berbeda dengan daratan yang dapat dimiliki sehingga diperlukan suatu peraturan zonasi. Hal ini untuk menghindari adanya penyalahgunaan aktivitas di laut. Sehingga kemudian berbagai hal tersebut mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan berkaitan dengan laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut.

Sebelumnya, peraturan mengenai kelautan sendiri telah diatur dalam beberapa peraturan perundangan, yakni:

  • Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyebutkan bahwa penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang Wilayah Yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang Laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang menyebutkan bahwa pengelolaan ruang Laut meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan menyebutkan bahwa perencanaan tata ruang Laut merupakan proses perencanaan untuk menghasilkan Rencana Tata Ruang Laut

Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa ruang lingkup perencanaan tata ruang laut terbagi mencakup wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. Dimana wilayah perairan mencakup perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan Laut teritorial yang di dalamnya negara memiliki kedaulatan dan dapat memberlakukan yurisdiksinya berdasarkan ketentuan perundangundangan dan hukum internasional. Sedangkan wilayah yurisdiksi mencakup wilayah di luar wilayah negara yang terdiri atas zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen, dimana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Penyusunan dokumen Rencana Tata Ruang Laut menjadi pedoman untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional bidang kelautan; penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional bidang kelautan; perwujudan keterpaduan dan keserasian pembangunan serta kepentingan lintas sektor dan lintas wilayah dalam memanfaatkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang laut; penetapan lokasi dan fungsi ruang laut untuk kegiatan yang bernilai strategis nasional; perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; perencanaan zonasi kawasan laut; dan arahan dalam pemberian izin lokasi perairan dan izin pengelolaan perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta di laut.

Muatan Rencana Tata Ruang Laut

Wilayah PerairanWilayah Yurisdiksi
Kebijakan dan strategi penataan ruang laut wilayah perairanRencana struktur ruang laut wilayah perairanRencana pola ruang laut wilayah perairanPenetapan kawasan pemanfaatan umum yang memiliki nilai strategis nasionalKebijakan dan strategi penataan ruang laut wilayah yurisdiksi;Rencana struktur ruang laut wilayah yurisdiksiRencana pola ruang laut wilayah yurisdiksi.

Tata ruang laut memiliki ketentuan terhadap rencana struktur dan pola ruang. Pada rencana struktur ruang wilayah, muatan substansi menitikberatkan pada 2 hal yakni susunan pusat pertumbuhan kelautan (mencakup pusat pertumbuhan kelautan dan perikanan; serta pusat industri kelautan) dan sistem jaringan prasarana dan sarana laut yang berupa tatanan kepelabuhanan nasional dan perikanan. Sedangkan pada rencana pola ruang, muatan substansi mencakup kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur laut, dan KSNT (Kawasan Strategis Nasional Tertentu). Adapun rencana pola ruang laut wilayah perairan wajib untuk memenuhi:

  • ketentuan daya dukung dan daya tamping lingkungan
  • persyaratan pengelolaan lingkungan
  • penggunaan teknologi ramah lingkungan
  • pelaksanaan hak dan kewajiban negara pantai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan hukum internasional

Seperti diketahui bahwa pemerintah mengeluarkan PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan penataan ruang. Pada peraturan tersebut disebutkan bahwa dokumen RTRW akan turut mencakup tata ruang laut sehingga tidak terjadi tumpeng tindih kebijakan. Dilansir dari laman Kementerian Kelautan dan Perikanan per Februari 2021, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengumumkan status perencanaan ruang laut Indonesia/Indonesia’s Marine Spatial Planning (MSP) pada laman MSP Global, Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) – UNESCO. MSP Indonesia yang dimuat pada laman MSP Global menggambarkan status MSP per Juni 2020. Pada laman ini memuat informasi dan status Rencana Tata Ruang Laut yang telah ditetapkan melalui PP Nomor 32 Tahun 2019 dan seluruh Rencana Zonasi di tingkat nasional yang meliputi Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah (RZ KAW), Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (RZ KSN), dan Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT) maupun di tingkat provinsi yang terdiri dari Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Disebutkan pula bahwa status MSP Indonesia dalam laman ini akan dimutakhirkan lagi pada pertengahan tahun 2021 dan akan menyesuaikan dengan perkembangan Undang-Undang Cipta Kerja, lalu setiap tahun akan dimutakhirkan Kembali sesuai dengan status perkembangannya.


Bahan Bacaan

  • Antaranews. 2019. “Alasan Perlunya Perencanaan Tata Ruang Laut”. Diperoleh 27 April 2021 dari https://www.antaranews.com/berita/926055/alasan-perlunya-perencanaan-tata-ruang-laut#mobile-src
  • Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2021. “KKP Umumkan Status Perencanaan Ruang Laut Indonesia di UNESCO”. Diperoleh 27 April 2021 dari https://kkp.go.id/djprl/artikel/27203-kkp-umumkan-status-perencanaan-ruang-laut-indonesia-di-unesco
  • Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut

Muatan RTRW dalam PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Galuh Shita

Pemerintah telah mengesahkan dan mensosialisasikan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Peraturan tersebut dikeluarkan sebagai bentuk melengkapi amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Seperti diketahui bahwa secara garis besar penataan ruang menjadi salah satu pasal yang dituangkan dalam UU Cipta Kerja dan semua pihak dari Kementerian ATR/BPN untuk dapat pro aktif mendukung pemerintah daerah dalam mempercepat penataan ruang.

Seperti diketahui bahwa keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah mengubah sebagian muatan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Di mana peraturan perundangan tersebut merupakan landasan hukum penyelenggaraan penataan ruang secara nasional, sehingga perlu untuk mensinergikan serta mengintegrasikan perubahan tersebut ke dalam suatu peraturan baru, sehingga pemerintah mengeluarkan peraturan baru melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Di dalam PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang mengamanatkan penyederhanaan hirarki produk penataan ruang. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Penyederhanaan Hirarki Produk Rencana Tata Ruang

Sumber: diolah dari Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021

Penghapusan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi dan Kabupaten/Kota dilakukan untuk menghindari tumpeng tindih antar produk rencana tata ruang. Muatan substansi kawasan strategis kemudian diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kabupaten/Kota. Seperti dapat dilihat pada gambar di atas, dapat dilihat bahwa penyederhanaan dokumen perencanaan ruang dilakukan dengan memangkas Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Namun sebagai gantinya substansi dalam dokumen tersebut diintegrasikan ke dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam PP 21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang ditujukan untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan yang termanifestasi dalam penyusunan rencana tata ruang, pemaduserasian antara struktur ruang dan pola ruang, penyelarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungan, perwujudan keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah, serta penciptaan kondisi peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang yang mendukung iklim investasi dan kemudahan berusaha.

Pengintegrasian Muatan Teknis Ruang Laut ke dalam Dokumen Tata Ruang Wilayah

Sumber: Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021

Melalui peraturan pemerintah ini, maka substansi yang berkaitan dengan elemen ruang udara, ruang darat, ruang laut, dan ruang dalam bumi akan terintegrasi menjadi satu dalam dokumen rencana tata ruang wilayah, sehingga diharapkan tidak akan terjadi tumpang tindih kebijakan. Untuk dapat mengetahui substansi muatan RTRW dapat dilihat pada tabel berikut:

Substansi RTRW dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang


Bahan Bacaan

  • Nasional Kontan. 2021. “Percepat Penataan Ruang, BPN Sosialisasi PP No.21 Tahun 2021”. Diperoleh 23 April 2021 dari https://nasional.kontan.co.id/news/percepat-penataan-ruang-bpn-sosialisasi-pp-no21-tahun-2021
  • Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Penataan Ruang dalam UU Cipta Kerja dan PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Galuh Shita

Dirancang dan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja oleh Pemerintah pada beberapa waktu lalu memberikan beberapa pengaruh pada berbagai sektor di Indonesia, salah satunya adalah sektor tata ruang. Hal ini juga kemudian mendorong pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang sebagai amanat dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja mengubah sebagian muatan dalam UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Kelautan. Sehingga dengan kata lain, UU Cipta Kerja menjadi landasan hukum bagi penyelenggaraan penataan ruang secara nasional.

Seperti diketahui bahwa penataan ruang sendiri telah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka secara otomatis mengubah beberapa hal yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Berikut merupakan beberapa perubahan terkait penataan ruang yang terdapat di dalam UU tersebut.

Pokok Perubahan dalam UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan dikeluarkannya UU Cipta Kerja

Sumber: Paparan Implikasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Terhadap Penataan Ruang oleh Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota ITB

UU Cipta Kerja dan PP Nomor 21 Tahun 2021 dinilai oleh pemerintah sebagai salah satu langkah strategis dalam mengatasi permasalahan investasi dan penciptaan lapangan kerja, yang salah satunya diakibatkan oleh tumpang tindih pengaturan penataan ruang. Peraturan ini juga dikeluarkan guna memberikan kemudahan investasi melalui perwujudan pemanfaatan ruang yang strategis. Selama ini proses penataan ruang dianggap rumit dan berbelit-belit sehingga dengan dikeluarkannya peraturan perundangan ini dapat memutus permasalahan yang ada dan memberikan kemudahan dalam konteks iklim investasi. Hal ini sesuai dengan aspirasi Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian, Wahyu Utomo, yang dilansir dari hukumonline, bahwa sektor penataan ruang sangatlah penting untuk dimaksimalkan agar dapat mendukung kegiatan ekonomi, khususnya tentang kesesuaian kegiatan pemanfataan ruang dalam perizinan berusaha.

Dampak Perubahan Dikeluarkannya UU CK dan PP Nomor 21 Tahun 2021

Sumber: Bahan Paparan Sosialiasi Kebijakan Penataan Ruang oleh Kementerian ATR BPN

Dalam PP Nomor 21 Tahun 2021 disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dimaksudkan untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan yang termanifestasi dalam penyusunan Rencana Tata Ruang, pemaduserasian antara struktur ruang dan pola ruang, penyelarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungan, perwujudan keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah, serta penciptaan kondisi peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang yang mendukung iklim investasi dan kemudahan berusaha.

Dilansir dari kontan, Direktur Jenderal Tata Ruang, Abdul Kamarzuki, menyatakan bahwa tata ruang menjadi prasyarat dasar pedoman usaha maupun perusahaan yang akan berdiri. Dalam UU Cipta Kerja, persyaratan dasar perizinan investasi dan usaha meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan dan persetujuan bangunan.

Kini pemerintah tengah gencar mensosialisasikan PP Nomor 21 Tahun 2021 secara luas agar masyarakat dapat memahami dan menyesuaikan hal-hal yang berkaitan dengan penataan ruang. Salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah melalui PP Nomor 21 Tahun 2021 adalah dengan mengubah susunan muatan substansi pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Adapun dokumen RTRW kini mengintegrasikan tata ruang laut, darat, udara, dan dalam bumi ke dalam satu kesatuan dokumen. Adapun muatan yang terkandung dalam PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang secara garis besar mengatur berbagai ketentuan yang berkaitan dengan penataan ruang, seperti:

  • Perencanaan tata ruang yang mengatur ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang.
  • Pemanfaatan ruang yang mengatur ketentuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dan sinkronisasi program pemanfaatan ruang.
  • Pengendalian pemanfaatan ruang, yang mengatur penilaian pelaksanaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, penilaian perwuiudan rencana tata ruang, pemberian insentif dan disinsentif, pengenaan sanksi, dan penyelesaian sengketa penataan ruang.
  • Pengawasan penataan ruang, yang meliputi pemantauan evaluasi, dan pelaporan, yang merupakan upaya untuk menjaga kesesuaian penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dilaksanakan baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat.
  • Pembinaan penataan ruang yang mengatur tentang bentuk dan tata cara pembinaan penataan ruang yang diselenggarakan secara sinergis oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.
  • Pembinaan penataan ruang juga mencakup pengaturan mengenai pengembangan profesi perencana tata ruang untuk mendukung peningkatan kualitas dan efektivitas penyelenggaraan penataan ruang.
  • Kelembagaan penataan ruang yang mengatur mengenai bentuk, tugas, keanggotaan, dan tata kerja forum penataan ruang.

Bahan Bacaan

  • Nasional Kontan. 2021. “Percepat Penataan Ruang, BPN Sosialisasi PP No.21 Tahun 2021”. Diperoleh 23 April 2021 dari https://nasional.kontan.co.id/news/percepat-penataan-ruang-bpn-sosialisasi-pp-no21-tahun-2021
  • Indrajati, RM Petrus Natalivan. 2020. “Implikasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Terhadap Penyelenggaraan Penataan Ruang”. Diperoleh 23 April 2021 dari http://bappeda.jabarprov.go.id/wp-content/uploads/2020/12/20201211-Implikasi-UU-CK-terhadap-Penyelenggaraan-Penataan-Ruang.pdf
  • Rizki, Januar Mochamad. 2020. “Ini Pokok Aturan Pelaksana UU Cipta Kerja Soal Tata Ruang, Industri dan Perdagangan Peraturan”. Diperoleh 23 April 2021 dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fcb084347f1b/ini-pokok-aturan-pelaksana-uu-cipta-kerja-soal-tata-ruang–industri-dan-perdagangan/
  • Bahan Paparan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengenai Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang Nomor 21 Tahun 2021
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Pengurusan Perubahan Pajak Bumi dan Bangunan

Galuh Shita

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pungutan atas tanah dan bangunan yang memiliki nilai sosial dan ekonomi yang dibebankan karena adanya keuntungan atau kedudukan sosial ekonomi bagi seseorang atau badan yang memiliki hak atau memperoleh hak di atasnya. Pajak bumi dan bangunan merupakan pajak yang bersifat kebendaan, dengan kata lain besaran pajak terutang ditentukan dari keadaan objek pajak tersebut yaitu bumi, tanah, dan bangunan, sedangkan keadaan subyeknya tidak ikut menentukan besarnya barang. Seperti diketahui, Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi pembangunan daerah maupun nasional guna meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan PBB-P2 adalah bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, objek PBB-P2 dibagi menjadi 2, yakni objek pajak umum dan objek pajak khusus. Objek pajak khusus merupakan objek pajak yang memiliki konstruksi umum dengan keluasan tanah berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Sedangkan objek pajak khusus merupakan objek pajak yang memiliki konstruksi khusus atau keberadaannya memilki arti yang khusus, seperti jalan tol, galangan kapal, dermaga, lapangan golf, pabrik semen/pupuk, tempat rekreasi, tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, stasiun pengisian bahan bakar, dan menara.

Pungutan atas PBB didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, maka kewenangan dalam pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) telah diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota, sedangkan kewenangan dalam pemungutan pajak di sektor Pertambangan, Perhutanan, dan Perkebunan (PBB P3) masih di bawah wewenang pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Penentuan pajak dilakukan berdasarkan NJOP yang juga berdasarkan pada luasan persil tanah atau bangunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi persil sendiri berarti sebidang tanah dengan ukuran tertentu (untuk perkebunan atau perumahan). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kewenangan dalam pemungutan pajak bumi dan bangunan diserahkan kepada pemerintah daerah, termasuk ke dalam persyaratan dan tata caranya.

Pembaharuan terhadap informasi pemetaan dan pendataan data persil obyek PBB-P2 merupakan salah satu cara untuk meminimalisir permasalahan yang sering terjadi dari tahun ketahun untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan public. Tak dapat dipungkiri bahwa terdapat kelompok masyarakat yang melakukan perubahan terhadap persil PBB yang dimilikinya sehingga pembaharuan data obyek PBB menjadi sangat penting.

Berikut merupakan persyaratan serta langkah yang harus ditempuh dalam melakukan pengurusan perubahan PBB.

 (Kab. Gunung Kidul)  
Syarat Perubahan/Pembetulan Data SPPT-PBB P2 (secara peseorangan)
(Karanganyar)
Pembetulan Kesalahan Tulis, Kesalahan Hitung dan Kesalahan Penerapan Ketentuan PBB
(Kabupaten Kutai Barat)  
1. Pendaftaran Data Baru PBB 2. Mutasi Objek, Subjek Pajak 3. Pemecahan 4. Pembetulan,lt,lb & nama Wajib Pajak 5. Keberatan NJOP 6. Keterangan NJOP 7. Duplikat SPPT PBB
Persyaratan– Mengajukan Surat Permohonan
– Mengisi formulir SPOP (Surat Permohonan Objek Pajak)
– Mengisi formulir LSPOP (Lampiran SPOP)
– Melampirkan Fotokopi KTP
– Melampirkan fotokopi bukti kepemilikan tanah (akta/sertifikat/letter C/Model D/Surat Ukur)
– Melampirkan print out pelunasan PBB P2 tahun sebelumnya
– Surat permohonan Wajib Pajak yang telah diisi lengkap
– Fotokopi SPPT PBB tahun pajak sebelumnya
– Fotokopi bukti pembayaran PBB tahun pajak sebelumnya
– Pengisian SPOP/LSPOP
– Formulir permohonan
– FC KTP /KK pemohonSertifikat, PPAT
– Akta jual beli/hibah/warisSurat keterangan kepala Kampung /lurah
– Foto copy surat bangunan antara lain, IMB, IPB, HGU
– Dokumen lainnya dari wajib pajak
Sistem, Mekanisme, Prosedur– Pengguna Layanan mengambil nomor antrian
– Pengguna Layanan mengisi formulir dan menyerahkan berkas persyaratan
– Petugas Layanan memeriksa dan meneliti kelengkapan dan kelengkapan berkas persyaratan
– Petugas me- register permohonan
– Pengguna Layanan menerima bukti pengajuan permohonan
– Pengguna Layanan menunggu proses pelayanan (catatan: pengguna layanan memberikan nomor yang bisa dihubungi untuk klarifikasi dan atau untuk memberitahukan selesainya permohonan sebelum batas waktu yang ditentukan)
– Wajib Pajak mendatangi langsung Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan mengambil nomor antrian
– Petugas TPT memanggil nomor antrian
– Wajib Pajak mendatangi Loket TPT dan menyerahkan Formulir pembetulan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan kesalahan penerapan ketentuan PBB Sektor Lainnya
– Petugas TPT mengecek kelengkapan dokumen
– Dalam hal berkas permohonan belum lengkap, petugas mengembalikan berkas permohonan Wajib Pajak dan menginformasikan apa saja yang masih harus dilengkapi
– Dalam hal berkas permohonan telah lengkap, petugas TPT menerbitkan Bukti Penerimaan Surat dan disampaikan kepada Wajib Pajak
– Dalam jangka waktu 5 (lima) hari setelah tanggal BPS, Pelaksana Layanan mencetak SPPT PBB pembetulan dan menyampaikannya kepada Wajib Pajak melalui pos dengan bukti pengiriman surat
– Wajib Pajak mengurus pendaftaran objek pajak pada Badan Pendapatan Daerah
– Pendaftaran objek pajak meliputi: – Identifikasi objek pajak – Verifikasi data objek pajak; dan – Pengukuran bidang objek pajak
– Pendaftaran objek pajak dituangkan dalam formulir SPOP dan/atau LSPOPSPOP dan/atau LSPOP disediakan dan dapat diperoleh dengan cuma-cuma di Badan Pendapatan Daerah atau tempat-tempat lain yang ditunjuk dan diisi dengan jelas, benar,lengkap dan ditandatangani oleh subjek pajak dan dikembalikan ke Badan Pendapatan Daerah selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya SPOP dan/atau LSPOP oleh subjek pajak atau kuasanya dengan melengkapi persyaratan pendaftaran PBB
– Pendataan objek pajak di lakukan oleh Badan Pendapatan daerah dengan menuangkan hasilnya dalam formulir SPOP dan/atau LSPOP berdasarkan hasil pendataan terhadap objek pajak di berikan NOP.Penilaian objek pajak dilakukan oleh Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Kutai Barat dengan menggunakan pendekatan penilaian yang telah ditentukan Kepala Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Kutai Barat atas nama Bupati menerbitkan SPPT/SKPD/SKPDNSPPT dicetak/diterbitkan berdasarkan data yang telah tersedia pada basis data Pemerintah Daerah dan/atau berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak
– SPPT/SKPD/SKPDN dapat diterbitkan melalui; – Pencetakan missal; – Pencetakan biasa dalam rangka; 1. Pembuatan salinan SPPT/SKPD 2. Penerbitan SPPT/SKPD/SKPDN sebagai tindak lanjut atas keputusan keberatan, pengurangan atau pembetulan; 3. Tindak lanjut pendaftaran objek pajak baru; dan 4. Mutasi objek dan/atau subjek pajak
Waktu Penyelesaian1 Minggu5 hari kerja10 Hari kerja (sejak permohonan diterima PPID dapat memperpanjang waktu paling lama 7 hari kerja)
Biaya/TarifTidak dipungut biayaTidak dipungut biayaTidak dipungut biaya
Produk PelayananSyarat Perubahan/Pembetulan Data SPPT-PBB P2Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan BangunanSPPT PBB

Sumber: sipp.menpan.go.id


Bahan Bacaan

  • Kompas. 2021. “Peta Zona Nilai Tanah bakal Diperbarui”. Diperoleh 13 April 2021 dari https://www.kompas.com/properti/read/2021/03/12/080000221/peta-zona-nilai-tanah-bakal-diperbarui
  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208 Tahun 2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/di-yogyakarta/kabupaten-gunung-kidul/syarat-perubahanpembetulan-data-sppt-pbb-p2-secara-peseorangan
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/kementerian-keuangan/direktorat-jenderal-pajak/kantor-wilayah-direktorat-jenderal-pajak-jawa-tengah-ii/upp-kpp-pratama-karanganyar/pembetulan-kesalahan-tulis-kesalahan-hitung-dan-kesalahan-penerapan-ketentuan-pbb
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/kalimantan-timur/kabupaten-kutai-barat/1pendaftaran-data-baru-pbb–2mutasi-objeksubjek-pajak–3pemecahan–4pembetulanltlb–nama-wajib-pajak–5keberatan-njop–6keterangan-njop—7duplikat-sppt-pbb
  • https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/kalimantan-selatan/kota-banjar-baru/pembuatan-pbb

ASSESSING THE USEFULNESS OF UNMANNED AERIAL VEHICLE (UAV) FOR MONITORING SPATIAL PLAN: LEGAL AND USER PERSPECTIVE OF BOGOR REGENCY, INDONESIA

D. Maria, F. Hamdani, J. Pratomo, M. A. Pratama, G. S. A Bidari, S. Sherida


ABSTRACT

Monitoring is a critical process in managing the land use plan. However, the current approach to collecting data related to the land use has a shortcoming. First, field survey has limitation due to the high number of resources needed, i.e., people, funds, time. Second, the participatory approach has limitation due to the lack of involvement of the citizens. Unmanned Aerial Vehicle (UAV) has developed in recent years and it has been used in the various field, i.e., urban dynamics, asset monitoring, and so on. The usage of UAV to monitor urban changes has some advantages. First, it can cover a large area and used fewer resources compared with the field survey, in term of man hour, funds and time. Second, it may provide data with a high spatial resolution, which gives a broad possibility for analyzing urban features. This research aimed to assess the usefulness of UAV in monitoring the spatial plan of Bogor Regency, Indonesia. We developed indicator according to the legal and user perspective. Our research has shown that UAV may reduce the time and resources needed to monitor the spatial plan. However, the UAV has limitation since it is difficult to indicate the changes of the land use. Therefore, we suggest incorporating with the field survey


INTRODUCTION

Monitoring is a critical process in managing the spatial plan to ensure the compliance of the implementation process (Government of The Republic of Indonesia, 2007). In Indonesia, the monitoring process is divided into two categories, i.e., technical and specific monitoring (Government of The Republic of Indonesia, 2010). Technical monitoring consists of procedures, output, functions and benefits, and monitoring the achievement of standards of minimum service. Meanwhile, the specific monitoring includes data and information and technical study on specific problems.

Although monitoring process is crucial, current approach for data collection regarding spatial planning has limitations. First, field survey has limitation due to the high number of resources needed, i.e., people, funds, time. Second, the participatory approach has limitation due to the lack of involvement of the citizens. Another method, which is satellite based imagery also has limitation due to the impact of atmospheric conditions.

Unmanned Aerial Vehicle (UAV) has developed in recent years and it has been used in the various field, i.e., urban dynamics and asset monitoring. According to Kršák et al. (2016) UAV can be used to create new opportunities for documentation since it can measure the surface in detail, create orthophoto maps of the entire area and documents the difficult areas. Furthermore, the usage of UAV may cover a large area and used fewer resources compared with the field survey, in term of man hour, funds and time. UAV also may provide data with a high spatial resolution, which gives a broad possibility for various applications. Several studies have demonstrated the usage of UAV in an urban area. For instance, research from Salvo et al. (2014)has shown the usage of UAV for urban traffic analysis. Another research from Chen et al.(2016)developed a robust method for detecting building change from UAV image.

As the buffer city of Jakarta, Bogor Regency experienced a rapid urbanization, which led to an increased demand for land. Three factors have contributed to the land demands, i.e., population growth, structural change of the society and the economic developments (Fajarini, 2014). The impact of the rapid urbanization results in various forms of environmental degradation and the probability of violation in the spatial plan. Therefore, the local government is required to monitor the spatial plan regularly to prevent violations.

However, to monitor the implementation of spatial planning also have an issue. According to the Indonesian National Law Number 26/2007, the General Spatial Plan (RTRW) cannot be used for monitoring due to the lack detailed information (Purba, 2015). However, local governments rarely have the detailed spatial plan (RDTR), which may be used for monitoring the spatial plan. Often, they develop their procedure for this purpose. Therefore, it is necessary to indicate the requirement for monitoring from the legal and the user perspective.

Currently, the government of Bogor Regency used field survey for data acquisition. Although the size of Bogor Regency is large, which is 2.664 square kilometer, the number of people-in-charge for monitoring process is limited. The Government of Bogor Regency itself has set the target for monitoring land use for more than 1,000 land parcels per year. However, they can accommodate only 200 cases per year. This research aimed to assess the usefulness of UAV in monitoring the spatial plan of Bogor Regency, Indonesia according to the legal and user perspective.

DATA AND METHODS

To evaluate the usefulness of UAV in monitoring the spatial plan, we developed a set of indicators from the two sources. First, we conducted a literature review related to the legal requirement for monitoring the spatial plan. Second, we conducted an interview, to understand the needs and requirement of the user. According to these two sources, we developed a set of indicators. The qualitative evaluation was done by comparing the requirement of the monitoring process by the UAV’s feature. To elaborate the capability of UAV to fulfil the requirement, we conducted a literature review. By the end, we came out with a matrix that indicates the usefulness of the UAV for monitoring the spatial plan, particularly in Bogor Regency. The methods used in this research can be seen in figure 1.

Figure 1 – Research Methods

RESULTS AND DISCUSSIONS

Legal and Requirement

Two components are needed to be considered in monitoring the spatial plan, which is structure and pattern (Ministry of Public Works and Public Housing, 2015). Regarding monitoring the structure, some information needs to be collected. First, the change of urban center. Second, the change of the main infrastructure. Last, the change of utility. Meanwhile, monitoring pattern consists of three measurements. First, changes in the environmental protected area. Second, changes of open green space. Third, changes in the built-up area.

Acquisition of the data mentioned above is needed to indicate and prevent the violation of spatial plan. Several patterns can be classified as a violation of the spatial plan. First, conversion of the land use. Second, permit does not comply with the spatial plan. Third, a spatial plan does not matches with the actual conditions. Fourth, development without a license. Fifth, inaccuracy of data. Sixth, administrative violations during the licensing process. The last is construction of particular parcels affecting the accessibility of public facilities.

User Requirement

The monitoring process of the spatial plan in Bogor Regency is carried out by the Department of Spatial Planning and Land Management (DTRP). DTRP developed a Standard Operating Procedure (SOP) regarding the monitoring of the spatial plan. To conduct the monitoring process, DTRP also needs to cooperate with other working units, e.g. Board of Investment and Integrated Permit (BPTSP) and Civil Service Police (Satpol PP). DTRP Bogor serves as the first substation in monitoring activities as the issuance of the construction permit. Further intensive of monitoring activities are escorted by a unit of the Department of Building Management and Housing (DTBP) to minimise the infringement.

Regarding the procedure, DTRP started by conducting a field survey for every permitted that submitted to BPTSP. If violations are found, DTRP will issue a warning letter. If the offender does not settle the issue after the third warning, then the government has any right to dismantle or revoke the landowner permits. However, due to the limited resources, DTRP needs to create a priority, which developed according to the preliminary information obtained from district authorities, also information from the citizens. Regarding the time that consumed is depends on the area and the parcels that surveyed. For the parcels sized one hectare in the industrial area, it can be done by one day. Meanwhile, for the parcels in a densely populated residential, it required up to four days.

Development of Indicators

As discussed in introductions, we developed a set of indicators according to the legal and user perspective. From the legal point of view, we noticed that three activities need to monitors, which are monitoring urban structure, urban patterns and avoiding violations. Meanwhile, from the user perspective, we noticed that the user requires methods that may reduce the resources needed and increasing the collaboration among stakeholders. Therefore, we can summarise the indicators that can be used for evaluations, which can be seen in Table 1.

Table 1. Indicators of Evaluations

Evaluations

Regarding change monitoring of urban center, it requires data that periodically collected. The change of urban center might be observed by the change of the built-up area. For this requirement, the usage of UAV has an advantage due to its ability to be deployed in the particular area and various time. Several studies have shown the usefulness of UAV to acquire spatiotemporal data. For instance, Kim et al. (2016) employed multitemporal SAR data obtained from UAV for detecting durable and permanent changes in urban areas. Another study from Rosnell et al.(2011) tested the performance of image acquired from UAV in different seasons (winter, spring, summer, autumn) and conditions (sunny, cloudy, various solar elevations).

For the second and third indicator, which are infrastructure and utilities, the usage of UAV has advantages due to the high spatial resolutions. Current UAV camera may produce an image with 6 centimetres on the spatial resolution. The usage of very high resolution (VHR) may assist the detection of the small object. Regarding the application of UAV for monitoring infrastructure and utility has demonstrated in some research. For instance, Salvo et al. (2014)used the UAV for monitoring the traffic. Another research from Sankarasrinivasan et al. (2015)used the UAV to monitor the condition of the building structure.

Similar with the advantage of the UAV in monitoring urban center, infrastructure and utility, monitoring urban pattern also require methods that may acquire multi-temporal data with appropriate spatial resolutions. However, apart from these two requirements, monitoring urban pattern also needs a platform that can cover a large area. Current development of the UAV technology has created a platform with outstanding coverage and endurance, e.g., Orion Medium-Altitude Long Endurance UAV (Figure 2) have a flight radius of 4,000 miles and can fly for 120 hours.

Figure 2. Orion UAV

Although the usage of UAV has demonstrated its usefulness in the first to the sixth indicator, apparently it has a limitation in monitoring land use conversion. Similar to different image acquisition methods, i.e., satellite imagery, not every land use class can easily detect from the image. For instance, office and the commercial area often have similar characteristics. Also, it is hard to distinguish between the public park and the vacant land. Hence, observing the land use from the ground is the most obvious approach. Although, some land use may be observed from the image, e.g., rice field and water body.

Since it is hard to monitor the land use from the UAV, it is also difficult to monitor the difference between a permit and spatial plan (indicator number eight) as well as the difference between spatial plan and actual conditions (indicator number nine). UAV also have limited use to solve the problems related to the accuracy of the land use data (indicator number 11). However, the UAV might be used to monitor development without a permit(indicator number ten), by comparing acquired image with the GIS data of building permit. We will indicate the violation if we find any changes in the particular area that do not have a building permit.

UAV have a limited use for detecting construction site that blocked access to public space. In this case, we need to define the relationship between construction sites, public facilities and the access to the public facilities. Furthermore, often the access itself is hard to define from the image. For instance, a vacant land has used as access to a public park. Hence, this case only can be detected by the local knowledge. Regarding the administrative process, UAV is of course not possible to detect this violations.

Regarding the user perception, the UAV is useful in term of reducing the time and manpower needed for data collections. Therefore, it can impact on the availability of up-to-date data that also can be used to increase the collaboration among stakeholders.

According to the above discussion, we summaries the usefulness of the UAV in Table 2.

Table 2. Summary of Evaluations

CONCLUSION

Our research has demonstrated the usage of UAV for monitoring the spatial plan. The combination of the legal and user perspective also gives a better understanding for assessing the usage of the UAV. However, UAV also has a limited usage in monitoring land use, which also similar with different image acquisition methods, i.e., satellite imagery. Since only particular land use that can be detected, incorporating with the field data is needed. In term of user perspective, UAV gives a better opportunity compared with the field survey in term of reducing the time and manpower needed.

ACKNOWLEDGEMENT

Funding for this research is obtained from Lokalaras Indonesia Institute. We also grateful by the support from the Government of Bogor Regency.

REFERENCES

  • Chen, B., Chen, Z., Deng, L., Duan, Y., &Zhou, J. (2016). Building change detection with RGB-D map generated from UAV images. Neurocomputing, 1–15.
  • Fajarini, R. (2014). The Dynamics of Land Use Change and the Spatial Plan of Bogor Regency (in bahasa). Bogor Agriculture Institute. Retrieved from http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/73120?show=full).
  • Government of The Republic of Indonesia. National Law of Spatial Planning (in bahasa), Pub. L. No. 26/2007 (2007). Indonesia.
  • Government of The Republic of Indonesia. Implementation of Spatial Planning (in bahasa), Pub. L. No. 15/2010 (2010). Indonesia.
  • Kim, D. J., Hensley, S., Yun, S. H., & Neumann, M. (2016). Detection of Durable and Permanent Changes in Urban Areas Using Multitemporal Polarimetric UAVSAR Data. IEEE Geoscience and Remote Sensing Letters, 13(2), 267–271.
  • Kršák, B., Blišťan, P., Pauliková, A., Puškárová, P., Kovanič, Ľ., Palková, J., & Zelizňaková, V. (2016). Use of low-cost UAV photogrammetry to analyse the accuracy of a digital elevation model in a case study. Measurement.
  • Ministry of Public Works and Public Housing. (2015). Draft of Technical Documents on Monitoring and Evaluation of Spatial Planning (in bahasa)
  • Purba, T. P. (2015). Audit of Spatial Plan in Indonesia: expectation and implementation (in bahasa). Retrieved from https://www.academia.edu/12785507/Audit_Tata_Ruang_di_Indonesia_Harapan_dan_Tindak_Lanjut
  • Rosnell, T., Honkavaara, E., & Nurminen, K. (2011). On Geometric Processing of Multi-Temporal Image Data Collected By Light UAV Systems. ISPRS -International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, XXXVIII-1/, 63–68.
  • Salvo, G., Caruso, L., & Scordo, A. (2014). Urban Traffic Analysis through an UAV. Procedia -Social and Behavioral Sciences, 111, 1083–1091.
  • Sankarasrinivasan, S., Balasubramanian, E., Karthik, K., Chandrasekar, U., & Gupta, R. (2015). Health Monitoring of Civil Structures with Integrated UAV and Image Processing System. Procedia Computer Science, 54, 508–515