Upaya Utilisasi Ruang Terbuka yang Optimal Bagi Masyarakat Perkotaan

Oleh Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Ruang terbuka merupakan sebuah istilah yang tidak asing lagi di telinga masyarakat perkotaan. Sering digaungkan di berbagai media, membuat utilisasi ruang terbuka kerap menjadi sorotan publik. Tak jarang pengadaan ruang terbuka menemui kendala pada tahap inisial, seperti polemik perolehan lahan dan perencanaannya yang dinilai tidak mengikutsertakan kepentingan publik. Banyak pula penyediaan ruang terbuka yang dianggap kurang optimal baik dari segi finansial maupun dari sisi manfaat yang dihasilkan bagi masyarakat. Lantas, bagaimanakah kondisi ruang terbuka di kawasan perkotaan saat ini? Dan bagaimana mewujudkan utilisasi ruang terbuka perkotaan yang optimal dan tepat guna?  

Ruang Terbuka di Kawasan Perkotaan

Berdasarkan Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dalam Peraturan Menteri PU No. 05/PRT/M/2008, diketahui bahwa ruang terbuka memiliki definisi sebagai ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang terbuka itu sendiri kemudian diklasifikasikan kembali menjadi ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau.

Dalam penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan perkotaan, terdapat aturan mengenai prosentase RTH yang didasari oleh luas wilayah perkotaan secara keseluruhan, yaitu:

  • Ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH Privat;
  • Proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat; dan
  • Apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

Proporsi 30% tersebut ditetapkan sebagai jaminan keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hodrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.

Dengan adanya peraturan terkait prosentase penyediaan RTH tersebut, maka setiap kota seolah berlomba untuk mewujudkannya, walaupun realitanya, penyediaan ruang terbuka bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan. 

Permasalahan dalam Penyediaan Ruang Terbuka di Kawasan Perkotaan

Belum banyak kota di Indonesia yang mampu mewujudkan RTH dengan proporsi sebesar 30%. Saat ini, kota Balikpapan menjadi satu-satunya kota yang berhasil dengan prosentase RTH sekitar 37,396% dari total luas kota secara keseluruhan. Hal tersebut memperlihatkan betapa sulitnya penyediaan RTH yang ideal dapat dioptimalisasi pada kawasan perkotaan. Adapun yang menjadi kendala dalam penyediaan RTH adalah sebagai berikut:

  • Keterbatasan Lahan di Perkotaan

Sudah menjadi rahasia umum bahwa lahan perkotaan yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang terbuka kian terbatas jumlahnya seiring berjalannya waktu. Dampak pembangunan yang masif menyebabkan lahan-lahan di perkotaan dikembangkan sebagai pusat-pusat kegiatan berkepadatan tinggi dan kerap mengesampingkan keberadaan ruang terbuka. Hal tersebut, selain menjawab tantangan perkotaan juga dianggap lebih menguntungkan secara finansial ketimbang pengembangan lahan dengan kegiatan berkepadatan rendah, seperti ruang terbuka. Kalaupun tersedia lahan kosong di pusat perkotaan, dapat dipastikan memiliki nilai lahan yang sangat tinggi dan tidak sedikit yang sudah dikuasai oleh pihak-pihak tertentu.

  • Alokasi Pendanaan Pemerintah Kota yang Terbatas

Walaupun terdapat beberapa provinsi yang menaikkan APBDnya untuk kepentingan pengembangan ruang terbuka, seperti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, nyatanya masih banyak provinsi maupun kota yang belum terlalu aware mengenai manfaat yang dihasilkan oleh keberadaan ruang terbuka. Oleh karena itu, anggaran pendapatan belanja daerah lebih banyak dialokasikan kepada hal lain yang menjadikan penyediaan ruang terbuka sulit diwujudkan di kawasan perkotaan.   

  • Kapasitas Sumber Daya yang Belum Memadai

Selain terbatasnya ketersediaan lahan dan alokasi pendanaan, satu hal yang kerap menjadi bendera merah dalam penyediaan ruang terbuka adalah belum maksimalnya kapasitas sumber daya manusia yang mengawal pengembangan ruang terbuka itu sendiri. Penambahan personel yang berdaya dan memiliki kapabilitas untuk menangani penyediaan ruang terbuka menjadi urgensi tersendiri untuk tiap-tiap provinsi dan kota.

  • Kurangnya Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Ruang Terbuka

Sejatinya pengembangan ruang terbuka hendaknya mengacu pada kaidah-kaidah yang memberikan kebermanfaatan terhadap fungsi ekologis, estetis, sosial dan ekonomis kawasan perkotaan itu sendiri. Dalam mewujudkan itu semua, tentu saja dibutuhkan partisipasi masyarakat agar pengembangan ruang terbuka ke depannya dirasa tepat guna dan tepat sasaran. Saat ini, partisipasi publik dalam pengembangan ruang terbuka masih sangat minim. Hal tersebut ditandai dengan masih banyaknya penolakan-penolakan masyarakat terkait dengan pembebasan lahan untuk ruang terbuka. Hal tersebut tentu saja dapat diminimalisir dengan adanya pendekatan partisipasi publik sehingga sense of belonging masyarakat akan semakin kuat.

Jenis Pemanfaatan Ruang Terbuka yang Dibutuhkan Masyarakat di Kawasan Perkotaan

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5/PRT/M Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan diketahui terdapat beberapa jenis RTH yang dapat dikembangkan, di antaranya adalah:


Dari ke sepuluh jenis ruang terbuka tersebut, menarik untuk dibahas lebih lanjut tentang ruang terbuka seperti apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat di kawasan perkotaan? Berdasarkan hasil riset sederhana yang dilakukan oleh Lokalaras Indonesia Institute, diketahui bahwa 67% responden lebih menginginkan ruang terbuka berupa sarana olahraga ketimbang taman bermain ramah anak dan taman relaksasi. Sebanyak 91% dari responden juga mengatakan bahwa mereka merasa perlu adanya sarana olahraga berupa lapangan dan taman olahraga di dekat tempat tinggalnya.  Berangkat dari hasil riset tersebut dapat dilihat bahwa sarana olahraga di ruang terbuka berupa lapangan dan taman olahraga lebih menarik minat masyarakat ketimbang taman bermain dan relaksasi. Hal tersebut berjalan beriringan dengan tren hidup sehat yang sedang populer di kalangan masyarakat perkotaan. Seperti yang diketahui saat ini ruang terbuka di Jakarta seperti stadion Gelora Bung Karno dan Lapangan Banteng ramai dikunjungi warga yang hendak jogging atau hendak melakukan aktivitas olahraga lainnya seperti zumba, poundfit, dan cardio dance. Ruang-ruang olahraga juga dibutuhkan sebagai wadah pertemuan bagi komunitas-komunitas olahraga seperti komunitas sepeda, komunitas sepatu roda dan lain sebagainya.

Utilisasi Ruang Terbuka yang Optimal

Dengan melihat tren dan kecenderungan kebutuhan ruang terbuka bagi masyarakat perkotaan, dibutuhkan strategi utilisasi agar ruang terbuka dapat berfungsi secara optimal. Strategi-strategi tersebut meliputi:

  • Kesesuaian Peruntukan dengan Rencana Tata Ruang

Hal pertama yang harus dipastikan sebelum merencanakan utilisasi ruang terbuka adalah kesesuaian peruntukan dengan rencana tata ruang seperti RTRW Kota/ RTR Kawasan Perkotaan/ RDTR Kota/ RTR Kawasan Strategis Kota/ Rencana Induk RTH yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Hal tersebut harus dipastikan sebagai pintu pembuka kepastian dan keamanan hukum bagi penyelenggaraan ruang terbuka di kawasan perkotaan.

  • Mengikutsertakan Peran Masyarakat

Peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka merupakan upaya pelibatan masyarakat, swasta, lembaga badan hukum dan atau perseorangan baik pada tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Upaya ini dimaksdukan untuk menjamin hak masyarakat dan swasta untuk memberikan kesempatan akses dan mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang oleh masyarakat dan swasta dalam pengelolaan ruang terbuka, dengan prinsip:

  1. Menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam proses pembangunan ruang terbuka hijau;
  2. Memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses pembangunan ruang terbuka;
  3. Menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budayanya;
  4. Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika;
  5. Memperhatikan perkembangan teknologi dan bersikap profesial
  6. Sumber Pendanaan Alternatif

Terbatasnya APBD Provinsi untuk pengembangan ruang terbuka, menjadikan adanya alternatif pendanaan sebagai urgensi yang harus dipikirkan secara matang. Para pemangku kepentingan beserta dengan masyarakat dan swasta hendaknya bersama-sama mewujudkan skema pendanaan pengembangan ruang terbuka yang efektif, efisien serta tepat guna. Berbagai jenis alternatif pendanaan seperti pemanfaatan dana CSR, dana kontribusi perusahaan, dan crowd funding dapat dijadikan opsi untuk penyelenggaraan ruang terbuka. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, apakah kita sanggup mewujudkan ruang terbuka yang optimal?

Daftar Pustaka

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M.2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan perkotaan

Nugroho, M.L.E. 2014. Problematika Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Semarang. Universitas Diponegoro

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *