Mengenal ‘Doughnut Economy’: Konsep Ekonomi yang ‘Penuh Kebaikan’ untuk Pertumbuhan Kota

Oleh: Annabel Noor Asyah, S.T., M.Sc

Krisis ekonomi yang diakibatkan baik oleh kemunculan pandemi Covid-19 ataupun tidak, membuat banyak pemangku kebijakan di segala penjuru dunia berpikir ulang tentang bagaimana model ekonomi yang paling tepat untuk diterapkan. Saat ini aspek growth atau pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup untuk menjadi tolok ukur keberhasilan. Sebuah konsep ekonomi bertajuk Doughnut Economy kian sering disebut-sebut sebagai model ekonomi baru di mana terdapat elemen lain yang diperhitungkan, seperti pondasi sosial dan limitasi ekologi, selain pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Saat ini Amsterdam menjadi kota pertama yang mencoba menerapkan konsep tersebut dalam visi jangka panjangnya. Menarik untuk dibahas?   

Memahami Konsep Doughnut Economy

Konsep Doughnut Economy atau yang lebih mudah disebut dengan ekonomi donat pertama kali dicetuskan oleh Kate Raworth pada tahun 2012. Kate merupakan seorang ekonom lulusan Oxford yang juga merangkap sebagai Senior Associate di Cambridge Institute for Sustainability Leadership di samping mengajar sebagai professor dalam program Environmental Change and Management.

Untuk dapat memahami apa itu sebetulnya ekonomi donat, ada baiknya dilakukan perbandingan terlebih dahulu dengan model ekonomi klasik. Model ekonomi klasik adalah model ekonomi yang diperkenalkan oleh beberapa tokoh terkemuka dunia seperti Max Weber, Joseph Schumpeter, William Ashley dan lain sebagainya. Model ekonomi klasik berpegang teguh pada konsep growth alias pertumbuhan. Dalam konsep ini, idealnya keuntungan dan produksi tahun depan haruslah lebih baik dari tahun sekarang. Intinya, ‘keberhasilan’ suatu unit bisnis hari ini ditandai dengan pertumbuhan dan kondisi finansial yang lebih baik dari hari kemarin.

Hal tersebut sedikit agak berbeda dengan konsep ekonomi donat. Kate Raworth mempertimbangkan aspek lainnya seperti kelestarian lingkungan dan peradaban manusia yang nyatanya memiliki keterbatasan. Pada satu waktu, keterbatasan itu akan mencapai tipping point. Tipping point adalah kondisi epidemiologi di mana satu perubahan kecil akan membawa kita ke sebuah perubahan yang masif. Perubahan tersebut bisa berupa krisis iklim maupun krisis sosial. Dunia tidak bisa terus menerus bergantung pada konsep ekonomi klasik jika ingin menuntaskan krisis-krisis tersebut. Sudah saatnya beralih ke model ekonomi donat. Konsep ekonomi donat tidak mengenal istilah ‘membuang sampah akhir’. Setiap produk, di akhir hidupnya, akan berubah bentuk menjadi materi dasar (raw material) untuk produk-produk selanjutnya.

Model Ekonomi Donat

Sumber: Weforum.org, 2017

Sekarang mari kita bayangkan bentuk kue donat seperti diagram yang tertera di atas. Diagram tersebut terdiri dari dua lingkaran. Lingkaran yang pertama adalah lingkaran yang berada di bagian dalam yang menggambarkan sumber daya yang cukup bagi manusia untuk memiliki kehidupan yang baik. Adapun yang menjadi elemen dalam lingkaran dalam tersebut adalah makanan, air bersih, tempat tinggal, sanitasi, energi, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan demokrasi. Lingkaran yang kedua berada di bagian terluar donat. Lingkaran tersebut menggambarkan batasan-batasan alam yang dimiliki oleh bumi seperti potensi terjadinya krisis perubahan iklim, polusi air, penipisan ozon, punahnya spesies dan serangan-serangan lingkungan lainnya.

Ruang yang terdapat di antara kedua lingkaran tersebut, yang mana adalah donat itu sendiri, adalah ruang yang aman secara ekologis dan adil secara sosial. Di ruang tersebutlah umat manusia harus berjuang untuk dapat hidup. Tujuan ekonomi seharusnya dapat membantu manusia untuk memasuki ruang tengah dan tinggal di sana. Model ekonomi donat memungkinkan kita untuk melihat secara komprehensif dan menemukenali di mana posisi kita berada. Kecenderungan saat ini adalah umat manusia yang telah melampaui kedua lingkaran, baik dalam maupun luar. Miliaran orang masih hidup di lingkaran dalam, dan tentu aktivitas sehari-hari telah membawa kita melampaui lingkaran terluar dan membahayakan kelestarian bumi. 

Contoh lain yang membedakan ekonomi klasik dengan ekonomi donat adalah bagaimana kedua konsep tersebut melihat dan menangani persoalan inequality atau ketidaksetaraan yang kerap terjadi di tengah masyarakat. Pada abad ke-20, waktu di mana konsep ekonomi klasik diterapkan, kebijakan-kebijakan hampir selalu mempromosikan agenda redistribusi ekonomi dengan fokus meredistribusikan pendapatan. Sebagai contoh, melalui penerapan pajak, penerapan transfer pendapatan antara si kaya dan si miskin, atau pemberlakuan upah minimum. Memang hal tersebut dilakukan bersamaan dengan investasi dalam pelayanan publik, seperti peningkatan layanan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Namun demikian, sesungguhnya pendekatan tersebut masih belum memberantas akar ketidaksetaraan ekonomi karena hanya berfokus pada pendapatan, bukan sumber kekayaan yang menghasilkannya.

Lain halnya dengan pendekatan yang dilakukan oleh ekonomi donat yang bertujuan untuk meredistribusikan ‘sumber kekayaan’. Ekonomi donat akan memikirkan bagaimana tanah dan sumber daya dapat didistribusikan secara merata. Apakah melalui reformasi tanah, pemberlakuan pajak nilai tanah, atau dengan mengakui tanah sebagai hak Bersama? Ekonomi donat juga akan berfokus untuk mencari jawaban atas pertanyaan: model bisnis seperti apa yang dapat memastikan bahwa pekerja pekerja yang berkomitmen menuai bagian yang jauh lebih besar dari nilai yang mereka hasilkan? Ekonomi donat juga akan memikirkan tentang bagaimana ilmu pengetahuan bisa didistribusikan secara global melalui sumber terbuka yang tidak dipungut biaya serta penyediaan lisensi gratis untuk masyarakat yang membutuhkan.

Dari penjelasan di atas tentang bagaimana perbedaan ekonomi klasik dan ekonomi donat dalam menangani ketidaksetaraan, dapat ditarik satu benang merah bahwa konsep ekonomi donat lebih mengedepankan distribusi sumber kekayaan ketimbang redistribusi pendapatan yang banyak dilakukan pada masa ekonomi klasik. Berikut adalah gambar yang merepresentasikan perbedaan tersebut:

Perbedaan Ekonomi Klasik dan Ekonomi Donat dalam Menangani Ketidaksetaraan

Sumber: Weforum.org, 2017

Lalu bagaimana cara mengimplementasikan ekonomi donat? Pada dasarnya kondisi ekonomi sangatlah ditentukan oleh hukum dan kebijakan yang berlaku. Ekonomi adalah tentang bagaimana kebijakan supply & demand diberlakukan, tentang bagaimana kinerja hukum pasar, dan lain sebagainya. Ekonomi adalah sebuah sistem dinamis yang secara konstan terus berkembang, jadi tidak ada yang namanya ‘kepastian’ dalam ekonomi, yang ada hanyalah bagaimana ‘desain’ dari kondisi ekonomi tersebut. Jadi jawaban dari bagaimana cara mengimplementasikan ekonomi donat adalah dengan mengatur desain ekonomi yang berlaku.

Pada intinya, harus terdapat perubahan yang transformatif terkait dengan dasar-dasar produksi. Hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan cara meminta perusahaan untuk mengoptimalkan pajak mereka terhadap beberapa regulasi pajak baru atau mekanisme harga. Melainkan dengan memaksa para perancang di perusahaan tersebut untuk meninjau Kembali core atau inti dari proses yang mereka miliki. Sebagai contoh, seperti hal-hal yang sudah dilakukan oleh negara-negara di Eropa untuk melarang penggunaan plastik sekali pakai adalah sebuah peraturan yang jelas dan akan mempengaruhi inti proses dari industri plastik ke depannya. Para pemain industri tidak bisa hanya mempertimbangkan pengeluaran dan keuntungan mereka, namun mereka juga harus mendesain dan mengatur ulang bagaimana rantai pasokan mereka bekerja. Perubahan hukum dan kebijakan dapat membawa perubahan jangka panjang yang fundamental, jauh lebih mendasar dari apa yang dapat dilakukan oleh mekanisme harga dan pasar.

Penerapan Doughnut Economy di Amsterdam

Konsep ekonomi donat lambat laun sudah mulai diimplementasikan dalam skala perkotaan. Adalah beberapa organisasi yang mensiasati hal tersebut seperti the Doughnut Economics Action Lab, Circle Economy, C40 Cities dan Biomimicry 3.8. Pilot project penyelenggaraan ekonomi donat bertempat di Amsterdam, Belanda dan menyasar para perencana kota dan pemangku kebijakan perkotaan. The Amsterdam City Doughnut mengangkat konsep ekonomi donat menjadi suatu alat untuk melakukan aksi yang transformatif. Amsterdam menempatkan ekonomi donat sebagai visi jangka panjang mereka dan menjadi dasar atas setiap pengambilan keputusan. Adapun yang menjadi visi dari kota yang terkenal dengan wisata kanalnya tersebut adalah “menjadi kota yang berkembang, beregenerasi dan inklusif bagi seluruh warganya, dengan tetap memperhatikan limitasi planet bumi”.  

Untuk mewujudkan visi tersebut, Amsterdam telah meluncurkan Circular 2020-2025 Strategy, yang menitikberatkan aksi nyata untuk mengurangi separuh dari penggunaan bahan baku baru pada tahun 2030. Pemerintah kota Amsterdam bertujuan untuk mengimplementasikan circular economy secara menyeluruh pada tahun 2050. Amsterdam akan memberlakukan penggunaan kembali (reusing) bahan baku untuk menghindari timbulnya limbah dan mengurangi emisi CO2. Amsterdam juga akan mengembangkan alat untuk memantau dan melacak keberadaan bahan baku serta menilai inisiatif mana yang memberikan kontribusi terbesar untuk mencapai tujuan strategi circular. Hal tersebut didukung oleh pernyataan pemerintah kota Amsterdam yang mengatakan bahwa, “Kami melihat kondisi ekonomi kita dari perspektif yang berbeda: tentang bagaimana kita memproduksi, memproses, dan mengkonsumsi. Untuk para konsumer di Amsterdam, kita harus menggunakan suatu produk atau barang secara lebih lama, berbagi produk tersebut dengan orang lain, dan memperbaiki produk itu ketika terjadi kerusakan lagi dan lagi.”

Dilansir dari The Guardian, walikota Amsterdam, Marieke van Doorninck mengatakan bahwa pendekatan ekonomi donat dapat membantu kota untuk pulih kembali dari dampak yang ditimbulkan oleh coronavirus. Marieke berpendapat bahwa ekonomi donat dapat mencegah pemerintah Amsterdam untuk kembali ke mekanisme awal. Ekonomi donat adalah salah satu solusi paling baik yang dapat diambil ketika secara tiba-tiba seluruh kota di dunia diharuskan untuk mempertimbangkan masalah krisis iklim, kesehatan, ketersediaan lapangan pekerjaan, stok rumah, pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.  

Melalui strategi ini, Amsterdam bertujuan untuk memotong limbah makanan hingga 50% pada tahun 2030, dari 41 kilogram limbah makanan per orang saat ini, dengan surplus dialihkan ke penduduk yang paling membutuhkan. Amsterdam juga akan menerapkan persyaratan keberlanjutan yang lebih ketat dalam kegiatan tender konstruksi. Sebagai contoh, bangunan akan mendapatkan ‘materials passport’ sehingga perusahaan pembongkaran dapat menentukan apakah bahan masih dapat digunakan di kemudian hari dan di mana bahan dapat digunakan kembali. Buiksloterham merupakan area pertama di mana konsep ekonomi donat ini akan diterapkan.

Pemerintah kota juga akan mengurangi penggunaan bahan baku baru sebesar 20% dan pada tahun 2030 hanya akan melakukan pembelian dengan skema melingkar. Skema melingkar sendiri adalah konsep alternatif dari ekonomi linear (produksi – penggunaan – pembuangan) yang bertujuan untuk menggunakan potensi setiap material semaksimal mungkin serta untuk memulihkan material yang telah sampai pada usia akhirnya. Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk pengadaan produk seperti perlengkapan kantor dan komputer, tetapi juga untuk proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan. Amsterdam sudah bekerjasama dengan pelaku usaha bisnis dan organisasi penelitian di lebih dari 200 proyek ekonomi donat. Kerja sama tersebut termasuk kerja sama dengan industri cat dan toko barang bekas di mana cat lateks bekas dikumpulkan dan diproses untuk dijual kembali.

Kendati demikian, pemerintah kota Amsterdam mengakui bahwa proses transformasi dari ekonomi klasik ke ekonomi donat bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Banyak pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan kepada para pelaku usaha bisnis. Dan hal tersebut pastilah memakan waktu yang lama. Efek positif dari ekonomi donat tidak dapat dilihat secara instan. Namun pemerintah kota Amsterdam sangat yakin bahwa mereka sangat siap dalam menghadapi tantangan tersebut. Amsterdam adalah kota yang progresif yang tidak takut bereksperimen atau berinvestasi di masa depan. Lantas bagaimana dengan kota-kota lain di dunia? Jakarta, misalnya?

REFERENSI

Monbiot, G. 2017. Finally, a breakthrough alternative to growth economics – the doughnut. The Guardian. https://www.theguardian.com/commentisfree/2017/apr/12/doughnut-growth-economics-book-economic-model

Raworth, K. 2017. Meet the doughnut: the new economic model that could help end inequality. World Economic Forum. https://www.weforum.org/agenda/2017/04/the-new-economic-model-that-could-end-inequality-doughnut/

Putri, A.R. 2017. Waste4Change Menyelenggarakan Circular Economy Forum di Indo Waste 2017. Waste4Change. https://waste4change.com/waste4change-circular-economy-forum-indo-waste-2017/#:~:text=Circular%20economy%20adalah%20konsep%20alternatif,telah%20sampai%20pada%20usia%20akhirnya.

Raworth, K. 2019. Doughnut Economics for Thriving 21st Century. Green European Journal. https://www.greeneuropeanjournal.eu/doughnut-economics-for-a-thriving-21st-century/

Xue, J.M. 2020. Ekonomi Biasa vs Ekonomi Donat. https://www.jenniexue.com/ekonomi-biasa-vs-ekonomi-donat/#:~:text=Ekonomi%20donat%20adalah%20ekonomi%20terbarukan,planet%20lagi%20sebagai%20tempat%20tinggal%3F

Wray, S. 2020. Amsterdam adopts first ‘city doughnut’ model for circular economy. SmartCitiesWorld. https://www.smartcitiesworld.net/news/news/amsterdam-adopts-first-city-doughnut-model-for-circular-economy-5198#:~:text=The%20city%20aims%20to%20have,contribution%20to%20circular%20economy%20goals.

2 replies
  1. Dedy
    Dedy says:

    Tulisan yang sangat inspiratif….saya akan membawa Doughnut Economics ke ruang kelas…saya sangat yakin banyak mahasiswa sy di program magister inovasi Universitas Teknologi Sumbawa tertarik dengan pendekatan ini….Tks.

    Balas

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan ke Dedy Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *