Kota Inklusif: Seberapa Ramah Kotamu Terhadap Kelompok Difabel?

Oleh:Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

“Kota yang Inklusif” mungkin menjadi sebuah frasa yang banyak berdengung di telinga masyarakat urban saat ini. Seruan himbauan dan protes kerap dialamatkan kepada para pemangku kebijakan agar sesegera mungkin mewujudkan kota yang berkeadilan dan setara bagi setiap jiwa yang berada di dalamnya. Keterbukaan akses terhadap informasi serta kebebasan berpendapat di ruang publik seakan menjadi pemantik bagi kelompok-kelompok yang peduli untuk menyuarakan ajakan berbagi perhatian bagi mereka yang memiliki keterbatasan. Hal tersebut seakan menjadi stimulus bagi pihak yang berkuasa untuk perlahan mulai menjadikan ‘kota inklusif’ sebagai visi baru mereka. Belakangan ini, banyak kota yang seolah berkompetisi menjadi wadah tinggal yang lebih baik dengan memiliki citra inklusif di mata publik. Kota inklusif yang ramah difabel merupakan sebuah mimpi besar yang harus diperjuangkan seluruh pihak untuk mewujudkannya. 

Mendefinisikan Inklusif

Sebelum beranjak lebih jauh, ada baiknya kita kupas tuntas terlebih dahulu mengenai definisi kota inklusif yang akan menjadi pokok pembahasan dalam bacaan ini. Kata inklusif sendiri memiliki makna sebagai sebuah pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang terbuka, mengajak dan mengikutsertakan semua orang dengan beragam latar belakang. Dari definisi singkat tersebut dapat diinterpretasikan bahwa sesuatu yang inklusif adalah sesuatu yang merangkul semua pihak tanpa mempertimbangkan perbedaan karakteristik, kemampuan, status, etnis, budaya sebagai sebuah hambatan.

Berdasarkan sebuah artikel yang diterbitkan oleh World Bank, gagasan dari kota inklusif berkaitan dengan sebuah jaringan kompleks yang terdiri dari faktor-faktor pamungkas yaitu: inklusi spasial, inklusi sosial dan inklusi ekonomi. Inklusi spasial memandang kota yang inklusif sebagai sebuah kota yang menyediakan kebutuhan dasar masyarakat secara terjangkau, seperti kebutuhan akan rumah, air bersih dan sanitasi. Lanjut, sebuah kota dikatakan memiliki ciri inklusi sosial apabila menjamin kesetaraan hak dan partisipasi setiap golongan, tidak terkecuali para pemilik keterbatasan. Untuk inklusi ekonomi, sebuah kota haruslah memiliki kemampuan menciptakan lapangan kerja yang memberikan kesempatan bagi seluruh kelompok untuk menikmati manisnya pertumbuhan ekonomi.

Inklusivitas menjadi hal krusial dan semakin populer sejak disahkannya Sustainable Development Goals (SDG) pada tahun 2015, dimana enam dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan menyoal tentang inklusi sosial. Kendati demikian, pokok bahasan ini akan lebih banyak berfokus pada tujuan nomor 11 yaitu “Membangun kota dan permukiman warga yang inklusif, aman, dan kukuh.”  

Inklusif bagi Difabel

Salah satu kelompok yang harus berada di garis terdepan alias mendapatkan perhatian prioritas untuk mewujudkan kota inklusif adalah kawan-kawan dengan disabilitas. Keterbatasan yang mereka miliki seringkali menjadi penghambat untuk berkarya dan menjalankan fungsi lainnya sebagai manusia. Tak jarang pula, keberadaan infrastruktur perkotaan yang seharusnya memudahkan masyarakat, malah membuat mereka semakin tersiksa. Contoh mudah, seperti tidak adanya lift pada bangunan tinggi sehingga para penyandang disabilitas harus mengakses anak tangga secara manual, atau sesederhana adanya pohon besar di tengah jalur pejalan kaki yang tidak dilengkapi dengan guiding block. Lebih dari itu, berdasarkan sebuah jurnal yang ditulis oleh Maftuhin (2017), terdapat lima komponen yang menjadi alasan mengapa kelompok dengan disabilitas merupakan kelompok yang paling mungkin terperangkap dalam kondisi ekslusi sosial. Komponen-komponen tersebut antara lain:

Komponen Ekslusi Kelompok Disabilitas

Sumber: Diolah dari Maftuhin, 2017

Seiring bertambahnya jumlah populasi di dunia, maka akan semakin banyak pula masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan. Hal tersebut tentu berimplikasi pada semakin banyaknya kelompok dengan disabilitas yang akan tinggal di kota. Berangkat dari situ, strategi pembenahan terkait metode perencanaan dan pengembangan infrastruktur haruslah mengikutsertakan kelompok disabilitas. Apalagi, menurut World Health Organization (WHO), sekitar 15% populasi dunia merupakan orang-orang dengan kebutuhan khusus. Prosentase yang cukup banyak. Sudah saatnya kebijakan rencana kota mengindahkan kebutuhan dan mengikutsertakan kelompok disabilitas dalam prosesnya. Hal-hal tersebutlah yang harusnya menyita waktu dan pemikiran para pemangku kebijakan serta pembangun fasilitas agar menyeragamkan keistimewaan para difabel menjadi kesetaraan. Setelah mengetahui makna dari inklusi dan urgensi penerapannya, hal selanjutnya yang harus ditilik adalah daftar komponen yang harus dipenuhi untuk mewujudkan kota yang inklusif bagi penyandang disabilitas. Masih dari jurnal yang sama, Maftuhin (2017) menyebutkan  bahwa terdapat empat komponen yang harus dipenuhi oleh sebuah kota untuk mewujudkan inklusivitas bagi orang-orang dengan disabilitas. Keempat komponen tersebut antara lain:

Komponen Kota Inklusif

Sumber: Diolah dari Maftuhin, 2017

Melihat keempat komponen di atas, tentu bukanlah hal yang mudah bagi sebuah kota mewujudkan inklusivitas yang menyeluruh terhadap kelompok disabilitas. Pembenahan di segala aspek, baik mental masyarakat maupun pemutakhiran infrastruktur merupakan proses yang harus terus dilakukan secara kontinyu hingga hasil yang diharap bisa dengan mudah dinikmati.

Kota-Kota Ramah Disabilitas

Walaupun sulit untuk diwujudkan, nyatanya ada loh kota-kota inklusif yang ramah dengan penyandang disabilitas. Di mana sajakah kota-kota tersebut?

Berlin, Jerman.

Sejak tahun 2013, Ibukota Negara Jerman tersebut secara luas diketahui sudah menerapkan sebuah kebijakan yang komprehensif terkait dengan keberadaan orang dengan disabilitas. Berlin telah berdedikasi melakukan investasi dalam mewujudkan lingkungan perkotaan yang dapat diakses dan tanpa batasan atau kendala bagi semua pihak. Tujuh tahun yang lalu, Berlin memenangkan penghargaan EU City Access Award karena upayanya dalam menciptakan lingkungan bebas hambatan dan mewujudkan sistem transportasi yang dapat diakses oleh siapa saja. Saat ini, hampir 100% gedung museum dan bioskop di Berlin sudah dapat diakses oleh kelompok berkebutuhan khusus, sejalan dengan banyaknya restaurant dan bar yang telah dilengkapi sistem panduan jalan dan toilet khusus disabilitas.

Berlin Sebagai Kota Ramah Disabilitas

Sumber: Wheelchairtravel.org

Denver, Amerika Serikat

Denver menjadi salah satu kota di Amerika Serikat yang dapat diakses dengan mudah oleh para penyandang disabilitas. Walaupun terletak di kawasan pegunungan, topografi Denver cenderung landai dan datar sehingga memudahkan warganya yang harus berpindah dengan menggunakan kursi roda. Kota tersebut juga menawarkan beragam pilihan rekreasi dan aktivitas kebudayaan yang sudah dilengkapi dengan sistem transportasi yang memudahkan pergerakan kelompok disabilitas. Transportasi publik di Denver sudah dilengkapi dengan sistem ‘door to door paratransit system’ . Museum-museum juga sudah aksesibel dan menawarkan tur khusus pagi pengunjung yang memiliki keterbatasan pendengaran.

Sistem Transportasi Denver yang Ramah Disabilitas

Sumber: Wheelchairtravel.org

Gydnia, Polandia

Kota Gydnia di Polandia sejatinya dikenal sebagai salah satu kota di dunia yang memperjuangkan sistem transit yang accessible bagi semua kelompok. Hampir semua bus kota yang ada di Gydnia merupakan armada yang dapat diakses oleh kelompok berkebutuhan khusus. Gydnia juga menyediakan sistem informasi yang unik yang menggunakan braille bagi mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan. Papan informasi di segala penjuru kota juga dapat dengan mudah dinikmati oleh mereka yang mengutilisasi kursi roda. Hampir semua restaurant dan museum juga dilengkapi dengan parker kendaraan khusus penyandang disabilitas.

Sistem Transportasi Gydnia yang Ramah Disabilitas

Sumber: inyourpocket.com

Dari ulasan singkat di atas, dapat kita simpulkan bahwa kota yang inklusif bukanlah hanya sekadar tren bagi kota-kota di dunia, melainkan suatu keharusan yang sesegera mungkin harus diwujudkan. Apakah kota-kota di Indonesia mampu menjadi inklusif dan dapat diakses oleh siapa saja?

Daftar Pustaka

Maftuhin, A. 2017. Mendefinisikan Kota Inklusif: Asal-Usul Teori dan Indikator. Tata Loka. Universitas Diponegoro.

UNESCO. 2017. Instrumen Penilaian Kota Inklusif Versi 2. Kantor Perwakilan UNESCO, Jakarta.

The World Bank. Understanding Poverty: Inclusive Cities.

Yayasan SATUNAMA. 2016. Menuju Indonseia yang Inklusif. Satunama.org  

Berlin, Germany Wheelchair Accessible Travel Guide. https://wheelchairtravel.org/berlin/#:~:text=Berlin%20is%20home%20to%20one,public%20transit%20systems%20in%20Europe.

6 of the World’s Most Disability-Friendly Travel Destinations. 2016. https://www.goodnet.org/articles/6-most-disabilityfriendly-travel-destinations

Travelling With a Disability in Gdansk. 2020. https://www.inyourpocket.com/gdansk/travelling-with-a-disability-in-gdansk-sopot_77157f

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *