Nasib Pekerja Informal dalam Belenggu COVID-19

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Pandemi COVID-19 yang sedang ganas-ganasnya menginfeksi manusia memang menyisakan ketakutan dan keresahan bagi seluruh lapisan masyarakat di dunia. Bagi Antonio Guterres, sekretaris jenderal PBB, COVID-19 merupakan musuh bersama yang tidak memandang etnis, kebangsaan, kepercayaan, serta kelompok tertentu. “It attacks all, relentlessly”, katanya. Dampak dari pandemi COVID-19 juga dirasakan oleh masyarakat perkotaan dengan tingkat kerentanan sosial-ekonomi yang tinggi, yaitu para pekerja informal. Kebijakan-kebijakan terkait pencegahan dampak COVID-19, seperti social distancing, physical distancing serta lockdown sedikit banyak mempengaruhi kelangsungan hidup mereka. Pada artikel kali ini akan dibahas mengenai karakteristik pekerja informal dan dampak yang mereka rasakan ketika pandemi COVID-19 berlangsung, serta intervensi-intervensi pemerintah yang sebaiknya dilakukan demi kelangsungan kehidupan mereka.  

Pekerja Informal

Apakah yang dimaksud dengan pekerja informal?

Berdasarkan definisi yang dipaparkan dalam  International Conference on Labour Statisticians (ICLS) ke-17, pekerja informal didefinisikan sebagai pekerja dengan hubungan kerja yang tidak tercakup dalam perundang-undangan atau dalam praktiknya, tidak tunduk pada undang-undang tenaga kerja, pajak, pendapatan, perlindungan sosial atau hak tertentu untuk jaminan kerja tertentu.  Lantas, siapa sajakah yang termasuk ke dalam kelompok tersebut?

Banyak sekali pekerja yang dapat dikelompokkan ke dalam kelas pekerja informal, apalagi di negera-negara Asia seperti halnya di Indonesia. Mereka sering kita temui di kehidupan sehari-hari dan biasanya membantu kita untuk memenuhi berbagai kebutuhan esensial. Tukang nasi goreng keliling, pengemudi ojek pengkolan,  penjual cendol di tempat wisata, ibu kantin di SD negeri, serta berbagai pekerjaan sejenis yang tidak terikat pada perundang-undangan ketenagakerjaan.

Kondisinya saat ini, jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 55,72% dari total angkatan kerja di Indonesia. Kepala Badan Pusat Statistik RI (BPS) mengatakan bahwa terdapat 70,49 juta pekerja informal di Indonesia per Agustus 2019.  Dari data tersebut dapat dibayangkan bagaimana sektor informal dapat menyokong kelangsungan hidup banyak orang di Indonesia. Namun saat pandemi COVID-19 menyerang Indonesia, nasib para pekerja informal seakan terombang-ambing dalam badai ketidakpastian ekonomi dan juga kesehatan.

Pekerja Informal
Sumber: Dokumentasi Penulis, 2018

Dikutip dari podcast yang dipublikasikan oleh sebuah organisasi bernama Woman in Informal Employment: Globalizing and Organizing (WIEGO), tentang proteksi sosial terhadap pekerja informal, disebutkan bahwa pekerja informal khususnya di negara-negara berkembang memiliki risiko ganda yang lebih berat ketimbang para pekerja formal, yakni risiko kesehatan dan risiko ekonomi. Pasalnya sebagian besar pekerja informal tidak memiliki jaminan berupa asuransi kesehatan. Hal tersebut menjadikan mereka kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan. Ditambah dengan adanya kecenderungan bahwa banyak pekerja informal yang tinggal di hunian dimana fasilitas dan utilitasnya belum memadai, terutama ketersediaan air bersihnya. Hal tersebut akan berpengaruh pada minimnya upaya preventif COVID-19 yang dapat mereka lakukan seperti mencuci tangan secara rutin. Pekerja informal juga memliki peluang yang lebih besar untuk terpapar karena pada umumnya mereka bekerja di tempat umum dimana banyak interaksi sosial di dalamnya. Selain itu, minimnya pengetahuan tentang COVID-19 yang disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap informasi, juga menjadi faktor yang turut andil dalam terpaparnya pekerja informal terhadap virus dengan tingkat kematian global sebsar 5,7% ini.

Kemudian, dalam kaitannya dengan risiko ekonomi, dampak yang dirasakan oleh pekerja informal akan lebih terasa ketika kebijakan-kebijakan preventif dan penanggulangan COVID-19 telah ditetapkan oleh pemerintah. Dimulai dari kebijakan social distancing dimana masyarakat dihimbau untuk menghindari kerumunan, tentu saja pedagang gorengan dan juru potret keliling di tempat wisata kehilangan peluang usahanya karena masyarakat enggan bepergian ke tempat ramai. Begitu pula saat kebijakan physical distancing mulai dianjurkan, saat budaya work from home rajin diimplementasikan, semakin sedikit pengemudi ojek yang akan mengantarkan pekerja formal dari stasiun menuju gerbang kantornya. Dapat dibayangkan bagaimana kelangsungan hidup mereka saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai diterapkan. Bagaimana mereka berjuang untuk bertahan hidup, padahal selama ini mereka mencari rezeki sependek untuk esok hari? Bagaimana caranya mereka tetap mendapatkan pemasukan walaupun ladang rezeki mereka kian sepi seiring pergantian hari? Adakah solusi yang mendekati tepat agar kelompok rentan ini perlahan bisa lepas dari belenggu COVID-19?

Pentingnya Intervensi Pemerintah

Masih dari podcast yang sama, disebutkan bahwa intervensi pemerintah merupakan sebuah kunci utama dalam penanganan krisis yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19, baik krisis ekonomi maupun krisis kesehatan. Kendati demikian, masih banyak pemerintah di dunia yang belum mengedepankan kebijakan pencegahan dan penanggulangan COVID-19 bagi pekerja informal.  

Terdapat beberapa hal yang sebaiknya dilakukan pemerintah pada masa pandemi, yang tentu saja akan optimal dengan adanya kerjasama pusat dan lokal yang bersinergi. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

  • Memberikan jaminan kesehatan yang universal bagi masyarakat, khususnya mereka pekerja harian dan informal. Sedikitnya pekerja informal yang memiliki asuransi kesehatan membuat mereka kesulitan mengakses fasilitas kesehatan karena kemampuan finansial mereka yang terbatas. Hendaknya pemerintah dapat membuat sebuah intervensi kebijakan, dimana semua lapisan masyarakat dapat dengan mudah menikmati fasilitas kesehatan tanpa adanya administrasi yang rumit dan berbelit.  
  • Menyebarluaskan informasi terkait pandemi COVID-19 kepada masyarakat, khususnya para pekerja informal yang memiliki keterbatasan akses terhadap sumber informasi. Tingkat pendidikan pekerja informal yang pada umumnya belum maksimal, mengakibatkan tingkat literasi dan kemampuan mencerna informasi yang masih kurang baik. Untuk itu perlu adanya inovasi dan strategi agar pemerintah bisa melakukan transfer knowledge kepada masyarakat informal dengan mudah dan dapat dipahami.  
  • Mendistribusikan alat kesehatan, bahan makanan dan utilisasi hand washing station di tempat tinggal mereka. Hal ini sangat penting untuk dilakukan pada tahap awal pandemi demi meminimalisir jumlah kasus positif dari kelompok pekerja informal.
  • Memberikan bantuan uang tunai darurat yang berkelanjutan selama pandemi berlangsung kepada pekerja informal, mengingat mereka tidak dapat bekerja dengan optimal. Bantuan uang tunai dirasa sangat praktikal dan efektif dalam rangka mendukung kondisi finansial para pekerja informal.
  • Memberikan kemudahan berupa penangguhan uang sewa bagi mereka yang tinggal di rumah sewa, dan juga memberikan penangguhan pinjaman bagi mereka yang memiliki pinjaman ke bank atau ke skema kredit lainnya. Hal tersebut dirasa perlu untuk dipertimbangkan karena pada umumnya, mereka adalah pekerja harian yang tidak memiliki penghasilan yang pasti. Pada masa wabah seperti ini, secara otomatis penghasilan mereka akan terhenti sebagai akibat dari intervensi kebijakan seperti social distancing dan lockdown. Sedangkan tagihan mereka? Akan terus berjalan.  
  • Menjalin kerjasama dengan Community Based Organization (CBO) atau organisasi berbasis masyarakat, untuk berdiskusi dalam rangka mempelajari apa yang masyarakat informal butuhkan. Dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang bottom-up agar intervensi pemerintah bagi masyarakat informal di masa-masa seperti ini menjadi efektif, efisien dan tepat guna.
  • Melakukan isolasi sosial pada kawasan permukiman pekerja informal selama beberapa waktu demi pencegahan penularan pandemi COVID-19 yang lebih masif lagi.
  • Melakukan peninjauan kembali kebijakan yang telah diberlakukan selang beberapa waktu untuk melihat apakah kebijakan dan intervensi yang sudah diberlakukan dapat bekerja secara efektif dan efisien bagi masyarakat informal. Jika iya, intervensi dapat dilanjutkan. Namun jika tidak, perlu adanya inovasi dan strategi baru yang lebih tepat guna.  

Tentu saja, dalam menerapkan upaya-upaya tersebut di atas, akan banyak tantangan dan kesulitan yang akan dihadapi. Baik dari sisi pemerintah maupun dari sisi masyarakat. Untuk itu, koordinasi yang baik antara lapisan tingkat pemerintah, serta pendistribusian informasi yang tepat kepada masyarakat informal sangat diperlukan untuk meminimalisir kemungkinan timbulnya friksi antar golongan.

Daftar Pustaka

Department of Global Communications of The United Nations. 2020. UN Working to Ensure Vulnerable Groups Not Left Behind in COVID-19 Response. https://www.un.org/en/un-coronavirus-communications-team/un-working-ensure-vulnerable-groups-not-left-behind-covid-19

The Regional Risk Communication and Community Engagement (RCCE). 2020. COVID-19: How to Include Marginalized and Vulnerable People in Risk Communication and Community Engagement.https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/COVID19_CommunityEngagement_130320.pdf

Informal Economy Podcast: Social Protection. 2020. Woman in Informal Employment: Globalizing and Organizing (WIEGO). https://soundcloud.com/informaleconomypodcastsp/13-protecting-informal-workers-amid-the-global-pandemic-covid-19-edition

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *