Pos

Pemanfaatan Drone Untuk Pemantauan dan Pengendalian Kebakaran Hutan

Oleh: Arszandi Pratama, S.T., M.Sc., Akhmad Abrar A.H. S.T., Tike Aprillia S.T, Warid Zul Ilmi, S.P.W.K., dan Dandy Muhamad Fadilah, S.T.

Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan (karhutla) di Indonesia setiap tahun terus berulang. Kejadian ini tentunya menyebabkan kerusakan lingkungan bahkan kerugian ekonomi. Untuk itu, perlu adanya upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla di Indonesia terutama pada kawasan yang sering mengalami kejadian tersebut. Berikut data luas karhutla di Indonesia Tahun 2016-2022:

Melihat trennya sejak 2016-2022, luas karhutla di Indonesia terpantau fluktuatif. Kasus karhutla yang paling parah dalam tujuh tahun terakhir pernah terjadi pada 2019 lantaran membakar 1.649.258 ha.  sedangkan kasus karhutla terbesar terjadi pada bulan Agustus dan September 2022, secara berurutan sebesar 51.528 ha dan 49.071 ha. Berdasarkan provinsinya, karhutla paling banyak terjadi di Nusa Tenggara Timur, pada 11 bulan pertama tahun 2023 yang mencapai 70.009 ha. Posisinya diikuti oleh Nusa Tenggara Barat dengan luas karhutla mencapai 30.063 ha. Karhutla seluas 21.713 ha terjadi di Kalimantan Barat. Sementara, luas karhutla di Maluku dan Sumatera Barat masing-masing tercatat sebesar 14.817 ha dan 9.626 ha. 

Lalu apa saja penyebab kebakaran hutan? Bencana Kebakaran hutan disebabkan oleh 2 faktor:

  1. Kebakaran yang disebabkan oleh Alam (Musim kemarau panjang, sambaran petir, aktivitas vulkanik, Ground fire)
  2. Kebakaran yang disebabkan oleh Kesengajaan Manusia (pembakaran hutan untuk pembukaan lahan)

Kebakaran hutan berdampak negatif baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan manusia. Berikut dampak yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan.

  1. Bencana banjir yang melanda terjadi karena hutan mengalami kebakaran dan berakibat pada gundulnya hutan sehingga tidak mampu menyimpan cadangan air saat musim penghujan yang akan menjadi penyebab tanah longsor juga.
  2. Musnahnya flora dan fauna yang hidup di hutan.
  3. Tersebarnya emisi gas karbondioksida ke udara. Asap yang timbul akibat kebakaran hutan dalam skala besar menguap ke lapisan atmosfer dan berpotensi menyebabkan pemanasan global.
  4. Bahan baku industri yang menggunakan kayu atau bahan lain dari hutan akan berkurang jumlahnya karena hutan yang terbakar.
  5. Asap dari pembakaran hutan dapat menyebabkan penyakit seperti ISPA dan membuat jarak pandang menjadi berkurang karena kabut asap.
  6. Kebakaran juga dapat menyebabkan berkurangnya sumber air sehingga kekeringan bisa menjadi bencana yang mengikuti kebakaran hutan.

Lalu bagaimana cara untuk memitigasi kebakaran hutan dan lahan ?

Mitigasi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya bencana atau seminimal mungkin dapat mengurangi risiko dari bencana yang bisa terjadi. Salah satu cara yang dapat dilakukan hari ini adalah dengan menerapkan teknologi drone dalam melakukan pencegahan atau mitigasi kebakaran tersebut. 

Penggunaan Drone Dalam Mitigasi Kebakaran Hutan

Teknologi drone beberapa waktu belakang digunakan dalam pencegahan dan pengendalian bencana karhutla. Seperti September 2019 lalu, saat terjadi Karhutla di wilayah Sumatera khususnya Riau, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), TNI, hingga organisasi nonprofit lokal maupun internasional berupaya menggunakan teknologi drone untuk mempermudah proses mitigasi hingga membantu misi penyelamatan diri.

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk pencegahan dan pengendalian bencana karhutla melalui penggunaan drone. Berikut kami rangkum bentuk pencegahan dan pengendalian bencana Karhutla menggunakan Drone:

  1. Pemetaan wilayah kawasan hutan dan daerah sekitar hutan

Memetakan batas-batas kawasan dan merencanakan penggunaan lahan di sekitar kawasan hutan serta area mitigasi dan penempatan pos-pos pemantau. Data yang dihasilkan oleh drone dapat berupa foto udara atau video. Dengan data tersebut dapat diketahui luasan area kawasan hutan dan kondisinya.

Drone juga dapat dilengkapi dengan berbagai sensor yang memungkinkan untuk melakukan analisis kawasan lebih lanjut. Data yang dihasilkan dapat diguakan untuk analisis tingkat kelembapan tanah, arah angin, kondisi lingkungan lainnya sehingga dapat menjadi informasi awal untuk mitigasi bencana karhutla.

  1. Pemantauan Kawasan Hutan

Drone sebagai teknologi yang dapat memantau kawasan hutan karena dalam pengoperasiannya alat ini dilengkapi oleh sistem Ground Positioning System (GPS) serta memiliki kamera resolusi yang tinggi sehingga gambar yang dihasilkan jernih dan berkualitas tinggi. Dengan menggunakan alat ini dalam pemantauan hutan sehingga dapat memuat data dan fakta yang terjadi di lapangan secara cepat. Penggunaan drone membantu dalam pengecekan kondisi hutan secara cepat dan menyeluruh, bahkan dapat menangkap objek detail di dalam hutan sehingga pemantauan setiap sudut wilayah hutan dapat maksimal. 

Kelebihan menggunakan drone sebagai pemantauan kawasan hutan dapat menghemat biaya karena biasanya dalam pemantauan hutan akan membutuhkan banyak personil polisi hutan yang akan diterjunkan untuk pemantauan sehingga biaya dan sumber daya manusia yang digunakan harus berjumlah besar. Oleh karena itu selain menghemat biaya drone juga mempunyai nilai lebih karena efisien dalam mencari informasi sehingga tidak memakan banyak waktu.  

  1. Mendeteksi dini kebakaran hutan

Drone dapat memantau kawasan setiap sudut hutan. Beberapa penyebab kebakaran hutan yaitu kemarau yang panjang serta ulah manusia yang sengaja membakar hutan untuk dijadikan lahan pertanian maupun perkebunan. Drone dapat dilengkapi dengan sensor termal sehingga saat kemarau panjang dapat mendeteksi secara dini kawasan yang memiliki anomali suhu. Oleh karena itu, drone dapat menjadi sebuah alternatif untuk mengawasi tindakan tersebut dengan monitoring kawasan hutan sehingga kebakaran dapat dicegah.

  1. Penggunaan drone untuk pengamatan titik api secara real time

Upaya penggunaan drone saat pengemaatan titik api secara real time dilakukan untuk mengetahui persebaran titik api (hot spots). Sebelum Drone digunakan untuk pengamatan ini, pelaporan titik api baru bisa diterima oleh petugas setiap beberapa jam sekali. Drone digunakan untuk meningkatkan efektivitas pemadaman agar segera dilakukan penanganan oleh pasukan TNI dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). 

Drone yang dilengkapi dengan sistem monitoring hot spots berbasis satelit dapat menghasilkan data titik persebaran api akan diteruskan datanya ke Posko Satgas. Keunggulan penggunaan drone saat pengamatan titik api adalah drone dapat secara cepat dikerahkan ke lokasi kebakaran, memberikan data foto dan video secara cepat dengan tingkat akurasi tinggi sehingga petugas dapat memberikan arahan penanganan kebakaran secara tanggap. Data tersebut berupat peta terperinci lokasi kebakaran, ukuran (luasan lahan/hutan yang terbakar), dan mengidentifikasi hambatan atau kondisi berbahaya yang dapat mengganggu jalannya pemadaman kebakaran. Terakhir, dengan penggunaan drone, kawasan yang luas dan tidak dapat dijangkau dengan cepat oleh manusia dapat dijangkau oleh drone sehingga memudahkan pengambilan data secara real time.

Selain yang sudah disebutkan di atas, keunggulan lainnya dari drone adalah dapat digunakan untuk konservasi hutan, satwa maupun tumbuhan yang dilindungi, drone dapat mengawasi kehidupan satwa liar yang rentan akan perburuan liar. Melindungi satwa liar bukan perkara yang mudah, kesulitan yang sering dialami oleh petugas konservasi yaitu mencari data yang akurat, sedangkan dalam beberapa kasus terdapat satwa serta tanaman yang memang sulit untuk ditemukan. Oleh karena itu pemanfaatan drone sebagai pencari informasi yang akurat dapat mempermudah pihak konservasi dalam mendata populasi satwa maupun lokasi tanaman tertentu serta membantu untuk mengontrol jumlah ketersediaan makanan bagi satwa di alam liar.

Melalui tulisan ini kita dapat simpulkan bersama bahwa, penggunaan drone dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran sudah terbukti dan sangat efektif serta akurat dalam pengaplikasiannya. Dengan drone, pengambilan data dapat dilakukan dengan mudah dan cepat walau kawasan hutan luas dan sulit dijangkau. Diharapkan penggunaan drone dapat terus dimanfaatkan dan bisa meningkatkan mitigasi bencana karhutla di Indonesia sehingga potensi kebakaran dan penanganan bencana dapat secara cepat dilakukan dan kerugian negara dapat ditekan dari kasus karhutla tersebut. 

Sumber:

  1. BPBD Kabupaten Lima Puluh Kota. 2016. Penyebab Kebakaran Hutan dan Cara Penanggulangannya https://bpbd.limapuluhkotakab.go.id/Welcome/lihatBerita/522. Diakses pada 3 Mei 2023
  2. Ridhwan Mustajab. 2022. Indonesia Alami Karhutla Seluas 202.618 Ha hingga November 2022. https://dataindonesia.id/varia/detail/indonesia-alami-karhutla-seluas-202618-ha-hingga-november-2022. Diakses pada 3 Mei 2023
  3. Ridwa Mustajab. 2022. https://dataindonesia.id/varia/detail/indonesia-alami-karhutla-seluas-202618-ha-hingga-november-2022. Diakses pada 3 Mei 2023
  4. Marcin Frackiewic. 2023. https://ts2.space/en/the-best-drones-for-forest-fire-prevention-and-control/. Diakses pada 3 Mei 2023
  5. Lintang Budiyanti. 2020. Menghadapi Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) dengan Bantuan Drone. https://blog.docotel.com/menghadapi-kebakaran-hutan-dan-lahan-dengan-drone/. Diakses 3 Mei 2023
  6. Moh. Dwi Bahtiar. 2021. https://wanaswara.com/drone-alat-pemantau-dalam-riset-kehutanan/.  Diakses pada 3 Mei 2023

Peningkatan Upaya Mitigasi di Musim Penghujan

Oleh : Galuh Shita Ayu Bidari, S.T

Sebagai negara yang berada di iklim tropis, Indonesia dianugerahi dua musim, yakni musim kemarau dan musim hujan. Saat ini, Indonesia sedang memasuki musim penghujan, yang umumnya dimulai pada bulan Juli hingga September. Dilansir dari laman BMKG, pada periode tahun 2019 hingga 2020, sebagian besar daerah di Indonesia akan memasuki puncak musim hujan pada awal tahun 2020 yaitu pada bulan januari.

Puncak Musim Hujan Periode 2019 – 2020

Musim hujan dengan intensitas yang tinggi seringkali tidak hanya menimbulkan genangan, namun juga banjir. Sehingga perlu untuk melakukan mitigasi banjir untuk meminimalisir dampak buruk yang terjadi. Bagi masyarakat yang tinggal di lokasi yang aman dari bencana banjir, tentu hal ini bukan menjadi ancaman yang besar. Namun bagi masyarakat yang tinggal di lokasi rawan bencana banjir, terdapat beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan sebelum bencana banjir melanda.

Dilansir dari The National Severe Storms Laboratory (NSSL), National Oceanic & Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat serta The Natural Resources Defense Council (NRDC), terdapat beberapa jenis banjir yang seringkali terjadi di berbagai belahan dunia, yaitu:

  1. Banjir sungai (river flood), terjadi ketika permukaan air naik di atas tepian sungai karena hujan yang berlebihan. Banjir jenis ini merupakan jenis banjir yang paling umum terjadi ketika badan air melebihi kapasitas yang dapat ditampungnya. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah banjir jenis ini adalah dengan memberikan penahan yang baik terutama pada area yang padat penduduk atau daerah yang datar.
  2. Banjir pantai (coastal flood), seringkali disebut dengan banjir rob atau banjir laut pasang yang disebabkan oleh pasang naik yang lebih tinggi dari rata-rata dan diperburuk curah hujan tinggi dan angin yang bertiup ke arah darat.
  3. Gelombang badai (storm surge), merupakan banjir yang disebabkan oleh kekuatan angina badai yang hebat, serta gelombang dan tekanan atmosfer yang rendah, sehingga terjadi kenaikan permukaan air yang tidak normal di daerah pantai.
  4. Banjir perkotaan (urban flood), merupakan banjir yang terjadi di daerah perkotaan. Banjir bandang, banjir pantai, dan banjir sungai dapat pula terjadi di daerah perkotaan, tetapi istilah ini merujuk secara khusus pada banjir yang terjadi di daerah berpenduduk padat ketika curah hujan (bukan genangan air) melebihi kapasitas.
  5. Banjir bandang (flash flood), merupakan banjir yang disebabkan oleh curah hujan yang deras dan tiba-tiba atau dalam waktu yang singkat, kadang terjadi ketika tanah tidak dapat menyerap air dengan optimal.

Idealnya, setiap orang harus mengetahui potensi bencana yang ada di sekitarnya. Bencana banjir merupakan bencana yang umumnya terjadi di Indonesia, hal ini dapat dibuktikan dengan data statistik tahunan BNPB (dilansir melalui website DIBI) yang menyatakan bahwa banjir masuk ke dalam 3 besar bencana yang kerapkali terjadi. Sehingga, pemahaman masyarakat terhadap bencana sangat diperlukan sebagai salah satu bentuk dari upaya mitigasi.

Mitigasi merupakan suatu rangkaian upaya yang dilakukan untuk meminimalisir risiko dan dampak bencana. Mitigasi dapat dilakukan secara perseorangan dalam bentuk pemahaman dan pengetahuan, secara berkelompok dalam bentuk pelatihan koordinasi penyelamatan diri saat terjadi bencana, maupun dalam kelompok besar/level instansi pemerintah seperti pembangunan infrastruktur maupun memberikan peningkatan kesadaran dan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana.

Mitigasi merupakan suatu tahapan penting dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap risiko bencana. Berdasarkan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Bagi masyarakat yang rentan terhadap banjir, sangat penting bagi mereka untuk bisa mempersiapkan diri dan lingkungannya. Sedangkan bagi masyarakat yang tinggal di daerah yang tidak terkena banjir, seperti pada daerah yang berada pada kontur yang tinggi, disarankan untuk tetap menjaga lingkungan sekitar agar tidak terjadi banjir.

Berdasarkan UU yang sama, kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi bencana dapat dilakukan melalui pelaksanaan penataan ruang; pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern. Secara umum, terdapat 2 jenis mitigasi, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non-struktural.

  • Mitigasi struktural, merupakan upaya untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana dengan cara rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Dalam menghadapi bencana banjir, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir risiko banjir, yakni:
  • Membersihkan saluran drainase dari sampah-sampah yang mengendap
  • Membangun tembok pertahanan ataupun tanggul
  • Meninggikan lantai rumah
  • Memperbanyak pohon
  • Menciptakan banyak kawasan terbuka hijau
  • Membuat lubang biopori
  • Mitigasi non-struktural. Berbeda dengan mitigasi struktural, mitigasi non-struktural merupakan upaya mengurangi dampak bencana yang mungkin terjadi melalui kebijakan atau peraturan tertentu. Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain:
  • Mengenali dan mempelajari penyebab banjir
  • Melakukan kegiatan pelatihan penanggulangan bencana
  • Memperbaiki sarana dan prasarana
  • Menyiapkan persediaan makanan dan logistik
  • Melakukan simulasi situasi darurat bencana

Berdasarkan definisi yang ada, mitigasi dilakukan sebelum bencana terjadi, dengan tujuan agar masyarakat dapat memiliki kesiapan yang optimal sehingga ketika bencana terjadi, masyarakat tidak mengalami kerugian yang tinggi, baik dari segi materi maupun non materi. Idealnya, setiap orang mengetahui dan memahami upaya-upaya mitigasi yang dapat dilakukan mulai dari tingkat kecil yakni keluarga hingga tingkat besar yakni kota/provinsi/bahkan negara sehingga ketika bencana terjadi, masyarakat sudah mengetahui apa yang harus dilakukan beserta peran apa yang diembannya. Dengan begitu, mimpi Indonesia menjadi tangguh bencana juga akan dapat terwujudkan.

Sumber Referensi :

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Kompas.com. (2020, 3 Januari). Jenis-jenis Banjir. Diakses pada 16 Januari 2020, dari https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/03/090000369/jenis-jenis-banjir?page=all
  • Nrdc.org. (2019, 10 April). Flooding and Climate Change: Everything You Need to Know. Diakses pada 20 Januari 2020, dari https://www.nrdc.org/stories/flooding-and-climate-change-everything-you-need-know