Mewaspadai Gelombang Kedua Pandemi

Oleh Galuh Shita

Penyebaran pandemi virus covid-19 masih terjadi secara masif di berbagai belahan dunia. Hampir seluruh negara telah berupaya sekuat tenaga untuk menanggulangi pandemi ini. Berkaca dari masa lalu, pandemi virus bukanlah hal pertama yang terjadi. Penyebarannya pun tak hanya terjadi sekali, namun dapat mencapai hingga lebih dari dua kali gelombang penyebaran. Mengapa seperti itu?

Berangkat dari definisi pandemi itu sendiri yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas. Istilah pandemi tak terbatas pada seberapa ganas penyakit yang ditimbulkan, namun seberapa luas jangkauan yang mampu dilanda oleh penyakit tersebut. Tak hanya dalam lingkup antar negara, namun juga antar benua pada titik di mana penyebaran penyakit ini tergolong sulit untuk dikendalikan. Begitu sulitnya hingga kekhawatiran pada penyebaran yang tak kunjung reda akan terus menghantui. Secara umum, gelombang pandemi dikatakan selesai apabila penyebaran dapat ditekan dan metode penyembuhan dapat memberikan hasil yang baik pada pasien terdampak. Dengan ini dapat dikatakan bahwa gelombang pertama telah usai. Gelombang selanjutnya dapat dikatakan terjadi apabila kemudian terjadi lonjakan epidemi baru pada sejumlah wilayah dan menimbulkan lonjakan grafik yang masif, sehingga urgensi setiap negara untuk dapat menangani pandemi dengan baik pada gelombang pertama sangatlah penting dan krusial agar dapat mengetahui strategi penanganan yang lebih tepat pada saat gelombang kedua menghadang.

Sumber: visualcapitalist.com, diakses pada 11 Juni 2020

Dunia pernah dilanda beberapa kali pandemi yang mengancam jutaan nyawa manusia yang teridentifikasi sejak ratusan tahun lalu. Bahkan beberapa diantaranya berlangsung selama lebih dari 2 tahun dan menyerang lebih dari satu gelombang. Dilansir dari laman nationalgeographic, London adalah salah satu contoh kota yang terus menerus dilanda wabah selama kurun waktu 300 tahun, dengan total mencapai 40 wabah, yang diawali dengan wabah Black Death. Black Death merupakan salah satu pandemi terparah yang pernah terjadi, wabah ini menelan korban hingga 200 juta jiwa, yang kemudian disusul oleh wabah cacar yang menelan 56 juta jiwa, hingga wabah Spanish Flu yang menelan korban hingga mencapai 50 juta jiwa. Spanish Flu merupakan contoh buruk dari pandemi yang melanda pada perang dunia pertama.

Sumber: coastalreview.org

Grafik di atas menunjukkan tingkat kematian yang diakibatkan oleh Spanish Flu yang terjadi dalam 3 gelombang. Gelombang kedua mengakibatkan kematian yang cukup fatal, yakni mencapai 5x dari kematian pada gelombang pertama. Pada gelombang pertama Spanish Flu, kelompok masyarakat rentan berkisar pada orang dengan imunitas rendah dan lanjut usia, sementara orang yang lebih muda dapat pulih lebih mudah. Namun pada gelombang kedua, diperkirakan virus telah bermutasi dan membuat masyarakat dalam kelompok muda-dewasa dan sehat menjadi lebih rentan. Umumnya pada gelombang pertama, masyarakat hanya menganggap biasa dan memberikan penanganan standar pada gejala penyakit, tanpa menyadari bahwa penularan sudah merebak dan membentuk kluster baru di beberapa wilayah. Pandemi yang pernah terjadi di masa lalu dapat mengajarkan kita banyak hal, salah satunya adalah faktor-faktor yang menyebabkan gelombang kedua menjadi lebih mematikan dibanding gelombang pertama, yakni:

  • Ketidaktahuan ilmiah mengenai wabah yang sedang menjangkit

Hal seperti ini sangat lumrah terjadi pada kasus penyakit baru yang tidak pernah terjadi sebelumnya, seperti kasus virus covid-19 sekarang ini. Peneliti membutuhkan waktu untuk mempelajari wabah yang menjangkit, agar dapat diketahui langkah preventif yang dapat dilakukan. Namun di sisi lain masyarakat umum yang tidak mengetahui informasi secara detil akan cenderung menyebarkan wabah dengan lebih masif. Ketika wabah ‘Black Death’ menjangkit, masyarakat cukup percaya bahwa dengan menghilangkan kotoran dari udara serta menguburkan jenazah jauh dari pusat permukiman akan membantu mencegah penyebaran penyakit. Namun, pengetahuan pada zaman itu masih belum sampai pada pentingnya menghindari kontak fisik antara satu dengan lainnya.

  • Kurangnya/lemahnya karantina wilayah

Sejarah mengatakan bahwa Spanish Flu melanda ketika awal Perang Dunia I sedang terjadi. Pada masa itu, penyakit influenza masih dianggap sebagai penyakit umum yang menjangkit manusia, meskipun pada kenyataannya sudah ada puluhan tentara yang meninggal akibat serangan virus tidak lazim ini. Fokus negara pada saat itu adalah lebih mementingkan menjaga perang dibandingkan mencegah kematian akibat penyebaran penyakit. Akibatnya, para tentara yang telah terkontaminasi penyakit ikut berperang dan membantu menyebarluaskan penyakit ke wilayah Eropa. Anjuran untuk tetap di rumah kepada mereka yang sakit tidak digubris oleh pemerintah dikarenakan adanya situasi nasional yang harus diprioritaskan sehingga penyebaran pun menjadi lebih masif.

  • Tidak adanya alat penelitian yang memadai

Ketika pandemi Spanish Flu merebak di 1918, kemampuan mikroskop pada saat itu masih belum bisa mendeteksi partikel sekecil virus hingga tahun 1930. Wabah flu yang sebelumnya juga terjadi di tahun 1890 membuat para ilmuwan berpikir bahwa Spanish Flu mungkin berasal dari sumber yang serupa, sehingga sebagian besar investasi dihabiskan untuk menemukan penangkal dari penyakit tersebut, namun berakhir nihil.

  • Isu sosial terhadap kelompok tertentu

Pada masa pandemi Spanish Flu, diberitakan bahwa asal mula penyakit ini berasal dari para petani Cina pedalaman yang dibawa oleh para pekerja ke Kanada. Para pekerja ini menghabiskan berhari-hari di container dan melintasi banyak negara sebelum tiba di Perancis. Di lain sisi, tingkat rasisme terhadap warga Asia cukup tinggi pada saat itu sehingga para dokter cenderung menganggap enteng penyakit tersebut dan lantas menyebutnya dengan ‘Chinese Laziness’. Selain itu, beragam berita bohong dan teori konspirasi banyak menyebar secara luas di kalangan masyarakat sehingga cenderung menimbulkan bingung.

Apa Saja Upaya Yang Dapat Dilakukan Untuk Menurunkan Kurva?

Berbagai pandemi yang pernah melanda dunia seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi manusia tentang apa saja hal-hal yang dapat memicu terjadinya gelombang lanjutan hingga upaya yang dapat diambil untuk dapat membantu menghambat penyebaran penyakit. Selain tentunya dengan pengobatan yang tepat serta vaksin yang terbukti ampuh, terdapat beberapa factor yang dapat dilakukan untuk menurunkan kurva, antara lain:

  • Menggunakan masker

Pada beberapa kasus pandemi yang menyerang sistem pernapasan, penggunaan masker dipercaya dapat membantu mengurangi penyebaran virus. Pada kasus Spanish Flu, penggunaan masker menjadi hal yang wajib untuk dipatuhi oleh seluruh masyarakat pada saat itu. Meskipun di masa itu terdapat beberapa studi yang menyatakan bahwa penggunaan masker bisa menjadi tidak efektif untuk masyarakat luas, yang dimungkinkan oleh perilaku masyarakat yang lalai pada saat menggunakannya, namun penggunaan masker menjadi hal yang tetap dilakukan. Penggunaan masker dipercaya bukan untuk melindungi mereka yang sehat, namun untuk mencegah mereka yang mungkin telah terpapar untuk menjadi semakin sakit.

  • Social/Physical Distancing

Penggunaan masker tanpa mengindahkan jarak social/fisik akan menjadi hal yang sia-sia. Hal ini dikarenakan virus menyebar dengan cepat melalui percikan yang juga dapat berpindah melalui sentuhan. Banyak hal yang dapat dipelajari dari penerapan jarak social/fisik yang terjadi pada pandemi sebelumnya.

Sumber: nationalgeographic.com

Penerapan jarak sosial/fisik terbukti mampu meredam penyebaran virus pada saat pandemic Spanish Flu terjadi. Grafik di atas merupakan grafik perkembangan penyebaran virus yang terjadi di kota-kota di Amerika. Ketegasan serta durasi waktu penerapan sosial/fisik sangat mempengaruhi laju penyebaran virus yang sedang melanda.

  • Karantina Wilayah

Penerapan karantina wilayah pertama kali diterapkan ketika wabah Black Death terjadi. Pada masa itu, kota-kota pelabuhan menjadi fokus utama bagi pengunjung yang menggunakan kapal untuk aktivitas berdagang. Upaya karantina wajib dilakukan selama 30 hari (yang kemudian bertambah menjadi 40 hari) terhadap setiap pengunjung kapal yang akan memasuki Ragusa (Dubrovnik modern) dengan cara mereka harus menghabiskan waktu sebulan di Pulau Mrkan atau Kota Cavtat. Beberapa sejarawan medis menganggap dekrit karantina Ragusa sebagai salah satu pencapaian tertinggi kedokteran abad pertengahan. Penerapan karantina wilayah pada masa penyebaran Covid-19 oleh Pemerintah Wuhan juga dianggap efektif dalam menekan penyebaran virus pada gelombang pertama, yang kemudian diikuti oleh beberapa kota dan negara lainnya.

Bahan Bacaan

  • Ewing, Thomas E. “Flu Masks Failed In 1918, But We Need Them Now”. Diperoleh 19 Juni 2020 dari https://www.healthaffairs.org/do/10.1377/hblog20200508.769108/full/
  • Firdausi, Fadrik Aziz. “Belajar dari Flu Spanyol: Gelombang Kedua Pandemi Bisa Lebih Bahaya”. Diperoleh 16 Juni 2020 dari https://tirto.id/belajar-dari-flu-spanyol-gelombang-kedua-pandemi-bisa-lebih-bahaya-fFSn
  • Heneghan, Carl and Tom Jefferson. “Covid 19 – Epidemic ‘Waves’”. Diperoleh 11 Juni 2020 dari https://www.cebm.net/covid-19/covid-19-epidemic-waves/
  • Hilderman, Richard. “Second Wave of COVID-19 May Be Deadlier”. Diperoleh 12 Juni 2020 dari https://www.coastalreview.org/2020/04/second-wave-of-covid-19-may-be-deadlier/
  • LePan, Nicholas. “Visualizing the History of Pandemics”. Diperoleh 11 Juni 2020 dari https://www.visualcapitalist.com/history-of-pandemics-deadliest/
  • Putri, Sutrisni Arum. “Karantina: Pengertian dan Sejarah Singkat”. Diperoleh 19 Juni 2020 dari https://www.kompas.com/skola/read/2020/04/18/180000969/karantina–pengertian-dan-sejarah-singkat?page=all#:~:text=Sejarah%20karantina,pesisir%20dari%20wabah%20(epidemi).&text=Melansir%20History%2C%20sekitar%20700%20tahun,menimpa%20Italia%20pada%20abad%20pertengahan.
  • Roos, Dave. “Why the Second Wave of the 1918 Spanish Flu Was So Deadly”. Diperoleh 19 Juni 2020 dari https://www.history.com/news/spanish-flu-second-wave-resurgence
  • Strochlic, Nina and Riley D. Champine. “How some cities ‘flattened the curve’ during the 1918 flu pandemic”. Diperoleh 19 Juni 2020 dari https://www.nationalgeographic.com/history/2020/03/how-cities-flattened-curve-1918-spanish-flu-pandemic-coronavirus/
  • Widyaningrum, Gita Laras. “Karantina Hingga Vaksin, Inilah Akhir dari 5 Wabah Terparah di Dunia”. Diperoleh 12 Juni 2020 dari https://nationalgeographic.grid.id/read/132075377/karantina-hingga-vaksin-inilah-akhir-dari-5-wabah-terparah-di-dunia?page=all
  • Wirawan, Miranti Kencana. “Melawan Wabah Flu Spanyol 1918, Orang-orang Menyantap Bubur Hangat, Pakai Masker, dan Hirup Udara Segar”. Diperoleh 16 Juni 2020 dari https://www.kompas.com/global/read/2020/05/09/103000870/melawan-wabah-flu-spanyol-1918-orang-orang-menyantap-bubur-hangat-pakai?page=all