Pos

Mengenal Rencana Detail Tata Ruang

Galuh Shita

Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) merupakan bagian dari rencana rinci tata ruang. Di Indonesia, terdapat dua jenis perencanaan utama yaitu Rencana Pembangunan dan Rencana Tata Ruang (RTR) yang menjadi pedoman bagi pemerintah untuk mencapai target pembangunan dalam jangka waktu dan lingkup tertentu. Rencana tata ruang terbagi menjadi 2, yakni rencana umum yang terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota dan rencana rinci yang terdiri dari RTR Pulau, RTR Kawasan Strategis Nasional dan RDTR Kabupaten dan Kota).

Kedudukan RDTR dalam Sistem Perencanaan Ruang

Penyusunan RDTR sendiri telah diamanatkan dalam Undang-Undang Penataan Ruang serta diatur lebih jauh di dalam peraturan menteri yang diterbitkan pada tahun 2011 dan diperbaharui pada tahun 2018. Pada peraturan tersebut diatur mengenai hal-hal serta muatan substansi yang harus dipenuhi dalam menyusun dokumen RDTR, yang terdiri dari dokumen RDTR dan Peraturan Zonasi (PZ). Adapun yang menjadi muatan substansi dari RDTR adalah tujuan penataan Bagian Wilayah Perkotaan (BWP); rencana struktur ruang; rencana pola ruang; penetapan sub BWP yang diprioritaskan penanganannya; dan ketentuan pemanfaatan ruang.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota menggantikan peraturan sebelumnya yang berkaitan dengan penyusunan substansi RDTR. Pada peraturan baru, terdapat perubahan susunan materi substansi dari dokumen RDTR. Pada peraturan yang baru, dokumen RDTR secara keseluruhan terdiri dari 7 bab, yang juga mengubah sub bab ketentuan khusus dan standar teknis menjadi materi wajib yang harus ada di dalam dokumen RDTR. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Perbedaan PERMEN ATR Nomor 20 Tahun 2011 dengan PERMEN ATR Nomor 16 Tahun 2018 tentang tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota

Di dalam peraturan yang mengatur mengenai RDTR, secara umum penyusunan RDTR memiliki fungsi sebagai berikut:

  1. kendali mutu pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota berdasarkan RTRW;
  2. acuan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang lebih rinci dari kegiatan pemanfaatan ruang yang diatur dalam RTRW;
  3. acuan bagi kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang;
  4. acuan bagi penerbitan izin pemanfaatan ruang; dan
  5. acuan dalam penyusunan RTBL.

Sedangkan manfaat dari diselenggarakannya RDTR adalah:

  1. penentu lokasi berbagai kegiatan yang mempunyai kesamaan fungsi dan lingkungan permukiman dengan karakteristik tertentu;
  2. alat operasionalisasi dalam sistem pengendalian dan pengawasan pelaksanaan pembangunan fisik kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan/atau masyarakat;
  3. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk setiap bagian wilayah sesuai dengan fungsinya di dalam struktur ruang kabupaten/kota secara keseluruhan; dan
  4. ketentuan bagi penetapan kawasan yang diprioritaskan untuk disusun program pengembangan kawasan dan pengendalian pemanfaatan ruangnya pada tingkat BWP atau Sub BWP.

RDTR juga berfungsi untuk menentukan kesesuaian dokumen perencanaan dengan implementasi pembangunan di lapangan. RDTR merupakan dasar acuan dari diterbitkannya dokumen perizinan terkait bangunan. Tanpa adanya dokumen RDTR maka dokumen tersebut tidak dapat dikeluarkan. Jika sebelumnya untuk mendirikan bangunan diperlukan IMB, maka kini telah berganti menjadi PBG (Persetujuan Bangunan Gedung). Meskipun telah berganti istilah, namun tetap memiliki fungsi yang sama.

Dokumen RDTR belum seluruhnya tersedia pada setiap kabupaten/kota di Indonesia. Dilansir dari harian kompas, ketersediaan dokumen RDTR baru tersedia sejumlah 55 RDTR saja dari keseluruhan kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Dokumen RDTR umumnya disusun apabila dokumen RTRW yang telah ada tidak memiliki substansi yang mampu mencakup informasi detail. Keberadaan dokumen RTRW juga belum sepenuhnya tersedia, meskipun jumlahnya tidak lebih sedikit dari kekurangan dokumen RDTR. Jika ketersediaan dokumen RTRW di Indonesia sudah mencapai 95% maka ketersediaan dokumen RDTR di Indonesia bahkan tidak mencapai lebih dari 5%. Hal ini tentu sangat disayangkan dan sangat penting untuk menjadi perhatian pemerintah. Terdapat beberapa faktor yang juga menjadi penyebab dari kontrasnya ketersediaan dokumen RDTR di Indonesia, salah satunya adalah ketersediaan peta dasar dengan skala 1:5.000 untuk penyusunan RDTR. Peta dasar yang disediakan haruslah mendapat persetujuan substansi dari Badan Informasi Geospasial. Hal ini sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial. Di samping itu, dibutuhkan pula validasi mengenai kajian lingkungan hidup strategis yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Untuk mempercepat proses ini guna menyediakan dokumen RDTR di seluruh Indonesia, maka pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN tengah menggenjot program penyusunan RDTR melalui RDTR Bimbingan Teknis, RDTR Bantuan Teknis Reguler, dan RDTR Online Single Submission (OSS). Diharapkan dengan adanya program ini maka ketersediaan dokumen RDTR dapat segera terpenuhi di seluruh Indonesia.


Bahan Bacaan

  • ATRBPN. 2020. “Penyerahan Sembilan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa dan Bali”. Diperoleh 5 April 2021 dari https://tataruang.atrbpn.go.id/Berita/Detail/3919
  • Kompas. 2019. “Indonesia Alami “Backlog” Tata Ruang”. Diperoleh 5 April 2021 dari https://properti.kompas.com/read/2019/11/08/160950521/indonesia-alami-backlog-tata-ruang?page=all
  • Kompas. 2020. “Indonesia Baru Punya 55 RDTR yang Telah Jadi Perda”. Diperoleh 6 April 2021 dari https://properti.kompas.com/read/2020/03/11/100000421/indonesia-baru-punya-55-rdtr-yang-telah-jadi-perda
  • Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
  • Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
  • Pratama, M. Arszandi, dkk. 2015. Menata Kota melalui Rencana Detil Tata Ruang (RDTR). Yogyakarta: Penerbit Andi.

Perumahan/Permukiman Kumuh serta Upaya Penanganannya

Galuh Shita A.B.

Dalam setiap kota besar yang ada di Indonesia, permasalahan permukiman kumuh menjadi momok yang sering ditemui dan tak ayal menjadi sebuah gangguan visual yang harus diatasi. Tak hanya berupa gangguan visual, namun juga menjadi permasalahan sosial yang harus cepat ditangani guna menciptakan masyarakat perkotaan yang makmur dan sejahtera. Permukiman kumuh sendiri dapat terjadi karena berbagai faktor, salah satunya dapat terjadi karena pengaruh arus urbanisasi yang tidak terkontrol. Tingkat urbanisasi yang tinggi menyebabkan masyarakat mengokupansi lokasi hunian, baik legal ataupun illegal, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya kekumuhan di perkotaan.

Suatu lingkungan hunian dapat dikatakan kumuh apabila memiliki karakteristik seperti berikut, yaitu: kualitas bangunan tidak permanen, memiliki kepadatan tinggi dan tidak teratur, berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peraturan peruntukkan ruang, memiliki ukuran unit rumah yang relatif kecil, ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana pendukung permukiman yang sangat terbatas (kondisi jalan, drainase, persampahan, dan lainnya), rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, tingkat kesejahteraan penduduknya yang tergolong menengah ke bawah, dan sebagainya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, definisi dari permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Peningkatan kualitas terhadap perumahan dan permukiman kumuh dilakukan dengan meningkatkan kualitas bangunan, serta prasarana, sarana, dan utilitas umum. Kriteria perumahan dan permukiman kumuh ditinjau dari bangunan gedung, jalan lingkungan, penyediaan air minum, drainase lingkungan, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan, dan proteksi kebakaran.

Kriteria KumuhKondisi
Bangunan Gedung– Ketidakteraturan bangunan
– Tingkat kepadatan bangunan yang tinggi yang tidak sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang
– Kualitas bangunan yang tidak memenuhi syarat
Jalan Lingkungan– Jaringan jalan lingkungan tidak melayani seluruh lingkungan perumahan atau permukiman
– Kualitas permukaan jalan lingkungan buruk
Penyediaan Air Minum– Akses aman air minum tidak tersedia
– Kebutuhan air minum setiap individu tidak terpenuhi
Drainase Lingkungan– Drainase lingkungan tidak tersedia
– Drainase lingkungan tidak mampu mengalirkan limpasan air hujan sehingga menimbulkan genangan
– Kualitas konstruksi drainase lingkungan buruk
Pengelolaan Air Limbah– Sistem pengelolaan air limbah tidak memenuhi persyaratan teknis
– Prasarana dan sarana pengelolaan air limbah tidak memenuhi persyaratan teknis
Pengelolaan Persampahan– Prasarana dan sarana persampahan tidak memenuhi persyaratan teknis
– Sistem pengelolaan persampahan tidak memenuhi persyaratan teknis
Proteksi Kebakaran– Prasarana proteksi kebakaran tidak tersedia
– Sarana proteksi kebakaran tidak tersedia
Sumber: Permen PUPR nomor 14 Tahun 2018

Untuk dapat mengentaskan permasalahan ini, Pemerintah kemudian melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) meluncurkan program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) untuk mempercepat penanganan permukiman kumuh dan mendukung Gerakan 100-0-100, yaitu 100% akses air minum layak, 0% permukiman kumuh, dan 100% akses sanitasi layak. Tujuan dari diselenggarakannya program ini adalah untuk meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan dan mencegah timbulnya permukiman kumuh baru dalam rangka untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan. Diharapkan, sebaran perumahan atau permukiman kumuh yang terdapat di kota-kota besar dapat teratasi dengan adanya program ini.

Tahapan Implementasi Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh

Suatu perumahan atau permukiman perlu untuk memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan untuk dapat dikategorikan kumuh. Setiap tahapan upaya penanganan dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat (LKM/BKM), pemerintah kabupaten/kota dan pemangku kepentingan lainnya (stakeholder). Penetapan lokasi perumahan atau permukiman kumuh dilakukan melalui proses pendataan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat, yang meliputi identifikasi lokasi dan penilaian lokasi, yang juga mencakup kondisi kekumuhan serta legalitas tanah. Setelah dilakukan ketetapan terhadap perumahan atau permukiman kumuh, maka tahapan selanjutnya adalah perencanaan penanganan yang dilakukan melalui tahap persiapan, survei, analisis, penyusunan data dan fakta, analisis, penyusunan konsep pencegahan dan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh, serta penyusunan rencana pencegahan dan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh. Hasil penilaian yang dilakukan terhadap lokasi perumahan atau permukiman kumuh akan melahirkan penetapan pola penanganan yang sesuai terhadap perumahan atau permukiman kumuh, yaitu apakah akan ditempuh melalui pemugaran, peremajaan, atau pemukiman kembali.

PemugaranPeremajaanPemukiman Kembali
lokasi memiliki klasifikasi kekumuhan ringan dengan status tanah legallokasi memiliki klasifikasi kekumuhan berat dan sedang dengan status tanah legallokasi memiliki klasifikasi kekumuhan ringan dengan status tanah illegallokasi memiliki klasifikasi kekumuhan berat dan sedang dengan status tanah ilegal
Sumber: Permen PUPR nomor 14 Tahun 2018

Pelaksanaan kegiatan dilakukan secara transparan dan akuntabel. Keterlibatan masyarakat juga dapat menjadi salah satu kunci penting dalam tahapan pelaksanaan. Tahap Keberlanjutan bertujuan untuk melakukan kegiatan perawatan dan pemeliharaan atas apa yang telah dikerjakan melalui Program Kotaku. Hal ini dilakukan agar kegiatan penanganan yang dilakukan dapat terpelihara dengan baik.

Dilansir dari laman kotaku, sumber pembiayaan Program Kotaku berasal dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, swadaya masyarakat dan pemangku kepentingan lainya (stakeholder) serta dari lembaga mitra pembangunan pemerintah. Program KOTAKU tahun 2021 yang tergabung ke dalam kegiatan Infrastruktur Berbasis Masyarakat di Bidang Sanitasi meliputi Sanitasi Berbasis Masyarakat Regular, Tempat Pengolahan Sampah Dengan Prinsip 3R, Sanitasi Perdesaan, Sanimas Citarum Harum, dan TPS 3R Citarum Harum, diselenggarakan di seluruh provinsi yang terdapat di Indonesia dengan lokasi terbesar berada pada kategori peningkatan Sanitasi Perdesaan.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh
  • Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyar Nomor 117 tahun 2021 tentang Penetapan Lokasi dan Besaran Bantuan Kegiatan Infrastruktur Berbasis Masyarakat Tahun Anggaran 2021
  • Website kotaku.pu.go.id

Mengenal Fungsi dan Peran RTRW

Galuh Shita

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan salah satu dari rangkaian pedoman bagi para stakeholder perencana kota untuk membangun kotanya sesuai dengan amanat serta ketentuan yang telah ditetapkan. RTRW merupakan bagian dari rencana umum dan merupakan turunan serta merujuk dari peraturan yang lebih tinggi, yakni rencana pembangunan, baik lingkup nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota. Secara umum, dokumen RTRW juga merupakan dasar perumusan kebijakan pemanfaatan ruang, baik di wilayah provinsi maupun kabupaten/kota. Berbagai kebijakan tersebut termasuk dalam pembangunan infrastruktur, pembangunan wilayah perkotaan dan perdesaan, kawasan lindung dan budidaya serta kawasan strategis.

Kedudukan RTRW dalam Sistem Perencanaan Ruang

Menilik lebih awal, keseluruhan amanat penyediaan produk penataan ruang bermula dari terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada peraturan perundangan tersebut disebutkan bahwa pengadaan RTRW perlu dilakukan sebagai landasan pembangunan dan pengembangan wilayah. Hal ini ditujukan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Dalam rangka perwujudan ruang wilayah nasional tersebut, maka penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia meliputi aspek pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Selain itu, dalam penyusunannnya juga perlu memperhatikan beberapa hal seperti Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional; perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional; upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi; keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah; daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; rencana pembangunan jangka panjang nasional; rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Dalam UU Penataan Ruang, juga disebutkan bahwa penyusunan dokumen RTRW akan menjadi pedoman bagi beberapa dokumen perencanaan lainnya, seperti: rencana pembangunan jangka panjang; penyusunan rencana pembangunan jangka menengah; pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah; mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah, serta keserasian antar sektor; penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; penataan ruang kawasan strategis; dan penataan ruang wilayah dokumen di bawahnya.

Dokumen RTRW berlaku selama 20 tahun dan perlu untuk dilakukan peninjauan ulang setiap minimal 5 tahun sekali. Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara, wilayah provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan dengan Undang-Undang, maka rencana tata ruang wilayah dapat ditinjau kembali lebih dari 1 kali dalam kurun waktu 5 tahun.

Adapun muatan dari RTRW baik dalam lingkup nasional, provinsi, ataupun kabupaten/kota adalah sebagai berikut:

  • Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah
  • Rencana struktur ruang, yang meliputi sistem perkotaan yang terkait dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana
  • Rencana pola ruang, yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis wilayah
  • Penetapan kawasan strategis
  • Arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan
  • Arahan pengendalian pemanfaatan ruang yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi

Penyusunan rencana tata ruang mencakup berbagai aspek, seperti rencana spasial serta rencana pembangunan daerah, yang tidak terlepas dari aspek keuangan daerah. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menciptakan perencanaan ruang yang berfungsi sebagai dokumen acuan bagi pembangunan daerah. Dalam hal ini, tidak hanya berfokus pada tata cara implementasinya namun juga pada seberapa besar investasi yang dibutuhkan serta seberapa besar pendapatan yang dapat dihasilkan dari produk perencanaan ruang tersebut. Sehingga peran produk perencanaan ruang, dalam hal ini RTRW akan menjadi krusial dalam rangka upaya untuk meningkatkan pendapatan daerah serta bagaimana untuk mencapai tujuan dari pembangunan tersebut.

RTRW merupakan landasan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah. Selain itu juga sebagai landasan dalam mencapai keserasian antarsektor di daerah. Dalam hal ini, RTRW memiliki peran sebagai solusi dari konflik pemanfaatan ruang yang harus mampu mensinergikan berbagai kepentingan dalam ruang yang sifatnya terbatas. Keberadaan RTRW juga perlu ditindaklanjuti dengan adanya rencana detail sebagai dasar bagi pemerintah daerah dalam memberikan izin-izin pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan, dalam hal ini dituangkan ke dalam produk dokumen RDTR (Rencana Detil Tata Ruang).

Keberadaan produk penataan ruang belum seluruhnya dimiliki oleh seluruh provinsi maupun kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Dilansir dari harian kompas pada tahun 2019, disebutkan bahwa sebanyak 475 kabupaten/kota sudah memiliki dokumen RTRW, yang berarti sudah mencapai hampir 95% dari keseluruhan wilayah di Indonesia. Lalu pada tahun 2020, dilansir dari website milik ATR/BPN disebutkan bahwa pada bulan November di tahun tersebut Direktorat Bina Perencanaan Tata Ruang Daerah Wilayah I telah menyerahkan Surat Persetujuan Substansi (Persub) beserta dokumen kelengkapan administrasinya di Wilayah Jawa dan Bali, yang mencakup RTRW Kabupaten Wonogiri Tahun 2020-2040, RTRW Kabupaten Pekalongan Tahun 2020-2040, RTRW Kabupaten Lamongan Tahun 2020-2040, RTRW Kabupaten Tuban Tahun 2020-2039, RTRW Kabupaten Cilacap Tahun 2010-2031, RTRW Kota PekalonganTahun 2009-2029, RTRW Kota Tegal Tahun 2011-2031, RTRW Kota Semarang Tahun 2011-2031, dan RDTR Kawasan Perkotaan Singaraja, Kabupaten Buleleng Tahun 2020-2024. Hal ini menunjukkan bahwa proses penglengkapan dokumen perencanaan ruang di Indonesia kian menunjukkan proses yang positif, serta menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menyediakan dokumen perencanaan ruang yang berkualitas.


Bahan Bacaan

  • ATRBPN. 2020. “Penyerahan Sembilan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa dan Bali”. Diperoleh 5 April 2021 dari https://tataruang.atrbpn.go.id/Berita/Detail/3919
  • ATRBPN. 2009. “Peran RTRW dalam Mendorong Percepatan Pembangunan Daerah”. Diperoleh 5 April 2021 dari https://tataruang.atrbpn.go.id/Berita/Detail/1681
  • Kompas. 2019. “Indonesia Alami “Backlog” Tata Ruang”. Diperoleh 5 April 2021 dari https://properti.kompas.com/read/2019/11/08/160950521/indonesia-alami-backlog-tata-ruang?page=all
  • Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Pengembangan Desa Wisata

Galuh Shita

Indonesia sebagai negara yang luas memiliki potensi wisata yang sangat beragam yang tersebar di berbagai wilayah. Desa merupakan wilayah administrasi terkecil yang diakui oleh negara. Keberadaan lokasi wisata di dalam desa merupakan hal yang lumrah, namun keberadaan desa wisata masih belum banyak ditemui di Indonesia. Beberapa desa wisata yang terdapat di Indonesia diantaranya berada di Bali, Yogyakarta, NTT, dan lainnya.

Wisata di desa dengan desa wisata memiliki definisi yang berbeda. Terdapat beragam definisi yang berkaitan dengan desa wisata. Dalam sebuah jurnal pariwisata, Priasukmana dan Mulyadin mendefinisikan desa wisata sebagai suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan dari suasana yang mencerminkan keaslian dari pedesaan itu sendiri mulai dari sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas dan dari kehidupan sosial ekonomi atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkan berbagai komponen kepariwisataan. Pendapat lain mendefinisikan desa wisata sebagai suatu kawasan atau wilayah pedesaan yang dapat dimanfaatkan atas dasar kemampuan beberapa unsur yang memiliki atribut produk wisata secara terpadu, dimana desa tersebut menawarkan keseluruhan suasana dari pedesaan yang memiliki tema keaslian pedesaan, baik dari tatanan segi kehidupan sosial budaya dan ekonomi serta adat istiadat yang mempunyai ciri khas arsitektur dan tata ruang desa menjadi suatu rangkaian kegiatan dan aktivitas pariwisata.

Kementerian Pariwisata mendenifisikan desa wisata sebagai suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.

Penyelenggaraan desa wisata memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, tidak hanya berasal dari penyelenggara pariwisata itu sendiri. Seperti yang sebelumnya telah disampaikan bahwa desa wisata berbeda dengan objek wisata yang berada di desa. Penyelenggaraan desa wisata memiliki arti untuk membuat suatu desa memiliki seluruh aspek yang mendukung kegiatan penunjang pariwisata, tidak hanya dari segi ketersediaan aspek 3A (aksesbilitas, amenitas, atraksi) namun juga keterlibatan lapisan masyarakat yang ada di dalamnya. Penyelenggaraan desa wisata secara umum tidak merubah yang sudah ada, namun lebih melengkapi dan mengembangkan terhadap kebutuhan desa wisata tersebut. Pengembangan desa wisata perlu didukung oleh berbagai faktor, yaitu:

  • Wilayah pedesaan yang telah memiliki potensi alam atau budaya yang menjadi ciri khas atau lebih otentik dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Terlebih apabila masyarakat pedesaan masih menjalankan tradisi atau ritual budaya dan topografi yang serasi
  • Wilayah pedesaan memiliki lingkungan fisik yang asri dan belum banyak tercemar oleh beragam jenis polusi dibandingkan dengan kawasan perkotaan
  •  Wilayah pedesaan memiliki perkembangan ekonomi yang relative lambat sehingga dapat menjadi suatu alasan kuat untuk dikembangkan menjadi sebuah desa wisata melalui pengembangan pemanfaatan potensi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat

Secara keseluruhan, faktor-faktor penting untuk dapat mewujudkan pengembangan desa wisata adalah: tersedianya paket pariwisata yang ditawarkan secara lengkap; kepemimpinan masyarakat yang baik; dukungan dan partisipasi pemerintah daerah; dana yang cukup untuk pengembangan pariwisata; perencanaan strategis; koordinasi dan kerja sama antar stakeholder (pemerintah, pengusaha, tokoh masyarakat, dan lainnya); koordinasi dan kerja sama antar pengusaha pariwisata pedesaan; informasi dan bantuan teknis untuk pengembangan promosi pariwisata; Lembaga pariwisata dan biro perjalanan wisata; dan besarnya dukungan masyarakat lokal untuk pariwisata.

Pengembangan desa wisata perlu memperhatikan keseimbangan dengan berbagai aspek kehidupan, termasuk masyarakat yang tinggal di dalamnya serta pengalokasian ruang di dalam desa itu sendiri. Tidak seluruh lokasi yang ada di dalam desa harus menjadi daya tarik wisata, meskipun berada pada wilayah pariwisata. Kolaborasi dengan seluruh perangkat masyarakat desa juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan pengembangan desa wisata. Mengembangkan desa wisata bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, terlebih pada wilayah desa yang memiliki karakteristik lingkungan alam dan budaya yang pekat.

Keberadaan desa wisata mendatangkan banyak manfaat, salah satunya adalah menekan laju urbanisasi. Dengan berkembangnya desa wisata, hal tersebut akan menekan tingkat perpindahan masyarakat dari desa ke kota. Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa pengembangan desa wisata juga akan diiringi oleh peningkatan fasilitas pendukung kegiatan pariwisata, seperti sarana dan prasarana serta kelengkapannya. Sehingga keberadaan desa wisata secara langsung akan memajukan kualitas desa tersebut.

Selain untuk mengembangkan sektor pariwisata dengan lebih luas, pengembangan desa wisata dapat mendorong peningkatan peran masyarakat sebagai pelaku utama pariwisata, serta dapat bersinergi dan bermitra dengan para pemangku kepentingan lainnya. Hal ini dikarenakan masyarakat di desa wisata umumnya telah memiliki keunikan tradisi dan budaya yang telah melekat sehingga pelibatan masyarakat desa dapat menjadi motor utama penggerak kegiatan di desa wisata. Hal yang harus dihindari adalah membiarkan dan mengabaikan keberadaan masyarakat sehingga tingkat partisipasi tidak tercipta dengan maksimal.

Pemerintah sendiri pernah mencoba meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dengan mengkolaborasikannya dengan sektor pariwisata. Hal ini didukung penuh dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 26 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata Melalui Desa Wisata. Tujuan utama PNPM Mandiri Pariwisata adalah untuk meningkatkan kemampuan, menciptakan lapangan kerja dan usaha masyarakat di sektor pariwisata. PNPM Mandiri Pariwisata difokuskan pada pemberdayaan masyarakat desa wisata yang menjadi bagian dari gugusan (cluster) pariwisata tertentu. Kini pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bekerjasama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KemendesPDTT) tengah menargetkan sebanyak 244 desa wisata agar tersertifikasi menjadi desa wisata mandiri hingga 2024, sesuai dengan amanat RPJMN 2022-2024.


Bahan Bacaan

  • Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 26 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata Melalui Desa Wisata
  • Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 18 Tahun 2011 tentang Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata
  • Nuryanti, Wiendu. 1993. “Concept, Perspective and Challenges”, makalah bagian dari Laporan Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah  Mada University Press.Page
  • Wiwin, I Wayan. 2019. “Faktor Sukses dalam Pengembangan Wisata Pedesaan”. Jurnal Pariwisata Budaya Volume 4.
  • Kabarkota. 2018. “Desa Wisata: Antara Pemberdayaan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan”. Diperoleh 30 Maret 2021 dari https://www.kabarkota.com/desa-wisata-antara-pemberdayaan-masyarakat-dan-pengentasan-kemiskinan/
  • Detik. 2018. “Jadilah Desa Wisata, Agar Tidak Ada Urbanisasi ke Kota”. Diperoleh 30 Maret 2021 dari https://travel.detik.com/travel-news/d-4169939/jadilah-desa-wisata-agar-tidak-ada-urbanisasi-ke-kota
  • Bisnis. 2021. “Kemenparekraf Gaet Kemendes PDTT Sinergikan Program Desa Wisata”. Diperoleh 30 Maret 2021 dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20210120/12/1345316/kemenparekraf-gaet-kemendes-pdtt-sinergikan-program-desa-wisata

Mengenal Nomadic Tourism

Oleh Galuh Shita

Istilah nomadic tourism mungkin masih terdengar asing bagi kalangan masyarakat. Istilah nomadic tourism mengambil inspirasi dari kebiasaan masyarakat Mongolia yang berpindah-pindah tempat tinggal. Dilansir dari KBBI Kemendikbud, istilah nomad memiliki arti kelompok orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, berkelana dari satu tempat ke tempat lain, biasanya pindah pada musim tertentu ke tempat tertentu sesuai dengan keperluan kelompok itu. Secara umum, istilah nomadic tourism merupakan gaya pariwisata baru dimana wisatawan dapat menetap dalam kurun waktu tertentu di suatu destinasi wisata dengan amenitas yang mudah dipindahkan (portable) dan berpindah-pindah.

Dilansir dari UNWTO (The World Tourism Organization) umumnya terdapat beberapa karakteristik wisatawan dari jenis pariwisata ini, seperti masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan hingga kuliah, berusia 35-55 tahun, memiliki pendapatan menengah dan umumnya tidak memiliki anak di bawah 12 tahun. Secara tidak sadar, sebagian masyarakat mungkin sudah menjadi bagian dari pelaku wisata nomad. Karakteristik wisatawan yang menjadi pelaku wisata nomad mirip dengan pelaku wisata backpack yang cenderung berpindah-pindah. Yang membedakan adalah kecenderungan wisatawan untuk menghabiskan biaya dengan jumlah yang lebih besar dan tempat tinggal yang lebih nyaman. Para pelaku nomad umumnya tetap mengutamakan kenyamanan dan rela menghabiskan uang untuk menghemat waktu dalam berpindah tempat, tidak seperti backpacker yang cenderung menghemat biaya atau bahkan memilih untuk tidak mengeluarkan uang sama sekali, misalnya menumpang kendaraan ataupun penginapan.

Menurut Kemenpar, terdapat 3 jenis tipe wisatawan nomad, yaitu:

  • Glampacker, sering disebut pula sebagai millennial nomad, merupakan kelompok wisatawan yang memiliki preferensi wisata untuk menghabiskan waktu mereka pada destinasi wisata yang mewah. Kelompok wisatawan ini cenderung untuk tidak mengorbankan kenyamanan dan mencoba untuk melihat dunia dari zona nyaman mereka. Mereka tidak akan ragu untuk menghabiskan uang mereka pada hal-hal yang mampu menawarkan kemewahan, baik pada penginapan, barang ataupun pengalaman.
  • Luxpacker, sering disebut pula sebagai wisatawan luxurious nomad, merupakan kelompok wisatawan yang melakukan perjalanan mengembara untuk melupakan daerah asal mereka dengan menggunakan fasilitas media daring.
  • Flashpacker, sering disebut pula sebagai wisatawan digital nomad, merupakan kelompok wisatawan yang mirip dengan tipe wisatawan backpacker namun lebih memilih untuk menikmati pengalaman berwisata dengan lebih nyaman. Apabila backpacker lebih mementingkan harga yang murah meskipun memakan waktu yang lama dalam perjalanan ataupun tinggal di tempat yang nyaman, maka flashpacker merupakn tipe wisatawan yang akan rela membayar lebih untuk dapat menikmati pengalaman berwisata dengan lebih nyaman meskipun harus mengeluarkan biaya yang lebih besar.

Identifikasi Karakteristik Pelaku Wisata Digital Nomad

Judul dan PenulisDefinisiHasil
Judul Nomadic Tourism, Wisata Pendidikan, Digitalisasi dan Wisata Event dalam Pengembangan Destinasi  
Penulis Dr. Ni Made Eka Mahadewi., M.Par., CHE  
Lokasi Bali (2018)
Nomadic Tourism adalah kegiatan wisata yang dilakukan secara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dilakukan oleh wisatawan usia produktif berusia 35-55 tahun, memiliki pendapatan dan mengandalkan informasi terkini.
Flashpacker, atau disebut sebagai wisatawan Digital Nomad yang menetap sementara pada suatu tempat, sembari bekerja darimana saja. Terdapat 5 juta wisatawan dengan kategori flashpacker yang memiliki afinitas terhadap Indonesia dan tertarik dengan dunia digital nomad.
Nomadic Tourism:
– wisata berpindah-pindah
– usia produktif 35-55
– punya penghasilan
– update informasi terkini

Flashpacker/digital nomad:
– menetap sementara waktu sembari bekerja dimana saja
Judul Become Nomad  
Penulis Eli David
Lokasi Israel (2014)
Digital nomad adalah orang yang terus bergerak dan menjelajahi destinasi baru, akan tetapi masih bergantung pada teknologi untuk terus bekerja. Seorang digital nomad akan mengandalkan teknologi untuk komunikasi sehingga mereka dapat tetap berhubungan dengan klien mereka. Biasanya, ini berarti bahwa ada minggu kerja reguler kemudian perjalanan wisata dilakukan pada akhir pekan. Kemudian itu juga bisa berarti bahwa bepergian dilakukan saat ada pekerjaan dan ketika seseorang harus terus-menerus tinggal di berbagai negara untuk tujuan kerja.Digital Nomad:
– Orang yang terus bergerak menjelajahi destinasi baru
– Sangat bergantung pada teknologi untuk terhubung kepada klien/pekerjaan
– Berwisata di akhir pekan
– Harus selalu siap berpindah ke berbagai negara untuk tujuan pekerjaan
Judul Digital Nomads: Employment In The Online Gig Economy  
Penulis Beverly Yuen Thompson
Lokasi New York (2018)
Pengembara digital adalah pekerja yang pekerjaan utamanya dilakukan di internet. Mereka tidak diharuskan datang sendiri untuk melakukan pekerjaan mereka, sehingga mereka “independen”. Tetapi hanya sebagian kecil dari pekerjaan yang benar-benar dapat dilakukan secara online seperti pemasaran digital, desain web, rekayasa perangkat lunak, atau pemrograman komputer, tutor bahasa video online. Untuk sebagian besar adalah pekerja dari jarak jauh, biasanya memiliki rumah tangga yang stabil di satu kota dan bekerja dari rumah atau beberapa di tempat-tempat lokal.Digital Nomad:
– Pekerjaan utamanya selalu berhubungan dengan internet
– Independen/freelancer
– Contoh pekerjaan yang dilakukan digital nomad adalah digital marketing, web design, design software, pemrograman computer, tutor bahasa video online.
– Biasanya memiliki rumah tangga yang stabil di satu kota
– Bekerja dari rumah
Judul The New Global Nomads: Youth Travel In A Globalizing World
Penulis Greg Richards  
Lokasi Belanda (2015)
Nomad digital atau flashpacker adalah traveler yang paling terhubung dengan dunia digital, sering menggunakan media sosial dan juga lebih cenderung susah membedakan ketika mereka sedang bekerja atau berlibur. Digital nomad juga memiliki kontak jauh lebih sedikit dengan ‘masyarakat lokal’.Digital nomad:
– Sangat terhubung dengan dunia digital
– Sering menggunakan media sosial
– Sulit membedakan ketika mereka sedang bekerja atau berwisata
– Kurang melakukan kontak dengan masyarakat lokal
Judul Digital Nomadism  
Penulis Georgios Mouratidis
Lokasi Swedia (2015)
Laptop, smartphone, dan tablet adalah media yang menghubungkan virtual dengan medan fisik, mengatur semua jenis media lain yang terlibat dalam produksi tanda-tanda digital nomaden. “Media seluler” dan “smart devices” memungkinkan peredaran data tanpa koneksi fisik, memberikan kesempatan kepada para penggunanya untuk bekerja dari mana saja, sebagian besar di kafe yang menawarkan WiFi gratis dan ruang kerja bersama yang biasanya juga menyediakan ruang meja individual dan fasilitas kantor.Alat teknologi yang digunakan digital nomad:
– Laptop, smartphone, smart device
– membutuhkan Wi-Fi
– membutuhkan co-working space

Sumber: Studi Digital Nomad

Pada tahun 2018, Kementerian Pariwisata di bawah kepemimpinan Menteri Arief Yahya, telah mencanangkan program wisata nomad secara digital sebagai upaya untuk mendatangkan banyak wisatawan. Hal ini dikarenakan jenis wisata ini memiliki karakter bisnis yang murah, operasional tergolong cepat, dan tingkat pengembalian modal cenderung cepat dikarenakan karakter pasar potensial yang disasar sebagian besar adalah wisatawan dengan kelas menengah-atas. Adapun yang tergolong ke dalam aspek 3A dalam jenis pengembangan destinasi wisata nomad, yaitu:

Nomadic tourism attraction

Merupakan bentuk atraksi wisata yang memberikan hiburan ataupun event kepada wisatawan nomad. Atraksi hiburan yang dapat disajikan dalam jenis wisata ini dapat berupa atraksi wisata alam hingga buatan, ataupun event kegiatan.

Nomadic tourism amenities

Merupakan ragam fasilitas yang dibutuhkan oleh wisatawan seperti salah satunya adalah ketersediaan akomodasi. Adapun jenis ketersediaan akomodasi yang umumnya disediakan untuk jenis wisata nomad adalah:

  • Karavan, yang dapat diprogram untuk berpindah harian, mingguan, ataupun pada waktu tertentu dan dapat diberhentikan di lokasi tertentu.
  • Glamping, merupakan fasilitas penginapan berupa tenda mewah yang dilengkapi dengan fasilitas hotel berbintang. Jenis akomodasi ini sudah banyak ditemui di beberapa lokasi wisata di Indonesia.
  • Home-pod, merupakan fasilitas penginapan yang berbentuk rumah telur, yang dapat dipindahkan dalam waktu yang lebih panjang dari glamping.

Nomadic tourism access

Merupakan kemudahan akses untuk menuju destinasi wisata. Bentuk kemudahan akses dalam jenis wisata nomad dapat diwujudkan dalam bentuk penyediaan seaplane, helicity, ataupun penginapan di dalam kapal pesiar.

Ekosistem Wisata Nomad

Sumber: Kementerian Pariwisata, 2018

Penyelenggaraan wisata nomad memerlukan ekosistem yang terintegrasi. Target market dari jenis wisata nomad tak hanya berasal dari wisatawan lokal, namun juga wisatawan mancanegara dengan kelas menengah hingga menengah atas. Hal ini dikarenakan fasilitas yang ditawarkan dalam jenis wisata ini umumnya memakan biaya yang cukup besar, seperti penyewaan karavan, penginapan glamping, dan sebagainya. Selain itu, wisata nomad pada umumnya memang ditujukan kepada lokasi wisata yang belum memiliki banyak kelengkapan amenitas. Penerapan program wisata nomad dinilai cocok dikarenakan wisata alam di Indonesia banyak digemari oleh kaum milenial. Konsep wisata ini juga dinilai cocok dan mampu untuk menjangkau destinasi-destinasi wisata alam di Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah kepulauan dengan akses yang sulit dijangkau.


Bahan Bacaan

  • Phinemo. 2018. “Kemenpar Gencarkan Nomadic Tourism, Ada yang Tahu Apa Nomadic Tourism Itu?”. Diperoleh 16 Maret 2021 dari https://phinemo.com/kemenpar-gencarkan-nomadic-tourism-ada-yang-tahu-apa-nomadic-tourism/
  • Deviesthe, Michelle Yohanne. 2019. Studi Digital Nomad di Kota Bandung. Bandung: STP Bandung.
  • Liputan6. 2019. “Nomadic Tourism, Konsep Kamping Mewah yang Diminati Investor China”. Diperoleh 17 Maret 2021 dari https://www.liputan6.com/news/read/3984545/nomadic-tourism-konsep-kamping-mewah-yang-diminati-investor-china
  • Kompas. 2018. “”Nomadic Tourism” Sasar Wisatawan Mancanegara”. Diperoleh 17 Maret 2021 dari https://travel.kompas.com/read/2018/03/27/173000627/-nomadic-tourism-sasar-wisatawan-mancanegara
  • Dokumen Nomadic Tourism oleh Asisten Deputi Manajemen Strategis, Kementerian Pariwisata 2018.

Agrowisata dan Potensinya

Galuh Shita A.B.

Indonesia diketahui merupakan negara agraris yang memiliki dataran yang luas dan sangat lekat dikenal dengan kondisi alamnya yang indah, termasuk di dalamnya adalah area pertanian. Hal ini tentu menjadi sebuah potensi yang dapat dikembangkan. Terlebih, kondisi pariwisata di Indonesia juga sangat baik. Hal ini ditandai dengan banyaknya jumlah wisatawan yang melakukan perjalanan ke lokasi-lokasi wisata di Indonesia, baik lokal maupun internasional. Pengembangan wisata berbasis agro tentu akan dapat memaksimalkan 2 hal, ketersediaan bahan pangan yang terjamin serta meningkatnya berbagai hal yang berkaitan dengan pariwisata.

Definisi dari agrowisata sendiri adalah rangkaian kegiatan wisata yang memanfaatkan sektor pertanian atau perkebunan sebagai objek utamanya, sehingga tentu saja pemandangan alam yang khas dengan kawasan pertanian serta beragam aktivitas terkait akan menjadi objek utama yang ditonjolkan. Adanya kegiatan agrowisata juga diharapkan akan dapat memperluas wawasan serta pengalaman wisata yang berbeda bagi para pengunjungnya.

Pengelolaan kawasan agrowisata perlu dilakukan dengan baik dan matang. Hal ini ditujukan agar pengembangan kawasan agrowisata dapat memberikan manfaat yang maksimal. Adapun beberapa manfaat yang diperoleh dari pengembangan agrowisata adalah:

  1. Meningkatkan konservasi lingkungan
  2. Meningkatkan nilai estetika dan keindahan alam
  3. Memberikan nilai rekreasi
  4. Meningkatkan kegiatan ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan
  5. Mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar

Di negara lain, agrowisata bahkan dapat menjadi salah satu faktor dalam mempromosikan negaranya, seperti salah satunya adalah New Zealand yang dikenal memiliki hasil pertanian seperti buah apel, kiwi, pear, dan lainnya. Lalu contoh lainnya adalah Thailand yang cukup terkenal dengan buah durian, jeruk, apel, dan lainnya. Di Indonesia sendiri telah berkembang banyak sekali kawasan agrowisata yang tersebar di berbagai provinsi dengan berbagai keunikannya yang menjadi ciri khas bagi setiap destinasi wisata. Salah satu contohnya, Indonesia kini tengah menggarap konsep agrowisata yang dapat berpotensi memiliki daya saing tinggi, seperti pengembangan agrowisata kopi. Dilansir dari Kumparan, Kemenparekraf saat ini tengah menyusun travel pattern untuk pengembangan coffee yard di Indonesia. Hal ini diupayakan untuk dapat mendukung Indonesia sebagai negara penghasil kopi terbesar kedua di dunia dan diharapkan akan dapat menjadi ikon utama yang menjadi ciri khas Indonesia.

Keberadaan agrowisata lantas memiliki peran yang penting bagi sebuah negara. Lantas, aspek dan faktor apa saja yang dapat mendukung agrowisata untuk dapat menjadi lebih berkembang?

  • Kualitas sumber daya manusia tentu menjadi faktor utama dalam perkembangan agrowisata. Tak dapat dipungkiri bahwa kemampuan SDM yang baik untuk dapat menciptakan, mengelola, mengemas, dan menyajikan kawasan agrowisata yang unik dan tepat sasaran akan dapat membawa agrowisata ke arah yang lebih baik. Tak hanya pengelola, namun peran stakeholder pendukung seperti investor, pemasaran, pemandu wisata, hingga tenaga petani juga dinilai sangat penting. Untuk dapat mendukung hal ini, maka pemerintah perlu menyediakan beragam tempat pembelajaran yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata, terutama wisata agro. Sehingga diharapkan ke depannya akan dapat berkembang kawasan agrowisata yang memiliki daya saing tinggi.
  • Kedua, peran kelembagaan. Peran kelembagaan yang dimaksud adalah pemerintah, pihak swasta, lembaga terkait (perjalanan wisata, perhotelan, lainnya), perguruan tinggi, serta masyarakat. Seperti diketahui bahwa pemerintah memiliki beragam wewenang yang dapat mendukung berkembangnya suatu kawasan wisata, salah satunya adalah wewenang dalam hal regulasi, sehingga hal ini diharapkan akan dapat menciptakan perkembangan agrowisata yang berkualitas serta kompetitif. Selain itu, dukungan kerja sama yang baik dengan dengan stakeholder lain yang memiliki potensi dalam mengembangkan kawasan agrowisata juga turut menjadi sebuah faktor penting.
  • Dukungan aspek 3A (atraksi, aksesbilitas, akomodasi) yang merupakan elemen dasar dari ketersediaan destinasi wisata tentu perlu menjadi perhatian khusus. Ketersediaan kualitas dan kuantitas dari aspek 3A beserta elemen pendukungnya akan menjadi kunci bagi tingkat kenyamanan yang mampu ditawarkan oleh destinasi wisata terhadap para pengunjungnya.
  • Selanjutnya adalah hospitality atau keramah-tamahan. Keseluruhan industri pariwisata sebagian besar berkecimpung pada bidang jasa, sehingga faktor ini juga termasuk ke dalam salah satu kunci keberhasilan berkembangnya suatu kawasan pariwisata.
  • Tingkat keunikan yang mampu ditawarkan. Pengunjung lokasi wisata cenderung menyenangi hal-hal yang bersifat unik dan sulit ditemukan di tempat lain. Keunikan yang ditawarkan oleh kawasan agrowisata dapat berupa berbagai hal, seperti budaya, tradisi, teknologi, ataupun kelangkaan tanaman yang disediakan. Keunikan suatu kawasan agrowisata akan menjadi nilai tambah bagi kawasan tersebut dan dapat menjadi daya saing yang tinggi.

Berbicara pengembangan pariwisata tentunya dapat meluas kepada berbagai aspek, hal ini dikarenakan perkembangan wisata sangat dinamis sehingga diperlukan berbagai upaya untuk dapat bertahan dan beradaptasi di tengah tren yang terus menerus berganti. Di lain sisi, pengembangan pariwisata, khususnya agrowisata juga perlu untuk diperhatikan dampaknya. Hal utama perlu ditekankan adalah, pengembangan agrowisata mengutamakan pertanian sebagai objek utamanya, hal ini tentu perlu disertai dengan tujuan agar dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat lokal seperti petani atau peternak, memperluas lapangan kerja, menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor. Pengembangan pariwisata juga perlu menjaga keterpaduan, keselarasan dan kelestarian lingkungan. Secara umum, pengembangan kawasan agrowisata masih memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan di Indonesia. Indonesia merupakan negara agraris, sehingga penyediaan agrowisata juga diharapkan dapat menunjang daya saing produk wisata di bidang pertanian dan menjaga stabilitas ketersediaan pangan.

Bahan Bacaan

  • Kumparan. 2020. “Menilik Potensi Agrowisata di Indonesia”. Diperoleh 20 Januari 2021 dari https://kumparan.com/kumparantravel/menilik-potensi-agrowisata-di-indonesia-1uhesNwda6u/full
  • Utama, Rai. 2011. “Agrowisata sebagai Pariwisata Alternatif”. Diperoleh 20 Januari 2021 dari https://www.researchgate.net/publication/277074027_AGROWISATA_SEBAGAI_PARIWISATA_ALTERNATIF
  • Astuti, Marhanani Tri. 2014. “Potensi Agrowisata dalam Meningkatkan Pengembangan Pariwisata”. Diperoleh 20 Januari 2021 dari https://www.kemenparekraf.go.id/asset_admin/assets/uploads/media/old_all/JDP%20Vol_1%20No_1%202014%20Potensi%20Agrowisata%20Dalam%20Meningkatan%20Pengembangan%20Pariwisata.pdf

Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan, Seperti Apa?

Galuh Shita A.B.

Pariwisata merupakan salah satu sektor primadona bagi Indonesia. Seperti diketahui bahwa Indonesia memiliki beragam kekayaan eksostisme alam dan budaya yang luar biasa yang tersebar hampir di seluruh penjuru nusantara. Hal ini mengundang banyak wisatawan baik lokal maupun internasional untuk berwisata mengunjungi beragam keunikan yang ditawarkan oleh Indonesia. Pengembangan pariwisata perlu untuk memikirkan dampak dalam jangka panjang. Terlebih masih banyak potensi wisata di Indonesia yang masih tersembunyi, sehingga perlu diperhatikan agar dalam pengembangannya tidak merusak alam dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan dan kekhasan budaya dan alam serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Hal ini dapat dimaknai bahwa rencana pembangunan kepariwisataan juga dapat menganut kebijakan destinasi pariwisata berkelanjutan yang mampu mewujudkan pembangunan pariwisata nasional yang layak menurut budaya setempat, dapat diterima secara sosial, memprioritaskan masyarakat setempat, tidak diskriminatif, dan ramah lingkungan.

Pariwisata berkelanjutan merupakan hal yang kompleks dan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Konsep keberlanjutan sendiri tidak dapat diartikan sebatas pada lingkup isu lingkungan, seperti perlindungan terhadap alam, namun keberlanjutan dapat memiliki makna yang lebih dari hal tersebut. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa pariwisata berkelanjutan akan berdampak luas pada berbagai aspek. Adapun dampak yang ditimbulkan dapat mencakup berbagai aspek seperti ekonomi, bisnis lokal, pelibatan masyarakat, penciptaan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, investasi, dan sebagainya. Pada dasarnya, prinsip berkelanjutan adalah memperhatikan kesejahteraan pada masa saat ini tanpa mengurangi kesejahteraan untuk masa yang akan datang.

Sumber: tourismnotes.com

Secara garis besar, pariwisata memiliki 3 dampak besar yang dapat dikategorikan ke dalam aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Dampak yang dihasilkan pada aspek ekonomi umumnya berujung positif, sedangkan dampak lingkungan umumnya bersifat negatif dan dampak sosial umumnya merupakan kombinasi dari keduanya. Pariwisata berkelanjutan adalah tentang memaksimalkan dampak yang positif dan meminimalkan dampak negatif.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan, pemerintah mendefinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan masyarakat setempat serta dapat diaplikasikan ke semua bentuk aktifitas wisata di semua jenis destinasi wisata, termasuk wisata masal dan berbagai jenis kegiatan wisata lainnya. Definisi ini melengkapi definisi yang dijabarkan oleh UNWTO (The World Tourism Organization) yaitu pariwisata yang memperhitungkan sepenuhnya dampak ekonomi, sosial, dan lingkungannya saat ini dan di masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan, dan masyarakat tuan rumah.

Mengapa kemudian pengembangan pariwisata berkelanjutan menjadi penting? Hal ini ditujukan agar pengembangan pariwisata tidak mengeksploitasi sumber daya lingkungan secara masif, melainkan dapat terus berkesinambungan hingga ke generasi-generasi berikutnya. Hal ini dikarenakan pengembangan pariwisata dapat menghasilkan dampak yang signifikan terhadap lingkungan dan juga sosial masyarakat, sehingga perkembangannya perlu diantisipasi agar tidak menimbulkan dampak yang negatif.

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan telah menetapkan empat kategori untuk destinasi pariwisata berkelanjutan di Indonesia, yaitu:

  • Pengelolaan destinasi pariwisata berkelanjutan, yang mencakup kriteria perencanaan, pengelolaan, pemantauan, dan evaluasi.
  • Pemanfaatan ekonomi untuk masyarakat lokal, yang mencakup kriteria pemantauan ekonomi, peluang kerja untuk masyarakat lokal, partisipasi masyarakat, opini masyarakat lokal, akses bagi masyarakat lokal, fungsi edukasi sadar wisata, pencegahan eksploitasi, dukungan untuk masyarakat, dan mendukung usaha lokal dan perdagangan yang adil.
  • Pelestarian budaya bagi masyarakat dan pengunjung, yang mencakup kriteria perlindungan atraksi wisata, pengelolaan pengunjung, perilaku pengunjung, perlindungan warisan budaya, interpretasi tapak, dan perlindungan kekayaan intelektual.
  • Pelestarian lingkungan, yang mencakup kriteria risiko lingkungan, perlindungan lingkungan sensitif, perlindungan alam liar (flora dan fauna), emisi gas rumah kaca, konservasi energi, pengelolaan air, keamanan air, kualitas air, limbah cair, mengurangi limbah padat, polusi cahaya dan suara, dan transportasi ramah lingkungan.

Suatu daerah disebut telah menerapkan konsep pariwisata berkelanjutan apabila dapat memenuhi hal-hal sebagai berikut:

  • Mengoptimalkan sumber daya lingkungan yang merupakan elemen kunci dalam pengembangan pariwisata, menjaga proses ekologi penting dan membantu melestarikan warisan alam dan keanekaragaman hayati.
  • Menghormati keaslian sosial budaya masyarakat, melestarikan bangunan dan warisan budaya serta nilai-nilai tradisional, dan berkontribusi pada pemahaman serta toleransi antar budaya.
  • Memastikan keberjalanan ekonomi jangka panjang yang memberikan manfaat sosio-ekonomi bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk peluang terhadap lapangan kerja serta layanan sosial bagi masyarakat dan dapat berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan.

Bagaimanapun, tak bisa dipungkiri bahwa pariwisata merupakan sektor yang memiliki perkembangan sangat pesat. Sektor pariwisata tidak seharusnya menimbulkan dampak yang negatif sehingga upaya-upaya perencanaannya perlu dilakukan secara matang. Konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan seharusnya dapat menjadi proritas utama pengembangan, hal ini dikarenakan dengan adanya perencanaan yang baik maka diharapkan akan dapat melindungi sumber-sumber aset penting yang terkait dengan pariwisata untuk kepentingan kesejahteraan di masa yang akan datang.

Bahan Bacaan

  • Greentourism. “Sustainable Tourism”. Diperoleh 18 Desember 2020 dari http://www.greentourism.eu/en/Post/Name/SustainableTourism#_ftn1
  • Permen Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan
  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

Car Free Cities: Bagaimana Kota-Kota Dunia Memanjakan Lingkungan dan Kesehatan Masyarakatnya

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kendaraan pribadi merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan transportasi perkotaan. Namun demikian, dapat dipastikan bahwa keberadaan kendaraan pribadi berkontribusi secara signifikan menyumbang polusi udara, emisi gas rumah kaca, polusi suara, peningkatan temperatur udara perkotaan dan risiko terjadinya kecelakaan. Banyaknya jumlah kendaraan pribadi di kawasan perkotaan juga berkontribusi pada meningkatnya jumlah lahan yang digunakan untuk perparkiran, pembangunan jalan dan infrastruktur pendukung lainnya. Hal tersebut semakin memperkecil kemungkinan tersedianya ruang terbuka perkotaan berupa jalur pejalan kaki, jalur sepeda, dan taman yang bermanfaat bagi kesehatan mental dan fisik masyarakat kota. Berangkat dari urgensi-urgensi tersebut, saat ini para perencana kota sedang berlomba untuk mengembangkan konsep car free city demi menciptakan lingkungan perkotaan yang lebihh humanis dan sehat untuk ditinggali. Lantas apakah sebenarnya yang dimaksud dengan car free city itu sendiri?

Konsep Car Free Cities

Car Free City merupakan sebuah konsep dimana terdapat adanya larangan untuk melintas bagi kendaraan pribadi pada suatu area perkotaan. Larangan tersebut biasanya juga berlaku untuk kendaraan delivery service dan kendaraan pribadi masyarakat kota. Konsep tersebut merupakan bagian dari strategi push and pull untuk mendorong masyarakat menggunakan kendaraan umum dan juga sebagai inisiasi agar masyarakat dapat berpergian dengan menggunakan kendaran non-mesin seperti penggunaan sepeda sebagai moda transportasi utama.

Konsep car free city dapat juga didefinisikan sebagai upaya dari pemerintah untuk meningkatkan daya tarik dan memperkuat kondisi perekonomian dari pusat kota dengan cara mereduksi keberadaan tempat parkir dan jumlah kendaraan bermesin yang berlalu lalang serta mendorong  harmonisasi kota dalam hal pergerakan. Namun demikian, pengimplementasian konsep car free city pada sebuah area harus mendapatkan dukungan penuh dari pemangku kebijakan, baik dukungan administratif maupun dukungan politis karena berpotensi menyebabkan pro dan kontra dari masyarakat.

Penerapan Konsep Car Free-City pada Pusat Kota Melalui Strategi Push and Pull

Sumber: Topp and Pharoah, 1994

Manfaat Car Free Cities

Kebijakan bebas mobil pribadidisebut-sebut memiliki banyak manfaat di berbagai aspek perkotaan seperti lingkungan, kesehatan masyarakat serta perekonomian. Dilansir dari sebuah laman di website icebike.org, kebijakan car free memiliki 10 manfaat di antaranya:

  • Menumbuhkan Kebahagiaan. Dikatakan bahwa melakukan pergerakan dengan berjalan kaki dan bersepeda merupakan kegiatan yang lebih menyenangkan ketimbang mengendarai kendaraan (bermotor) pribadi. Seseorang merasa lebih senang dan bahagia setelah melakukan aktivitas fisik seperti berjalan dan bersepeda. Hal tersebut erat kaitannya dengan penurunan tingkat stress, gelisah dan depresi pada seseorang.
  • Meningkatkan Kesehatan. Dikatakan bahwa masyarakat yang berpergian dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda akan memiliki kesehatan fisik yang baik. Bersepeda dan berjalan kaki dapat mereduksi stress dan meningkatkan imunitas. Sebuah studi yang dilakukan oleh University of Georgia, juga mengatakan bahwa bersepeda dapat meningkatkan tenaga sebesar 20% dan dapat mengurangi gejala sakit kepala sebesar 65%.
  • Menciptakan Ikatan Sosial yang Baik. Dengan berjalan kaki dan bersepda, maka akan memberikan kesempatan untuk bersosialisasi dan menyapa masyarakat yang ditemui di sekitar. Hal tersebut akan sulit dilakukan ketika pergerakan dilakukan dengan kendaraan pribadi. Berjalan kaki dan bersepeda dapat membuat kita mengenal lingkungan masyarakat lebih baik lagi, memupuk ikatan sosial yang lebih dalam, mengindari terjadinya isolasi sosial dan membangun koneksi dan komunitas yang lebih kompak.
  • Melahirkan Inovasi “Green Markets”. Hadirnya tren berjalan kaki dan bersepeda tentu akan melahirkan peluang baru bagi perusahaan-perusahaan untuk dapat menawarkan produk dan jasa yang ramah lingkungan seperti bike dan scooter sharing. Perusahaan besar seperti Motivate dan B-Cycle telah berhasil menjadi dua perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan pesepeda dan telah beroperasi di 40 kota di Amerika Serikat. Diprediksi, jika tren car free terus berkembang ke depannya, akan lahir inovasi-inovasi baru yang menarget green markets di segala penjuru dunia.
  • Mengembangkan Potensi Bisnis Lokal. Saat ini, perencana kota di dunia sedang berlomba-lomba untuk mendesain jalan yang dilengkapi dengan jalur pesepeda. Hal tersebut ternyata menstimulus lahirnya bisnis lokal yang dikelola oleh masyarakat di sepanjang jalur pesepeda tersebut. Faktanya, setelah beroperasinya jalur sepeda di 9th Avenue, kota New York, para pengusaha lokal mengalami kenaikan penjualan sebesar 49%. Hal tersebut dinilai cukup tinggi bila dibandingkan dengan kota Manhattan yang hanya mengalami peningkatan sebesar 3%.
  • Meningkatkan Nilai Lokasi. Nilai properti akan meningkat jika lokasinya memiliki fasilitas pergerakan yang lengkap, dimana salah satu contohnya adalah jalur sepeda. Di kawasan Time Square, New York City, diketahui bahwa harga properti meningkat sekitar 71% pada tahun 2011 dimana terdapat jalur sepeda dan pejalan kaki di sekitarnya. Hal tersebut juga terjadi pada suatu blok di kawasan Indianapolis Cultural Trail setelah jalur kereta yang sudah tidak berfugsi dikonversikan menjadi jalur pesepeda dan pejalan kaki. Nilai properti pada kawasan tersebut meningkat sekitar 148% setelah tahap konstruksi.
  •  Jalan yang Aman Untuk Semua. Jumlah kendaraan bermotor yang terbatas dan terdapatnya jalur pesepeda tentu saja membuat para pejalan kaki dapat melakukan pergerakan dengan aman dan nyaman.
  • Mereduksi Kemacetan. Semakin banyak jalur sepeda, maka semakin sedikit jumlah kendaraan bermotor yang dapat melintasi suatu jalan tersebut. Para perencanaan kota di Austin menawarkan proposal untuk berinvestasi pada pembangunan jalur pesepeda untuk memberikan insentif bersepeda sebagai upaya untuk memberantas kemacetan dan polusi udara.
  • Mempengaruhi Perekonomian. Sebuah studi pada tahun 2015 menemukan bahwa mengendarai kendaraan pribadi di kota membutuhkan biaya enam kali lebih banyak ketimbang mengendarai sepeda. Studi tersebut juga mengatakan bahwa biaya memiliki kendaraan pribadi di masa depan  cenderung akan terus meningkat, dimana biaya bersepeda akan terus menurun.

Keterkaitan antara Perencanaan Kota, Transportasi, Lingkungan, Aktivitas Fisik dan Kesehatan

Sumber: Nieuwenhuijsen, 2016

Contoh Kota dengan Regulasi Car Free Cities

  • Bologna, Italia

Bologna merupakan ibukota dari sebuah provinsi di Italia bernama Emilia-Rogmana. Memiliki jumlah penduduk sekitar 400.000 jiwa pada tahun 1994, Bologna dikenal sebagai kota dengan kegiatan perdagangan dan jasa serta kegiatan pendidikannya. Percobaan pertama pemberlakuan konsep car free city di Bologn terjadi antara tahun 1972 dan 1982 yang berhasil mereduksi tingkat kemacetan kota hingga 17%. Urgensi untuk meningkatkan manfaat dari konsep car free city terjadi pada pertengahan 1980. Bologna membatasi akses kendaraan pribadi menuju pusat kota tua, membenahi manajemen perparkiran dan memperluas cakupan jalur pejalan kaki. Pembenahan sistem transportasi publik tidak hanya dilakukan pada pusat kota saja, melainkan di hampir semua rute dalam kota.

Zona pembatasan kendaraan pribadi pada pusat kota tua Bologna dipermanenkan sejak Juli 1989. Akses bagi kendaraan bermotor dilarang antara pukul 7 s/d 8 malam. Regulasi tersebut juga didukung oleh pembatasan lahan parkir. Hanya terdapat satu lahan parkir luas yang tersedia untuk masyarakat memarkirkan kendaraan dalam waktu yang lama. Terlepas dari kebijakan tersebut, penduduk setempat diperbolehkan memarkirkan kendaraannya menggunakan fasilitas 10.000 parkir on street yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka bermukim. Konsep yang diusung oleh Bologna tersebut menunjukan kesuksesan yang signifikan: Jumlah kendaraan yang masuk dan keluar kota tua Bologna berkurang sekitar 50%, dari 177.000 kendaraan per hari pada tahun 1981 menjadi 87.000 per hari pada tahun 1989. Pencapaian tersebut dapat terjadi tanpa adanya kemacetan di sekitar pusat kota tua. Arus lalu lintas juga semakin lancar dan transportasi publik memiliki waktu perjalanan yang singkat. Sebagian besar pengunjung menggunakan bus untuk mengakses kota tua (78%), hanya 11% yang menggunakan mobil dan 8% menggunakan sepeda ataupun sepeda motor.  

Pusat Kota Bologna
Berbagai Sumber, 2019
  • York, Inggris

Kota York di Inggris merupakan sebuah kota bersejarah yang dihuni oleh hampir 100.000 penduduk dan dikenal sebagai kota kereta api dimana terdapat museum kereta api nasional di dalamnya. Sejak pertengahan 1980, pemerintah York telah menaruh perhatian pada fakta terjadinya peningkatan jumlah kendaraan pada pusat kota medievalnya. Pada tahun 1988 terdapat proyeksi tingkat kemacetan yang menyebutkan bahwa pada tahun 2006 tingkat kemacetan di York akan meningkat sebesar 1/3 dari tahun 1988, kendati perkiraan dari badan nasional menyebutkan bahwa pertumbuhan lalu lintas bisa dua kali lipat dari jumlah tersebut. Upaya untuk megakomodasi pertumbuhan lalu lintas melalui pembangunan jalan raya dan fasilitas parkir tentu akan memperburuk kualitas dari pusat kota medieval York yang merupakan atraksi bisnis yang dipenuhi pengunjung.

Dilatarbelakangi hal tersebut, pemerintah kota York mengadopsi strategi trasnportasi baru untuk meningkatkan daya tarik pusat kota dengan mereduksi jumlah kendaraan bermotor pada pusat-pusat perbelanjaan. Adapun yang menjadi prioritas pengembangan kota York pada saat itu adalah sebagai berikut:

  • Ketersediaan jalur pejalan kaki
  • Kemudahan untuk penyandang disabilitas
  • Ketersediaan jalur sepeda
  • Keutamaan untuk pengguna transportasi publik
  • Ketersediaan akses untuk kegiatan komersil dan bisnis
  • Ketersediaan mobil untuk mengangkut pengunjung (shuttle bus)
  • Ketersediaan gerbong untuk mengangkut pengunjung
  • Ketersediaan mobil untuk pengunjung jangka panjang

Sejak tahun 1987, York telah berhasil mengelola jalur pedestrian terpanjang di Britania Raya yang terdiri dari 34 jalan dan koridor, dengan panjang 3,1 km di dalam 30 ha luasan pusat kota medieval York. Pelarangan kendaraan bermotor dilakukan setiap hari. Durasi pelarangan kendaraan bermotor terus meningkat seiring berjalannya waktu yaitu dari pukul 10.00 – 16.00 setiap harinya. Pengecualian diberlakukan untuk layanan emergency dan penduduk yang berkebutuhan khusus.

Pusat Kota York
Berbagai Sumber, 2019

Daftar Pustaka

Nieuwenhuijsen, M.J et.al. 2016. Car Free Cities: Pathway to Healthy Urban Living. Barcelona, Spanyol.

European Commission. 2016. Scice for Environment Policy, Car-Free Cities: Healthier Citizens.

Topp, H et.al. 1994. Car-Free City Centers. Technische Universitat Kalserslautern. Germany

Perry, R. 10 Reasons Why Cities Should Consider Going Car-Free. https://www.icebike.org/car-free-cities/

Waterfront City dan Upaya Penanggulangan Bencana

Oleh Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Sebagai negara maritim, keberadaan peradaban manusia yang dekat dengan sumber-sumber air seperti laut, sungai dan danau tidak dapat dipungkiri di Indonesia. Kendati demikian, hal tersebut seakan berjalan secara beriringan dengan risiko potensi bencana pesisir yang mengancam eksistensi masyarakat pesisir. Menyadari hal tersebut, konsep waterfront city sudah mulai digalakan sejak beberapa tahun terakhir di kota-kota pesisir di Indonesia. Lantas apakah yang dimaksud dengan konsep waterfront city? Dan bagaimana metode pencegahan risiko bencana yang tepat untuk dilakukan di kawasan waterfront city?

Definisi Konsep Waterfront City

Menurut Wen-Cheng Huang dkk (2014) dalam Notanubun (2017) disebutkan bahwa waterfront city adalah tempat lahirnya budaya dan perekonomian yang mana berawal dari berkembangnya permukiman maupun desa-desa di tepi air, yang berkembang menjadi jalur perdagangan. Sedangkan menurut Malone (2996), waterfront city adalah suatu daerah atau area yang terletak di dekat perbatasan dengan kawasan perairan dimana terdapat kegiatan dan aktivitas berupa ekonomi maupun sosial pada aera pertemuan tersebut.

Pengembangan waterfront city adalah sebagai suatu proses pengelolaan yang dapat menampung kegiatan ekonomi, sosial maupun fisik lingkungan pada kawasan tepian air dimana bentuk pengembangan pembangunan wajah kota berorientasi ke arah perairan (Wren, 1983). Selama proses pengembangan konsep waterfornt city, pemerintah daerah perlu mengambil peran utama selama perencanaan dan admministrasi. Sebuah rencana yang komprehensif biasanya terdiri dari kegiatan pembangunan, yang masing-masing mungkin memiliki perkembangan dan metode perencanaan tersendiri (Huang et al, 2008). Walaupun sintesa pustaka dari konsep waterfront city secara umum menitikberatkan pada aktivitas sosial dan ekonomi yang berada pada kawasan pesisir, perlu dipertimbangkan juga potensi terjadinya bencana alam yang dapat melumpuhkan aktivitas-aktivitas tersebut. Oleh karena itu perlu dikenali macam-macam jenis bencana pesisir, kebutuhan data, serta konsep pencegahan bencana pesisir itu sendiri.  

Jenis-Jenis Bencana Pesisir

Sebagai negara maritim, keberadaan peradaban manusia yang dekat dengan sumber-sumber air seperti laut, sungai dan danau tidak dapat dipungkiri di Indonesia. Kendati demikian, hal tersebut seakan berjalan secara beriringan dengan risiko potensi bencana pesisir yang mengancam eksistensi masyarakat pesisir. Menyadari hal tersebut, konsep waterfront city sudah mulai digalakan sejak beberapa tahun terakhir di kota-kota pesisir di Indonesia. Lantas apakah yang dimaksud dengan konsep waterfront city? Dan bagaimana metode pencegahan risiko bencana yang tepat untuk dilakukan di kawasan waterfront city?

Definisi Konsep Waterfront City

Menurut Wen-Cheng Huang dkk (2014) dalam Notanubun (2017) disebutkan bahwa waterfront city adalah tempat lahirnya budaya dan perekonomian yang mana berawal dari berkembangnya permukiman maupun desa-desa di tepi air, yang berkembang menjadi jalur perdagangan. Sedangkan menurut Malone (2996), waterfront city adalah suatu daerah atau area yang terletak di dekat perbatasan dengan kawasan perairan dimana terdapat kegiatan dan aktivitas berupa ekonomi maupun sosial pada aera pertemuan tersebut.

Pengembangan waterfront city adalah sebagai suatu proses pengelolaan yang dapat menampung kegiatan ekonomi, sosial maupun fisik lingkungan pada kawasan tepian air dimana bentuk pengembangan pembangunan wajah kota berorientasi ke arah perairan (Wren, 1983). Selama proses pengembangan konsep waterfornt city, pemerintah daerah perlu mengambil peran utama selama perencanaan dan admministrasi. Sebuah rencana yang komprehensif biasanya terdiri dari kegiatan pembangunan, yang masing-masing mungkin memiliki perkembangan dan metode perencanaan tersendiri (Huang et al, 2008). Walaupun sintesa pustaka dari konsep waterfront city secara umum menitikberatkan pada aktivitas sosial dan ekonomi yang berada pada kawasan pesisir, perlu dipertimbangkan juga potensi terjadinya bencana alam yang dapat melumpuhkan aktivitas-aktivitas tersebut. Oleh karena itu perlu dikenali macam-macam jenis bencana pesisir, kebutuhan data, serta konsep pencegahan bencana pesisir itu sendiri.  

Jenis-Jenis Bencana Pesisir

Secara umum, area pesisir terekspos dan terbentuk dari bencana dan proses pesisir. Masyarakat pesisir telah mengembangkan beragam konsep pemetaan dan mekanisme peraturan untuk mengatur dan mengkomunikasikan risiko dari bencana pesisir itu sendiri. Pada dasarnya bencana pesisir terbagi ke dalam dua jenis yaitu bencana yang seketika (event-based hazards) dan bencana yang bertahap (gradual hazards) waktu terjadinya. 

  • Event-Based Hazards

Event-Based Hazards adalah bencana yang terjadi secara seketika dan tiba-tiba seperti gempa bumi dan badai yang akan menghasilkan bencana pesisir seperti gelombang badai dan erosi. Gelombang badai sendiri diasosiasikan sebagai kenaikan air di bibir pantai yang dikorelasikan dengan terjadinya badai di area pesisir. Gelombang badai dapat mengakibatkan banjir yang cukup parah pada bagian perkotaan. Pada bagian pesisir, gelombang badai dapat menghasilkan bencana tambahan dan dapat megakibatkan erosi pantai.

  • Gradual Hazards

Sedangkan gradual hazards merupakan bencana yang terjadi secara perlahan dan bertahap dari waktu ke waktu. Garis pantai terbentuk dan termodifikasi secara menerus melalui beragam proses seperti pergerakan angin, gelombang dan arus. Prose-prose tersebut secara bertahap akan mengikis garis pantai dan memindahkan sedimen dari satu tempat ke tempat lain dan secara menerus membentuk lansekap. Bentang alam pesisir juga dipengaruhi oleh perubahan lokal bertahap pada tingkat permukaan laut yang disebabkan oleh proses subsidensi atau gletser.

Besar kemungkinannya bahwa perubahan iklim akan menyebabkan peningkatan permukaan air laut yang bisa menyebabkan banjir  pada area dataran rendah yang berkaitan dengan pasang tinggi harian atau bulanan. Di daerah garis pantai yang landai, seperti pantai pantai dan rawa-rawa, endapan akan terkikis saat garis pasang tinggi mencapai daratan dan beberapa zona interdal akan terendam secara permanen.

Keberadaan Data yang Harus Diperhatikan

Untuk memahami jangkauan dan sifat alamiah dari bencana pesisir, juga untuk mengetahui tingkat kerentanan dari suatu kota pesisir maka dibutuhkan dukungan data yang komprehensif mengenai kondisi geomorfologi dan juga tipologi dari area pesisir itu sendiri. Kondisi geomorfologi atau bentuk fisik dari tanah pesisir berkaitan dengan proses terbentuknya kawasan pesisir. Sedangkan untuk tipologi pesisir berkaitan dengan penggunaan dan kepadatan lahan pada area tersebut.  

Geomorfologi pesisir adalah kumpulan data mengenai bentang alam glasial, kemiringan, ketinggian, kondisi garis pantai dan paparan gelombang yang akan menggambarkan jangkauan yang dihasilkan dari bencana pesisir. Bencana pesisir yang dimaksud dalam artikel ini adalah badai yang menghasilkan gelombang, gelombang pasang, erosi, banjir, banjir bertahap dan erosi bertahap karena naiknya permukaan laut. Pemetaan geomorfologi pesisir dilakukan untuk menguji karakteristik fisik dari daerah pesisir berkaitan dengan penggunaan lahannya yang akan mempengaruhi area yang terpapar bencana dan tipe adaptasi yang bagaimana yang paling feasible untuk diterapkan. Adapun hal-hal yang difokuskan dalam pemetaan kondisi geomorfologi pesisir adalah Geologic Landforms (Bentuk Tanah Geologis); Kondisi Garis Pantai; dan Paparan Gelombang.

Bentuk geologis tanah dan jenis tanah di kawasan pesisir sangatlah bervariasi dalam hal ketinggian dan kemiringan. Hal tersebut merupakan suatu indikator yang relevan untuk mengetahui tingkat tereskposnya suatu kawasan terhadap gelombang atau naiknya permukaan air laut yang bertahap.

Untuk kategori garis pantai, terdapat dua jenis garis pantai yaitu garis pantai halus dan keras. Garis pantai yang halus lebih rawan terdampak erosi, walaupun baik jika dikembangkan untuk akses publik dan menjaga fungsi ekologi pantai.

Selanjutnya bentuk geografi dari garis pantai dapat menentukan seberapa tereksposnya suatu area oleh gelombang laut yang sifatnya menghancurkan. Untuk itu data mengenai bentuk geografi pantai sangat perlu untuk diketahui.

Sedangkan untuk data penggunaan dan kepadatan lahan berkaitan dengan tipe guna lahan, fungsi, jenis infrastruktur, jumlah populasi dan lain-lain. Nantinya data tersebut akan memberikan indikasi dari besarnya konsekuensi dampak bencana pesisir.

Setelah data-data di atas diolah, maka akan menghasilkan informasi mengenai kategori geomorfologi pesisir, dengan contoh sebagai berikut:

Informasi di atas nantinnya akan menghasilkan rekomendasi adaptasi bencana yang paling sesuai dengan karakteristik pesisir.

Selain data geomorfologi, dibutuhkan juga data mengenai penggunaan lahan pada kawasan pesisir yang akan diteliti. Kepadatan dan jenis penggunaan lahan di suatu area dapat menambah risiko dan kerentanan kebencanaan pesisir. Data tersebut juga dapat mempengaruhi penanganan kebencanaan yang tepat ke depannya.

Setelah data mengenai kondisi geomorfologi pesisir dan penggunaan lahan serta kepadatan area pesisir berhasil diketahui, maka data-data tersebut akan dikombinasikan pengolahannya sehingga akan diketahui tipologi area pesisir pada suatu kawasan tertentu. Analisis tipologi area pesisir berfungsi sebagai titik referensi untuk menganalisis variiasi-variasi dalam paparan bencana pesisir berdasarkan karakteristik penggunaan lahan. Dari analisis ini juga dapat diketahui tingkat kerentanan suatu daerah, risiko dan strategi potensial yang dapat diambil.

Inventori Strategi Adaptif

Strategi-strategi yang berkaitan dengan upaya pencegahan bencana pesisir dapat diterapkan pada tingkat kerentanan yang beragam dan pada skala yang berbeda. Strategi adaptasi bencana pesisir dapat dibedakan dari skala infrastruktur tunggal, skala situs pengembangan hingga skala jangkauan pantai. Pada setiap skala akan terdapat banyak aktor yang terlibat, mulai dari masyarakat, pemerintah kota dan pusat, swasta dan lain sebagainya. Setiap strategi memiliki biaya dan manfaat yang harus didefinisikan dengan jelas dan terbuka. Biaya yang diperhitungkan harus termasuk biaya pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, serta biaya tidak langsung untuk menjaga kualitas ranah publik dan lingkungan.

Selanjutnya terdapat dua jenis strategi adaptif yang dapat dilakukan untuk mencegah risiko kebencanaan pesisir, yaitu strategi site dan reach.

  • Site

Strategi site merupakan strategi untuk mencegah kerusakan pada bangunan dan isi bangunan dengan cara mencegah masuknya air banjir atau dengan cara membiarkan intrusi air namun tetap terdapat aksi untuk meminimalisir kerusakan. Ketika strategi site diterapkan, karakteristik dari suatu lingkungan atau ciri khas dari suatu lorong jalan dapat berubah tergantung bagaimana desain bangunan dan jalannya. Ranah publik dan kenyamanan pejalan kaki merupakan unsur yang harus diperhatikan ketika merencanakan strategi site.

  • Reach

Strategi reach merupakan intervensi di dataran tinggi, garis pantai atau di dalam air yang akan mempengaruhi bentangan garis pantai. Pada kawasan dataran tinggi, adalah hal yang lebih praktikal untuk menciptakan resiliensi melalui adaptasi skala besar daripada sekadar penanganan pada setiap rumah. Penerapan strategi reach tergantung pada kondisi spesifik lingkungan pesisir dan desainnya harus mempertimbangkan kondisi lingkungan seperti komposisi yang terdapat di garis pantai, transportasi sedimen, kekuatan dan tinggi gelombang, kedalaman air dan faktor lainnya. Banyak penerapan strategi reach yang memiliki dampak . negatif terhadap lingkungan yang menyebabkan penurunan kualitas air bersih. Strategi ini melibatkan banyak pemilik tanah dan seringkali diinisiasi, dibangun dan dikelola oleh lembaga publik. Tujuan dari strategi reach adalah untuk menstabilkan tanah terhadap erosi dan tingkat pasang surut harian, mitigasi kekuatan gelombang, mencegah banjir pada daratan tinggi atau mencegah pembangunan pada daerah rentan bencana. Strategi reach terbagi menjadi tiga kategori. Yang pertama adalah strategi upland yang tidak melibatkan air laut atau garis pantai secara langsung, namun melibatkan perubahan pada area daratan garis pantai. Yang kedua adalah strategi shoreline melindungi garis pantai dari erosi, memblokir tekanan badai atau melemahkan gelombang. Strategi yang ketiga adalah strategi in-Water yang dikerahkan pada garus pantai menuju laut dan bertindak untuk melindungi daerah dataran tinggi dari kekuatan erosi dan gelombang dengan cara melemahkan gelombang atau untuk mengurangi ketinggian gelombang badai.

Daftar Pustaka

Notanubun dan Mussadun. 2017. Kajian Pengembangan Konsep Waterfront City di Kawasan Pesisir Kota Ambon. Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota. Universitas Diponogoro. Semarang.

Burden, A.M. 2013. Coatal Climate Resilience: Urban Waterfront Adaptive Strategies. The City of New York. Department of City Planning.

Gentrifikasi, Sebuah Fenomena Perkotaan dengan Dua Sisi

Oleh : Annabel Noor Asyah

Fenomena gentrifikasi mungkin sudah lama teridentifikasi dan menjadi perbincangan di negara-negara belahan dunia ke-satu seperti di Amerika dan Eropa. Banyak sudut pandang yang menyuarakan pro dan kontranya terhadap fenomena ini karena memang gentrifikasi ibarat sebuah koin dengan dua sisi mata uang yang berbeda. Perdebatan mengenai dampak positif maupun dampak negatif dari gentrifikasi terus didengungkan hingga sekarang. Fenomena gentrifikasi yang menyangkut banyak pihak seperti pemerintah, masyarakat kelas menengah ke atas serta masyarakat kelas bawah menjadikan hal tersebut sebagai suatu hal yang rumit dan membutuhkan banyak pendekatan. Saat ini fenomena gentrifikasi sudah mulai merambah negara-negara di Asia termasuk di Indonesia.

Apa itu Gentrifikasi?

Istilah gentrifikasi pertama kali muncul pada tahun 1964 dengan pencetus pertama Ruth Glass yang merupakan seorang ahli perkotaan. Belum ada definisi pasti mengenai apa itu gentrifikasi, sehingga banyak opini dan pendapat ahli yang mencoba untuk menerjemahkan maksud dari fenomena tersebut. Menurut Lees et.al (2007), gentrifikasi merupakan sebuah proses transformasi kelas sosial atau sebidang lahan kosong di kawasan perkotaan yang tadinya dihuni oleh masyarakat kelas bawah menjadi kawasan kelompok kelas menengah yang biasanya diperuntukkan sebagai kawasan komersial. Sehingga gentrifikasi seringkali diasosiasikan sebagai bentuk penyesuaian kebutuhan kelas menengah atau kaum kapitalis. Gentrifikasi cenderung terjadi pada kawasan-kawasan yang letaknya berdekatan dengan kawasan permukiman kelas menengah atas (Guerrieri, 2013), dekat dengan pusat kota (Helms 2003), kawasan yang dilalui oleh layanan transportasi massal (Helms, 2003), dan pada kawasan yang memiliki stok perumahan lama (Kolko, 2007). Gentrifikasi juga berpotensi menyebabkan perpindahan masyarakat kelas bawah ketika kelompok ekonomi menengah atas datang dan menetap di sebuah kawasan yang mengakibatkan peningkatan harga sewa, harga bahan baku dan harga jasa sehingga secara tidak langsung akan membuat masyarakat kelas bawah tidak sanggup untuk bertahan dan pindah dari kawasan tersebut (Atkinson, 2000). Namun demikian, gentrifikasi juga disebut-sebut sebagai alat bantu yang dapat membawa perkembangan positif ekonomi kota ke arah yang lebih baik, walau terkadang dampak negatifnya lebih banyak terasa (Feagin et.al, 1990). 

Secara garis besar, terdapat dua pihak yang terlibat pada setiap proses gentrifikasi. Yang pertama adalah stakeholder yang melakukan gentrifikasi (gentrifier), dan yang kedua adalah pihak yang tergentrifikasi (gentrified people). Gentrifier biasanya diidentifikasi sebagai bagian dari masyarakat kelas menengah dan datang dari kalangan profesional. Menurut Ley (1996), terdapat dua tahapan gentrifikasi yang dilakukan oleh gentrifier, yang pertama gentrifier sebagai pioner atau yang juga disebut sebagai pihak yang tidak menyadari kemungkinan risiko yang akan terjadi (risk-oblivious). Mereka memilih lokasi di pusat kota karena nilai-nilai kultural, gaya hidup dan nilai sejarah yang terdapat pada lokasi tersebut. Yang kedua adalah kelompok yang menghindari risiko (risk-averse) yang memilih lokasi di pusat kota karena adanya peluang investasi di sana.

Berdasarkan penelitian mengenai gentrifikasi yang sudah dilakukan bertahun-tahun, pada umumnya kawasan-kawasan yang tergentrifikasi memiliki karakteristik yang mirip antara satu dan yang lainnya. Dari segi lokasi, kawasan yang tergentrifikasi cenderung berada di pusat kota. Adapun para gentrifier biasanya berasal dari kalangan profesional dan tidak terkecuali berasal dari kepemerintahan. Status sosial para gentrifier cenderung beragam namun pada umumnya datang dari kelas menengah ke atas. Tabel di bawah ini merupakan rangkuman dari karakteristik fenomena gentrifikasi yang terjadi di berbagai negara:

Karakteristik Gentrifikasi di Berbagai Belahan Dunia
Sumber: Uzun, 2002

Sisi Negatif Gentrifikasi

Setelah memahami definisi, karakteristik serta pelaku dalam fenomena gentrifikasi, selanjutnya akan dibahas mengenai dampak negatif dari fenomena tersebut. Walaupun masih menjadi perdebatan hingga sekarang, banyak ahli perkotaan yang berpendapat bahwa gentrifikasi pada umumnya akan merugikan sebagian unsur masyarakat perkotaan yaitu masyarakat marginal. Gentrifikasi kerap disebut sebagai kolonialisme di era modern. Mengapa demikian?

Sama halnya dengan kolonialisme, gentrifikasi tidak hanya merampas kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat lokal dan melemahkan kondisi ekonomi mereka, tetapi juga menyangkut ketidakseimbangan kondisi sosial dan rasial. Gentrifikasi mendorong terjadinya kapitalisme melalui permintaan pasar (pembangunan real estate), namun sekaligus membuat masyarakat yang tinggal lebih dulu di kawasan tersebut angkat kaki (Wharton et.al, 2008). Perpindahan masyarakat kelas bawah kemudian dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan karakteristiknya. Yang pertama, perpindahan karena adanya paksaan (involuntary). Dan yang kedua adalah proses perpindahan yang dilakukan secara swadaya atau sering disebut dengan voluntary.

Pada jenis perpindahan yang pertama (involuntary), biasanya terjadi pada masyarakat yang tidak memiliki kejelasan terhadap status lahan sehingga ketika terdapat pembangunan properti (untuk komersial atau residensial) yang berlokasi di lahan huniannya, mau tidak mau masyarakat harus menyerahkan lahannya untuk keberlangsungan pembangunan. Walaupun biasanya hal tersebut juga disertai dengan biaya kompensasi. Sedangkan pada jenis perpindahan yang kedua (voluntary), biasanya didahului oleh naiknya harga sewa properti di kawasan tersebut sehingga mengakibatkan ketidakmampuan membayar uang sewa bagi penghuni kontrak dan memutuskan untuk melakukan perpindahan. Jenis perpindahan yang kedua ini juga dapat diinisiasi oleh meningkatnya harga jual properti, sehingga masyarakat penghuni eksisting melihat peluang untuk menjual propertinya dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari sebelumnya. Meningkatnya harga sewa dan harga jual ini biasanya terjadi secara perlahan sehingga fenomena gentrifikasi terkesan tidak kasat mata.

Sisi Positif Gentrifikasi

Meskipun banyak penelitian yang mengatakan bahwa gentrifikasi akan merugikan masyarakat marginal dan merampas hak-hak kehidupan mereka, tidak sedikit pula hasil penelitian dan pendapat ahli yang mengatakan bahwa gentrifikasi juga memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat, terutama bagi perkembangan kawasan perkotaan kedepannya. Menurut Atkinson (2002), gentrifikasi merupakan suatu proses yang mendukung upaya revitalisasi dan perbaikan kawasan perkotaan. Gentrifikasi oleh sebagian orang dianggap sebagai pertanda baik bagi pertumbuhan ekonomi.

Dilansir dari laman money.howstuffworks.com dengan direvitalisasinya sebuah kawasan perkotaan, tentu akan meningkatkan ketertarikan untuk berinvestasi bagi para investor. Hal tersebut berpotensi meningkatkan kondisi ekonomi perkotaan ke arah yang lebih baik. Selain itu dengan meningkatnya perputaran uang di kawasan yang tergentrifikasi melalui revitalisasi kota, banyak aspek kehidupan bermasyarakat yang berpotensi terkena dampak positif. Seperti, bangunan dan ruang hijau yang direnovasi akan menambah keindahan dan nilai estetis suatu kawasan; banyaknya peluang kerja baru yang tersedia setelah meningkatnya konstruksi pembangunan pusat perbelanjaan dan perkantoran; menurunnya tingkat kriminal pada suatu kawasan karena menjadi sebuah kawasan yang lebih ramai; dan kualitas lingkungan yang lebih baik juga lebih bersih dapat dinikmati oleh masyarakat eksisting melalui kehadiran dari masyarakat kelas menengah. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian dari University of Colorado, University of Pittsburgh dan Duke University pada tahun 2008 yang meneliti tentang pendapatan total pada kawasan yang tergentrifikasi pada rentang waktu tertentu. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa kelompok masyarakat yang paling tinggi peningkatan pendapatannya adalah masyarakat kelas bawah dengan jenjang pendidikan minimal SMA. Hal tersebut menjadi salah satu contoh bahwa fenomena gentrifikasi tidak selamanya memarjinalkan masyarakat kelas bawah. 

Ellen dan O’Regan (2011) juga menemukan bahwa tidak adanya peningkatan intensitas atas berpindahnya masyarakat marginal yang terjadi dalam periode pertumbuhan ekonomi pada tahun 1990an. Hasil penelitian ini patut dipertimbangkan mengingat ciri utama dari gentrifikasi adalah terjadinya aktivitas eksodus oleh masyarakat berpenghasilan rendah atau kalangan minoritas yang tergentrifikasi. Selain itu, Vidgor (2010), menggunakan data dari American Housing Survey dan menemukan bahwa revitalisasi sebenarnya menguntungkan bagi seluruh masyarakat melalui peningkatan harga, melalui peningkatan harga sewa maupun harga beli properti. Hal tersebut berbanding lurus dengan perubahan yang disebabkan oleh proses revitalisasi kota. 

Kesimpulan

Gentrifikasi merupakan sebuah fenomena yang sering terjadi di kawasan perkotaan, baik yang prosesnya disadari maupun tidak. Perubahan karakteristik penghuni suatu kawasan, dari kelas menengah ke bawah menjadi kelas menengah ke atas seringkali dipandang merampas hak-hak kehidupan masyarakat yang terdampak. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena gentrifikasi yang biasanya sejalan dengan proses revitalisasi kota juga memberikan manfaat yang tidak sedikit terhadap perkembangan suatu kota. Gentrifikasi sendiri awalnya dikenal di negara-negara di belahan dunia ke-satu, yang disadari setelah meningkatnya harga sewa perumahan setelah masyarakat menengah ke atas bermukim di suatu kawasan marjinal. Saat ini, gentrifikasi juga kerap ditemui di negara-negara global south, tidak terkecuali di Indonesia. Lantas, bagaimanakah bentuk fenomena gentrifikasi yang terlihat di kota-kota di Indonesia? Bagaimanakah seharusnya peran pemerintah menyikapi fenomena ini mengingat banyaknya kepentingan yang ikut andil dalam satu proses gentrifikasi?

Daftar Pustaka

Pratiyudha, P.P. 2019. Gentrifikasi dan Akar-Akar Masalah Sosial: Menakar Identifikasi, Diagnosis, dan Treatment Proses Gentrifikasi Sebagai Masalah Sosial. Reka Ruang

Uzun, C.N. 2002. The Impact of Urban Renewal and Gentrification on Urban Fabric: Three Cases in Turkey. Middle East Technical University Ankara.

Ley, D. 1996. The New Middle Class and the Remaking of the Central City. New York: Oxford University Press.

Mathema, S. 2013. Gentrification An Updated Literature Review. Poverty & Race Research Action Council.

Wharton, J.L. 2008. Gentrification: The New Colonialism in the Modern Era. Stevens Institute of Technology.

https://money.howstuffworks.com/gentrification2.htm

Pengaruh Sistem Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Terhadap Tata Ruang Kota Tangerang Selatan

Oleh : Devana Tsintaniarsy Iskandar

Penerimaan Peserta Didik Baru yang kemudian disingkat menjadi PPDB merupakan penerimaan peserta didik mulai dari tingkat sekolah. Tata cara pelaksanaan PPDB telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2018 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 terdapat tiga jalur pendaftaran PPDB yang meliputi jalur zonasi, jalu prestasi, dan jalur perpindahan tugas orang tua/wali. Artikel ini akan difokuskan pada jalur pendaftaran melalui jalur zonasi.

Jalur zonasi merupakan jalur pendaftaran PPDB yang mengharuskan calon peserta didik untuk mendaftarkan diri di sekolah terdekat dengan domisilinya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menegaskan dalam berita yang disampaikan Kominfo (2019), bahwa PPDB tahun 2019 adalah bentuk penyempurnaan dari sistem zonasi sebelumnya, sistem zonasi juga dilakukan sebagai upaya pemerataan akses dan kualitas pendidikan nasional. 

Berdasarkan berita yang dilansir dari Palapa News (2019), Dindikbud Tangerang Selatan telah membagi empat faktor kriteria penilaian untuk calon peserta PPDB. Pembagian empat faktor penilaian tersebut meliputi 30% berdasarkan jarak rumah dengan sekolah, 50% berdasarkan nilai USBN, 10% untuk siswa berprestasi, dan 10% untuk zonasi luar atau perpindahan orang tua/wali. Meskipun begitu, terdapat perbedaan rencana kebijakan antara Wakil Wali Kota Tangerang Selatan dengan Dindikbud Kota Tangerang Selatan. Wakil Wali Kota Tangerang Selatan, Benyamin Davnie menyampaikan bahwa sistem zonasi di Tangerang Selatan akan ditetapkan per kelurahan. Sementara menurut Kepala Dindikbud Tangerang Selatan, Taryono mengatakan bahwa untuk sistem zonasi per kelurahan tetap akan mempertimbangkan hasil ujian. Sehingga adanya kombinasi antara hasil ujian dengan jarak yang akan menjadi pertimbangan kelulusan.

Pemberlakuan sistem zonasi dalam PPDB tentunya berdampak pada masyarakat secara keseluruhan. Dampak yang terjadi akibat sistem zonasi terutama dengan mengutamakan peserta didik yang berjarak lebih dekat dari sekolah akan memengaruhi pergerakan yang terjadi. Pergerakan dapat diartikan sebagai suatu keadan berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya. Pergerakan juga dapat diartikan sebagai perjalanan yang memiliki definisi yaitu gerakan keluar dari titik asal ke titik tujuan. Rao dan Mathew (2007) mengklasifikasikan perjalanan menjadi tiga kelompok yakni perjalanan berdasarkan tujuan, perjalanan berdasarkan waktu pada hari itu, dan perjalanan berdasarkan tipe orang. Perjalanan berdasarkan tujuan terdiri dari berbagai macam tujuan, bisa perjalanan untuk bekerja, perjalanan untuk sekolah, perjalanan untuk berekreasi, dan perjalanan lainnya dengan tujuan tertentu. Dari seluruh tujuan perjalanan yang disebutkan sebelumnya, tujuan perjalanan untuk bekerja dan bersekolah merupakan perjalanan yang wajib karena menjadi dasar kebutuhan manusia, sementara perjalanan lainnya disebut sebagai perjalanan bebas.

Penerapan sistem zonasi PPDB tentunya dapat memengaruhi tata ruang suatu daerah. Pada artikel ini akan dibahas mengenai sistem zonasi pada Kota Tangerang Selatan untuk melihat pengaruhnya terhadap pergerakan. Adanya perubahan pergerakan akibat penerapan sistem zonasi tentunya menjadi faktor utama yang memengaruhii tata ruang Kota Tangerang Selatan. Sistem zonasi PPDB telah memengaruhii perubahan pergerakan terutama untuk tujuan bersekolah yang merupakan perjalanan wajib. Hal ini juga pernah diteliti oleh Prasetyo (2018) dalam tulisannya yang berjudul “Evaluasi Dampak Kebijakan Sistem Zonasi PPDB Terhadap Jarak Tempat Tinggal dan Biaya Transportasi Pelajar SMA di DIY”. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa rata-rata jarak tempat tinggal dengan sekolah dan biaya transportasi pelajar SMA di DIY mengalami penurunan yang signifikan setelah dilakukannya kebijakan sistem zonasi. Prasetyo juga menemukan bahwa waktu tempuh perjalanan pelajar juga mengalami penurunan, sehingga secara tidak langsung hal ini telah berdampak dalam pengurangan kemacetan di DIY.

Dari hasil penelitian Prasetyo, dapat kita ketahui bahwasannya penerapan sistem zonasi PPDB sangat berdampak dalam hal pergerakan yang akan ditempuh. Dari perubahan pergerakan tersebut dapat menjadi suatu kunci utama perubahan tata ruang akibat penerapan sistem zonasi PPDB. Kota Tangerang Selatan sendiri telah membagi zona PPDB menjadi 7 zona, dengan pembagian zona sebagai berikut

Berdasarkan hasil olahan peta zonasi PPDB Kota Tangerang Selatan di atas, dapat dilihat bahwa Kota Tangerang Selatan telah membagi wilayah zonasi ke dalam 7 zona per kecamatan. Setiap zona dibagi lagi pembagiannya per kelurahan dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Siswa dapat mendaftarkan diri dan memilih sekolah-sekolah yang terdekat dengan domisili mereka, sehingga hal ini dapat mengurangi pergerakan yang dilakukan oleh siswa. Penerapan sistem zonasi ini menyebabkan siswa tidak perlu lagi melakukan perjalanan jauh ke sekolah, baik yang berada di luar kecamatannya atau bahkan keluar dari Kota Tangerang Selatan. 

Penerapan kebijakan sistem zonasi di Kota Tangerang Selatan menyebabkan pergerakan siswa akan memusat pada fasilitas pendidikan yang berada di area kelurahan sesuai dengan domisili para siswa. Kalaupun ada siswa yang berasal dari Kelurahan, Kecamatan, ataupun Kabupaten/Kota lainnya hanyalah sedikit pergerakannya. Hal ini disebabkan karena penerimaan siswa diprioritaskan bagi siswa dengan jarak terdekat dengan nilai persentase sebesar 30% berdasarkan jarak rumah dengan sekolah.

Sedikitnya persentase bagi siswa dari zonasi luar atau perpindahan orang tua/wali yaitu hanya sebesar 10%, menyebabkan sedikit pula pergerakan dari luar zonasi. Oleh karena itu secara tidak langsung, penerapan kebijakan sistem zonasi di Kota Tangerang Selatan juga dapat memengaruhii perubahan tata ruang di Kota Tangerang Selatan akibat terpusatnya pergerakan para siswa yang hanya terjadi di tiap zona yang telah ditentukan, terlebih lagi perjalanan bersekolah yang merupakan perjalanan wajib juga hanya akan terjadi dalam jarak yang dekat akibat kebijakan sistem zonasi.

Dari tabel 1 di atas, Kecamatan Pondok Aren memiliki luas wilayah lebih besar dari kecamatan lainnya. Luasnya wilayah di Pondok Aren ternyata menunjukkan bahwa fasilitas pendidik tingkat SD dan SMP serta jumlah peserta didik di Pondok Aren memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Sementara itu, Kecamatan Setu memiliki luas wilayah lebih kecil dari kecamatan lainnya dengan sebaran fasilitas pendidikan dan jumlah peserta didik yang lebih sedikit juga dari kecamatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa persebaran fasilitas pendidikan dan jumlah peserta didik di Kota Tangerang Selatan berdasarkan kecamatan memiliki persebaran yang terbilang merata, karena telah sesuai dengan luas wilayah yang dimiliki tiap-tiap kecamatan.

Meskipun begitu, tabel 1 yang didapat dari BPS Kota Tangerang Selatan Dalam Angka (2017) tidak membagi fasilitas pendidikan dan jumlah peserta didik tingkat SD dan SMP antara sekolah negeri dengan sekolah swasta. Sementara, kebijakan sistem zonasi hanya berlaku untuk sekolah negeri. Terlebih lagi jumlah peserta didik tingkat SD masih merupakan total jumlah siswa dari kelas 1 hingga kelas 6, sementara peserta didik tingkat SMP hanyalah dari kelas 1 hingga kelas 3. Sehingga, adanya perbedaan jumlah peserta yang tinggi antara jumlah peserta didik tingkat SD dengan SMP. Dindikbud Kota Tangerang Selatan melalui berita yang dilansir dari beberapa portal berita daring, menjelaskan bahwa Dindikbud Kota Tangerang Selatan telah menetapkan kuota bagi calon siswa SMP negeri yang akan diterima yakni sebanyak 7.300 siswa dari 22 SMP negeri yang ada di Kota Tangerang Selatan. Oleh karena itu, artikel ini akan memberikan suatu perhitungan dengan menggunakan asumsi untuk mengetahui jumlah peserta didik SD kelas 6 atau calon peserta didik SMP.

Adapun perhitungan yang dilakukan oleh penulis, jika jumlah total peserta didik tingkat SD sebesar 130.211 siswa (lihat tabel 1), kemudian diasumsikan SD memiliki jumlah tingkatan kelas yaitu 6 kelas (100%), maka untuk mengetahui jumlah total peserta didik kelas 6 SD yaitu 100% dibagi 6 kelas yakni sebesar 16,667% atau dibulatkan menjadi 17%. Sehingga, 17% dari jumlah total peserta didik tingkat SD yaitu 130.211 adalah sebesar 22.136 siswa kelas 6 SD. Sementara itu, Dindikbud Kota Tangerang Selatan telah menetapkan calon SMP negeri hanya akan diterima sebesar 7.300 siswa, maka sebanyak 14.836 siswa kelas 6 SD atau calon siswa SMP yang perlu diakomodir. Perhitungan ini juga diperkuat oleh berita yang dilansir oleh Palapa News (2019) yang menyebutkan bahwa dengan ketetapan Dindikbud yang hanya menerima 7.300 siswa di SMP negeri tidak sebanding dengan lulusan SD di Kota Tangerang Selatan sebanyak 23.000 siswa.     

Hasil perhitungan dengan asumsi di atas menunjukkan bahwa dengan tingginya jumlah calon peserta didik SMP negeri dan rendahnya persebaran fasilitas pendidikan tingkat SMP di setiap kecamatan, serta Kota Tangerang Selatan yang hanya mengakomodir 7.300 calon siswa SMP, maka hal ini menjadi tantangan bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Karena persebaran fasilitas pendidikan SMP tidak dapat menampung lulusan-lulusan dari tingginya calon peserta didik SMP negeri. Tidak meratanya persebaran fasilitas pendidikan tingkat SMP dengan tingginya jumlah calon peserta didik SMP negeri mengakibatkan banyaknya kekecewaan yang dirasakan oleh masyarakat, terutama dengan adanya penerapan kebijakan sistem zonasi saat ini. Selain persebaran fasilitas pendidikan, kekecewaan masyarakat terhadap sistem zonasi juga karena dirasa masih kurangnya kualitas pendidikan. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan agar kualitas pendidikan di Kota Tangerang Selatan dapat segera ditingkatkan dan disetarakan.      Berdasarkan pembahasan di atas, penerapan kebijakan sistem zonasi di Kota Tangerang Selatan dapat memengaruhi tata ruang kota karena akan terpusatnya pergerakan siswa dengan jarak terdekat dari domisili mereka. Dengan terpusatnya pergerakan siswa, maka akan mengurangi kemacetan akibat pergerakan ke arah luar zonasi terlebih lagi biasanya pergerakan siswa dilakukan bersamaan dengan pergerakan para pekerja. Selain pergerakan, Pemerintah Kota Tangerang Selatan masih memiliki tantangan yang cukup besar untuk menambah persebaran fasilitas pendidikan tingkat SMP, serta meningkatkan dan menyetarakan kualitas pendidikan di Kota Tangerang Selatan. Kendati demikian, Pemerintah Kota Tangerang Selatan dapat melakukan kerja sama dengan sekolah-sekolah swasta untuk mengakomodir calon peserta didik SMP negeri yang belum mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di SMP negeri. Sekolah negeri juga dapat menambah kapasitas kelas agar dapat menampung lebih banyak calon peserta didik. Selain itu, Pemerintah Kota Tangerang Selatan perlu menghimbau masyarakat agar tidak hanya mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri namun juga bisa ke sekolah swasta. Pemerintah Kota Tangerang Selatan juga perlu meningkatkan dan menyetarakan kualitas pendidikan baik tingkat SD maupun SMP di Kota Tangerang Selatan. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan melakukan seleksi tenaga pengajar yang berkualitas di setiap sekolah. Hal ini bertujuan agar masyarakat mendapatkan akses kualitas pendidikan yang sama di setiap sekolah, selain itu juga sebagai suatu solusi agar penerapan kebijakan sistem zonasi dapat berjalan dengan lancar.

Daftar Pustaka

BPS. (2018). Kota Tangerang Selatan Dalam Angka 2018. Tangerang Selatan: BPS Kota Tangerang Selatan.

Deniansyah, R. (2019, April 9). PPDB 2019, Tangsel Berlakukan Sistem Zonasi per Kelurahan. Retrieved from Tangerangnews.com: http://tangerangnews.com/tangsel/read/26677/PPDB-2019-Tangsel-Berlakukan-Sistem-Zonasi-per-Kelurahan

Ihsanuddin. (2019, Juni 20). Ombudsman: Sistem Zonasi Ditolak karena Fasilitas dan Mutu Sekolah Belum Merata. Retrieved from nasional.kompos.com: https://nasional.kompas.com/read/2019/06/20/07393221/ombudsman-sistem-zonasi-ditolak-karena-fasilitas-dan-mutu-sekolah-belum

Kominfo. (2019, Februari 8). Kemendikbud Imbau Pemda Segera Tetapkan Zona Persekolahan dan Juknis PPDB 2019. Retrieved from Kominfo.go.oid: https://palapanews.com/2019/05/13/ini-4-faktor-penilaian-sistem-zonasi-ppdb-2019/

Palapa News. (2019, Mei 13). Ini 4 Faktor Penilaian Sistem Zonasi PPDB 2019. Retrieved from palapanews.com: https://palapanews.com/2019/05/13/ini-4-faktor-penilaian-sistem-zonasi-ppdb-2019/

Palapa News. (2019, Mei 19). Kuota SMP di Tangsel Tak Sebanding Jumlah Murid Lulusan SD. Retrieved from palapanews.com: https://palapanews.com/2019/05/19/kuota-smp-di-tangsel-tak-sebanding-jumlah-murid-lulusan-sd/

Permendikbud. (2018). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menngah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Permendikbud. (2019). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Nomor 51 Tahun 2018. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Prasetyo, J. (2018). EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN SISTEM ZONASI PPDB TERHADAP JARAK TEMPAT TINGGAL DAN BIAYA TRANSPORTASI PELAJAR SMA DI DIY. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Retrieved from etd.repository.ugm.ac.id.

Rao, K. K., & Tom, V. M. (2007). Introduction to Transportation Engineering. Mumbai: Indian Institute of Technology Bombay.