Pos

Zona Ekonomi Ekslusif dan Pertahanan Sumber Daya Perikanan Indonesia

Galuh Shita

Batas perairan Indonesia telah diatur dalam peraturan perundangan sejak lama. Batas wilayah perairan ini merupakan batas perairan yang luasannya telah disepakati secara internasional, meski begitu, permasalahan atau konflik yang berkaitan dengan batas negara ataupun pemanfaatan di atasnya kerap kali terjadi hingga saat ini.

Ketentuan mengenai zona ekonomi eksklusif telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dalam peraturan tersebut telah didefinisikan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Di dalam ZEE, Indonesia disebutkan mempunyai dan melaksanakan:

  • Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin
  • Yurisdiksi yang berhubungan dengan :
  • pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya;
  • penelitian ilmiah mengenai kelautan;
  • perlindungan dan pelestarian lingkungan taut
  • Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan Konvensi Hukum Laut yang berlaku

Ilustrasi Batas Zona Ekonomi Eksklusif dalam UNCLOS

Sumber Gambar: obaradai.com

Aturan yang berkaitan dengan ZEE tertuang dalam ketentuan hukum laut internasional atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang disepakati oleh PBB pada tahun 1982. UNCLOS 1982 membahas hal-hal yang berkaitan dengan hukum kelautan. Konvensi ini ditandatangani pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika dan mulai berlaku pada 16 November 1994. Seluruh negara peserta konvensi harus tunduk pada peraturannya, termasuk Indonesia. Secara garis besar, konvensi ini berisikan tentang penetapan batas kelautan, pengendalian lingkungan, penelitian ilmiah terkait kelautan, kegiatan ekonomi dan komersial, transfer teknologi, serta penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan masalah kelautan. Atas dasar konvensi ini pula, Indonesia ditetapkan memiliki 3 batas besar wilayah perairan yakni batas laut teritorial, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif.

Dilansir dari kompas, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Profesor Hikmahanto menyatakan bahwa negara pemegang hak ZEE berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Sebaliknya bagi negara lain, ketika akan memanfaatkan sumber daya di zona tersebut, maka harus meminta izin terlebih dahulu pada negara yang berdaulat atas ZEE. Negara pemilik ZEE hanya berdaulat atas sumber daya di dalamnya, namun perairannya secara hukum adalah laut internasional.

Namun beberapa kasus masuknya kapal asing yang juga mengambil sumber daya laut Indonesia secara ilegal masih kerap terjadi. Menteri Kelautan dan Perikanan pada periode sebelumnya kerap kali menenggelamkan kapal asing yang tertangkap mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia. Salah satu contoh negara yang memiliki konflik dengan batas perairan Indonesia adalah Cina. Dilansir dari pelayananpublik.id, disebutkan bahwa Cina menganggap aturan ZEE bertumpang tindih dikarenakan wilayah ZEE Indonesia dianggap sebagai wilayah perikanan tradisional (traditional fishing ground) milik Cina, yang juga muncul dalam Peta Nine Dash Lines. Namun, setelah ditelusuri Pemerintah Cina mendasarkan batas tersebut atas dasar sejarah. Sementara pada UNCLOS, Pemerintah Cina tidak memiliki dasar yang tertuang dalam konvensi tersebut. Traditional Fishing Zone yang diakui dan ditanda-tangani oleh Indonesia berada di Selat Malaka yang berbatasan dengan Pemerintah Malaysia.

Pengaturan yang berkaitan dengan izin operasi kapal asing di wilayah ZEE Indonesia kemudian dimunculkan dalam UU Cipta Kerja. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah.

Dilansir Kembali dari kompas, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan bahwa negara dapat mengelola wilayah ZEE dengan bekerja sama dengan negara lain. Kerja sama yang telah dilakukan berlangsung hingga tahun 2006, sebelum pemerintah akhirnya menerbitkan peraturan Menteri yang mewajibkan seluruh kapal penangkap ikan yang memanfaatkan hasil laut harus berbendera Indonesia sehingga secara langsung peraturan ini mencegah kapal berbendera asing untuk menangkap ikan di wilayah ZEE Indonesia.


Bahan Bacaan

  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
  • Kompas. 2021. “Ketentuan Konvensi PBB 1982 Tentang Hukum Laut”. Diakses 5 Mei 2021 dari https://www.kompas.com/skola/read/2021/04/20/131425269/ketentuan-konvensi-pbb-1982-tentang-hukum-laut
  • Kompas. 2020. “Mengenal Apa Itu ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif di Laut”. Diakses 5 Mei 2021 dari https://money.kompas.com/read/2020/09/15/071705426/mengenal-apa-itu-zee-atau-zona-ekonomi-eksklusif-di-laut?page=all#:~:text=ZEE%20adalah%20zona%20yang%20luasnya,atas%20kekayaan%20alam%20di%20dalamnya
  • Kompas. 2020. “Soal Kapal Asing di UU Cipta Kerja, KKP: Tetap Tak Boleh Beroperasi!”. Diakses 5 Mei 2021 dari https://money.kompas.com/read/2020/10/08/180800226/soal-kapal-asing-di-uu-cipta-kerja-kkp–tetap-tak-boleh-beroperasi-
  • Pelayanan Publik. 2019. “Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), Pengertian, Manfaat, Fungsi dan Kegiatan di Dalamnya”. Diakses 5 Mei 2021 dari https://pelayananpublik.id/2019/08/01/zona-ekonomi-ekslusif-zee-pengertian-manfaat-fungsi-dan-kegiatan-di-dalamnya/

Kelautan dan Perikanan dalam PP Nomor 27 Tahun 2021

Galuh Shita

Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Disahkannya peraturan ini secara otomatis mencabut peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2020 tentang Bangunan dan Instalasi Laut. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 ini diharapkan mempu memberikan dampak positif bagi pelaku usaha perikanan di Indonesia. Peraturan ini juga hadir sebagai pembaharuan beberapa ketentuan yang lama sebagai imbas dari lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja. Adapun perubahan tersebut mencakup perubahan dan penyempurnaan dari berbagai peraturan perundang-undangan mengenai perubahan status zona inti, kriteria dan persyaratan pendirian, penempatan, dan/atau pembongkaran bangunan dan instalasi di laut, pengelolaan sumber daya ikan, standar mutu hasil perikanan, penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan bukan untuk tujuan komersial, kapal perikanan, kepelabuhanan perikanan, standar laik operasi, pengendalian impor komoditas perikanan dan impor komoditas pergaraman.

Dilansir dari wartaekonomi, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyatakan bahwa keberadaan peraturan ini merupakan solusi dari tumpang tindih regulasi yang menghambat investasi, khususnya di bidang kelautan dan perikanan. Diharapkan sektor kelautan dan perikanan dapat berperan penting terhadap pemulihan ekonomi nasional yang terganggu akibat adanya pandemi Covid-19.

Terkait dengan ruang laut, peraturan ini juga mengatur beberapa hal pokok yang berkaitan dengan sektor kelautan dan perikanan. Pertama, dalam pemanfaatan ruang laut diatur kewajiban untuk melindungi sumber daya kelautan dan perikanan seperti tidak merusak terumbu karang sehingga sumber daya kelautan dan perikanan dapat tetap terjaga dan juga berkelanjutan. Kedua terkait penataan ruang laut, adanya peraturan ini maka diharapkan akan dapat mewujudkan keterpaduan, keserasian, dan keselarasan pengelolaan ruang darat dan laut.

Peraturan ini mengatur pembaharuan terkait perubahan zona inti pada kawasan konservasi. Di mana kegiatan pemanfaatan hanya dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional yang diatur dengan peraturan perundang-undangan melalui penetapan proyek strategis nasional. Perubahan status zona inti atau kategori kawasan konservasi tidak mengubah alokasi ruang untuk kawasan konservasi yang ada di dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K), Rencana Zonasi Kawasan Antar Wilayah (RZ KAW), Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT), atau pola ruang dalam Rencana Tata Ruang Laut (RTRL) atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional. Adapun maksud dari perubahan zona inti adalah sebagai dasar dalam perubahan rencana zonasi kawasan konservasi.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan juga mengemukakan bahwa perubahan zona inti hanya dapat dilakukan demi kepentingan masyarakat yang lebih besar atau bersifat strategis nasional selama tetap memperhatikan keberlanjutan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Proses perubahan zona inti dilakukan dengan membentuk tim peneliti terpadu yang terdiri dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dan kementerian/lembaga terkait, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perguruan Tinggi, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Masyarakat yang ada di daerah sekitar kawasan konservasi dan masyarakat sekitar kawasan konservasi. Tim kemudian akan bertugas menyampaikan rekomendasi perubahan status zona inti dan/atau kategori kawasan konservasi kepada Menteri.

Dilansir dari laman bisnis.com, terdapat beberapa kelebihan yang dapat dirasakan manfaat sebagai imbas dari dikeluarkannya peraturan ini, diantaranya adalah:

  • Kemudahan perizinan terkait kapal perikanan. Jika selama ini perizinan terkait kapal perikanan tersebar di berbagai kementerian dan instansi, kini hanya berada pada satu pintu yaitu melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan saja. Hal ini sesuai dengan amanah Presiden untuk mempermudah masyarakat yang ingin berusaha dan mempercepat transformasi ekonomi, khususnya di bidang kelautan dan perikanan.
  • Adanya jaminan sosial bagi Anak Buah Kapal (ABK) perikanan. Pemilik kapal perikanan, operator kapal perikanan, agen awak kapal perikanan, atau nakhoda harus memberi jaminan sosial terhadap ABK. Jaminan ini meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan kehilangan pekerjaan.
  • Terkait dengan impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman, khususnya yang digunakan sebagai bahan baku dan bahan penolong industri, penyusunan distribusi alokasi impor perikanan kini menggunakan neraca komoditas perikanan dan pergaraman yang disusun oleh Menteri Kelautan dan Perikanan untuk kemudian disampaikan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Hal ini dilakukan agar penyerapan garam produksi dalam negeri dapat diserap dengan lebih maksimal.
  • Pengawasan dan sanksi yang selama ini berorientasi pada pemidanaan, kini akan mengedepankan sanksi administratif.

Bahan Bacaan

  • Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan
  • Bisnis.com. 2021. “Ini Kelebihan PP 27/2021, Ada Aspek Keberlanjutan hingga Jaminan Sosial ABK”. Diakses 6 Mei 2021 dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20210303/99/1363364/ini-kelebihan-pp-272021-ada-aspek-keberlanjutan-hingga-jaminan-sosial-abk
  • Wartaekonomi. 2021. “Peraturan Pemerintah Nomor 27 Diharapkan Dongkrak Investasi Perikanan”. Diakses 6 Mei 2021 dari https://www.wartaekonomi.co.id/read330383/peraturan-pemerintah-nomor-27-diharapkan-dongkrak-investasi-perikanan
  • Infopublik. 2021. “KKP Siapkan Aturan Turunan PP 27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan”. Diakses 6 Mei 2021 dari https://infopublik.id/kategori/nasional-ekonomi-bisnis/517047/kkp-siapkan-aturan-turunan-pp-27-2021-tentang-penyelenggaraan-bidang-kelautan-dan-perikanan