Resiliensi Kota dan Pergerakan Masyarakat dalam Menghadapi Covid-19

Oleh: Annabel Noor Asyah, S.T., M.Sc.

Di masa yang penuh dengan ketidakpastian ini, di mana pandemi Covid-19 menggerogoti kesehatan dan ragam aspek kehidupan masyarakat hampir di seluruh dunia, adalah hal yang penting bagi setiap kota memiliki upaya dan strategi dalam rangka memaksimalkan kemampuannya untuk bertahan di situasi sulit ini. Hal tersebut sering diasosiasikan dengan kemampuan kota untuk menahan kejatuhan/kemunduran dan bangkit kembali. Resiliensi suatu kota kerap dijadikan buah bibir dan dipertanyakan keabsahannya ketika terjadi krisis atau bencana. Keberlangsungan sistem yang terdapat di suatu kota menjadi sorotan banyak mata, dan menumbuhkan pertanyaan-pertanyaan seperti “akankah kota ini bangkit setelah krisis?”.

Berbicara tentang hal tersebut, menarik untuk dibahas mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan resiliensi? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi eksistensinya? Hal-hal apa yang perlu ditingkatkan agar sebuah kota dapat bertahan dan beradaptasi di tengah carut-marut pandemi? Artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai resiliensi kota, khususnya di masa krisis kesehatan seperti yang terjadi sekarang ini.

Mendefinisikan Resiliensi

Pada dasarnya, belum ada definisi resmi terkait apa itu resiliensi. Banyak yang berpendapat bahwa resiliensi adalah kemampuan suatu individu atau kelompok untuk bangkit kembali, atau lebih familiar dengan istilah bounce back, dari sebuah tekanan atau krisis yang terjadi (Walace and Walace, 2008). Kendati demikian, Martin dan Sunley (2014), mencoba mengelompokkan definisi resiliensi ke dalam tiga kategori, antara lain:

Tipe/Definisi dari Resiliensi

Definisi/TipeInterpretasi
Resiliensi sebagai upaya bangkit kembali dari tekananKondisi ketika suatu sistem kembali bangkit ke posisi semula setelah sebelumnya mengalami tekanan. Proses ini menekankan pada kecepatan dan tingkatan  pemulihan.
Resiliensi sebagai kemampuan untuk menyerap tekananKondisi yang menekankan pada stabilitas, fungsi, dan identitas sistem ketika menghadapi tekanan. Berkaitan dengan cakupan tekanan yang bisa ditoleransi, sebelum sistem tersebut berpindah ke tingkatan yang baru.
Resiliensi sebagai kemampuan untuk beradaptasi dalam rangka antisipasi atau merespon tekananKondisi yang menekankan pada kapasitas suatu sistem untuk mengendalikan performa inti mereka dengan cara beradaptasi, baik dalam hal struktur, fungsi dan organisasinya. Lebih dikenal dengan istilah bounce forward.

Sumber: Martin dan Sunley (2014)

Berangkat dari penjelasan di atas, resiliensi kota kini dilihat sebagai cara untuk mencegah, memulihkan, dan beradaptasi ketika terjadi ancaman atau krisis dengan tetap mempertahankan fungsi inti dari perkotaan itu sendiri. Melihat tren demografis kota-kota di dunia, terdapat kecenderungan terjadinya tekanan yang akan berimplikasi pada setiap aspek perkotaan. Namun demikian, hanya sedikit kota yang dilengkapi dengan alat yang memadai untuk menyikapi hal-hal tersebut

Faktor-Faktor Resiliensi

Setelah memiliki gambaran mengenai definisi resiliensi secara general, maka penting bagi kita untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat membentuk resiliensi itu sendiri. Berdasarkan paper yang disusun oleh de Boer, et.al (2016), diketahui terdapat 7 faktor utama yang mempengaruhi resiliensi sebuah kota secara umum. Tujuh faktor tersebut antara lain:

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Kota
Sumber: de Boer et.al, 2016

Kesetaraan penghasilan dan status sosial antarmasyarakat di dalam suatu kota telah terbukti menjadi salah satu faktor terpenting untuk membentuk resiliensi. Hal tersebut menstimulasi terbentuknya pemerintahan yang inklusif dan akuntabel sehingga berupaya meningkatkan kapasitas beradaptasi dan bertahan ketika dilanda krisis atau tekanan.

Selanjutnya, terdapatnya transparansi dalam mekanisme kebijakan dan peradilan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan itu sendiri. Kepercayaan publik kerap dikorelasikan dengan besarnya kontribusi dan kerja sama masyarakat dalam menjalankan kebijakan pemerintah. Hal tersebut tentu saja menjadi faktor yang penting dalam meningkatkan resiliensi suatu kota.

Faktor yang ketiga adalah terdapatnya keamanan bagi ekonomi mikro dan jaminan sosial ketika terjadi krisis. Dengan adanya jaminan sosial berupa bantuan sembako maupun suntikan uang tunai, masyarakat kecil dapat mengakses kebutuhan sehari-hari dan menikmati pelayanan kesehatan sebagai mana mestinya.

Keamanan bagi ekonomi mikro dan jaminan sosial tersebut beriringan dengan faktor selanjutnya yaitu ketersediaan infrastruktur dasar yang berperan sebagai garda terdepan bagi masyarakat untuk melawan krisis atau tekanan serta menstimulasi fase pemulihan yang lebih cepat.

Faktor selanjutnya adalah kohesi sosial. Terdapatnya kohesi sosial yang terjalin baik antarkelompok masyarakat membuat tekanan menjadi lebih mudah diserap, mengurangi dampak negatif dari krisis, serta menciptakan upaya mitigasi dampak krisis itu sendiri. Lalu, terdapatnya jaringan dan dukungan sosial yang baik akan menciptakan kerja sama yang kolektif di dalam suatu kelompok masyarakat. Kemampuan anggota masyarakat untuk mengatur perilaku individu lain di dalam komunitasnya terbukti dapat meningkatkan ketahanan kelompok dalam menghadapi krisis atau tekanan.

Faktor yang terakhir adalah koneksi yang kuat antara masyarakat-pemerintah dan pemerintah pusat-pemerintah lokal. Terdapatnya pola komunikasi baik akan menstimulasi terciptanya kepercayaan di antara masyarakat – pemerintah lokal – pemerintah pusat yang tentu akan meningkatkan kerjasama di antara ketiganya.

Selanjutnya, dalam kaitannya dengan krisis kesehatan seperti pandemi Covid-19 yang sedang hangat-hangatnya terjadi, terdapat beberapa faktor utama yang sekiranya mempengaruhi tingkat resiliensi suatu kota. Yang pertama adalah alur komunikasi yang terdapat di dalam jaringan sosial masyarakat. Jika jaringan sosial masyarakat memiliki cakupan yang luas dan disertai dengan sistem komunikasi yang baik, tidak terkecuali komunikasi dua arah masyarakat kepada sistem politik, maka informasi akan mengalir dengan cepat. Selanjutnya hal tersebut akan menciptakan tindakan-tindakan yang mengedepankan kepentingan publik demi meminimalkan jumlah pasien terdampak pandemi.

Sebaliknya, jika jaringan sosial masyarakat cenderung kecil dan terisolasi, maka arus informasi akan jauh lebih lambat. Informasi kepada masyarakat yang terisolasi mungkin tidak akan diterima karena dianggap berasal dari pihak yang bertanggung jawab (pemerintah) atas kondisi lingkungan mereka yang buruk. Longstaff dan Yang (2008) menggambarkan peran kepercayaan dan transparansi dalam komunikasi selama bencana pandemi adalah sebuah hal yang sangat fundamental.

Dalam sebuah laporan yang berjudul “Pandemic Preparedness: The Need for a Public Health, Not Law Enforcement/National Security, Approach” disebutkan bahwa pengambilan keputusan oleh pemerintah selama masa pandemi harus didasari oleh prinsip keadilan dan transparansi. Prinsip keadilan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan kesehatan serta distribusi yang merata untuk setiap individu. Sedangkan transparansi berkaitan dengan komunikasi yang terbuka dan akurat mengenai informasi pandemi.

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi resiliensi kota di masa pandemi adalah kesiapan pelayanan kesehatan yang disediakan, baik oleh pihak pemerintah maupun swasta. Faktor tersebut juga berkaitan dengan tersedianya tenaga medis yang mumpuni, tentu saja dengan kesiapan jasmani maupun rohani. Pemerintah harus dapat memastikan terjaminnya kesejahteraan dan kesehatan para tenaga medis selama menangani pasien di masa pandemi ini.

Dari paparan singkat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat faktor-faktor penting yang menstimulasi kemampuan suatu kota untuk beresiliensi. Kendati demikian, dua faktor utama yang mau tidak mau harus dipenuhi dan diusahakan oleh seluruh pihak di masa pandemi ini adalah adanya alur komunikasi yang baik dan transparan sehingga terciptanya kepercayaan antar pihak serta tersedianya fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang mumpuni sehingga penanggulangan pandemi bisa berjalan maksimal.

Lebih lanjut dalam jurnalnya, Wallace dan Wallace (2008) mengemukakan hal-hal yang dapat meningkatkan resiliensi suatu kota, antara lain:

  • Menerapkan teknik dan strategi untuk menguatkan ikatan sosial yang lemah antarmasyarakat;
  • Mendorong adanya integrasi antargolongan sosial – ekonomi di dalam suatu lingkungan;
  • Menyediakan fasilitas kesehatan dan tenaga medis dengan jumlah yang mencukupi, baik yang dikelola oleh negara maupun oleh swasta;
  • Memastikan tersedianya pelayanan yang mencukupi untuk masyarakat marginal perkotaan.

Pergerakan Masyarakat Peningkat Resiliensi

Terkadang, upaya yang dilakukan pemerintah dan negara belum dapat memenuhi kriteria resiliensi sehingga menyebabkan lambatnya proses pemulihan sebuah kota setelah terdampak krisis. Tak jarang, pergerakan dan perjuangan justru muncul dari masyarakat sipil itu sendiri sebagai upaya untuk beradaptasi, bangkit, dan pulih.

Seperti contoh yang terjadi di Iran. Menjadi salah satu epicenter pandemi Covid-19 pada Maret 2020, memberikan dampak yang sangat dahsyat bagi masyarakat Iran. Hal tersebut diperparah dengan tersumbatnya aliran informasi yang akurat dari pemerintah kepada masyarakat tentang penyebaran Covid-19 di negara yang kaya akan minyak dan gas bumi tersebut. Jengah dengan sistem komunikasi yang tidak dapat dipercaya, masyarakat Iran akhirnya membentuk sebuah gerakan resistensi yang mereka sebut dengan “grassroots broadcasting”. Masyarakat menyebarkan informasi mengenai wabah coronavirus dan saling mengingatkan satu sama lain melalui platform pengirim pesan seperti WhatsApp, Telegram, dan Viber, serta beberapa situs media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Facebook. Hal-hal yang tidak dapat pemerintah sajikan di media, seperti kondisi faktual di rumah sakit dan informasi terkait seberapa membahayakannya virus ini, dibagikan langsung oleh dokter dan perawat dalam bentuk rekaman suara dan video.

Jenis pergerakan lainnya yang terdapat di Iran adalah adanya inisiatif dari beberapa perusahaan untuk memproduksi alat kesehatan berupa masker dan disinfektan untuk didistribusikan kepada fasilitas kesehatan dan masyarakat. Untuk dapat melakukan hal tersebut, perusahaan harus menghentikan pekerjaan reguler mereka sementara waktu. Hal tersebut menjadi sebuah solusi dari absennya kemampuan pemerintah untuk menyediakan fasilitas kesehatan bagi masyarakatnya.  

Saat ini, dunia sedang mengalami krisis pangan karena panjangnya rantai suplai dari produsen ke konsumen. Pada hari-hari biasa, hal tersebut tentu tidak menjadi masalah. Namun setelah mewabahnya Covid-19, banyak kebijakan yang mendistraksi panjangnya rantai suplai tersebut seperti kebijakan lockdown dan lain sebagainya. 

Bentuk pergerakan lainnya yang datang dari masyarakat adalah upaya untuk memperpendek rantai suplai pangan dari produsen ke konsumen. Masyarakat menyadari bahwa untuk bertahan hidup, mereka tidak dapat mengandalkan distribusi bahan pangan dengan alur yang panjang. Pergerakan tersebut diinisiasi oleh Community Supported Agriculture (CSA). CSA merupakan sebuah sistem yang menghubungkan produsen dan konsumen pangan untuk dapat berinteraksi lebih dekat dengan cara memperbolehkan konsumen untuk berlangganan kepada salah satu kelompok produsen. CSA mengubah sistem pemesanan dan pembayaran menjadi online untuk meminimalisir kontak antarmanusia. Pada masa pandemi ini, petani yang tergabung ke dalam CSA akan mengantarkan pesanan sekelompok konsumen pada satu titik lokasi, untuk selanjutnya diambil dan didistribusikan kembali oleh perwakilan konsumen tersebut kepada setiap anggota. Hal tersebut menjadi opsi yang masuk akal dibanding konsumen harus antre dan berdesak-desakan di pasar untuk membeli hasil pangan dari CSA seperti yang biasa mereka lakukan. Sistem seperti ini sudah diterapkan di beberapa negara, salah satunya adalah Spanyol.

Contoh lain pergerakan sosial masyarakat dalam rangka meningkatkan resiliensi kota datang dari India. Skenario lockdown yang dipilih oleh pemerintah India menyisakan banyak konflik di dalamnya. Banyak buruh migran di Delhi berusaha melarikan diri ke luar kota. Lockdown juga membuat buruh migran dan keluarganya kehabisan bahan pangan. Akibatnya banyak protes yang terjadi akibat ketidakmampuan pemerintah memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk menyiasati hal tersebut, gabungan tokoh masyarakat di Delhi melakukan dua aksi pergerakan sosial. Yang pertama adalah membentuk asosiasi yang terdiri dari LSM dan relawan individu untuk fokus berkoordinasi dengan pemerintah lokal dalam membentuk jaringan sosial yang dapat dengan cepat mendistribusikan bahan pangan kepada masyarakat miskin yang terisolasi. Sedangkan gerakan yang kedua adalah berusaha mengumpulkan data kolektif melalui grup WhatsApp, Facebook, dan website terkait suplai pangan, untuk kemudian melakukan distribusi informasi kepada masyarakat.  

Dari beberapa cerita mengenai pergerakan masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19 di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat berperan penting dalam mewujudkan kota dengan resiliensi yang baik. Absennya peran pemerintah, secara wajar akan menstimulasi pergerakan masyarakat untuk dapat bertahan hidup di tengah situasi yang tidak menentu ini.

Menerka “The New Normal” Pascapandemi

Oleh: Annabel Noor Asyah, S.T., M.Sc.

Mungkin sudah banyak yang menyadari bahwa mewabahnya coronavirus mengantarkan kita pada kebiasaan-kebiasaan yang tidak pernah terpikir sebelumnya. Bagi sebagian individu, bekerja dari rumah adalah perilaku baru yang terasa aneh belakangan ini. Bagi sebagian lainnya, berbelanja online menjadi gaya hidup paling anyar yang mau tidak mau harus dilakukan. Hal-hal baru tersebut menuntun kita kepada sebuah tanda tanya besar tentang dunia seperti apa yang akan kita tinggali setelah berakhirnya pandemi coronavirus. Beragam eksplanasi dan juga narasi seringkali menyebut istilah ‘the new normal’’ atau ‘the next normal’ untuk mendeskripsikan perubahan perilaku di masa mendatang ketika semua ini usai. Salah satunya adalah tulisan yang dipublikasikan oleh McKinsey & Company yang bertajuk The future is not what it used to be: Thoughts on the shape of the next normal. Sebagian besar tulisan ini menjelaskan tentang bagaimana seorang pemimpin bisnis harus memperhatikan tujuh elemen dalam upaya mengantisipasi ‘the next normal’ yang akan mereka hadapi. Memang tidak mudah bagi kita untuk memprediksi masa depan setelah terjadinya krisis, namun tentu kita dapat belajar dari pengalaman-pengalaman terdahulu untuk berpikir konstruktif tentang masa mendatang. Menarik untuk dibahas?

Semua Kembali ‘Berjarak’

Elemen pertama yang dibahas dalam tulisan ini adalah jarak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejak tahun 1990-an, pengembangan era digital di segala lini semakin pesat. Sistem web-based dan utilisasi teknologi komunikasi mulai dikedepankan. Hal tersebut berimplikasi pada banyak kegiatan komunikasi dan pekerjaan yang dapat dilakukan dengan mereduksi kedekatan fisik antara pelaku satu dan yang lainnya. Kecanggihan teknologi tersebut sedikit banyak mengubah posisi dan cara kita melakukan aktivitas sehari-hari. Terlebih di masa corona ketika semua elemen masyarakat dihimbau untuk menuntaskan pekerjaan ‘dari rumah saja’.

Perubahan yang paling terasa mungkin dirasakan oleh para pelajar dan pekerja kantoran. Ketika kebijakan social dan physical distancing diterapkan, dua kelompok masyarakat tersebut kehilangan peluang untuk berinteraksi dan bersosialisasi secara langsung. Kini, tergolong sulit bagi kita untuk menjadi saksi riuhnya bubaran anak sekolah di depan gerbang yang terkadang membuat macet jalanan. Atau pemandangan serius meeting dengan para eksekutif di bilik-bilik kantor di Sudirman. Sulit juga bagi kita untuk melihat sekelompok pertemanan duduk bersama di kedai kopi, atau sekadar memesan junk food untuk makan malam. Semua kebiasaan-kebiasaan tersebut tergantikan dengan pertemuan virtual melalui aplikasi panggilan video seperti Zoom, Google Meet, WhatsApp Video Call dan lain sebagainya.

Kini, mau tak mau orang tua turut andil dalam pembelajaran anaknya. Berkontribusi mengabadikan kegiatan pembelajaran di rumah untuk kemudian dibagikan kepada guru sebagai bukti bahwa sang anak telah belajar dengan baik selama sekolah diliburkan. Atau mahasiswa yang sekarang harus mencari koneksi wifi yang stabil agar dapat mengikuti kuliah online dari dosen dengan seksama. Pekerja kantoran dari Bogor juga tidak harus bangun subuh untuk mengejar kereta ke Jakarta. Mereka cukup menyiapkan laptop, jaringan internet, atasan kemeja yang rapi kalau-kalau leader di kantor mengundang virtual meeting.

Kebijakan terkait pencegahan dan penanggulangan Covid-19, seperti yang kita ketahui, memberikan dampak yang cukup signifikan bagi industri pariwisata. Tidak terpatok kepada pelaku industri saja, tetapi juga kepada para wisatawan. Himbauan untuk tetap di rumah membuat wisatawan membatalkan rencana liburan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Namun ternyata hal tersebut benar-benar membawa kita pada ‘the new normal’  ketika banyak platform menyediakan virtual tours, dimana wisatawan dapat pergi kemana saja yang ia mau hanya dengan bermodalkan duduk di depan laptop dan jaringan internet yang stabil. Situs-situs virtual tour seperti Google Arts & Culture atau Tour Creator dirancang untuk memudahkan para wisatawan melihat dunia luar tanpa harus beranjak dari rumah.

Contoh-contoh di atas membuat ruang publik kini tidak berfungsi seperti sedia kala. Kantung-kantung pertemuan baru hadir lewat teknologi. Membuat semuanya kembali ‘berjarak’ karena tidak ada lagi pertemuan tatap muka secara langsung di tempat dan waktu yang sama.

Resiliensi dan Efisiensi

Coronavirus tidak hanya mengubah perilaku dan kebiasaan masyarakat dalam berkumpul dan berserikat. Pandemi ini juga menghantam kestabilan ekonomi, baik makro maupun mikro. Efeknya, hampir bisa dirasakan seluruh elemen pekerja. Baik pelaku bisnis, pekerja kantoran maupun pekerja informal. Fakta tersebut sering dikaitkan dengan istilah resiliensi yang menuntun golongan pekerja kepada upaya efisiensi. Namun apakah yang sesungguhnya dimaksud dengan kedua hal tersebut?

Resiliensi memiliki definisi kemampuan sebuah individu atau kelompok untuk menyerap, beradaptasi serta bangkit kembali setelah mengalami sebuah tekanan atau krisis (Walace & Walace, 2008). Pada masa sulit seperti ini, kemampuan untuk beresiliensi adalah sebuah keharusan dan keniscayaan yang harus dimiliki oleh setiap individu terutama bagi golongan pekerja. 

Sudah banyak berita yang berlalu lalang berkaitan dengan pelaku bisnis yang harus gulung tikar sebagai efek samping dari Covid-19. Banyak pula cerita mengenai pengusaha yang harus merumahkan pegawainya karena keterbatasan biaya operasional. Untuk menghindari hal tersebut, adalah ‘the new normal’ bagi para pelaku usaha untuk dapat menemukan strategi resiliensi yang jitu. Pelaku usaha harus lebih responsif dalam menciptakan sistem kerja yang adaptif seperti memperbaharui SOP, merencanakan strategi efisiensi dan manajemen keuangan, serta tetap membuka peluang untuk berkolaborasi. 

Strategi responsif Covid-19 juga harus dipikirkan secara seksama oleh para pekerja formal, atau bahasa lebih sederhananya, pekerja kantoran. Kemungkinan terjadinya PHK akibat perusahaan gulung tikar bukanlah hal yang aneh saat ini. Dikutip dari Katadata.co.id, diketahui sudah sekitar 10 juta jiwa penduduk yang terkena PHK selama masa pandemi ini berlangsung. Upaya-upaya konkret untuk menyambung hidup harus segera terbayangkan dan terimplementasikan demi menjadi individu yang resilien. Hal tersebut dapat berupa pemanfaatan skill yang dimiliki sebagai peluang usaha. Para pekerja juga tetap harus terbuka pada peran penting teknologi dan komunikasi demi mencari peluang-peluang untuk bertahan hidup. Kolaborasi dan sikap kegotong-royongan  antar masyarakat juga tergolong sebagai strategi yang jitu di masa Covid-19 seperti ini. 

Lantas apakah yang dimaksud dengan upaya efisiensi? Efisiensi merupakan salah satu cara bagi para golongan pekerja untuk dapat mewujudkan resiliensi yang baik. Strategi efisiensi yang dapat dilakukan oleh pelaku bisnis adalah mereduksi biaya operasional dan memilah kembali prioritas pengeluaran agar kondisi finansial perusahaan tetaplah stabil. Perusahaan dapat melihat sisi positif dari kebijakan work from home yang mana tentu saja akan mereduksi biaya operasional kantor seperti berkurangnya tagihan listrik, air dan lain sebagainya. Perusahaan juga dapat menyiasati efisiensi dengan memperbaharui kontrak kerja para pegawai dan lain sebagainya. Untuk para pekerja kantoran, strategi efisiensi pengeluaran dapat dilakukan dengan menciptakan rencana finansial yang lebih matang untuk kedepannya. Reduksi pengeluaran untuk hal-hal tersier dapat diupayakan sesegera mungkin.  Jadi, adalah ‘the new normal’ bagi golongan pekerja saat ini untuk memikirkan strategi-strategi paling baik dan masuk akal untuk bertahan hidup di tengah ketidakpastian coronavirus. Golongan pekerja kini harus berpikir ekstra agar masuk ke dalam kategori kelompok dengan resiliensi yang baik, dan melakukan upaya efisiensi agar dapat bertahan dalam jangka panjang.

Munculnya Contact-Free Economy

Terdapat tiga bidang yang mengalami titik balik saat pandemi covid-19 terjadi. Ketiga bidang tersebut adalah perdagangan digital (e-commerce), telemedicine, dan otomatisasi. Menyeruaknya coronavirus telah menghadirkan kebiasaan baru dalam kehidupan bermasyarakat, yakni berbelanja secara online. Sebagai contoh, di Tiongkok telah terjadi peningkatan jumlah pelaku belanja online dengan spesifikasi individu di atas 36 tahun, berasal dari kawasan yang tergolong kecil dan tidak terlalu maju. Kecenderungan tersebut memperlihatkan tren belanja online yang terus berkembang hingga ke wilayah nonperkotaan.

Selanjutnya terdapat pula peningkatan angka pengguna yang signifikan dalam bidang telemedicine, bidang di mana pasien dapat melakukan konsultasi dan pembelian obat-obatan secara online. Teladoc Health, penyedia jasa telemedicine terbesar di Amerika Serikat, melaporkan terdapat kenaikan jumlah pengguna sebesar 50% per akhir Maret 2020. Begitu pula pada bidang otomatisasi yang sudah duluan populer sebelum adanya COVID-19. 

Pada intinya, ‘the new normal’ yang membawa kita pada era contact-free economy akan menitikberatkan pada pola interaksi jual beli melalui teknologi. Kontak langsung antara penjual dan pembeli ditiadakan dan digantikan oleh kolom percakapan di layar ponsel. Hal tersebut mungkin memudahkan bagi sebagian pihak, namun tidak demikian bagi pelaku usaha UMKM yang kemampuan utilisasi teknologinya belum semahir kelompok lain. Untuk itu ‘the new normal’ dalam hal contact-free economy harus diiringi dengan kebijakan pemerintah yang tetap mendorong eksistensi UMKM. Kebijakan tersebut dapat berupa kemudahan dalam pendistribusian produk bagi pelaku UMKM atau dengan pelatihan utilisasi market-place.

Intervensi Pemerintah di Bidang Ekonomi

Seperti yang sudah dibahas di bagian-bagian sebelumnya, bahwa wabah coronavirus ini sudah pasti akan berdampak pada kondisi perekonomian global. Untuk itu intervensi pemerintah di bidang ekonomi adalah satu hal yang harus dipikirkan dengan matang dan rasional. 

Dilansir dari foreignpolicy.com, dikatakan bahwa sistem ekonomi yang harus dibangun oleh pemimpin-pemimpin dunia adalah sistem ekonomi yang berjangka panjang, tangguh dan lebih peka terhadap fakta bahwa globalisasi ekonomi merupakan hal yang jauh lebih penting daripada globalisasi politik. Setelah Covid-19, negara-negara di dunia harus berupaya mewujudkan keseimbangan dalam dua hal. Yang pertama  dalam mengambil keuntungan dari ekosistem global. Yang kedua, dalam mengupayakan kemandirian yang mereka miliki. Ketahanan bencana tidak bisa lepas dari isu keterbukaan ekonomi karena bencana semakin banyak bersifat transnasional. Pemerintah perlu meninjau kembali proses birokrasi yang dikeluhkan terlalu panjang dan menghabiskan banyak waktu. 

Intervensi pemerintah setelah coronavirus kemungkinan juga akan mempengaruhi kinerja bank pusat di masing-masing negara. Bank pusat akan berperan sebagai garda terdepan dalam menghadapi krisis ekonomi dan keuangan. Hal tersebut tentu saja menjadi beban tersendiri bagi bank pusat untuk memastikan kestabilan ekonomi di suatu negara. Pemerintah negara-negara di dunia hendaknya juga mengkaji ulang kebijakan terkait jaminan kesehatan demi mewujudkan masyarakat dengan resiliensi baik.

Pengawasan untuk Bisnis

Sebelum coronavirus menyerang, banyak perusahaan-perusahaan besar yang berkomitmen untuk mengubah prioritas bisnis mereka. Dari sekadar mencari profit sebanyak-banyaknya, kini perusahaan besar memiliki konsiderasi untuk lebih berinvestasi kepada pegawainya dan mendukung masyarakat luas melalui program-program sosial. Hal tersebut bermula dari sebuah ide besar bertajuk “triple bottom line” — profit, people, and planet.  Seiring berjalannya waktu, hal tersebut sudah tergolong mainstream. Setiap perusahaan memiliki tanggung jawab sosial sebagai dana investasinya.  

Berangkat dari banyaknya bisnis yang beroperasi dengan menggunakan dana publik, membuat pengawasan semakin diperketat pada masa ini. Akan terjadi perubahan dampak yang signifikan antara hubungan pemerintah dengan bisnis dan juga hubungan bisnis dengan masyarakat. Akan hadir banyak regulasi yang berkaitan dengan sumberdaya domestik dan keamanan bekerja. Sebagaimana coronavirus mempengaruhi kewaspadaan dalam hal fraktur sosial, maka pelaku bisnis diharapkan menjadi bagian yang turut andil untuk mencari solusi jangka panjang melalui kegiatan-kegiatan sosial yang mereka lakukan. Pelaku bisnis perlu untuk memikirkan visi dan misi sosial mereka kedepannya sebagai langkah strategis ketika Covid-19 ini berakhir.

Perubahan pada Struktur Industri, Perilaku Konsumen, Posisi Pasar, dan Ketertarikan Sektor

Coronavirus yang menjangkit bumi berbulan-bulan ini tentu akan membawa perubahan pada banyak industri di dunia. Krisis yang terjadi akan mempengaruhi perubahan pada struktur industri, perilaku konsumen, kondisi pasar dan daya tarik dari tiap sektor. 

Salah satu pertanyaan utama yang akan dihadapi oleh pelaku bisnis adalah apakah industri mereka akan dapat bangkit dan kembali seperti sedia kala atau terjangkit dampak negatif yang berkepanjangan? Bagi mereka yang tidak resilien tentu akan sulit untuk bangkit setelah pandemi COVID-19. Sebagai contoh, sektor otomotif yang mengandalkan rantai suplai global. Industri tersebut akan berada di bawah tekanan, sehingga mau tidak mau harus mengubah struktur industri mereka untuk dapat bertahan. 

Selanjutnya berkaitan dengan perilaku konsumen, akan terdapat perubahan yang disebabkan oleh kebijakan social distancing. Perubahan tersebut terkait dengan kesehatan dan privasi dari konsumen itu sendiri. Sebagai contoh, akan terjadi peningkatan kewaspadaan masyarakat dalam hal kesehatan, sehingga muncul keinginan untuk dapat hidup lebih sehat. Masyarakat akan cenderung mengkonsumsi bahan makanan organik dan melakukan olahraga dalam rangka mewujudkannya. Perubahan seperti ini dapat menjadi perubahan jangka panjang. 

Berkaitan dengan perubahan kondisi pasar, kita dapat mengambil contoh dari kebiasaan-kebiasaan konsumsi setiap generasi yang mengalami perubahan cukup signifikan. Sebagai contoh, untuk kaum milenial dan Gen Z, atau mereka yang lahir antara tahun 1980-2012, krisis ini menggambarkan disrupsi terbesar yang pernah mereka hadapi. Kebiasaan mereka dapat berubah secara drastis dan hal tersebut merupakan hal sulit untuk diprediksi. Sebelum adanya Covid-19, mungkin para generasi milenial gemar menjelajahi tempat-tempat wisata baru yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Namun kini, hal tersebut menjadi sulit bahkan hampir tidak mungkin untuk dilakukan. Hal tersebut membuat kondisi pasar di sektor pariwisata dan pelayanan menjadi tidak kondusif. Pelaku bisnis perlu memutar otak demi keberlangsungan bisnis ke depannya.  

Daftar pertanyaan tentang bagaimana konsumen berperilaku setelah COVID-19 akan menjadi daftar yang panjang dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi. Dalam konteks ini, adalah sangat mungkin bagi banyak institusi untuk menemukan cara baru untuk berkolaborasi, melakukan penyesuaian regulasi atau hal lainnya yang dapat membuat perusahaan-perusahaan beker jasama dalam rangka menghadapi krisis.

Menemukan Jalan Keluarnya

Di sisi lain, munculnya coronavirus dapat pula memberikan dampak positif pada beberapa aspek. Yang pertama berkaitan dengan bagaimana manusia berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Setiap individu, komunitas, pelaku bisnis, dan pemerintah berusaha menemukan cara baru untuk terkoneksi satu sama lain. Selanjutnya, dalam bidang bisnis, banyak yang sudah belajar bagaimana menjalankan bisnisnya dari jarak jauh dan dengan kecepatan dan ketangkasan yang lebih tinggi. Praktik tersebut dapat berlangsung seterusnya dan menciptakan manajemen yang lebih baik dan sumber daya yang lebih fleksibel.

Kemudian, pemimpin bisnis saat ini memiliki insting tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan di luar kebiasaan lama perusahaan mereka. Yang terakhir, urgensi untuk menanggulangi COVID-19 juga mendorong adanya inovasi dalam bidang bioteknologi, pengembangan vaksin, dan regulasi yang mengatur pengembangan obat-obatan sehingga tindakan medis dapat segera dilakukan dengan cepat. Di banyak negara, sistem kesehatan telah mengalami reformasi ke arah yang lebih baik.

Suatu kemungkinan terkait ‘the next normal’ adalah keputusan yang dibuat selama dan setelah krisis untuk menanggulangi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang lambat, ketidaksetaraan yang meningkat, birokrasi pemerintah yang rumit, dan batasan-batasan yang tidak fleksibel. Atau dapat menjadi keputusan selama krisis yang dapat meningkatkan inovasi dan produktivitas, industri yang memiliki resiliensi, smart government dalam seluruh tingkatan, dan kembali terkoneksi dan bersinerginya dunia.

Daftar Pustaka

Sneader, K & Singhal, S. 2020. The future is not what it used to be: Thoughts on the shape of the next normal. MdKinsey & Company.  

CIPS Indonesia. 2020. Indonesia dan Kebijakan Keterbukaan Ekonomi Pasca Pandemi Covid-19. The Center for Indonesia Policy Studies. 

Stiglitz, J.E et.al. 2020. How the Economy Will Look After the Coronavirus Pandemic. Foreign Policy. 

Yunianto, T.K. 2020. Kadin Pantau Pengangguran Tembus 10 Juta Orang Imbas Pandemi Corona. https://katadata.co.id/berita/2020/05/08/kadin-pantau-pengangguran-tembus-10-juta-orang-imbas-pandemi-corona. Kata Data.

das_sudipto_rooftop_organic_farming

Pengembangan Urban Farming: Kesempatan Masyarakat Kota Untuk Berdaya di Masa Corona

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Semakin hari, semakin banyak narasi yang menyuarakan potensi merosotnya ketahanan pangan sebagai dampak dari pandemi yang tengah berlangsung saat ini. Intinya, kewaspadaan dan upaya preventif harus segera dipikirkan dan diimplementasikan, jika tidak mau terjerumus ke dalam krisis pangan yang berkepanjangan.  Hal tersebut menjadi masuk akal mengingat pola produksi dan distribusi pangan menjadi terganggu.  Kebijakan-kebijakan dalam rangka memutus mata rantai penyebaran virus corona, seperti pembatasan sosial dan lockdown berpotensi menyebabkan kelangkaan bahan pangan akibat akses produksi dan distribusi yang dilimitasi. Keresahan tersebut tidak hanya menjadi konsiderasi nasional, melainkan juga global, seiring terbitnya pernyataan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang memberikan peringatan terkait kelangkaan dan darurat pangan di tengah pandemi ini.

Jika para petani di desa mengalami degradasi penghasilan akibat menurunnya produksi bahan pangan, maka para konsumen di kawasan perkotaan kian was-was karena berkurangnya pasokan pangan untuk mencukupi kebutuhan mereka.  Walaupun pemerintah pusat sudah mengatakan bahwa stok pangan di Indonesia aman, paling tidak hingga bulan Agustus, faktor-faktor penghambat keberhasilan panen juga tetap harus dipertimbangkan. Disamping itu, solusi yang inovatif juga perlu diciptakan agar dampak COVID-19 dalam bidang ketahanan pangan dapat diminimalisir. Salah satu alternatif yang sering disebut adalah pengembangan urban farming.

Kegiatan Urban Farming di Atap Bangunan
Sumber: Internet, 2020

Praktik Urban Farming Sebagai Solusi

Urban farming sendiri memiliki definisi sebagai kegiatan pertumbuhan, pengolahan, dan distribusi pangan serta produk lainnya melalui budidaya tanaman dan peternakan yang intensif di perkotaan dan daerah sekitarnya (FAO, 2008; Urban Agriculture Commitee of the CFSC, 2003). Beberapa tahun ke belakang, Urban farming kian populer di Indonesia. Tren tersebut dipicu munculnya kesadaran masyarakat perkotaan tentang gaya hidup sehat dengan mengkonsumsi hasil tanam organik yang diproduksi sendiri. Tidak sedikit pula anak muda yang melihat urban farming sebagai potensi bisnis. Pemerintah level lokal pun saat ini tengah berlomba-lomba mengembangkan proses pertanian kota tersebut, salah satunya adalah pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mencantumkan kegiatan urban farming di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Tahun 2013-2017.

Banyak yang berpendapat, bahwa masa corona menjadi masa dimana banyak kesempatan terbuka bagi semua orang. Kesempatan tersebut dapat didefinisikan ke dalam banyak hal, salah satunya adalah kesempatan mengembangkan pertanian perkotaan. Sebenarnya, sudah lama urban farming digadang-gadang sebagai suatu keniscayaan yang mau tidak mau dilakukan oleh masyarakat kota dalam rangka bertahan hidup. Berdasarkan data yang dirilis oleh PBB, pada tahun 2020 lebih dari 2/3 populasi dunia akan tinggal di kawasan perkotaan. Urban agriculture akan menjadi kunci utama yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Narasinya, urban farming dapat memproduksi 180 juta ton makanan per-tahun atau sekitar 10% dari total produksi pangan. Kini, urgensi pengembangan urban farming semakin terlihat jelas di tengah kecarut-marutan COVID-19. Ketika sisi produksi tanaman pangan tidak menentu, akses distribusi terganggu dan ancaman kelangkaan kian menyerbu. Urban farming menjadi solusi yang memberdayakan masyarakat kota. 

Kegiatan bercocok tanam di kawasan perkotaan bagi sebagian orang memang terkesan aneh, namun sebetulnya, kegiatan ini memiliki ragam manfaat terutama pada masa-masa sulit seperti saat ini. Yang pertama, Urban farming dapat meminimalisir dampak krisis pangan apabila dilaksanakan secara masif dengan mengedepankan gerakan akar rumput pada setiap lingkungan. Urban farming sejatinya dapat dilakukan secara individual maupun komunal. Hal tersebut bergantung pada visi dan misi yang ingin dicapai dalam penyelenggaraannya. Skala pelayanan dan jangka waktu kebutuhan harus didefinisikan di awal sebelum kegiatan pertanian kota tersebut dikembangkan. Pada masa corona ini, pengembangan komunal dengan skala pelayanan lingkungan dirasa tepat untuk dilakukan.

Manfaat yang kedua, seperti yang kita ketahui pandemi COVID-19 juga menggerus kondisi perekonomian secara global. Hal tersebut berdampak pada meroketnya harga-harga menurunnya daya beli masyarakat terhadap barang-barang yang beredar luas di pasaran. Ditambah lagi dengan panic buying yang cukup meresahkan masyarakat. Dengan mengembangkan urban farming seperti menanam tanaman pangan atau berternak, masyarakat dapat menyimpan uang mereka dengan tidak membeli kebutuhan pokok dan mensubtitusi konsumsi dari hasil panen mereka. Memang hasil panen tidak dapat dinikmati dalam waktu singkat, namun paling tidak masyarakat dapat melakukan antisipasi sedini mungkin sehingga hasilnya dapat segera dituai di kemudian hari.

Manfaat ketiga, kegiatan urban farming dapat mereduksi tingkat stress yang dialami oleh masyarakat perkotaan ketika masa pandemi ini berlangsung. Efek samping dari COVID-19 seperti adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pegawai yang di rumahnya, atau bisnis yang tidak lancar tentu akan berdampak kepada kesehatan mental sebagian orang. Urban farming dapat menjadi salah satu opsi alternatif untuk meminimalisir dampak psikis yang dihasilkan oleh wabah ini.

Namun demikian, kendala-kendala dalam penyelenggaran urban farming perlu ditemukenali dan dicarikan solusinya. Salah satu permasalahan fundamental yang dapat menghambat keberhasilan urban farming adalah keterbatasan lahan jika ingin dikembangkan secara komunal. Intervensi pemerintah dalam menyediakan lahan sangat diperlukan dalam hal ini. Pendistribusian bibit juga perlu diselami lebih dalam skemanya agar kegiatan urban farming dapat berjalan dengan lancar. Ditambah, masih minimnya pengetahuan masyarakat kota terkait tata cara bercocok tanam di iklim perkotaan. Untuk itu perlu adanya upaya-upaya lebih lanjut agar pengembangan urban farming dapat diselenggerakan sebagaimana mestinya.

Daftar Pustaka

Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2020. Urban ffod systems and COVID-19: The role of cities and local government in responding to the emergency.

Ridhoi, M.A. 2020. Pasokan Pangan Dunia Terguncang Covid-19, Bagaimana di Indonesia?. https://katadata.co.id/berita/2020/04/06/pasokan-pangan-dunia-terguncang-covid-19-bagaimana-di-indonesia. Diakses pada Rabu, 29 April 2020.

Hakim, R.N. 2020. Pemerintah Sebut Stok Pangan di Masa Pandemi Covid-19 Aman Hingga 4 Bulan. https://nasional.kompas.com/read/2020/04/13/17045731/pemerintah-sebut-stok-pangan-di-masa-pandemi-covid-19-aman-hingga-4-bulan. Diakses pada Rabu. 29 April 2020.

Cotroneo, C. 2020. Urban farms are thriving amid the pandemic. https://www.mnn.com/your-home/organic-farming-gardening/stories/urban-farms-CSAs-thriving-coronavirus-pandemic. Diakses pada Kamis, 30 April 2020.

Chandran, R. 2020. Grow your own: Urban Farming is flourishing during the coronavirus lockdowns. https://www.weforum.org/agenda/2020/04/grow-your-own-urban-farming-flourishes-in-coronavirus-lockdowns/. Diakses pada Kamis 30 April 2020.

   

Efektivitas Pembatasan Kegiatan Ekonomi pada masa PSBB

Oleh Galuh Shita Ayu Bidari, S.T.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta telah dimulai sejak pertengahan April 2020. Berkaitan dengan ditetapkannya hal tersebut, maka masyarakat kini tak lagi dapat berkegiatan secara bebas kecuali terdapat hal-hal yang mendesak. Hal ini juga berlaku bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya. Pembatasan aktivitas ekonomi dinilai akan memberikan banyak pengaruh yang signifikan terhadap kesuksesan pengurangan penyebaran covid-19. Pasalnya, sebagai ibukota negara yang juga menjadi pusat pergerakan kegiatan nasional, DKI Jakarta mampu mengundang ribuan komuter dari berbagai daerah setiap harinya sehingga dikhawatirkan akan semakin memperluas penyebaran covid-19 ke berbagai daerah. Pembatasan kegiatan ekonomi merupakan upaya pencegahan di hulu, yang perlahan akan berimbas pada pengurangan aktivitas di sektor transportasi sebagai hilir. Adapun aturan terkait pembatasan usaha selama status PSBB ditetapkan adalah dengan melarang seluruh kegiatan usaha, kecuali kegiatan usaha yang berada pada sektor  kesehatan; bahan pangan; energi; komunikasi dan teknologi informasi; keuangan; logistik; perhotelan; konstruksi; industri strategis; pelayanan dasar, utilitas publik, dan industri yang ditetapkan sebagai obyek vital nasional dan obyek tertentu; serta kebutuhan sehari-hari.

Namun, upaya pembatasan kegiatan ekonomi di DKI Jakarta dinilai belum sepenuhnya berhasil. Masih banyak terdapat perusahaan besar yang tetap melakukan aktivitas dikarenakan telah mengantongi izin dari Kemenperin. Hal ini tentu cukup disayangkan mengingat penyebaran covid-19 terjadi begitu cepat dan langkah koordinasi dengan segala pihak sangat diperlukan dalam setiap pengambilan keputusan.

Dilansir dari kompas.com (19 April 2020), Pemprov DKI Jakarta telah melakukan sidak terhadap sejumlah perusahaan dan melakukan beberapa tindakan terhadap perusahaan tersebut. Hasilnya sebanyak 25 perusahaan terpaksa ditutup karena menyalahi aturan berkegiatan selama PSBB dan terdapat 190 perusahaan lainnya yang diberikan peringatan dikarenakan sejumlah perusahaan tersebut masuk ke dalam jenis usaha yang diperbolehkan selama PSBB atau perusahaan yang mengantongi izin Kemenperin. Di sisi lain, keresahan tentu melanda para pengusaha, terlebih yang tidak masuk ke dalam jenis usaha prioritas, untuk dapat menekan biaya produksi yang rutin dikeluarkan setiap bulannya demi tetap menjaga kestabilan serta bertahan dari ancaman collapse.

Pembatasan kegiatan usaha tidak sepenuhnya dapat diterapkan, terlebih terhadap sektor usaha yang dikecualikan ataupun terhadap perusahaan yang masih mengantongi izin dari Kemenperin, sehingga fenomena ini masih mampu menghasilkan bangkitan perjalanan dengan intensitas yang tergolong masif. Meskipun relatif sepi, namun kemacetan masih dapat ditemui di sejumlah titik. Nyatanya, semenjak PSBB dimulai, pihak kepolisian telah menindak puluhan ribu pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat terkait aturan berkendara. Masyarakat tentunya menghindari penggunaan transportasi publik untuk meminimalisir infeksi terhadap covid-19 dan merubah cara bertransportasi dengan menggunakan kendaraan pribadi. Di samping adanya himbauan Pemerintah untuk mengurangi bahkan membatasi beberapa moda transportasi yang beroperasi di DKI Jakarta. Akibatnya, terdapat penurunan jumlah penumpang pada beberapa layanan transportasi dan ruas jalan kembali dipenuhi oleh beragam kendaraan pribadi.

Pemeriksaan Atribut Berkendara pada masa PSBB
Foto: CNBC Indonesia

Dilansir dari okezone.com (19 April 2020), hingga tanggal 17 April 2020 terdapat 12.606 pengendara yang melanggar ketentuan berkendara di Jakarta. Sebagian besar jenis pelanggaran yang dilakukan adalah lalainya penggunaan masker ketika berkendara dan jenis pelanggaran lainnya adalah berupa kapasitas penumpang yang melebihi jumlah maksimal serta pengendara motor yang berboncengan namun tidak memiliki alamat KTP yang sama.

Penetapan PSBB banyak menginspirasi dan mendorong masyarakat untuk melakukan pembatasan aktivitas secara mandiri pada wilayah tempat tinggalnya. Banyak ditemui perumahan yang menutup akses terhadap pengunjung luar demi menjaga kesehatan para penghuninya. Umumnya Namun hal ini rupanya memiliki imbas negatif. Penutupan akses jalan pada sebagian kecil wilayah akan memaksa pengguna jalan untuk mencari jalan alternatif lain untuk menuju lokasi tujuan. Jalan yang awalnya merupakan jalan tikus, menjadi tidak bebas dilewati dan menyebabkan penumpukkan pada ruas jalan lainnya atau bahkan pada jalan utama. Yang terjadi kemudian adalah kemacetan yang tentu saja bertentangan dengan tujuan PSBB yang seharusnya.

Di sisi lain, masih terdampak kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya memahami aturan yang berlaku selama masa PSBB. Tak hanya peraturan, bahkan masih terdapat kelompok masyarakat yang masih tidak mengetahui bahaya serta dampak yang dapat ditimbulkan dari wabah covid-19, sehingga upaya penerapan PSBB menjadi lebih sulit dilakukan. Akibatnya, petugas yang bertanggung jawab harus bekerja lebih giat untuk menyisir dan menertibkan masyarakat yang masih beraktivitas. Di Jakarta sendiri, masih banyak ditemui masyarakat yang beraktivitas tanpa mengindahkan kesehatannya. Hampir di seluruh ruas jalan arteri di DKI Jakarta, masyarakat sangat tertib dalam menaati aturan PSBB, namun saat memasuki jalan kolektor hingga jalan lingkungan, pelanggaran masih umum ditemui. Namun tak menampik bahwa tak jarang pula ditemui kerumunan orang pada tempat umum, seperti pasar atau pertokoan.

Sisi lainnya, pembatasan kegiatan ekonomi tentunya menimbulkan dampak negatif berupa pengurangan pemasukan yang akan diterima setiap bulannya. Dengan begitu, risiko kriminalitas pun akan meningkat. Hal ini terbukti dengan mulai maraknya pemberitaan mengenai kasus pembegalan yang melanda beberapa wilayah terutama menjelang malam hari. Dilansir dari mediaindonesia.com (20 April 2020), tingkat kriminalitas meningkat sebanyak 11,8% selama masa pandemi covid-19 berlangsung. Hal ini tentu meresahkan, terlebih bagi masyarakat yang terpaksa harus tetap bekerja di luar rumah untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, pendapatan semakin tak pasti sementara kejahatan terus mengintai tanpa ampun.

Melihat keseluruhan fenomena ini, lantas efektifkah upaya PSBB yang sedang digaungkan oleh Pemerintah?

Bahan Bacaan

Rizky, Muhamad. 2020. “Fakta 10 Hari Pelaksanaan PSBB di Jakarta, Apa Hasilnya?”. Diperoleh 20 April 2020 dari https://megapolitan.okezone.com/read/2020/04/19/338/2201452/fakta-10-hari-pelaksanaan-psbb-di-jakarta-apa-hasilnya?page=1

Sari, Nursita. 2020. “UPDATE PSBB di Jakarta, 25 Perusahaan Ditutup, 190 Lainnya Diberi Peringatan”. Diperoleh 20 April 2020 dari https://megapolitan.kompas.com/read/2020/04/19/18003231/update-psbb-di-jakarta-25-perusahaan-ditutup-190-lainnya-diberi

Wijayaatmaja, Yakub Pryatama. 2020. “Polri: Kriminalitas Naik 11,8% Selama PSBB”. Diperoleh 21 April 2020 dari https://mediaindonesia.com/read/detail/305796-polri-kriminalitas-naik-118-selama-psbb

Covid-19 dan Pengaruhnya Terhadap Berbagai Sektor di Indonesia

Oleh Galuh Shita Ayu Bidari, S.T.

Nasib Pekerja Informal dalam Belenggu COVID-19

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Pandemi COVID-19 yang sedang ganas-ganasnya menginfeksi manusia memang menyisakan ketakutan dan keresahan bagi seluruh lapisan masyarakat di dunia. Bagi Antonio Guterres, sekretaris jenderal PBB, COVID-19 merupakan musuh bersama yang tidak memandang etnis, kebangsaan, kepercayaan, serta kelompok tertentu. “It attacks all, relentlessly”, katanya. Dampak dari pandemi COVID-19 juga dirasakan oleh masyarakat perkotaan dengan tingkat kerentanan sosial-ekonomi yang tinggi, yaitu para pekerja informal. Kebijakan-kebijakan terkait pencegahan dampak COVID-19, seperti social distancing, physical distancing serta lockdown sedikit banyak mempengaruhi kelangsungan hidup mereka. Pada artikel kali ini akan dibahas mengenai karakteristik pekerja informal dan dampak yang mereka rasakan ketika pandemi COVID-19 berlangsung, serta intervensi-intervensi pemerintah yang sebaiknya dilakukan demi kelangsungan kehidupan mereka.  

Pekerja Informal

Apakah yang dimaksud dengan pekerja informal?

Berdasarkan definisi yang dipaparkan dalam  International Conference on Labour Statisticians (ICLS) ke-17, pekerja informal didefinisikan sebagai pekerja dengan hubungan kerja yang tidak tercakup dalam perundang-undangan atau dalam praktiknya, tidak tunduk pada undang-undang tenaga kerja, pajak, pendapatan, perlindungan sosial atau hak tertentu untuk jaminan kerja tertentu.  Lantas, siapa sajakah yang termasuk ke dalam kelompok tersebut?

Banyak sekali pekerja yang dapat dikelompokkan ke dalam kelas pekerja informal, apalagi di negera-negara Asia seperti halnya di Indonesia. Mereka sering kita temui di kehidupan sehari-hari dan biasanya membantu kita untuk memenuhi berbagai kebutuhan esensial. Tukang nasi goreng keliling, pengemudi ojek pengkolan,  penjual cendol di tempat wisata, ibu kantin di SD negeri, serta berbagai pekerjaan sejenis yang tidak terikat pada perundang-undangan ketenagakerjaan.

Kondisinya saat ini, jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 55,72% dari total angkatan kerja di Indonesia. Kepala Badan Pusat Statistik RI (BPS) mengatakan bahwa terdapat 70,49 juta pekerja informal di Indonesia per Agustus 2019.  Dari data tersebut dapat dibayangkan bagaimana sektor informal dapat menyokong kelangsungan hidup banyak orang di Indonesia. Namun saat pandemi COVID-19 menyerang Indonesia, nasib para pekerja informal seakan terombang-ambing dalam badai ketidakpastian ekonomi dan juga kesehatan.

Pekerja Informal
Sumber: Dokumentasi Penulis, 2018

Dikutip dari podcast yang dipublikasikan oleh sebuah organisasi bernama Woman in Informal Employment: Globalizing and Organizing (WIEGO), tentang proteksi sosial terhadap pekerja informal, disebutkan bahwa pekerja informal khususnya di negara-negara berkembang memiliki risiko ganda yang lebih berat ketimbang para pekerja formal, yakni risiko kesehatan dan risiko ekonomi. Pasalnya sebagian besar pekerja informal tidak memiliki jaminan berupa asuransi kesehatan. Hal tersebut menjadikan mereka kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan. Ditambah dengan adanya kecenderungan bahwa banyak pekerja informal yang tinggal di hunian dimana fasilitas dan utilitasnya belum memadai, terutama ketersediaan air bersihnya. Hal tersebut akan berpengaruh pada minimnya upaya preventif COVID-19 yang dapat mereka lakukan seperti mencuci tangan secara rutin. Pekerja informal juga memliki peluang yang lebih besar untuk terpapar karena pada umumnya mereka bekerja di tempat umum dimana banyak interaksi sosial di dalamnya. Selain itu, minimnya pengetahuan tentang COVID-19 yang disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap informasi, juga menjadi faktor yang turut andil dalam terpaparnya pekerja informal terhadap virus dengan tingkat kematian global sebsar 5,7% ini.

Kemudian, dalam kaitannya dengan risiko ekonomi, dampak yang dirasakan oleh pekerja informal akan lebih terasa ketika kebijakan-kebijakan preventif dan penanggulangan COVID-19 telah ditetapkan oleh pemerintah. Dimulai dari kebijakan social distancing dimana masyarakat dihimbau untuk menghindari kerumunan, tentu saja pedagang gorengan dan juru potret keliling di tempat wisata kehilangan peluang usahanya karena masyarakat enggan bepergian ke tempat ramai. Begitu pula saat kebijakan physical distancing mulai dianjurkan, saat budaya work from home rajin diimplementasikan, semakin sedikit pengemudi ojek yang akan mengantarkan pekerja formal dari stasiun menuju gerbang kantornya. Dapat dibayangkan bagaimana kelangsungan hidup mereka saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai diterapkan. Bagaimana mereka berjuang untuk bertahan hidup, padahal selama ini mereka mencari rezeki sependek untuk esok hari? Bagaimana caranya mereka tetap mendapatkan pemasukan walaupun ladang rezeki mereka kian sepi seiring pergantian hari? Adakah solusi yang mendekati tepat agar kelompok rentan ini perlahan bisa lepas dari belenggu COVID-19?

Pentingnya Intervensi Pemerintah

Masih dari podcast yang sama, disebutkan bahwa intervensi pemerintah merupakan sebuah kunci utama dalam penanganan krisis yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19, baik krisis ekonomi maupun krisis kesehatan. Kendati demikian, masih banyak pemerintah di dunia yang belum mengedepankan kebijakan pencegahan dan penanggulangan COVID-19 bagi pekerja informal.  

Terdapat beberapa hal yang sebaiknya dilakukan pemerintah pada masa pandemi, yang tentu saja akan optimal dengan adanya kerjasama pusat dan lokal yang bersinergi. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

  • Memberikan jaminan kesehatan yang universal bagi masyarakat, khususnya mereka pekerja harian dan informal. Sedikitnya pekerja informal yang memiliki asuransi kesehatan membuat mereka kesulitan mengakses fasilitas kesehatan karena kemampuan finansial mereka yang terbatas. Hendaknya pemerintah dapat membuat sebuah intervensi kebijakan, dimana semua lapisan masyarakat dapat dengan mudah menikmati fasilitas kesehatan tanpa adanya administrasi yang rumit dan berbelit.  
  • Menyebarluaskan informasi terkait pandemi COVID-19 kepada masyarakat, khususnya para pekerja informal yang memiliki keterbatasan akses terhadap sumber informasi. Tingkat pendidikan pekerja informal yang pada umumnya belum maksimal, mengakibatkan tingkat literasi dan kemampuan mencerna informasi yang masih kurang baik. Untuk itu perlu adanya inovasi dan strategi agar pemerintah bisa melakukan transfer knowledge kepada masyarakat informal dengan mudah dan dapat dipahami.  
  • Mendistribusikan alat kesehatan, bahan makanan dan utilisasi hand washing station di tempat tinggal mereka. Hal ini sangat penting untuk dilakukan pada tahap awal pandemi demi meminimalisir jumlah kasus positif dari kelompok pekerja informal.
  • Memberikan bantuan uang tunai darurat yang berkelanjutan selama pandemi berlangsung kepada pekerja informal, mengingat mereka tidak dapat bekerja dengan optimal. Bantuan uang tunai dirasa sangat praktikal dan efektif dalam rangka mendukung kondisi finansial para pekerja informal.
  • Memberikan kemudahan berupa penangguhan uang sewa bagi mereka yang tinggal di rumah sewa, dan juga memberikan penangguhan pinjaman bagi mereka yang memiliki pinjaman ke bank atau ke skema kredit lainnya. Hal tersebut dirasa perlu untuk dipertimbangkan karena pada umumnya, mereka adalah pekerja harian yang tidak memiliki penghasilan yang pasti. Pada masa wabah seperti ini, secara otomatis penghasilan mereka akan terhenti sebagai akibat dari intervensi kebijakan seperti social distancing dan lockdown. Sedangkan tagihan mereka? Akan terus berjalan.  
  • Menjalin kerjasama dengan Community Based Organization (CBO) atau organisasi berbasis masyarakat, untuk berdiskusi dalam rangka mempelajari apa yang masyarakat informal butuhkan. Dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang bottom-up agar intervensi pemerintah bagi masyarakat informal di masa-masa seperti ini menjadi efektif, efisien dan tepat guna.
  • Melakukan isolasi sosial pada kawasan permukiman pekerja informal selama beberapa waktu demi pencegahan penularan pandemi COVID-19 yang lebih masif lagi.
  • Melakukan peninjauan kembali kebijakan yang telah diberlakukan selang beberapa waktu untuk melihat apakah kebijakan dan intervensi yang sudah diberlakukan dapat bekerja secara efektif dan efisien bagi masyarakat informal. Jika iya, intervensi dapat dilanjutkan. Namun jika tidak, perlu adanya inovasi dan strategi baru yang lebih tepat guna.  

Tentu saja, dalam menerapkan upaya-upaya tersebut di atas, akan banyak tantangan dan kesulitan yang akan dihadapi. Baik dari sisi pemerintah maupun dari sisi masyarakat. Untuk itu, koordinasi yang baik antara lapisan tingkat pemerintah, serta pendistribusian informasi yang tepat kepada masyarakat informal sangat diperlukan untuk meminimalisir kemungkinan timbulnya friksi antar golongan.

Daftar Pustaka

Department of Global Communications of The United Nations. 2020. UN Working to Ensure Vulnerable Groups Not Left Behind in COVID-19 Response. https://www.un.org/en/un-coronavirus-communications-team/un-working-ensure-vulnerable-groups-not-left-behind-covid-19

The Regional Risk Communication and Community Engagement (RCCE). 2020. COVID-19: How to Include Marginalized and Vulnerable People in Risk Communication and Community Engagement.https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/COVID19_CommunityEngagement_130320.pdf

Informal Economy Podcast: Social Protection. 2020. Woman in Informal Employment: Globalizing and Organizing (WIEGO). https://soundcloud.com/informaleconomypodcastsp/13-protecting-informal-workers-amid-the-global-pandemic-covid-19-edition

Ketika Pandemik COVID-19 Mempengaruhi Fungsi Ekonomi Perkotaan

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc dan Mohamad Arszandi Pratama S.T; M.Sc

Pandemik COVID-19 yang diakibatkan oleh Corona Virus mulai mendunia sejak akhir tahun 2019 lalu. Kini pandemik tersebut telah memasuki fase baru di Indonesia. Hingga tanggal 18 Maret 2020, tercatat sebanyak 227 orang positif terjangkit virus dengan proses transmisi yang sangat cepat ini. COVID-19 yang berasal dari kota Wuhan,Cina bukanlah tergolong ke dalam penyakit yang mematikan bila dibandingkan dengan Ebola yang memiliki prosentase kematian hingga 60%, dan juga SARS dan MERS yang peluang kematiannya sama-sama mencapai angka 30%. Menurut data yang dilansir dari statnews.com, mortality rate dari COVID-19 berada pada angka 1,4% saja. Kendati demikian, proses transmisi virus yang sangat cepat menjadikan COVID-19 sebagai tantangan global yang harus diantisipasi penyebarannya.

Yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana virus Corona tersebut dapat berpindah dari sebuah kota yang terletak di Global South ke lebih 100 negara lainnya di dunia? Dan bagaimana pandemik tersebut mempengaruhi fungsi ekonomi perkotaan secara keseluruhan? Hal-hal apa saja yang harus diperhatikan oleh seluruh stakeholders untuk mengantisipasi hal tersebut? 

Peta Penyebaran Virus COVID-19 di Seluruh Dunia
Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 2020

Transmigrasi COVID-19

Penyebaran virus Corona yang menyebabkan penyakit COVID-19 ini tidak hanya menyerang manusia secara spesifik, namun juga mempengaruhi fungsi ekonomi kawasan perkotaan secara general. Penanggulangan risiko dari sudut pandang perkotaan merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Berdasarkan berita yang beredar disebutkan bahwa virus ini berasal dari sebuah pasar hewan yang terletak di Kota Wuhan yang teridentifikasi pada Desember 2019. Penyebaran virus Corona terjadi karena adanya kontak dengan individu yang terinfeksi melalui tetesan cairan yang berasal dari mulut atau hidung. Lantas bagaimanakah COVID-19 ini bisa melakuan perjalanan keliling dunia?

Jawaban dari pertanyaan di atas tak lain dan tak bukan karena adanya mobilitas dan pergerakan dari individu yang terinfeksi virus Corona itu sendiri. Dengan kata lain, sistem transportasi penumpang baik pesawat, kereta maupun kendaraan bermotor lainnya merupakan alat bantu berpindahnya COVID-19 dari satu negara ke negara lain. Sebagai contoh penyebaran COVID-19 di Jerman bertransmisi melalui seorang pekerja pabrik mobil di Wuhan yang harus mengikuti pelatihan di sebuah kota tersier di Jerman, yaitu Bavaria. Setelah itu, penyebaran virus tersebut menjadi sangat cepat ke seluruh penjuru negeri bahkan ke penjuru Eropa. Begitu pula proses penyebaran virus Corona di Indonesia yang pertama kali disebabkan oleh WNI yang melakukan kontak langsung dengan warga negara Jepang yang terjangkit COVID-19.  

Dari contoh proses transmigrasi virus di atas dapat dilihat bahwa fungsi sosialisasi yang banyak terjadi di kawasan perkotaan dengan alat bantu moda transportasi dapat memperburuk kemungkinan menyebarnya pandemik tersebut. Lantas apa sajakah aspek perkotaan yang harus diperhatikan selama pandemik ini berlangsung?

Ketahanan Pangan dan Perputaran Barang

Hal pertama yang harus diperhatikan ketika sebuah pandemik terjadi adalah ketahanan pangan dan perputaran barang di kawasan perkotaan. Akan terjadi kecenderungan kelangkaan bahan makanan yang dipengaruhi oleh sisi produksi dan konsumsinya. Dari sisi produksi, tanaman hasil pangan akan sulit untuk didistribusikan kepada konsumen mengingat akses transportasi akan dibatasi pada masa pandemik. Para petani juga akan sulit untuk mengakses bibit tanaman dan keperluan tani lainnya dikarenakan kondisi ekonomi yang sedang tidak stabil sehingga harga-harga tentu akan melonjak. Keadaan akan semakin memburuk apabila sumber daya manusianya telah terpapar langsung oleh pandemik tersebut.

Sulitnya proses produksi tentu akan mengarah pada kondisi kelangkaan sehingga konsumen kesulitan kebutuhan pangan mereka. Terbatasnya jumlah hasil pangan mengakibatkan masyarakat semakin kompetitif. Dampak dari hal tersebut adalah kenaikan harga pangan, sehingga tidak semua kelas masyarakat dapat menikmatinya. Pada masa penyebaran virus Corona ini, hal tersebut juga berlaku untuk barang lainnya seperti alat kesehatan berupa masker dan obat-obatan.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah hendaknya mengeluarkan kebijakan terkait limitasi pembelian hasil pangan dan alat kesehatan dalam masa tertentu sehingga semua lapisan masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhan primer mereka.

Ki-Ka: Kelangkaan Bahan Makanan di Supermarket dan Masyarakat Antre Beli Masker
Sumber: Vox.com dan Yahoo.com, 2020

Sistem Pergerakan Masyarakat

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa salah satu alat bantu peningkatan status COVID-19 dari epidemik menjadi pandemik adalah moda transportasi lintas negara seperti pesawat, kereta dan bus yang mengakomodir pergerakan carrier atau individu yang terdampak virus Corona. Hal tersebut juga berlaku untuk region wilayah yang lebih kecil seperti kawasan perkotaan.

Ilustrasi Penyebaran COVID-19 melalui Transportasi Umum di Hunan, Cina
Sumber: Transformative Urban Mobility Initiative, 2020

Untuk menghindari penyebaran virus yang lebih masif lagi, pemerintah perlu untuk membuat kebijakan dan menghimbau masyarakat kota untuk tidak menggunakan transportasi publik dan meminimalisir pergerakan selama masa pandemik masih berlangsung. Kebijakan dapat berupa keputusan lockdown atau kunci sementara (kuncitara) kawasan perkotaan. Kuncitara adalah upaya untuk mengendalikan penularan virus melalui karantina kota dengan menutup sementara kegiatan bisnis tertentu dan melarang adanya pertemuan atau acara yang sifatnya besar. Kuncitara yang diterapkan bersama upaya social distancing  dirasa cukup efektif ketika diterapkan di Cina karena terbukti menurunkan jumlah pasien terinfeksi sebesar 98,9% dan juga menurunkan prosentase angka kematian hingga 99,3% sejak kuncitara diberlakukan di Cina pada 23 Februari 2020.  Bentuk lain dari kuncitara adalah pemberlakukan work from home (WFH), sehingga masyarakat bisa meminimalisir pergerakan rutin menuju tempat bekerja setiap harinya.

Solusi penanganan lainnya yang dapat dijadikan pertimbangan adalah pengalihan anggaran Public Service Obligation (PSO) di bidang transportasi ke bidang kesehatan. Strategi pengalihan dapat dilakukan dengan menaikan tarif transportasi publik dan jalan tol hingga meniadakan pajak rumah sakit. Harapannya strategi tersebut dapat meningkatkan keengganan masyarakat untuk melakukan mobilitas namun di sisi lain dapat meningkatkan subsidi di bidang kesehatan.

Upaya Social Distancing pada Moda Transportasi Publik
Sumber: Transformative Urban Mobility Initiative dan Gie Wahyudi, 2020

Aktivitas Ekonomi

Munculnya pandemik pada suatu kawasan tentu akan mempengaruhi aktivitas perekonomian yang ada di dalamnya. Apalagi ketika sebuah kota sudah memberlakukan kuncitara. Dilansir dari The Economic Times, adapun dampak ekonomi yang disebabkan oleh merebaknya COVID-19 adalah:

  • Hilangnya aktivitas ekonomi yang terjadi karena berlakunya kuncitara;
  • Pendapatan masyarakat akan hilang seiring dengan hilangnya pekerjaan  mereka, terutama bagi pekerja tidak tetap dan informal;
  • Global Shutdown yang akan berdampak pada aktivitas ekspor; dan
  • Munculnya gangguan produksi dari berbagai sektor. 

Selain itu, berdasarkan informasi dari Center for Strategic & International Studies, disebutkan bahwa sektor yang paling terdampak dari munculnya COVID-19 adalah sektor pariwisata dan industri pendukungnya, dimana akan terjadi reduksi jumlah wisatawan akibat upaya kuncitara dan social distancing. Selain sektor pariwisata, sektor lainnya yang mungkin akan terdampak adalah sektor energi dimana seiring dengan terjadinya perlambatan ekonomi maka permintaan akan listrik juga akan menurun. Banyaknya kantor yang memberlakukan work from home juga berpengaruh pada sektor tersebut karena kawasan perkantoran tidak membutuhkan tenaga listrik lagi. Kondisi-kondisi tersebut tentu akan mempengaruhi keinginan investor untuk berinvestasi sebelum keadaan ekonomi kembali stabil.

Belajar dari negara-negara seperti Cina dan Amerika Serikat, adapun hal-hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengurangi dampak ekonomi akibat pandemik adalah sebagai berikut:

  • Memberikan pinjaman dan/atau kelonggaran khusus dan/atau support finansial kepada perusahaan-perusahaan yang berpotensi mengalami kendala likuiditas seperti industri penerbangan;
  • Membebaskan pajak pertambahan nilai atau pajak penghasilan lainnya;
  • Memangkas kebijakan suku bunga berkaitan dengan kondisi darurat; dan
  • Melakukan koordinasi dengan bank regulator dan mendorong lembaga keuangan untuk memenuhi kebutuhan keuangan pelanggan dan anggota yang terdampak pandemik.

Langkah-langkah tersebut di atas dapat diambil untuk mendukung kondisi keuangan dan mencegah guncangan ekonomi yang lebih destruktif dalam menghadapi krisis pandemik ke depannya.

Bandara Canada dan Tempat Wisata di Itali yang Sepi
Sumber: CBC News dan CBN News, 2020

Setelah membahas tentang proses transmigrasi virus, dampak yang ditimbulkan serta penanganan-penanganan yang harus segera dilakukan maka dapat disepakati bahwa pemerintah dari segala lapisan harus mempertimbangkan kebijakan yang mampu memperkecil risiko penyebaran virus agar ke depannya fungsi ekonomi perkotaan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Diperlukan pula adanya inovasi-inovasi pengembangan infrastruktur digital yang memudahkan pertukaran informasi dan pergerakan selama masa karantina pandemik berlangsung. Selain itu kesadaran dan keinginan masyarakat untuk menjaga kesehatan dan terhindar dari penyakit juga perlu ditumbuhkan sesegera mungkin.

Daftar Pustaka

Klaus, I. 2020. Pandemics Are Also an Urban Planning Problem. City Lab. https://www.citylab.com/design/2020/03/coronavirus-urban-planning-global-cities-infectious-disease/607603/

Keil R, et al. 2020. Outbreaks Like Corona Virus Start in and Spread From the Edges of Cities. The Conversation. https://www.citylab.com/design/2020/03/coronavirus-urban-planning-global-cities-infectious-disease/607603/

Begley, S. 2020. Lower Death Rate Estimates fOr Coronavirus, Especially for Non-Eldery, Provide Glimmer of Hope. Statnew. https://www.citylab.com/design/2020/03/coronavirus-urban-planning-global-cities-infectious-disease/607603/

CBC News. 2020. Vancouver International Airport Increases Screening of Overseas Arrivals as One of Canada’s 4 Entry Points. https://www.citylab.com/design/2020/03/coronavirus-urban-planning-global-cities-infectious-disease/607603/

Komarudin. 2020. Deretan Destinasi Wisata Populer di Italia Nyaris Kosong Tanpa Pengunjung. https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4195080/deretan-destinasi-wisata-populer-di-italia-nyaris-kosong-tanpa-pengunjung

Bureau, ET. 2020. COVID-19 Impact: How to Shield This Economy. https://economictimes.indiatimes.com/news/economy/indicators/covid-19-impact-how-to-shield-the-economy/articleshow/74682449.cms

Centers for Disease Control and Prevention

Transformative Urban Mobility Initiative

Upaya Utilisasi Ruang Terbuka yang Optimal Bagi Masyarakat Perkotaan

Oleh Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Ruang terbuka merupakan sebuah istilah yang tidak asing lagi di telinga masyarakat perkotaan. Sering digaungkan di berbagai media, membuat utilisasi ruang terbuka kerap menjadi sorotan publik. Tak jarang pengadaan ruang terbuka menemui kendala pada tahap inisial, seperti polemik perolehan lahan dan perencanaannya yang dinilai tidak mengikutsertakan kepentingan publik. Banyak pula penyediaan ruang terbuka yang dianggap kurang optimal baik dari segi finansial maupun dari sisi manfaat yang dihasilkan bagi masyarakat. Lantas, bagaimanakah kondisi ruang terbuka di kawasan perkotaan saat ini? Dan bagaimana mewujudkan utilisasi ruang terbuka perkotaan yang optimal dan tepat guna?  

Ruang Terbuka di Kawasan Perkotaan

Berdasarkan Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dalam Peraturan Menteri PU No. 05/PRT/M/2008, diketahui bahwa ruang terbuka memiliki definisi sebagai ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang terbuka itu sendiri kemudian diklasifikasikan kembali menjadi ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau.

Dalam penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan perkotaan, terdapat aturan mengenai prosentase RTH yang didasari oleh luas wilayah perkotaan secara keseluruhan, yaitu:

  • Ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH Privat;
  • Proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat; dan
  • Apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

Proporsi 30% tersebut ditetapkan sebagai jaminan keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hodrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.

Dengan adanya peraturan terkait prosentase penyediaan RTH tersebut, maka setiap kota seolah berlomba untuk mewujudkannya, walaupun realitanya, penyediaan ruang terbuka bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan. 

Permasalahan dalam Penyediaan Ruang Terbuka di Kawasan Perkotaan

Belum banyak kota di Indonesia yang mampu mewujudkan RTH dengan proporsi sebesar 30%. Saat ini, kota Balikpapan menjadi satu-satunya kota yang berhasil dengan prosentase RTH sekitar 37,396% dari total luas kota secara keseluruhan. Hal tersebut memperlihatkan betapa sulitnya penyediaan RTH yang ideal dapat dioptimalisasi pada kawasan perkotaan. Adapun yang menjadi kendala dalam penyediaan RTH adalah sebagai berikut:

  • Keterbatasan Lahan di Perkotaan

Sudah menjadi rahasia umum bahwa lahan perkotaan yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang terbuka kian terbatas jumlahnya seiring berjalannya waktu. Dampak pembangunan yang masif menyebabkan lahan-lahan di perkotaan dikembangkan sebagai pusat-pusat kegiatan berkepadatan tinggi dan kerap mengesampingkan keberadaan ruang terbuka. Hal tersebut, selain menjawab tantangan perkotaan juga dianggap lebih menguntungkan secara finansial ketimbang pengembangan lahan dengan kegiatan berkepadatan rendah, seperti ruang terbuka. Kalaupun tersedia lahan kosong di pusat perkotaan, dapat dipastikan memiliki nilai lahan yang sangat tinggi dan tidak sedikit yang sudah dikuasai oleh pihak-pihak tertentu.

  • Alokasi Pendanaan Pemerintah Kota yang Terbatas

Walaupun terdapat beberapa provinsi yang menaikkan APBDnya untuk kepentingan pengembangan ruang terbuka, seperti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, nyatanya masih banyak provinsi maupun kota yang belum terlalu aware mengenai manfaat yang dihasilkan oleh keberadaan ruang terbuka. Oleh karena itu, anggaran pendapatan belanja daerah lebih banyak dialokasikan kepada hal lain yang menjadikan penyediaan ruang terbuka sulit diwujudkan di kawasan perkotaan.   

  • Kapasitas Sumber Daya yang Belum Memadai

Selain terbatasnya ketersediaan lahan dan alokasi pendanaan, satu hal yang kerap menjadi bendera merah dalam penyediaan ruang terbuka adalah belum maksimalnya kapasitas sumber daya manusia yang mengawal pengembangan ruang terbuka itu sendiri. Penambahan personel yang berdaya dan memiliki kapabilitas untuk menangani penyediaan ruang terbuka menjadi urgensi tersendiri untuk tiap-tiap provinsi dan kota.

  • Kurangnya Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Ruang Terbuka

Sejatinya pengembangan ruang terbuka hendaknya mengacu pada kaidah-kaidah yang memberikan kebermanfaatan terhadap fungsi ekologis, estetis, sosial dan ekonomis kawasan perkotaan itu sendiri. Dalam mewujudkan itu semua, tentu saja dibutuhkan partisipasi masyarakat agar pengembangan ruang terbuka ke depannya dirasa tepat guna dan tepat sasaran. Saat ini, partisipasi publik dalam pengembangan ruang terbuka masih sangat minim. Hal tersebut ditandai dengan masih banyaknya penolakan-penolakan masyarakat terkait dengan pembebasan lahan untuk ruang terbuka. Hal tersebut tentu saja dapat diminimalisir dengan adanya pendekatan partisipasi publik sehingga sense of belonging masyarakat akan semakin kuat.

Jenis Pemanfaatan Ruang Terbuka yang Dibutuhkan Masyarakat di Kawasan Perkotaan

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5/PRT/M Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan diketahui terdapat beberapa jenis RTH yang dapat dikembangkan, di antaranya adalah:


Dari ke sepuluh jenis ruang terbuka tersebut, menarik untuk dibahas lebih lanjut tentang ruang terbuka seperti apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat di kawasan perkotaan? Berdasarkan hasil riset sederhana yang dilakukan oleh Lokalaras Indonesia Institute, diketahui bahwa 67% responden lebih menginginkan ruang terbuka berupa sarana olahraga ketimbang taman bermain ramah anak dan taman relaksasi. Sebanyak 91% dari responden juga mengatakan bahwa mereka merasa perlu adanya sarana olahraga berupa lapangan dan taman olahraga di dekat tempat tinggalnya.  Berangkat dari hasil riset tersebut dapat dilihat bahwa sarana olahraga di ruang terbuka berupa lapangan dan taman olahraga lebih menarik minat masyarakat ketimbang taman bermain dan relaksasi. Hal tersebut berjalan beriringan dengan tren hidup sehat yang sedang populer di kalangan masyarakat perkotaan. Seperti yang diketahui saat ini ruang terbuka di Jakarta seperti stadion Gelora Bung Karno dan Lapangan Banteng ramai dikunjungi warga yang hendak jogging atau hendak melakukan aktivitas olahraga lainnya seperti zumba, poundfit, dan cardio dance. Ruang-ruang olahraga juga dibutuhkan sebagai wadah pertemuan bagi komunitas-komunitas olahraga seperti komunitas sepeda, komunitas sepatu roda dan lain sebagainya.

Utilisasi Ruang Terbuka yang Optimal

Dengan melihat tren dan kecenderungan kebutuhan ruang terbuka bagi masyarakat perkotaan, dibutuhkan strategi utilisasi agar ruang terbuka dapat berfungsi secara optimal. Strategi-strategi tersebut meliputi:

  • Kesesuaian Peruntukan dengan Rencana Tata Ruang

Hal pertama yang harus dipastikan sebelum merencanakan utilisasi ruang terbuka adalah kesesuaian peruntukan dengan rencana tata ruang seperti RTRW Kota/ RTR Kawasan Perkotaan/ RDTR Kota/ RTR Kawasan Strategis Kota/ Rencana Induk RTH yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Hal tersebut harus dipastikan sebagai pintu pembuka kepastian dan keamanan hukum bagi penyelenggaraan ruang terbuka di kawasan perkotaan.

  • Mengikutsertakan Peran Masyarakat

Peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka merupakan upaya pelibatan masyarakat, swasta, lembaga badan hukum dan atau perseorangan baik pada tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Upaya ini dimaksdukan untuk menjamin hak masyarakat dan swasta untuk memberikan kesempatan akses dan mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang oleh masyarakat dan swasta dalam pengelolaan ruang terbuka, dengan prinsip:

  1. Menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam proses pembangunan ruang terbuka hijau;
  2. Memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses pembangunan ruang terbuka;
  3. Menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budayanya;
  4. Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika;
  5. Memperhatikan perkembangan teknologi dan bersikap profesial
  6. Sumber Pendanaan Alternatif

Terbatasnya APBD Provinsi untuk pengembangan ruang terbuka, menjadikan adanya alternatif pendanaan sebagai urgensi yang harus dipikirkan secara matang. Para pemangku kepentingan beserta dengan masyarakat dan swasta hendaknya bersama-sama mewujudkan skema pendanaan pengembangan ruang terbuka yang efektif, efisien serta tepat guna. Berbagai jenis alternatif pendanaan seperti pemanfaatan dana CSR, dana kontribusi perusahaan, dan crowd funding dapat dijadikan opsi untuk penyelenggaraan ruang terbuka. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, apakah kita sanggup mewujudkan ruang terbuka yang optimal?

Daftar Pustaka

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M.2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan perkotaan

Nugroho, M.L.E. 2014. Problematika Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Semarang. Universitas Diponegoro

Peningkatan Upaya Mitigasi di Musim Penghujan

Oleh : Galuh Shita Ayu Bidari, S.T

Sebagai negara yang berada di iklim tropis, Indonesia dianugerahi dua musim, yakni musim kemarau dan musim hujan. Saat ini, Indonesia sedang memasuki musim penghujan, yang umumnya dimulai pada bulan Juli hingga September. Dilansir dari laman BMKG, pada periode tahun 2019 hingga 2020, sebagian besar daerah di Indonesia akan memasuki puncak musim hujan pada awal tahun 2020 yaitu pada bulan januari.

Puncak Musim Hujan Periode 2019 – 2020

Musim hujan dengan intensitas yang tinggi seringkali tidak hanya menimbulkan genangan, namun juga banjir. Sehingga perlu untuk melakukan mitigasi banjir untuk meminimalisir dampak buruk yang terjadi. Bagi masyarakat yang tinggal di lokasi yang aman dari bencana banjir, tentu hal ini bukan menjadi ancaman yang besar. Namun bagi masyarakat yang tinggal di lokasi rawan bencana banjir, terdapat beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan sebelum bencana banjir melanda.

Dilansir dari The National Severe Storms Laboratory (NSSL), National Oceanic & Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat serta The Natural Resources Defense Council (NRDC), terdapat beberapa jenis banjir yang seringkali terjadi di berbagai belahan dunia, yaitu:

  1. Banjir sungai (river flood), terjadi ketika permukaan air naik di atas tepian sungai karena hujan yang berlebihan. Banjir jenis ini merupakan jenis banjir yang paling umum terjadi ketika badan air melebihi kapasitas yang dapat ditampungnya. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah banjir jenis ini adalah dengan memberikan penahan yang baik terutama pada area yang padat penduduk atau daerah yang datar.
  2. Banjir pantai (coastal flood), seringkali disebut dengan banjir rob atau banjir laut pasang yang disebabkan oleh pasang naik yang lebih tinggi dari rata-rata dan diperburuk curah hujan tinggi dan angin yang bertiup ke arah darat.
  3. Gelombang badai (storm surge), merupakan banjir yang disebabkan oleh kekuatan angina badai yang hebat, serta gelombang dan tekanan atmosfer yang rendah, sehingga terjadi kenaikan permukaan air yang tidak normal di daerah pantai.
  4. Banjir perkotaan (urban flood), merupakan banjir yang terjadi di daerah perkotaan. Banjir bandang, banjir pantai, dan banjir sungai dapat pula terjadi di daerah perkotaan, tetapi istilah ini merujuk secara khusus pada banjir yang terjadi di daerah berpenduduk padat ketika curah hujan (bukan genangan air) melebihi kapasitas.
  5. Banjir bandang (flash flood), merupakan banjir yang disebabkan oleh curah hujan yang deras dan tiba-tiba atau dalam waktu yang singkat, kadang terjadi ketika tanah tidak dapat menyerap air dengan optimal.

Idealnya, setiap orang harus mengetahui potensi bencana yang ada di sekitarnya. Bencana banjir merupakan bencana yang umumnya terjadi di Indonesia, hal ini dapat dibuktikan dengan data statistik tahunan BNPB (dilansir melalui website DIBI) yang menyatakan bahwa banjir masuk ke dalam 3 besar bencana yang kerapkali terjadi. Sehingga, pemahaman masyarakat terhadap bencana sangat diperlukan sebagai salah satu bentuk dari upaya mitigasi.

Mitigasi merupakan suatu rangkaian upaya yang dilakukan untuk meminimalisir risiko dan dampak bencana. Mitigasi dapat dilakukan secara perseorangan dalam bentuk pemahaman dan pengetahuan, secara berkelompok dalam bentuk pelatihan koordinasi penyelamatan diri saat terjadi bencana, maupun dalam kelompok besar/level instansi pemerintah seperti pembangunan infrastruktur maupun memberikan peningkatan kesadaran dan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana.

Mitigasi merupakan suatu tahapan penting dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap risiko bencana. Berdasarkan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Bagi masyarakat yang rentan terhadap banjir, sangat penting bagi mereka untuk bisa mempersiapkan diri dan lingkungannya. Sedangkan bagi masyarakat yang tinggal di daerah yang tidak terkena banjir, seperti pada daerah yang berada pada kontur yang tinggi, disarankan untuk tetap menjaga lingkungan sekitar agar tidak terjadi banjir.

Berdasarkan UU yang sama, kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi bencana dapat dilakukan melalui pelaksanaan penataan ruang; pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern. Secara umum, terdapat 2 jenis mitigasi, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non-struktural.

  • Mitigasi struktural, merupakan upaya untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana dengan cara rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Dalam menghadapi bencana banjir, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir risiko banjir, yakni:
  • Membersihkan saluran drainase dari sampah-sampah yang mengendap
  • Membangun tembok pertahanan ataupun tanggul
  • Meninggikan lantai rumah
  • Memperbanyak pohon
  • Menciptakan banyak kawasan terbuka hijau
  • Membuat lubang biopori
  • Mitigasi non-struktural. Berbeda dengan mitigasi struktural, mitigasi non-struktural merupakan upaya mengurangi dampak bencana yang mungkin terjadi melalui kebijakan atau peraturan tertentu. Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain:
  • Mengenali dan mempelajari penyebab banjir
  • Melakukan kegiatan pelatihan penanggulangan bencana
  • Memperbaiki sarana dan prasarana
  • Menyiapkan persediaan makanan dan logistik
  • Melakukan simulasi situasi darurat bencana

Berdasarkan definisi yang ada, mitigasi dilakukan sebelum bencana terjadi, dengan tujuan agar masyarakat dapat memiliki kesiapan yang optimal sehingga ketika bencana terjadi, masyarakat tidak mengalami kerugian yang tinggi, baik dari segi materi maupun non materi. Idealnya, setiap orang mengetahui dan memahami upaya-upaya mitigasi yang dapat dilakukan mulai dari tingkat kecil yakni keluarga hingga tingkat besar yakni kota/provinsi/bahkan negara sehingga ketika bencana terjadi, masyarakat sudah mengetahui apa yang harus dilakukan beserta peran apa yang diembannya. Dengan begitu, mimpi Indonesia menjadi tangguh bencana juga akan dapat terwujudkan.

Sumber Referensi :

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • Kompas.com. (2020, 3 Januari). Jenis-jenis Banjir. Diakses pada 16 Januari 2020, dari https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/03/090000369/jenis-jenis-banjir?page=all
  • Nrdc.org. (2019, 10 April). Flooding and Climate Change: Everything You Need to Know. Diakses pada 20 Januari 2020, dari https://www.nrdc.org/stories/flooding-and-climate-change-everything-you-need-know

Car Free Cities: Bagaimana Kota-Kota Dunia Memanjakan Lingkungan dan Kesehatan Masyarakatnya

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kendaraan pribadi merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan transportasi perkotaan. Namun demikian, dapat dipastikan bahwa keberadaan kendaraan pribadi berkontribusi secara signifikan menyumbang polusi udara, emisi gas rumah kaca, polusi suara, peningkatan temperatur udara perkotaan dan risiko terjadinya kecelakaan. Banyaknya jumlah kendaraan pribadi di kawasan perkotaan juga berkontribusi pada meningkatnya jumlah lahan yang digunakan untuk perparkiran, pembangunan jalan dan infrastruktur pendukung lainnya. Hal tersebut semakin memperkecil kemungkinan tersedianya ruang terbuka perkotaan berupa jalur pejalan kaki, jalur sepeda, dan taman yang bermanfaat bagi kesehatan mental dan fisik masyarakat kota. Berangkat dari urgensi-urgensi tersebut, saat ini para perencana kota sedang berlomba untuk mengembangkan konsep car free city demi menciptakan lingkungan perkotaan yang lebihh humanis dan sehat untuk ditinggali. Lantas apakah sebenarnya yang dimaksud dengan car free city itu sendiri?

Konsep Car Free Cities

Car Free City merupakan sebuah konsep dimana terdapat adanya larangan untuk melintas bagi kendaraan pribadi pada suatu area perkotaan. Larangan tersebut biasanya juga berlaku untuk kendaraan delivery service dan kendaraan pribadi masyarakat kota. Konsep tersebut merupakan bagian dari strategi push and pull untuk mendorong masyarakat menggunakan kendaraan umum dan juga sebagai inisiasi agar masyarakat dapat berpergian dengan menggunakan kendaran non-mesin seperti penggunaan sepeda sebagai moda transportasi utama.

Konsep car free city dapat juga didefinisikan sebagai upaya dari pemerintah untuk meningkatkan daya tarik dan memperkuat kondisi perekonomian dari pusat kota dengan cara mereduksi keberadaan tempat parkir dan jumlah kendaraan bermesin yang berlalu lalang serta mendorong  harmonisasi kota dalam hal pergerakan. Namun demikian, pengimplementasian konsep car free city pada sebuah area harus mendapatkan dukungan penuh dari pemangku kebijakan, baik dukungan administratif maupun dukungan politis karena berpotensi menyebabkan pro dan kontra dari masyarakat.

Penerapan Konsep Car Free-City pada Pusat Kota Melalui Strategi Push and Pull

Sumber: Topp and Pharoah, 1994

Manfaat Car Free Cities

Kebijakan bebas mobil pribadidisebut-sebut memiliki banyak manfaat di berbagai aspek perkotaan seperti lingkungan, kesehatan masyarakat serta perekonomian. Dilansir dari sebuah laman di website icebike.org, kebijakan car free memiliki 10 manfaat di antaranya:

  • Menumbuhkan Kebahagiaan. Dikatakan bahwa melakukan pergerakan dengan berjalan kaki dan bersepeda merupakan kegiatan yang lebih menyenangkan ketimbang mengendarai kendaraan (bermotor) pribadi. Seseorang merasa lebih senang dan bahagia setelah melakukan aktivitas fisik seperti berjalan dan bersepeda. Hal tersebut erat kaitannya dengan penurunan tingkat stress, gelisah dan depresi pada seseorang.
  • Meningkatkan Kesehatan. Dikatakan bahwa masyarakat yang berpergian dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda akan memiliki kesehatan fisik yang baik. Bersepeda dan berjalan kaki dapat mereduksi stress dan meningkatkan imunitas. Sebuah studi yang dilakukan oleh University of Georgia, juga mengatakan bahwa bersepeda dapat meningkatkan tenaga sebesar 20% dan dapat mengurangi gejala sakit kepala sebesar 65%.
  • Menciptakan Ikatan Sosial yang Baik. Dengan berjalan kaki dan bersepda, maka akan memberikan kesempatan untuk bersosialisasi dan menyapa masyarakat yang ditemui di sekitar. Hal tersebut akan sulit dilakukan ketika pergerakan dilakukan dengan kendaraan pribadi. Berjalan kaki dan bersepeda dapat membuat kita mengenal lingkungan masyarakat lebih baik lagi, memupuk ikatan sosial yang lebih dalam, mengindari terjadinya isolasi sosial dan membangun koneksi dan komunitas yang lebih kompak.
  • Melahirkan Inovasi “Green Markets”. Hadirnya tren berjalan kaki dan bersepeda tentu akan melahirkan peluang baru bagi perusahaan-perusahaan untuk dapat menawarkan produk dan jasa yang ramah lingkungan seperti bike dan scooter sharing. Perusahaan besar seperti Motivate dan B-Cycle telah berhasil menjadi dua perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan pesepeda dan telah beroperasi di 40 kota di Amerika Serikat. Diprediksi, jika tren car free terus berkembang ke depannya, akan lahir inovasi-inovasi baru yang menarget green markets di segala penjuru dunia.
  • Mengembangkan Potensi Bisnis Lokal. Saat ini, perencana kota di dunia sedang berlomba-lomba untuk mendesain jalan yang dilengkapi dengan jalur pesepeda. Hal tersebut ternyata menstimulus lahirnya bisnis lokal yang dikelola oleh masyarakat di sepanjang jalur pesepeda tersebut. Faktanya, setelah beroperasinya jalur sepeda di 9th Avenue, kota New York, para pengusaha lokal mengalami kenaikan penjualan sebesar 49%. Hal tersebut dinilai cukup tinggi bila dibandingkan dengan kota Manhattan yang hanya mengalami peningkatan sebesar 3%.
  • Meningkatkan Nilai Lokasi. Nilai properti akan meningkat jika lokasinya memiliki fasilitas pergerakan yang lengkap, dimana salah satu contohnya adalah jalur sepeda. Di kawasan Time Square, New York City, diketahui bahwa harga properti meningkat sekitar 71% pada tahun 2011 dimana terdapat jalur sepeda dan pejalan kaki di sekitarnya. Hal tersebut juga terjadi pada suatu blok di kawasan Indianapolis Cultural Trail setelah jalur kereta yang sudah tidak berfugsi dikonversikan menjadi jalur pesepeda dan pejalan kaki. Nilai properti pada kawasan tersebut meningkat sekitar 148% setelah tahap konstruksi.
  •  Jalan yang Aman Untuk Semua. Jumlah kendaraan bermotor yang terbatas dan terdapatnya jalur pesepeda tentu saja membuat para pejalan kaki dapat melakukan pergerakan dengan aman dan nyaman.
  • Mereduksi Kemacetan. Semakin banyak jalur sepeda, maka semakin sedikit jumlah kendaraan bermotor yang dapat melintasi suatu jalan tersebut. Para perencanaan kota di Austin menawarkan proposal untuk berinvestasi pada pembangunan jalur pesepeda untuk memberikan insentif bersepeda sebagai upaya untuk memberantas kemacetan dan polusi udara.
  • Mempengaruhi Perekonomian. Sebuah studi pada tahun 2015 menemukan bahwa mengendarai kendaraan pribadi di kota membutuhkan biaya enam kali lebih banyak ketimbang mengendarai sepeda. Studi tersebut juga mengatakan bahwa biaya memiliki kendaraan pribadi di masa depan  cenderung akan terus meningkat, dimana biaya bersepeda akan terus menurun.

Keterkaitan antara Perencanaan Kota, Transportasi, Lingkungan, Aktivitas Fisik dan Kesehatan

Sumber: Nieuwenhuijsen, 2016

Contoh Kota dengan Regulasi Car Free Cities

  • Bologna, Italia

Bologna merupakan ibukota dari sebuah provinsi di Italia bernama Emilia-Rogmana. Memiliki jumlah penduduk sekitar 400.000 jiwa pada tahun 1994, Bologna dikenal sebagai kota dengan kegiatan perdagangan dan jasa serta kegiatan pendidikannya. Percobaan pertama pemberlakuan konsep car free city di Bologn terjadi antara tahun 1972 dan 1982 yang berhasil mereduksi tingkat kemacetan kota hingga 17%. Urgensi untuk meningkatkan manfaat dari konsep car free city terjadi pada pertengahan 1980. Bologna membatasi akses kendaraan pribadi menuju pusat kota tua, membenahi manajemen perparkiran dan memperluas cakupan jalur pejalan kaki. Pembenahan sistem transportasi publik tidak hanya dilakukan pada pusat kota saja, melainkan di hampir semua rute dalam kota.

Zona pembatasan kendaraan pribadi pada pusat kota tua Bologna dipermanenkan sejak Juli 1989. Akses bagi kendaraan bermotor dilarang antara pukul 7 s/d 8 malam. Regulasi tersebut juga didukung oleh pembatasan lahan parkir. Hanya terdapat satu lahan parkir luas yang tersedia untuk masyarakat memarkirkan kendaraan dalam waktu yang lama. Terlepas dari kebijakan tersebut, penduduk setempat diperbolehkan memarkirkan kendaraannya menggunakan fasilitas 10.000 parkir on street yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka bermukim. Konsep yang diusung oleh Bologna tersebut menunjukan kesuksesan yang signifikan: Jumlah kendaraan yang masuk dan keluar kota tua Bologna berkurang sekitar 50%, dari 177.000 kendaraan per hari pada tahun 1981 menjadi 87.000 per hari pada tahun 1989. Pencapaian tersebut dapat terjadi tanpa adanya kemacetan di sekitar pusat kota tua. Arus lalu lintas juga semakin lancar dan transportasi publik memiliki waktu perjalanan yang singkat. Sebagian besar pengunjung menggunakan bus untuk mengakses kota tua (78%), hanya 11% yang menggunakan mobil dan 8% menggunakan sepeda ataupun sepeda motor.  

Pusat Kota Bologna
Berbagai Sumber, 2019
  • York, Inggris

Kota York di Inggris merupakan sebuah kota bersejarah yang dihuni oleh hampir 100.000 penduduk dan dikenal sebagai kota kereta api dimana terdapat museum kereta api nasional di dalamnya. Sejak pertengahan 1980, pemerintah York telah menaruh perhatian pada fakta terjadinya peningkatan jumlah kendaraan pada pusat kota medievalnya. Pada tahun 1988 terdapat proyeksi tingkat kemacetan yang menyebutkan bahwa pada tahun 2006 tingkat kemacetan di York akan meningkat sebesar 1/3 dari tahun 1988, kendati perkiraan dari badan nasional menyebutkan bahwa pertumbuhan lalu lintas bisa dua kali lipat dari jumlah tersebut. Upaya untuk megakomodasi pertumbuhan lalu lintas melalui pembangunan jalan raya dan fasilitas parkir tentu akan memperburuk kualitas dari pusat kota medieval York yang merupakan atraksi bisnis yang dipenuhi pengunjung.

Dilatarbelakangi hal tersebut, pemerintah kota York mengadopsi strategi trasnportasi baru untuk meningkatkan daya tarik pusat kota dengan mereduksi jumlah kendaraan bermotor pada pusat-pusat perbelanjaan. Adapun yang menjadi prioritas pengembangan kota York pada saat itu adalah sebagai berikut:

  • Ketersediaan jalur pejalan kaki
  • Kemudahan untuk penyandang disabilitas
  • Ketersediaan jalur sepeda
  • Keutamaan untuk pengguna transportasi publik
  • Ketersediaan akses untuk kegiatan komersil dan bisnis
  • Ketersediaan mobil untuk mengangkut pengunjung (shuttle bus)
  • Ketersediaan gerbong untuk mengangkut pengunjung
  • Ketersediaan mobil untuk pengunjung jangka panjang

Sejak tahun 1987, York telah berhasil mengelola jalur pedestrian terpanjang di Britania Raya yang terdiri dari 34 jalan dan koridor, dengan panjang 3,1 km di dalam 30 ha luasan pusat kota medieval York. Pelarangan kendaraan bermotor dilakukan setiap hari. Durasi pelarangan kendaraan bermotor terus meningkat seiring berjalannya waktu yaitu dari pukul 10.00 – 16.00 setiap harinya. Pengecualian diberlakukan untuk layanan emergency dan penduduk yang berkebutuhan khusus.

Pusat Kota York
Berbagai Sumber, 2019

Daftar Pustaka

Nieuwenhuijsen, M.J et.al. 2016. Car Free Cities: Pathway to Healthy Urban Living. Barcelona, Spanyol.

European Commission. 2016. Scice for Environment Policy, Car-Free Cities: Healthier Citizens.

Topp, H et.al. 1994. Car-Free City Centers. Technische Universitat Kalserslautern. Germany

Perry, R. 10 Reasons Why Cities Should Consider Going Car-Free. https://www.icebike.org/car-free-cities/

Waterfront City dan Upaya Penanggulangan Bencana

Oleh Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Sebagai negara maritim, keberadaan peradaban manusia yang dekat dengan sumber-sumber air seperti laut, sungai dan danau tidak dapat dipungkiri di Indonesia. Kendati demikian, hal tersebut seakan berjalan secara beriringan dengan risiko potensi bencana pesisir yang mengancam eksistensi masyarakat pesisir. Menyadari hal tersebut, konsep waterfront city sudah mulai digalakan sejak beberapa tahun terakhir di kota-kota pesisir di Indonesia. Lantas apakah yang dimaksud dengan konsep waterfront city? Dan bagaimana metode pencegahan risiko bencana yang tepat untuk dilakukan di kawasan waterfront city?

Definisi Konsep Waterfront City

Menurut Wen-Cheng Huang dkk (2014) dalam Notanubun (2017) disebutkan bahwa waterfront city adalah tempat lahirnya budaya dan perekonomian yang mana berawal dari berkembangnya permukiman maupun desa-desa di tepi air, yang berkembang menjadi jalur perdagangan. Sedangkan menurut Malone (2996), waterfront city adalah suatu daerah atau area yang terletak di dekat perbatasan dengan kawasan perairan dimana terdapat kegiatan dan aktivitas berupa ekonomi maupun sosial pada aera pertemuan tersebut.

Pengembangan waterfront city adalah sebagai suatu proses pengelolaan yang dapat menampung kegiatan ekonomi, sosial maupun fisik lingkungan pada kawasan tepian air dimana bentuk pengembangan pembangunan wajah kota berorientasi ke arah perairan (Wren, 1983). Selama proses pengembangan konsep waterfornt city, pemerintah daerah perlu mengambil peran utama selama perencanaan dan admministrasi. Sebuah rencana yang komprehensif biasanya terdiri dari kegiatan pembangunan, yang masing-masing mungkin memiliki perkembangan dan metode perencanaan tersendiri (Huang et al, 2008). Walaupun sintesa pustaka dari konsep waterfront city secara umum menitikberatkan pada aktivitas sosial dan ekonomi yang berada pada kawasan pesisir, perlu dipertimbangkan juga potensi terjadinya bencana alam yang dapat melumpuhkan aktivitas-aktivitas tersebut. Oleh karena itu perlu dikenali macam-macam jenis bencana pesisir, kebutuhan data, serta konsep pencegahan bencana pesisir itu sendiri.  

Jenis-Jenis Bencana Pesisir

Sebagai negara maritim, keberadaan peradaban manusia yang dekat dengan sumber-sumber air seperti laut, sungai dan danau tidak dapat dipungkiri di Indonesia. Kendati demikian, hal tersebut seakan berjalan secara beriringan dengan risiko potensi bencana pesisir yang mengancam eksistensi masyarakat pesisir. Menyadari hal tersebut, konsep waterfront city sudah mulai digalakan sejak beberapa tahun terakhir di kota-kota pesisir di Indonesia. Lantas apakah yang dimaksud dengan konsep waterfront city? Dan bagaimana metode pencegahan risiko bencana yang tepat untuk dilakukan di kawasan waterfront city?

Definisi Konsep Waterfront City

Menurut Wen-Cheng Huang dkk (2014) dalam Notanubun (2017) disebutkan bahwa waterfront city adalah tempat lahirnya budaya dan perekonomian yang mana berawal dari berkembangnya permukiman maupun desa-desa di tepi air, yang berkembang menjadi jalur perdagangan. Sedangkan menurut Malone (2996), waterfront city adalah suatu daerah atau area yang terletak di dekat perbatasan dengan kawasan perairan dimana terdapat kegiatan dan aktivitas berupa ekonomi maupun sosial pada aera pertemuan tersebut.

Pengembangan waterfront city adalah sebagai suatu proses pengelolaan yang dapat menampung kegiatan ekonomi, sosial maupun fisik lingkungan pada kawasan tepian air dimana bentuk pengembangan pembangunan wajah kota berorientasi ke arah perairan (Wren, 1983). Selama proses pengembangan konsep waterfornt city, pemerintah daerah perlu mengambil peran utama selama perencanaan dan admministrasi. Sebuah rencana yang komprehensif biasanya terdiri dari kegiatan pembangunan, yang masing-masing mungkin memiliki perkembangan dan metode perencanaan tersendiri (Huang et al, 2008). Walaupun sintesa pustaka dari konsep waterfront city secara umum menitikberatkan pada aktivitas sosial dan ekonomi yang berada pada kawasan pesisir, perlu dipertimbangkan juga potensi terjadinya bencana alam yang dapat melumpuhkan aktivitas-aktivitas tersebut. Oleh karena itu perlu dikenali macam-macam jenis bencana pesisir, kebutuhan data, serta konsep pencegahan bencana pesisir itu sendiri.  

Jenis-Jenis Bencana Pesisir

Secara umum, area pesisir terekspos dan terbentuk dari bencana dan proses pesisir. Masyarakat pesisir telah mengembangkan beragam konsep pemetaan dan mekanisme peraturan untuk mengatur dan mengkomunikasikan risiko dari bencana pesisir itu sendiri. Pada dasarnya bencana pesisir terbagi ke dalam dua jenis yaitu bencana yang seketika (event-based hazards) dan bencana yang bertahap (gradual hazards) waktu terjadinya. 

  • Event-Based Hazards

Event-Based Hazards adalah bencana yang terjadi secara seketika dan tiba-tiba seperti gempa bumi dan badai yang akan menghasilkan bencana pesisir seperti gelombang badai dan erosi. Gelombang badai sendiri diasosiasikan sebagai kenaikan air di bibir pantai yang dikorelasikan dengan terjadinya badai di area pesisir. Gelombang badai dapat mengakibatkan banjir yang cukup parah pada bagian perkotaan. Pada bagian pesisir, gelombang badai dapat menghasilkan bencana tambahan dan dapat megakibatkan erosi pantai.

  • Gradual Hazards

Sedangkan gradual hazards merupakan bencana yang terjadi secara perlahan dan bertahap dari waktu ke waktu. Garis pantai terbentuk dan termodifikasi secara menerus melalui beragam proses seperti pergerakan angin, gelombang dan arus. Prose-prose tersebut secara bertahap akan mengikis garis pantai dan memindahkan sedimen dari satu tempat ke tempat lain dan secara menerus membentuk lansekap. Bentang alam pesisir juga dipengaruhi oleh perubahan lokal bertahap pada tingkat permukaan laut yang disebabkan oleh proses subsidensi atau gletser.

Besar kemungkinannya bahwa perubahan iklim akan menyebabkan peningkatan permukaan air laut yang bisa menyebabkan banjir  pada area dataran rendah yang berkaitan dengan pasang tinggi harian atau bulanan. Di daerah garis pantai yang landai, seperti pantai pantai dan rawa-rawa, endapan akan terkikis saat garis pasang tinggi mencapai daratan dan beberapa zona interdal akan terendam secara permanen.

Keberadaan Data yang Harus Diperhatikan

Untuk memahami jangkauan dan sifat alamiah dari bencana pesisir, juga untuk mengetahui tingkat kerentanan dari suatu kota pesisir maka dibutuhkan dukungan data yang komprehensif mengenai kondisi geomorfologi dan juga tipologi dari area pesisir itu sendiri. Kondisi geomorfologi atau bentuk fisik dari tanah pesisir berkaitan dengan proses terbentuknya kawasan pesisir. Sedangkan untuk tipologi pesisir berkaitan dengan penggunaan dan kepadatan lahan pada area tersebut.  

Geomorfologi pesisir adalah kumpulan data mengenai bentang alam glasial, kemiringan, ketinggian, kondisi garis pantai dan paparan gelombang yang akan menggambarkan jangkauan yang dihasilkan dari bencana pesisir. Bencana pesisir yang dimaksud dalam artikel ini adalah badai yang menghasilkan gelombang, gelombang pasang, erosi, banjir, banjir bertahap dan erosi bertahap karena naiknya permukaan laut. Pemetaan geomorfologi pesisir dilakukan untuk menguji karakteristik fisik dari daerah pesisir berkaitan dengan penggunaan lahannya yang akan mempengaruhi area yang terpapar bencana dan tipe adaptasi yang bagaimana yang paling feasible untuk diterapkan. Adapun hal-hal yang difokuskan dalam pemetaan kondisi geomorfologi pesisir adalah Geologic Landforms (Bentuk Tanah Geologis); Kondisi Garis Pantai; dan Paparan Gelombang.

Bentuk geologis tanah dan jenis tanah di kawasan pesisir sangatlah bervariasi dalam hal ketinggian dan kemiringan. Hal tersebut merupakan suatu indikator yang relevan untuk mengetahui tingkat tereskposnya suatu kawasan terhadap gelombang atau naiknya permukaan air laut yang bertahap.

Untuk kategori garis pantai, terdapat dua jenis garis pantai yaitu garis pantai halus dan keras. Garis pantai yang halus lebih rawan terdampak erosi, walaupun baik jika dikembangkan untuk akses publik dan menjaga fungsi ekologi pantai.

Selanjutnya bentuk geografi dari garis pantai dapat menentukan seberapa tereksposnya suatu area oleh gelombang laut yang sifatnya menghancurkan. Untuk itu data mengenai bentuk geografi pantai sangat perlu untuk diketahui.

Sedangkan untuk data penggunaan dan kepadatan lahan berkaitan dengan tipe guna lahan, fungsi, jenis infrastruktur, jumlah populasi dan lain-lain. Nantinya data tersebut akan memberikan indikasi dari besarnya konsekuensi dampak bencana pesisir.

Setelah data-data di atas diolah, maka akan menghasilkan informasi mengenai kategori geomorfologi pesisir, dengan contoh sebagai berikut:

Informasi di atas nantinnya akan menghasilkan rekomendasi adaptasi bencana yang paling sesuai dengan karakteristik pesisir.

Selain data geomorfologi, dibutuhkan juga data mengenai penggunaan lahan pada kawasan pesisir yang akan diteliti. Kepadatan dan jenis penggunaan lahan di suatu area dapat menambah risiko dan kerentanan kebencanaan pesisir. Data tersebut juga dapat mempengaruhi penanganan kebencanaan yang tepat ke depannya.

Setelah data mengenai kondisi geomorfologi pesisir dan penggunaan lahan serta kepadatan area pesisir berhasil diketahui, maka data-data tersebut akan dikombinasikan pengolahannya sehingga akan diketahui tipologi area pesisir pada suatu kawasan tertentu. Analisis tipologi area pesisir berfungsi sebagai titik referensi untuk menganalisis variiasi-variasi dalam paparan bencana pesisir berdasarkan karakteristik penggunaan lahan. Dari analisis ini juga dapat diketahui tingkat kerentanan suatu daerah, risiko dan strategi potensial yang dapat diambil.

Inventori Strategi Adaptif

Strategi-strategi yang berkaitan dengan upaya pencegahan bencana pesisir dapat diterapkan pada tingkat kerentanan yang beragam dan pada skala yang berbeda. Strategi adaptasi bencana pesisir dapat dibedakan dari skala infrastruktur tunggal, skala situs pengembangan hingga skala jangkauan pantai. Pada setiap skala akan terdapat banyak aktor yang terlibat, mulai dari masyarakat, pemerintah kota dan pusat, swasta dan lain sebagainya. Setiap strategi memiliki biaya dan manfaat yang harus didefinisikan dengan jelas dan terbuka. Biaya yang diperhitungkan harus termasuk biaya pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, serta biaya tidak langsung untuk menjaga kualitas ranah publik dan lingkungan.

Selanjutnya terdapat dua jenis strategi adaptif yang dapat dilakukan untuk mencegah risiko kebencanaan pesisir, yaitu strategi site dan reach.

  • Site

Strategi site merupakan strategi untuk mencegah kerusakan pada bangunan dan isi bangunan dengan cara mencegah masuknya air banjir atau dengan cara membiarkan intrusi air namun tetap terdapat aksi untuk meminimalisir kerusakan. Ketika strategi site diterapkan, karakteristik dari suatu lingkungan atau ciri khas dari suatu lorong jalan dapat berubah tergantung bagaimana desain bangunan dan jalannya. Ranah publik dan kenyamanan pejalan kaki merupakan unsur yang harus diperhatikan ketika merencanakan strategi site.

  • Reach

Strategi reach merupakan intervensi di dataran tinggi, garis pantai atau di dalam air yang akan mempengaruhi bentangan garis pantai. Pada kawasan dataran tinggi, adalah hal yang lebih praktikal untuk menciptakan resiliensi melalui adaptasi skala besar daripada sekadar penanganan pada setiap rumah. Penerapan strategi reach tergantung pada kondisi spesifik lingkungan pesisir dan desainnya harus mempertimbangkan kondisi lingkungan seperti komposisi yang terdapat di garis pantai, transportasi sedimen, kekuatan dan tinggi gelombang, kedalaman air dan faktor lainnya. Banyak penerapan strategi reach yang memiliki dampak . negatif terhadap lingkungan yang menyebabkan penurunan kualitas air bersih. Strategi ini melibatkan banyak pemilik tanah dan seringkali diinisiasi, dibangun dan dikelola oleh lembaga publik. Tujuan dari strategi reach adalah untuk menstabilkan tanah terhadap erosi dan tingkat pasang surut harian, mitigasi kekuatan gelombang, mencegah banjir pada daratan tinggi atau mencegah pembangunan pada daerah rentan bencana. Strategi reach terbagi menjadi tiga kategori. Yang pertama adalah strategi upland yang tidak melibatkan air laut atau garis pantai secara langsung, namun melibatkan perubahan pada area daratan garis pantai. Yang kedua adalah strategi shoreline melindungi garis pantai dari erosi, memblokir tekanan badai atau melemahkan gelombang. Strategi yang ketiga adalah strategi in-Water yang dikerahkan pada garus pantai menuju laut dan bertindak untuk melindungi daerah dataran tinggi dari kekuatan erosi dan gelombang dengan cara melemahkan gelombang atau untuk mengurangi ketinggian gelombang badai.

Daftar Pustaka

Notanubun dan Mussadun. 2017. Kajian Pengembangan Konsep Waterfront City di Kawasan Pesisir Kota Ambon. Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota. Universitas Diponogoro. Semarang.

Burden, A.M. 2013. Coatal Climate Resilience: Urban Waterfront Adaptive Strategies. The City of New York. Department of City Planning.

Mengenal Bank Tanah

Oleh : Galuh Shita Ayu Bidari, S.T

Tanah merupakan barang langka dengan nilai investasi yang tinggi. Dalam konteks perkotaan, seringkali kegiatan pengembangan wilayah perkotaan terkendala oleh minimnya ketersediaan lahan. Ketersediaan tanah/lahan wajib disediakan oleh pemerintah untuk keperluan negara, pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan, dan kesejahteraan. Untuk itu, pemerintah harus dapat menyediakan cadangan lahan untuk masa depan atau dengan kata lain adalah dengan menabung tanah, baik dengan upaya sendiri ataupun melalui kerjasama dengan pengembang.

Upaya menabung tanah oleh pemerintah lazimnya dilakukan oleh suatu lembaga khusus yang disebut dengan bank tanah. Konsep bank tanah bukanlah konsep baru, sudah banyak negara yang menerapkan konsep ini untuk menyiapkan persediaan tanahnya di kemudian hari untuk kemudian dipergunakan bagi kepentingan umum.

Upaya penyediaan tanah untuk kepentingan umum telah dicanangkan dalam peraturan perundangan yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam UU Pokok Agraria dalam pasal 14, disebutkan bahwa Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk:

  • Keperluan negara
  • Keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Masa Esa
  • Keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan
  • Keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu
  • Keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi, dan pertambangan.

Sedangkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 pasal 4 disebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum. Sementara dalam pasal 6 disebutkan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan oleh pemerintah.

Keberadaan kedua peraturan perundangan tersebut cukup menguatkan urgensi penyediaan tanah untuk kepentingan masyarakat umum. Dalam hal ini, pemerintah yang bertanggung jawab untuk menyediakan tanah tersebut, namun, masyarakat dapat turut membantu pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut melalui skema-skema yang diizinkan oleh peraturan perundangan.

Jadi sebenarnya, apa definisi dari bank tanah atau land bank?

Terdapat beberapa defisini terkait bank tanah yang dikemukakan oleh beberapa pihak. Dalam Jurnal UNDIP tentang Masalah-masalah Hukum yang dikeluarkan pada tahun 2007, Annaningsih mendefisinikan bahwa konsep land banking adalah suatu proses pembelian tanah dan properti untuk keperluan di masa mendatang di mana setiap individu, kelompok atau perusahaan dapat membeli tanah dengan harga riil saat itu untuk selanjutnya mengembangkan tanah tersebut guna keperluan tertentu sehingga memiliki nilai tambah dan pada akhirnya nilai ekonomis tanah akan meningkat.

Manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan konsep bank tanah adalah:

  • mampu mengendalikan keseimbangan antara kebutuhan tanah untuk pembangunan dan ketersediaan tanah
  • mampu mengendalikan mekanisme pasar tanah yang menjamin efisiensi dan rasionalitas harga tanah
  • mampu mengefisiensikan dan menjamin nilai tanah yang wajar dan adil
  • mampu memadukan kebijakan, strategi, implementasi dan evaluasi yang berkaitan dengan tanah.

Adapun fungsi dari bank tanah adalah sebagai:

  • Land keeper, penghimpun tanah
  • Land warrantee, pengaman tanah
  • Land purchase, pengendali penguasaan tanah
  • Land management, pengelola tanah
  • Land appraisal, penilai tanah
  • Land distributor, penyalur tanah

Konsep Bank Tanah memiliki konsep yang mirip dengan bank konvensional pada umumnya. Yang membedakan adalah tanah sebagai objek yang dihimpun dan disalurkan, dan bukan berbentuk uang. Masyarakat melalui mekanisme Bank Tanah juga dapat membantu Pemerintah dengan menghimpunkan tanahnya di Bank Tanah dan akan disalurkan dalam bentuk hak-hak lain semisal sewa dan sebagainya, sehingga masyarakat akan mendapatkan keuntungan ekonomis darinya. Secara umum persamaan dan perbedaan bank tanah dengan bank konvensional dapat dilihat pada tabel berikut:

Persamaan dan Perbedaan Bank Tanah dengan Bank Konvensional
Sumber: Bernhard Limbong (2013), dalam Urgensi Pembentukan Kelembagaan Bank Tanah Sebagai Alternatif Penyediaan Tanah Bagi Masyarakat Untuk Kepentingan Umum oleh Ranitya Ganindha (2016)

Dalam memperoleh tanah, bank tanah akan melakukan beberapa tahapan kegiatan diantaranya adalah penyediaan tanah, pematangan tanah, dan pendistribusian tanah. Pada tahapan penyediaan tanah, umumnya bank tanah akan mempersiapkan proses akuisisi tanah melalui mekanisme jual-beli atau tukar-menukar. Pada tahap selanjutnya yakni pematangan tanah, bank tanah akan menyiapkan sarana dan prasarana atau fasilitas pendukung antara lain pembangunan infrastruktur, saluran sanitasi, fasilitas umum dan layanan publik, dan sebagainya. Tahapan pematangan tanah sangat krusial karena menentukan nilai tanah dan daya tarik masyarakat atau investor untuk membeli atau menyewa lahan. Nilai ekonomis tanah sangat penting dalam proses pematangan tanah ini. Tahap terakhir adalah tahap pendistribusian tanah. Pada tahapan ini, bank tanah akan menentukan untuk apa dan kepada siapa tanah akan didistribusikan, berapa persen dari jumlah tanah yang tersedia yang dapat didistribusikan dan bagaimana pendistribusian tanahnya.

Mekanisme Kegiatan Bank Tanah
Sumber: Bernhard Limbong (2013), dalam Urgensi Pembentukan Kelembagaan Bank Tanah Sebagai Alternatif Penyediaan Tanah Bagi Masyarakat Untuk Kepentingan Umum oleh Ranitya Ganindha (2016)

Belanda sebagai salah satu pencetus konsep land banking membagi 3 jenis konsep bank tanah, yaitu:

  • Exchange land banking, yaitu bank tanah/land bank akan membeli tanah yang selanjutnya tanah tersebut akan dipertahankan untuk sementara waktu sebelum tanah tersebut dilepaskan/dipertukarkan dengan pihak ketiga.
  • Financial instrument, yaitu pemerintah membeli tanah untuk kemudian disewakan kepada para petani dengan periode yang lama (umumnya 26 tahun).
  • Land bank as developer, yaitu pihak swasta membeli tanah dalam jumlah besar dengan harapan akan adanya perubahan fungsi atas lokasi tanah tersebut (berkembang menjadi pemukiman, rekreasi, dan lainnya) sehingga akan meningkatkan nilai tanahnya.

Di Indonesia sendiri, wacana pembentukan Bank Tanah Nasional (BATANAS) masih menjadi topik pembicaraan yang hangat. Wacana ini telah bergulir sejak 2017 lalu dan masih belum mendapatkan kepastian hingga saat ini. Pembentukan BATANAS diyakini akan dapat mencegah, menyelesaikan konflik atau sengketa tanah, serta mengatasi berbagai persoalan pertanahan mulai dari hulu hingga hilir. Program Batanas diharapkan dapat memaksimalkan peran pengendalian tanah dari aspek regulasi, administrasi, dan operasional yang dapat menampung potensi tanah untuk pembangunan, kepentingan umum, dan mendukung pemerataan ekonomi. Nantinya sumber objek bank tanah diharapkan dapat berasal dari tanah cadangan umum negara, tanah terlantar, tanah pelepasan kawasan hutan, tanah timbul, tumbuh, maupun bekas pertambangan, tanah proses dari pengadaan langsung, tanah yang terkena kebijakan tata ruang, tanah hibah, tukar menukar, hasil konsolidasi tanah, dan tanah perolehan lainnya yang sah.

Rencananya, Badan Pertanahan Nasional akan didaulat sebagai regulator, sementara proses pengelolaan akan dilakukan oleh lembaga independen. Lembaga tersebut nantinya akan mengurusi lahan di luar tanah yang sudah dikelola kementerian atau lembaga negara saat ini.  Saat ini juga tengah disusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang nantinya akan menggantikan posisi Undang-Undang Pokok Agraria yang sebelumnya telah ada. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla berharap RUU Pertanahan yang baru dapat segera rampung dikarenakan UU yang lama sudah tidak lagi relevan di tengah perkembangan zaman saat ini.

Pembentukan bank tanah masih menjadi polemik serta menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, pemerintah berharap keberadaan bank tanah akan dapat melindungi rakyat kecil serta menghindari mafia tanah, namun di sisi lain, terdapat kekhawatiran dari sisi manajemen dan pengelolaan bank tanah. Pemerintah tengah menghembuskan kebijakan satu peta pertanahan yang bertujuan untuk meregistrasi seluruh tanah yang ada. Nantinya, seluruh informasi terkait tanah seperti batas, hak, izin, dan lain-lain akan disinkronisasikan dengan lembaga yang akan dikelola oleh ATR, sehingga diharapkan akan mempermudah proses pengelolaan tanah ke depannya.

Menurut Anda, apakah pembentukan bank tanah di Indonesia perlu dilakukan?

Sumber Referensi :

  • Bernhard Limbong (2013), dalam Urgensi Pembentukan Kelembagaan Bank Tanah Sebagai Alternatif Penyediaan Tanah Bagi Masyarakat Untuk Kepentingan Umum oleh Ranitya Ganindha (2016)
  • www.liputan6.com/bisnis/read/4050567/bpn-pemerintah-akan-bentuk-bank-tanah
  • nasional.republika.co.id/berita/px0q5k423/menteri-agraria-ungkap-rencana-pembentukan-bank-tanah
  • ekonomi.bisnis.com/read/20181217/47/870442/realisasi-aturan-bank-tanah-diundur-hingga-2019
  • www.atrbpn.go.id/Berita/Siaran-Pers/amanat-pengaturan-bank-tanah-dalam-ruu-pertanahan-92264
  • finance.detik.com/properti/d-4685827/muncul-lagi-wacana-pembentukan-banhttps://finance.detik.com/properti/d-4685827/muncul-lagi-wacana-pembentukan-bank-tanahk-tanah

Kota Ramah Sepeda: Pengarusutamaan Sepeda sebagai Gaya Hidup di Perkotaan

Oleh : Galuh Shita Ayu Bidari, S.T

Sepeda merupakan moda transportasi ramah lingkungan yang kini mulai banyak dipergunakan oleh masyarakat perkotaan, baik untuk memenuhi kebutuhan berlalu lintas ataupun sekedar menyalurkan hobi. Mungkin bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia akan terdengar aneh untuk mengarusutamakan sepeda sebagai moda transportasi yang dipergunakan sehari-hari, namun pada beberapa kota besar yang terdapat di negara maju, sepeda memiliki ruang tersendiri di hati masyarakat serta memiliki ruang (berupa jalur sepeda) di perkotaan, tentunya.

Kegiatan bersepeda memberikan banyak manfaat positif. Apabila dilihat dari segi kesehatan, kegiatan bersepeda dapat membakar kalori, mengurangi kadar stres, dan membantu menghindarkan diri dari berbagai risiko penyakit seperti penyakit jantung, diabetes, dan lainnya. Bersepeda juga memiliki kelebihan yang tak dimiliki oleh moda transportasi lain, yakni membuat pengendaranya mampu merasakan suatu kota dengan lebih intim, sembari tetap memberikan ruang yang nyaman bagi pejalan kaki. Tak banyak orang yang mengenal kotanya dengan lebih dekat, terlebih kota besar dengan banyak jumlah komuter pada siang hari. Umumnya mereka hanya menghabiskan waktu di jalan tanpa memperhatikan sekitar. Dengan bersepeda, masyarakat diizinkan untuk mengenal kotanya dengan lebih dalam lagi.

Selain itu, sepeda merupakan moda transportasi ramah lingkungan. Penggunaan masif dari kegiatan bersepeda tidak akan menimbulkan pengaruh buruk bagi lingkungan atau dengan kata lain dapat menekan polusi udara yang selama ini banyak dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Dimensi sepeda yang ramping dapat membantu penggunanya melewati kemacetan melalui celah-celah kecil, sehingga dapat mengantar penggunanya ke lokasi tujuan dengan lebih cepat.

Pengarusutamaan Sepeda di Lingkungan Kota

Belakangan ini, pemerintah mulai menyadari pentingnya keberadaan jalur sepeda dalam lingkungan kota dan mulai menyediakan ruang bagi jalur sepeda di berbagai sudut kota. Hal ini tentu membawa angin segar bagi kehidupan suatu kota, yang berarti stigma di masyarakat mengenai keharusan kepemilikan kendaraan berbahan bakar dapat perlahan tergantikan dengan urgensi kepemilikan moda transportasi yang ramah lingkungan seperti sepeda. Namun dengan catatan, infrastruktur pendukung bagi pengendara sepeda juga harus dilengkapi, dibenahi dan diperbaiki. Terdapat beberapa tantangan yang perlu untuk menjadi bahan pertimbangan untuk mewujudkan kota ramah sepeda, yakni:

  • Tidak semua kota memiliki daerah dengan kontur yang datar
  • Keterbatasan ROW jalan yang diakibatkan oleh keterbatasan lahan
  • Suhu udara di Indonesia yang beriklim tropis sehingga menyebabkan kurangnya kenyamanan saat bersepeda
  • Perlunya perencanaan ruang yang matang agar tidak menimbulkan konflik dengan perencanaan yang lain

Dari beberapa pertimbangan yang perlu menjadi bahan perhatian oleh pemerintah dalam menciptakan kota ramah sepeda, penambahan jalur sepeda tidak akan menjadi solusi yang jitu jika tidak dibarengi dengan penambahan fasilitas pendukung lainnya seperti penyediaan parkir sepeda. Penyediaan parkir sepeda yang masif perlu diperhatikan dari segi lokasi, seperti pada area perkantoran, area pendidikan, pusat perbelanjaan, stasiun, terminal, pusat kesehatan, dan lokasi-lokasi penting dan strategis lainnya yang disertai dengan rambu dan marka yang jelas. Di samping itu, jalur sepeda yang dibangun juga perlu terintegrasi dan berkelanjutan. Dalam arti, tidak hanya berada di jaringan jalan tengah kota, namun dapat dimulai dari kawasan perumahan dan permukiman warga. Selain itu, perlunya pemberian rasa aman dan nyaman bagi pesepeda juga penting untuk diperhatikan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa iklim di Indonesia adalah tropis, sehingga penting untuk memperhatikan keberadaan pohon-pohon peneduh.

Penempatan lokasi jalur sepeda yang aman dari kendaraan bermotor juga penting untuk diperhatikan. Selain itu, jalur sepeda juga harus dirancang untuk dapat digunakan oleh pengguna dari berbagai macam usia, mulai dari anak-anak hingga lansia, sehingga keberadaan jalur sepeda tidak hanya aman namun juga memudahkan. Dilansir dari detik.com, pengamat transportasi Djoko Setijowarno menjelaskan bahwa terdapat tiga macam jalur sepeda yang dapat dibangun di area perkotaan. Yang pertama adalah bike path, yakni pemberian jalur sepeda dan pejalan kaki dalam satu jalur yang sama tinggi dengan meminimkan persilangan keduanya. Seperti yang sudah terbangun di sekeliling Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor. Yang kedua adalah bike lane, yakni penyediaan jalur khusus bagi sepeda di jalan-jalan umum dan sebaiknya dilengkapi dengan pembatas fisik. Yang ketiga, bike route, yakni penyediaan penggunaan sepeda bersama dengan lalu lintas pejalan kaki atau kendaraan bermotor, biasanya berada di ruas jalan yang memiliki volume lalu lintas lebih rendah.

Kota Ramah Sepeda di Dunia

Di antara maraknya produksi masal kendaraan bermotor yang diklaim dapat memberikan perubahan bagi lingkungan, keberadaan sepeda sebagai moda transportasi yang benar-benar ramah lingkungan tengah menjadi sorotan. Di beberapa kota besar di Eropa dan Amerika, penggunaan sepeda dinilai sangat efektif dan efisien dalam beraktivitas dan berpindah dari titik awal menuju titik tujuan. Banyak faktor yang membuat kebiasaan bersepeda di kota-kota ini tumbuh baik. Selain jalur sepeda yang lebar dan nyaman, kultur masyarakatnya juga mendukung. Dilansir dari nationalgeographic.com, berikut adalah kota-kota yang menyandang status kota ramah sepeda terbaik di dunia:

  • Amsterdam, Belanda

Penduduk Amsterdam sudah terbiasa menggunakan sepeda untuk berkegiatan sehari-hari sehingga kota ini kerapkali disebut sebagai ibu kota sepeda di Eropa. Hal ini dikarenakan sebagian besar desain infrastruktur kota mayoritas diperuntukkan bagi pesepeda. Bahkan, para wisatawan yang berkunjung ke Kota Amsterdam memasukkan kegiatan bersepeda sebagai aktivitas yang wajib dilakukan di kota ini.

Kota Amsterdam
  • Kopenhagen, Denmark

Kota Kopenhagen telah merancang kotanya dengan baik sehingga ramah bagi pesepeda. Salah satu alasan utama mengapa bersepeda di Denmark menjadi kegiatan yang sangat popular adalah karena ketersediaan jalur sepeda, termasuk jembatan inovatif, yang membentuk jalan raya tersendiri bagi sepeda, untuk melintasi kota. Hal ini menjadikan Kopenhagen sebagai salah satu tempat paling aman bagi pengendara sepeda. Kota ini memiliki jalur sepeda yang membentang sejauh 242 mil dan menghubungkan Kota Kopenhagen dengan Albertslund, yang disebut dengan jalur ‘Cycle Super Highway’. Pemerintah terus mendorong pekerja untuk menggunakan sepeda. Tak heran bila jaringan dan infrastruktur khusus pesepeda dibangun dengan lebar dan nyaman di jalan raya, bahkan terdapat jembatan khusus pesepeda di pelabuhan dan tempat-tempat lainnya.

Kota Copenhagen
  • Berlin, Jerman

Kota ini cukup serius dalam menggarap kotanya menjadi kota ramah sepeda. Dilansir dari citylab.com, pada tahun 2025 kota ini berencana untuk menciptakan 100 ribu tempat parkir sepeda baru, beberapa diantaranya akan memiliki garasi parkir bertingkat yang terletak di pusat pergerakan komuter utama. Bahkan pemerintah berencana merenovasi beberapa sudut kota demi membuat jalur sepeda yang telah ada menjadi lebih nyaman digunakan oleh pengendaranya.

Kota Berlin
  • Montreal, Kanada

Bersepeda merupakan kegiatan berkendara yang paling popular di kota ini. Hal ini disebabkan oleh dukungan pemerintah kota yang telah menciptakan banyak jalur sepeda yang nyaman dan mampu menjamin keselematan pengendara dengan menyediakan rambu lalu lintas yang cukup banyak dan pro pesepeda. Kota ini memiliki jalur sepeda yang membentang sejauh 373 mil. Bahkan setiap minggunya terdapat parade sepeda yang bernama ‘Go Bike Montreal Festival’ yang diadakan untuk menyambut para penggemar sepeda di kota ini. Bahkan pemerintah kota memiliki program yang dinamakan Bixi Montreal, dimana pemerintah menyediakan sepeda yang memungkinkan bagi penduduk kota yang tidak memiliki sepeda untuk mulai bersepeda menjelajahi kota.

Kota Montreal
  • Tokyo, Jepang

Tokyo telah mengikuti tren menciptakan kota ramah sepeda dengan menempatkan layanan penyewaan sepeda di 520 lokasi yang tersebar di seluruh penjuru kota. Seperti diketahui bahwa Tokyo merupakan salah satu kota tersibuk di dunia, namun banyak penduduk kota yang memilih menggunakan sepeda untuk beraktivitas. Bersepeda adalah cara yang baik untuk bepergian dan melihat-lihat di Tokyo. Kegiatan bersepeda di Tokyo telah mencapai popularitas yang tinggi tanpa banyak investasi berupa insfratruktur bersepeda yang disediakan oleh pemerintah. Hal ini kemudian mendorong pemerintah untuk menyediakan insfrastruktur bersepeda yang nyaman dan aman. Bahkan dilansir dari sportifycities.com, Tokyo berencana menciptakan jalur sepeda terpisah yang dihubungkan dengan kondominium bertingkat tinggi.

Kota Tokyo

Sumber Referensi :

  • Artiningsih. 2011. Jalur Sepeda sebagai Bagian dari Sistem Transportasi Kota yang Berwawasan Lingkungan. Jurnal Tata Loka Volume 13: Biro Penerbit Planologi UNDIP.
  • news.detik.com/berita/d-4717094/pengamat-nilai-sterilisasi-jalur-sepeda-dki-dimulai-dari-trotoar-yang-steril
  • www.boombastis.com/kota-ramah-pesepeda/21281
  • international.sindonews.com/read/1331713/45/sepuluh-kota-ramah-sepeda-di-dunia-1534750159
  • www.nationalgeographic.com/travel/lists/activities/best-cities-bikes-cycling/
  • www.citylab.com/transportation/2017/12/berlin-bike-revolution/548297/
  • sportifycities.com/tokyo-bicycle-infrastructure/

Konsolidasi Lahan: Solusi Keterbatasan Tanah untuk Permukiman di Perkotaan

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Keterbatasan lahan di perkotaan selalu menjadi alasan atas lambatnya pergerakan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat atas perumahan. Larisnya tanah untuk pembangunan di kota-kota besar di Indonesia, selain meyebabkan kelangkaan juga menjadikan harga tanah semakin meroket sehingga daya beli masyarakat atas tanah menurun. Padahal fenomena pertumbuhan penduduk dan proses urbanisasi terus terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta dan mengakibatkan meningkatnya jumlah permintaan atas perumahan. Permintaan tersebut tentu saja menuntut ketersediaan lahan dalam jumlah yang masif.

Jika dibiarkan, persoalan terkait keterbatasan lahan akan memiliki dampak yang berlarut-larut seperti munculnya permukiman kumuh di kawasan ilegal dan semakin melebarnya fenomena urban sparwl di sekitar kawasan perkotaan. Untuk itu dibutuhkan alternatif solusi yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi lahan yang sudah tersedia agar dapat dimanfaatkan sebagai pembangunan perumahan di kawasan perkotaan. Salah satu alternatif yang dapat diimplementasikan adalah konsep konsolidasi lahan untuk permukiman.

Popularitas konsep konsolidasi lahan untuk mengatasi permasalahan perumahan mungkin belum begitu terdengar. Hal tersebut dapat disebabkan oleh panjangnya proses dan rumitnya birokrasi dalam eksekusi konsolidasi lahan serta kecenderungan pengimplementasian konsep tersebut dalam bidang pertanian saja. Untuk itu mari kita simak ulasan mengenai konsolidasi lahan untuk pengembangan perumahan di kota besar!

Konsolidasi Lahan Secara Umum

Apa itu konsolidasi lahan? Menurut Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, yang dimaksud dengan konsolidasi tanah adalah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan untuk meningkatkan lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Menurut Archer(1994), konsolidasi lahan perkotaan merupakan teknik pengembangan tanah yang digunakan di berbagai negara untuk mengelola dan memfasilitasi proses urbanisasi dari sebuah area di pinggiran kota, dimana sekelompok persil tanah dikonsolidasikan untuk disatukan, diberikan pelayanan dan dibagi menjadi tata letak jalan, ruang terbuka dan plot bangunan, melalui penjualan beberapa plot untuk pemulihan biaya (pentaan ulang) dan distribusi plot lainnya untuk tetap menjadi milik tuan tanah. Konsolidasi lahan juga dikenal sebagai teknik mengkonversikan area pedesaan menjadi area perkotaan dimana sekelompok masyarakat pemilik tanah digabungan dalam kelompok kemitraan (bersifat wajib) untuk sebuah keterpaduan rencana, pelayanan dan pembagian dari lahan yang mereka miliki dimana skema pembiayaan dan pengembalian manfaat dibagi rata antara para pemilik tanah. Setiap pemilik tanah akan mengkontribusikan sepetak tanahnya dan akan menerima kembali kontribusinya dalam bentuk plot bangunan dengan luas lahan yang berkurang dari sebelumnya. Namun demikian, nilai pasar dari tanah tersebut tetap meningkat sehingga memberikan laba bersih yang signifikan. Adapun pengaturan bidang tanah yang dilakukan dalam proses konsolidasi dapat berupa pergeseran letak, penggabungan, pemecahan, pertukaran, penataan letak, dan penghapusan atau pengubahan.

Untuk lebih memahami definisi konsolidasi lahan dalam pembangunan, berikut ilustrasi perbedaan antara pengembangan alami, pengembangan parsial dan pengembangan melalui konsolidasi lahan:

Perbedaan Konsolidasi Lahan dengan Pembangunan Jenis Lainnya
Sumber: Bahan Paparan Peran Konsolidasi Tanah dalam Ketransmigrasian
Praktik Konsolidasi Lahan
Sumber: Bahan Paparan Peran Konsolidasi Tanah dalam Ketransmigrasian

Konsolidasi lahan juga disebut sebagai teknik multi fungsi yang beperan untuk:

  • Menyusun persil tanah yang tersebar menjadi lokasi proyek yang lebih besar demi terciptanya keselarasan dalam desain, pelayanan dan pembagian wilayah
  • Memfasilitasi akuisisi lahan oleh pemerintah untuk pembangunan jalan umum dan fasilitanya dengan tidak membebankan pemerintah
  • Membangunan jaringan infrastruktur on-site yang tidak membebankan pemerintah
  • Mengimplementasian rencana pola ruang kawasan perkotaan
  • Mewujudkan efisiensi lahan
  • Membagi biaya dan manfaat (cost and benefit) dari pembangunan lahan secara merata antara para pemilik tanah di lokasi proyek
  • Mewujudkan daerah pinggir kota yang lebih ‘matang’ untuk pembangunan
  • Meminimalisir kemungkinan adanya hambatan pada proyek pekerjaan infrastruktur kota

Adapun yang menjadi prinsip dasar dalam penyelenggaraan konsolidasi lahan adalah pengaturan kembali letak persil dan sumbangan tanah; keseimbangan pembiayaan antara peningkatan nilai dan dan sumbangan lahan untuk pembangunan; pengamanan/penguatan hak atas tanah; membangun tanpa menggusur; dan partisipasi peserta konsolidasi lahan (masyarakat).

Manfaat Konsolidasi Lahan

Praktik konsolidasi lahan memiliki banyak keunggulan, diantaranya adalah status penguasaan lahan akan menjadi sebuah keberpastian hukum. Hal tersebut dikarenakan produk akhir dari konsolidasi lahan perkotaan di Indonesia adalah sertipikat sebagai bukti penguasaan dan pemilikan atas tanah yang paling kuat. Melalui konsolidasi lahan perkotaan, diharapkan kondisi keruangan juga akan menjadi lebih teratur dan efisien karena akan melalui proses pemetaan, penataan, yang pembangunan ulang sehingga lahan tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, seimbang dan lestari. Para pelaku konsolidasi lahan juga akan memiliki lingkungan tempat tinggal dengan kondisi sarana dan prasarana yang lebih baik setelah diadakannya penataan pada proses konsolidasi tersebut.

Selain itu para peserta praktik konsolidasi lahan juga akan merasakan manfaat dalam hal peningkatan nilai tanah. Hal ini dapat terjadi apabila pengembangan yang dilakukan setelah proses konsolidasi berupa pengembangan lahan secara vertikal. Secara otomatis, pemilik lahan akan mendapatkan keuntungan dari penambahan jumlah lantai. Sebagai contoh, sebelum terjadinya konsolidasi lahan A di sebuah kawasan di Bekasi memiliki luas sekitar 200 m2. Setelah terjadinya konsolidasi, pemilik lahan A harus kehilangan sekitar 50m2 dari luas total lahan yang ia miliki sebagai Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan (STUP). Namun ia berkesempatan menambah jumlah lantai sesuai dengan ketentuan regulasi penataan ruang. Kini ia memiliki aset sebuah bangunan yang memiliki 3 tingkatan lantai. Kemudian ia berniat untuk menyewakan 2 lantai yang ia miliki sebagai upaya penyediaan rumah sewa bagi masyarakat perkotaan. Ia akan mendapatkan pemasukan baru dari peningkatan nilai tanah setelah terjadinya konsolidasi lahan. Untuk lebih jelasnya dapat melihat ilustrasi di bawah ini:

Ilustrasi Manfaat Konsolidasi Lahan dalam Peningkatan Nilai Lahan
Sumber: Bahan Tayang Konsolidasi Tanah dalam Menunjang Pembangunan Desa, 2017

Menurut Raharjanto (2008), yang menjadi keunggulan dari konsep konsolidasi lahan perkotaan adalah:

  • Merupakan metode pembangunan tanah perkotaan yang sekaligus menata kembali penguasaan dan penggunaan tanah;
  • Mampu mengatasi kelemahan metode pengadaan tanah secara konvensional seperti pembebasan tanah; dan
  • Merupakan kegiatan yang mewujudkan dan mengimplementasikan rencana tata ruang di suatu daerah

Praktik konsolidasi lahan juga memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan praktik akuisisi lahan untuk pembangunan fasilitas perkotaan (Agrawal, 1990), di antaranya:

  • Dapat dilakukan pengembalian modal melalui pemanfaatan lahan (yang dialokasikan sebagai fasilitas publik) sebagai fungsi komersil;
  • Tidak seperti pengembangan lahan untuk fasilitas publik lainnya, lahan yang digarap dapat dikembangkan seefisien mungkin;
  • Tidak ada penggusuran penduduk eksisting;
  • Pemberian sertifikat hak atas tanah; dan
  • Meredakan ketegangan sosial terkait dengan permasalahan pertanahan di perkotaan.

Konsolidasi Lahan untuk Permukiman di Indonesia

Pada umumnya, praktik implementasi konsolidasi lahan pada kota-kota besar di Indonesia masih sebatas pembangunan infrastruktur publik seperti pembangunan jalan dan ruang hijau. Belum banyak praktik konsolidasi yang bertujuan untuk mengefisiensikan penggunaan lahan sebagai upaya penyediaan ruang untuk permukiman. Namun pada akhir tahun 2018, konsep konsolidasi lahan sudah mulai dilirik untuk mensiasati membludaknya permintaan atas perumahan di tengah defisitnya persediaan tanah di perkotaan. Hal tersebut dicetuskan oleh Kementerian  ATR/BPN yang mendukung penyediaan perumahan melalui konsolidasi lahan vertikal.

Untuk mempersiapkan hal tersebut, banyak hal yang harus diperhatikan oleh seluruh stakeholder yang relevan. Pemerintah (pusat maupun daerah), akademisi, praktisi, swasta dan masyarakat memiliki fungsi yang sama pentingnya sehingga dibutuhkan kolaborasi yang matang untuk keberhasilan eksekusi proyek konsolidasi lahan. Selain itu, untuk memulai konsolidasi lahan secara vertikal, diperlukan pengaturan zonasi yang lebih detail mengingat terdapatnya potensi perubahan fungsi  lahan dari perumahan menjadi campuran atau mixed-use.  Perlu diantisipasi juga permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan konsolidasi lahan seperti proses ekseskusi yang memakan waktu yang cukup lama; ketersediaan dana yang besar; rumitnya proses birokasi yang melibatkan banyak pihak; potensi munculnya spekulan tanah; kurangnya pengetahuan para stakeholder terkait manfaat konsolidasi lahan; penentuan hak dan kewajiban masyarakat serta ketersediaan permukiman sementara ketika proses konsolidasi berlangsung.

Daftar Pustaka

Raharjanto, A.D. 2008. Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan Secara Swadaya Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Archer R.W. 1994. Urban Land Consolidation for Metropolitan Jakarta Expansion, 1990-2010. Asian Institute of Technology, Bangkok.

Agrawal, P. 1999. Urban Land Consolidation: a Review of Policy and Procedures in Indonesia and Other Asian Countries. GeoJournal.

Surat Edaran Kepalan Badan Pertanahan Nasional Perihal Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi Tanah (7 Desember 1991)

Bahan Paparan Peran Konsolidasi Tanah dalam Ketransmigrasian. Direktur Konsolidasi Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional https://www.atrbpn.go.id/Layanan-Publik/APLIKASI-SENTUH-TANAHKU/kementerian-atrbpn-dukung-penyediaan-perumahan-melalui-konsolidasi-tanah-vertikal-76731

Migrasi: Hal Lumrah Perkotaan yang Harus Diantisipasi

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Migrasi adalah perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, dengan tujuan menetap merupakan konsep sederhana yang sudah dikenalkan kepada kita sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Berbicara tentang migrasi, tentu lekat kaitannya dengan proses urbanisasi dimana masyarakat desa merantau dan menetap di kawasan perkotaan dalam rangka mencicipi segala keistimewaan yang dihidangkan. Pada kenyataannya, proses migrasi ke kawasan kota tidaklah sesederhana itu. Banyak yang harus disiapkan dan dipertimbangkan, baik oleh pelaku maupun pemangku kebijakan, demi terselenggaranya proses migrasi yang dapat mengakomodir kebutuhan dan tidak memberatkan posisi seluruh pihak yang relevan. Pada tahun 2017, World Economic Forum mempublikasikan laporannya yang berjudul Migration and Its Impacts on Cities. Selain mendefinisikan dampak dan tantangan pada proses migrasi, laporan ini juga menyuguhkan beberapa studi kasus migrasi di kota-kota besar di dunia sebagai referensi. Tertarik untuk mengetahui lebih dalam? Simak ulasannya di bawah ini!

Definisi, Tipologi dan Faktor Penyebab Migrasi

Menurut Ban Ki-Moon, sekretaris jenderal PBB tahun 2007-2016, migrasi adalah sebuah ekspresi dari aspirasi masyarakat untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik, lebih bergengsi, dan lebih aman. Migrasi adalah sebuah fenomena global yang terjadi baik di dalam negeri maupun terjadi secara internasional. Tercatat setidaknya terdapat sekitar 244 juta pelaku migrasi internasional (UN DESA, 2016) dan sekitar 763 juta migran nasional (UN DESA, 2013). Proses migrasi menuju global cities terus meningkat seiring dengan fakta bahwa 1/3 penduduk dari kota-kota seperti Sydney, London dan New York adalah penduduk migran. Migrasi sendiri tergolong ke dalam beberapa jenis kategori yang berbeda-beda. Yang pertama adalah migrasi yang diklasifikasikan berdasarkan lingkup perpindahannya (batas politis) apakah antar provinsi, antar pulau, atau antar negara. Yang kedua migrasi yang diklasifikasi berdasarkan pola pergerakannya. Yang ketiga adalah migrasi yang diklasifikasikan berdasarkan jenis pengambilan keputusan oleh para migran, apakah secara sukarela maupun tidak sukarela. Untuk memudahkan proses pemahaman, dapat dilihat infografis di bawah ini:

Jenis Migrasi Berdasarkan Karakteristiknya
Sumber: Diolah dari UN DESA, 2016

Setelah mengetahui jenis-jenis migrasi, penting rasanya untuk mengetahui faktor-faktor penyebab yang menstimulus pergerakan para pelaku migrasi. Menurut laporan dari World Economic Forum, terdapat tiga jenis faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi. Faktor-faktor tersebut adalah faktor ekonomi, faktor sosio-politik, dan faktor ekologikal. Dari masing-masing faktor tersebut, terdapat unsur pendorong (push) atau faktor yang membuat para migran untuk melakukan perpindahan dari tempat asal dan unsur penarik (pull) yang membuat para migran tertarik untuk melakukan perpindahan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel perbandingan di bawah ini:

Faktor-Faktor Penyebab Migrasi

Sumber: Migration and Its Impacts on Cities Report, 2017

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa banyak faktor yang memungkinkan terjadinya migrasi. Pemerintah selaku pemangku kebijakan, baik pemerintah dari daerah asal maupun pemerintah dari daerah tujuan, harus dapat mengidentifikasi jenis-jenis faktor penyebab migrasi dan unsur pendorong serta penariknya. Informasi terkait hal tersebut dapat membantu pemerintah dalam menyusun kebijakan untuk para migran dan daerahnya.

Dampak Migrasi Terhadap Perkotaan

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa kawasan perkotaan menjadi tempat favorit para migran untuk melakukan perpindahan. Kendati demikian, masih sedikit pembahasan mengenai dampak migrasi terhadap perkotaan itu sendiri. Padahal, migrasi memiliki dampak yang terasa jelas di beberapa sektor penopang aktivitas perkotaan seperti sektor perumahan, transportasi, utilitas dan fasilitas umum kota.

Dari sektor perumahan, konsumsi rumah oleh para migran memberikan beban tersendiri terhadap pasar tanah dan rumah untuk para masyarakat kota. Terdapatnya kesenjangan sosial dan ekonomi antara migran dan masyarakat eksisting sering kali membuat masyarakat eksisting enggan untuk tinggal di lingkungan yang sama dengan para migran. Oleh karena itu, para pemangku kebijakan di sektor perumahan haruslah sadar dan berinovasi agar keberadaan rumah kaum migran tetap dapat menjadikan sebuah kota sebagai tempat yang menarik, kompetitif dan berkelanjutan. Sedangkan dari sektor transportasi, pergerakan para migran tentu akan mempengaruhi tingkat kepadatan jalan dan persebaran populasi. Para migran yang bergantung pada moda transportasi publik untuk berpindah tentu akan meningkatkan permintaan pasar. Sistem transportasi publik yang efisien dan terjangkau memiliki peran yang penting dalam menentukan apakah para migran dapat terintegrasi dengan baik atau tidak dengan lingkungan baru mereka. Hendaknya fakta tersebut selalu dijadikan pertimbangan dalam menentukan harga dan kelengkapan fasilitas dari sistem transportasi publik perkotaan.

Selanjutnya, bukanlah hal yang baru bahwa permintaan atas utilitas dan fasilitas umum oleh masyarakat marginal kota kerap menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Situasi dapat menjadi lebih buruk dengan keberadaan para migran yang berpotensi mengakibatkan peningkatan konsumsi juga kebutuhan atas jaringan-jaringan utilitas dan fasilitas tersebut. Bila tidak diiringi dengan peningkatan kualitas dan kuantitas, maka keberadaan para migran dapat mempersulit pemerintah untuk menciptakan kota yang layak bagi masyarakatnya. Pemerintah hendaknya juga mengikutsertakan para migran untuk berkontribusi dalam proses pembangunan di berbagai bidang untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif dan terintegrasi.

Namun demikian di samping dampak negatif yang dihasilkan oleh proses migrasi,terdapat pula dampak positif setelah para migran melakukan perpindahan. Sebagai contoh di sektor ekonomi, kehadiran para migran akan memperkecil kesenjangan skill yang dimiliki oleh masyarakat kota. Kota juga akan dipenuhi oleh tenaga kerja berupah rendah sehingga meningkatkan kesempatan untuk berinvestasi bagi para investor. Sedangkan di sektor sosial, proses migrasi dapat meningkatkan toleransi antara etnis, budaya dan agama yang terdapat di dalam kehidupan bermasyarakat.

Migrasi di Abad 21

Salah satu contoh arus migrasi yang terjadi di abad ke-21 adalah migrasi yang dilakukan oleh masyarakat dari negara-negara Arab Spring menuju negara lainnya di Eropa. Arab Spring sendiri merupakan serangkaian protes pro-demokrasi yang dilakukan oleh masyarakat Timur Tengah dan Afrika Utara. Arab Spring dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap rezim pemerintahan Arab yang dinilai bersifat layaknya diktator, kemarahan atas brutalnya aparat keamanan, tingginya angka pengangguran, naiknya harga bahan, tindak-tindak korupsi dan banyaknya praktik-praktik privatisasi aset negara. Gerakan ini terjadi pada awal tahun 2011 yang dipelopori oleh beberapa negara seperti Tunisia, Maroko, Syria, Libya, Mesir dan Bahrain.

Gerakan Arab Spring ini memberikan berbagai dampak, baik negatif maupun positif bagi kota-kota tujuan migrasi di Eropa. Dari segi politik dampak yang dirasakan adalah banyaknya tekanan, perpecahan politik, perselisihan dan ketidaksepakatan terkait cara penanganan arus migrasi yang terjadi di antara negara-negara di Eropa. Saat ini sudah terdapat banyak gerakan anti-migrasi yang terlihat dari banyaknya partai politik yang menentang datangnya para migran. Dari segi ekonomi, kedatangan para migran Arab Spring menjadikan beban tersendiri bagi negara-negara di Eropa dalam penyediaan stok perumahan, layanan pendidikan, layanan sosial, lapangan kerja yang juga mempengaruhi stabilitas politik dan situasi ekonomi. Dari segi sosial, kedatangan para migran yang berasal dari kultur yang berbeda dianggap dapat menyebabkan krisis identitas dan juga mengancam keamanan orang Eropa.  

Di sisi lain, pergerakan masyarakat Arab Spring memberikan beberapa dampak positif di bidang konstruksi yang secara tidak langsung juga memberikan manfaat pada perekonomian negara-negara di Eropa. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi pernyataan tersebut salah satunya adalah para migran dianggap sebagai tenaga kerja siap pakai di bidang konstruksi. Selain itu, Migran Arab Spring juga meningkatkan penjualan rumah dan daya beli masyarakat terhadap properti. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Labanca (2016), diketahui bahwa peningkatan atas permintaan industri konstruksi di negara-negara Eropa juga disebabkan oleh tingginya permintaan atas perumahan oleh masyarakat Arab yang melakukan migrasi ke negara-negara tersebut. Kebutuhan masyarakat Arab Spring terhadap layanan pendidikan juga memberikan dampak positif yakni meningkatnya lapangan pekerjaan di bidang pendidikan pada negara-negara Eropa yang dijadikan tujuan migrasi. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh d’Albis (2018), diketahui bahwa migran permanen yang menetap di negara-negara di Eropa dapat meningkatkan PDB per-kapita diikuti dengan menurunnya tingkat pengangguran.

Kota-Kota dengan Tantangan Migrasi dan Solusinya

Kota-kota besar di dunia sudah mengalami dan menghadapi tantangan migrasi sejak puluhan tahun yang lalu. Telah banyak pula solusi-solusi berupa kebijakan maupun program yang sudah dikeluarkan. Berikut adalah contoh-contoh kota dengan tantangan migrasi beserta solusinya:

Kota-Kota di Dunia dan Tantangan Migrasi
Sumber: Migration and Its Impacts on Cities Report, 2017

Penutup

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa migrasi merupakan sebuah proses yang tidak mungkin dihindari dan sebagian besar terjadi di kawasan perkotaan. Walaupun prosesnya terkadang terkesan alamiah, ternyata migrasi menyisakan tantangan yang harus dihadapi secara bijaksana. Pemerintah selaku pembuat kebijakan dan pengambil keputusan hendaknya mempertimbangkan keberadaan para migran yang hadir di tengah-tengah masyarakatnya dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Produk kebijakan yang dihasilkan hendaknya menciptakan sebuah kota yang inklusif dan dapat menjadi tempat bernaung bagi para migran tanpa adanya gesekan sosial di dalamnya. Beberapa kota seperti Calgary, Dubai, dan Rotterdam hingga saat ini terus bergelut untuk menjawab tantangan-tantangan yang muncul akibat proses migrasi. Bagaimana dengan kota-kota besar di Indonesia? Apakah proses migrasi yang terjadi di Indonesia juga menghasilkan tantangan yang harus segera ditangani? 

Daftar Pustaka

Salameh, MTB. 2019. Migration From the Arab Spring Countries to Europe: Causes and Consequences. Yarmouk University-Irbid-Jordan. 

Labanca, C. 2016. The Effects of a Temporary Migration Shock: Evidence from the Arab Spring Migration towards Italy. University of California

World Economic Forum. 2017. Migration and Its Impacts on Cities Report. 

https://news.cnrs.fr/articles/the-beneficial-effect-of-migration-on-the-economy

Kota Sebagai Destinasi Wisata, Apa yang Harus Diperhatikan?

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Pada tahun 2019, Mastercard telah mempublikasikan laporan tahunan mereka mengenai Global Destination Cities Index yang dilakukan dengan melacak keberadaan pengunjung dan kebiasaan mereka dalam berbelanja saat bepergian secara global. Studi tersebut menunjukan bahwa jumlah pengunjung yang melakukan perjalanan ke kota atau negara lain meningkat sekitar 6,5% dari tahun ke tahun sejak 2009, dengan jumlah pengeluaran belanja yang tumbuh hingga 7,4%. Laporan tersebut juga secara rinci menyebutkan kota-kota yang menjadi top destinations para turis. Bangkok, menjadi kota yang menduduki peringkat pertama sebagai kota tujuan wisata terfavorit di seluruh dunia dengan jumlah pengunjung pertahun mencapai 22,78 jut . Kemudian Paris dan London menyusul di peringkat dua dan tiga. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Kota Sebagai  Destinasi Terfavorit Para Turis Internasional
Sumber: Global Destination Cities Index, 2019

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Bali merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang masuk ke dalam peringkat 20 besar. Padahal, beberapa kota lain di Asia seperti Singapura, Kuala Lumpur, Tokyo, Seoul serta Phuket dan Pattaya dapat menduduki peringkat yang lebih tinggi. Lantas, bagaimana dengan Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia? Kira-kira faktor apa saja yang harus diperhatikan agar kota-kota di Indonesia dapat lebih berdaya saing serta menarik perhatian wisatawan mancanegara?

Pariwisata Kota

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kota dikenal sebagai ‘mesin perekonomian’ dimana modal ekonomi dan sosial terkonsentrasi. Setiap kota akan saling berkompetisi dalam banyak hal demi meningkatkan eksistensinya di mata dunia. Upaya berkompetisi tersebut dapat dilakukan melalui berbagai bidang pembangunan, salah satunya melalui pengembangan kegiatan pariwisata kota. Pariwisata kota sudah mulai berkembang pada beberapa dekade belakangan ini. Pariwisata kota juga merupakan salah satu sektor pendapatan negara, yang apabila dikelola dengan baik, dapat menghasilkan keuntungan yang maksimal. Jadi, apakah yang sebenarnya dimaksud dengan pariwisata kota?

Mungkin pertanyaan di atas terdengar sederhana, namun apabila direnungkan lebih dalam, pariwisata kota memiliki makna dan rumit dan masih belum memiliki definisi yang pasti hingga kini. Menurut National Conference on Urban Tourism pada tahun 1988, pariwisata kota didefinisikan sebagai kumpulan sumberdaya atau aktivitas yang berlokasi di kawasan perkotaan dan menyediakan segenap hiburan, aktivitas bisnis atau lain sebagainya bagi pengunjung yang datang.  Sementara Rodica (2005) mendeskripsikan pariwisata kota sebagai hiburan di kawasan perkotaan, dimana masyarakat bisa mengunjunginya atau melakukan beragam aktivitas seperti berkunjung ke kerabat, bertemu dengan teman, menonton pertunjukan, pameran, berbelanja dan lain sebagainya. Setelah menelaah definsi sederhana mengenai pariwisata kota di atas, lantas elemen dan komponen apa saja yang membentuk sebuah pariwisata kota?

Elemen dan komponen dari pariwisata kota dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu elemen primer dan elemen sekunder (Law, 2002). Elemen primer berkaitan dengan perpaduan daya tarik yang dirasa unik dan menjadi motivasi bagi para turis untuk melakukan pergerakan wisata ke kawasan perkotaan. Sedangkan elemen sekunder menggambarkan fasilitas perkotaan yang mendukung dan melengkapi pengalaman wisata para turis. Elemen tersebut sangatlah krusial keberadaannya demi terciptanya produk pariwisata yang memuaskan pengunjung. Adapun elemen pariwisata kota yang lebih detail dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Elemen Pariwisata Kota
Sumber: Law, 2002

Kelengkapan elemen pariwisata tidak akan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pendapatan kota apabila tidak didukung dengan peningkatan daya saing pariwisata kota itu sendiri.  Para ahli perkotaan dan pariwisata melihat bahwa peningkatan daya saing pariwisata kota (city tourism competitiveness) adalah hal yang penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Daya saing pariwisata kota kerap diasosiasikan sebagai kemampuan sebuah kota untuk menyediakan jasa wisata kepada turis dengan kondisi yang lebih baik dari kota-kota lainnya (Cibinskiene et.al, 2015).

Untuk dapat memaksimalkan manfaat yang dihasilkan oleh aktivitas pariwisata kota, maka seluruh stakeholder, khususnya pemerintah perlu mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh dalam meningkatkan daya saing. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan daya saing pariwisata perkotaan:

Faktor Eksternal dan Internal yang Mempengaruhi Daya Saing Pariwisata Kota
Sumber: diolah dari Cibinskiene et.al, 2015

Pembenahan di bidang eksternal maupun internal merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Diperlukan studi yang mendalam untuk mengetahui potensi wisata yang kita miliki dan mengetahui bagaimana cara memanfaatkannya hingga kota-kota di Indonesia bisa bersaing dengan kota-kota lain.

Best Practice Pariwisata Kota: Bangkok, Thailand

Sejak beberapa tahun belakangan ini, Bangkok kerap bersaing dengan London dan Paris untuk menduduki posisi teratas sebagai kota dengan jumlah pengunjung wisata paling banyak di dunia. Konsistensi tersebut seakan membuat kita bertanya-tanya, ada daya tarik apa sebenarnya di Bangkok? Mengapa Bangkok begitu populer, padahal ia disebut-sebut memiliki karakteristik perkotaan yang mirip dengan Jakarta?

Alasan pertama adalah Bangkok memiliki beragam moda transportasi yang mudah diakses oleh wisatawan untuk menuju destinasi-destinasi populernya. Ibukota negara Thailand tersebut memiliki The Bangkok Mass Transit System (BTS) atau sering disebut juga dengan Skytrain. Bangkok juga dilengkapi dengan moda transportasi tradisional bernama Tuk-Tuk yang memudahkan wisatawan untuk melakukan perpindahan dalam jarak dekat. Tidak hanya itu, Bangkok juga memiliki moda transportasi air yang digunakan untuk melintasi Sungai Chao Phraya. Keberadaan ragam moda transportasi tersebut memudahkan wisatawan untuk berpindah dari satu atraksi ke atraksi wisata yang lain.  

Alasan yang kedua, Bangkok merupakan sebuah kota dengan pilihan destinasi wisata yang sangat lengkap. Dalam hal ini, Bangkok memiliki beberapa destinasi wisata heritage berupa istana kerajaan dan kuil. Selain itu, Bangkok juga dikenal sebagai tempat favorit para penggila belanja yang ditandai dengan keberadaan pusat-pusat perbelanjaan berupa mall dan pasar-pasar tradisional. Bangkok juga dikenal sebagai pusat kuliner berupa jajanan kaki lima yang menawarkan makanan-makanan ringan khas Thailand yang tentunya menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Wisata pasar apung juga kerap menjadi salah satu pilihan para turis unuk menghabiskan waktunya di Bangkok.   

Alasan ketiga adalah Bangkok memiliki fasilitas Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE) yang sering digunakan untuk acara-acara internasional seperti konser, pertunjukan seni, dan lain sebagainya.  Alasan terakhir, Bangkok memiliki portal informasi wisata berupa website yang cukup lengkap sehingga memudahkan para calon wisatawan untuk merencanakan kunjungan mereka.

Daya Tarik Wisata Bangkok
Sumber: Businessinsider.com, 2016

Bali Sebagai Tujuan Wisata Dunia

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Bali merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang masuk ke dalam 20 besar kota sebagai destinasi terfavorit turis mancanegara. Bali menduduki peringkat 19 mengungguli kota-kota besar lainnya di Indonesia. Hmm, bagaimanakah sebenarnya elemen pariwisata yang dimiliki oleh Bali? Apakah Bali memiliki faktor eksternal dan internal yang mumpuni sehingga dapat berdaya saing tinggi? 

Bila ditinjau dari konsep elemen pariwisata, Bali memiliki elemen primer yang unggul. Dari segi fasilitas budaya, Bali memiliki beragam pilihan museum, galeri seni serta ruang pameran yang dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi turis yang menghargai nilai-nilai yang terkandung dalam seni. Selanjutnya, hampir seluruh poin pada kategori karakteristik fisik telah dimiliki oleh Bali. Bali memiliki jalan historikal seperti Jalan Kuta dan Jalan Legian yang menjadi salah satu pusat perekonomian disana. Bali juga memiliki banyak bangunan keagamaan Hindu yang dapat pula dinikmati oleh turis. Bali juga dikenal sebagai tempat yang memiliki karakteristik sosial-budaya yang kuat. Hal tersebut dapat dilihat dari Bahasa Bali yang masih digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari serta kekayaan tradisi masyarakat Hindu seperti Upacara Ngaben dan iringan Ogoh-Ogoh menjelang hari raya Nyepi. Hal tersebut tentu menjadi hal yang sangat unik bagi wisatawan. Selain daya tarik wisata yang bercirikan kearifan lokal, Bali juga dikenal sebagai kota yang memiliki banyak fasilitas pengisi luang berupa klub malam, cafe dan bar. 

Untuk kelengkapan elemen sekunder, keunggulan Bali tidak perlu dipertanyakan lagi. Di Bali terdapat beragam pilihan hotel, penginapan dan restauran serta fasilitas komersil dari yang bernuansa lokal hingga internasional. Hal ini menjadi nilai tambah untuk Bali karena kelengkapan fasilitas yang dimiliki. Untuk elemen tambahan, pada umumnya hampir seluruh destinasi wisata di Bali sudah dilengkapi dengan aksesibilitas yang baik serta fasilitas parkir yang memadai. Pada beberapa titik terdapat pula pusat informasi dan pemandu wisata sebagai unsur pelengkap. 

Dalam hal peningkatan daya saing terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Untuk faktor eksternal yang terdiri dari kondisi politik dan legal; ekonomi; sosial dan budaya; serta alam dan ekologi dipengaruhi oleh kondisi Indonesia secara global. Jika kondisi politik dan ekonomi Indonesia tergolong baik, maka biasanya tidak ada pertimbangan yang memberatkan wisatawan asing untuk berkunjung ke Bali. Hal tersebut berlaku sama untuk kondisi sosial budaya dan alam serta ekologi. 

Untuk faktor internal yang terdiri dari kelengkapan lembaga wisata; infrastruktur wisata; serta sumberdaya wisata lebih mengarah kepada kesiapan Bali sendiri dalam menyediakan hal-hal tersebut di atas. Dari ketiga unsur tersebut, dapat dikatakan bahwa Bali sudah hampir memenuhi kelengkapan setiap unsur. Hanya saja keberadaan transportasi publik masih belum menjangkau seluruh destinasi wisata dan belum sepenuhnya efektif dalam mengakomodir pergerakan. Sebagian besar turis di Bali memilih untuk menyewa motor/mobil untuk bepergian. Hal tersebut perlu menjadi pertimbangan, baik untuk pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, sebagai upaya meningkatkan daya saing pariwisata Bali.

Daya Tarik Wisata Bali
Sumber: Berbagai Sumber, 2019

Setelah memahami definisi dan karakteristik pariwisata kota, tentunya masing-masing dari kita sudah memiliki gambaran ideal terkait pengembangan wisata kota di Indonesia ke depannya. Elemen dan faktor-faktor yang dapat meningkatkan daya saing hendaknya diperhatikan seluruh stakeholder yang relevan di bidang pariwisata kota. Dibutuhkan kerjasama yang komprehensif dan konsisten dalam mewujudkan pariwisata kota di Indonesia yang tidak kalah dengan kota-kota lain di Asia Tenggara. Jadi, apakah Indonesia mampu membawa kota-kotanya menggeser Bangkok sebagai peringkat pertama kota dengan pengujung wisata terbanyak di dunia?

Daftar Pustaka

Cibinskiene, et.al. 2015. Evaluation of City Tourism Competitiveness. Kaunas University of Technology, Lithuania.

Garbea R.V.2013. Urban Tourism Between Content and Aspiration for Urban Development. Alexandru loa Cuza University.

Law, Christopher. 2002. Urban Tourism – The Visitor Economy and Growth of Large Cities. EMEA: Thomson Learning

Global Destination Cities Index 2019. Mastercard.

https://www.businessinsider.com/things-to-do-in-bangkok-the-most-visited-city-in-the-world-2016-9?IR=T

Konsep Co-Housing: Sebagai Solusi Permasalahan Permukiman di Indonesia

Oleh: Annabel Noor Asyah S.T; M.Sc

Mungkin belum banyak yang mengetahui serta familiar dengan konsep pembangunan rumah secara kolaboratif atau yang biasa disebut dengan konsep co-housing. Konsep ini disebut-sebut dapat menjadi alternatif permasalahan penyediaan perumahan khususnya bagi masyarakat perkotaan, dimana lahan yang tersedia akan semakin sedikit dan semakin mahal seiring berjalannya waktu. Konsep ini dapat menjadi solusi bagi penataan kawasan permukiman kumuh dan juga sebagai alternatif lain bagi kaum milenial untuk dapat memiliki rumah.  Lantas apa itu co-housing sebenarnya?

Definisi Co-Housing

Co-housing adalah konsep dimana sebuah grup/komunitas merencanakan, membiayai dan membangun rumah mereka secara bersama-sama di suatu lahan/persil yang sama dan memiliki ruang-ruang komunal di dalamnya. Proyek Co-housing didasari kebersamaan kolektif yang kuat antar anggotanya dan memberikan kesempatan bagi setiap individu anggota untuk berpartisipasi dalam merancang tempat tinggal mereka. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa implementasi co-housing lebih dari sekedar tinggal dalam suatu gedung yang sama, melainkan adanya proses interaksi dari masa perancangan bangunan sampai masa menjalani kehidupan sehari-hari yang didukung dengan keberadaan ruang atau aktivitas komunal seperti dapur, ruang makan, ruang serbaguna, tempat parkir,  tempat main anak dan lain sebagainya.     

Lahirnya konsep co-housing pada akhir abad 19 di negara-negara di Eropa, juga dipengaruhi oleh kebutuhan dari penduduk kelas menengah dalam mencari solusi atas mahalnya tarif kerja seorang asisten rumah tangga (ART) yang dapat memasak. Pada saat itu, tercetuslah ide konsep ‘ART kolektif’ yang dapat melayani keluarga-keluarga yang tinggal dalam satu lingkungan. Konsep ART kolektif ini kemudian diimplementasikan dalam pembangunan co-housing yang diinisiasi oleh Otto Fick, di Copenhagen pada tahun 1903. Co-housing tersebut bernama Einküchenhaus (bangunan dengan satu dapur). Bangunan ini berada dalam satu persil yang sama terdiri dari beberapa rumah warga, dimana di tengah-tengah bangunan tersebut terdapat sebuah dapur besar tempat ART bekerja dan menyiapkan makanan untuk seluruh warga. Konsep co-housing seperti yang telah dijelaskan di atas, juga dianggap sebagai sebuah opsi untuk mendukung adanya kesetaraan ­gender, bahwa kaum wanita dapat bekerja di luar rumah dikarenakan urusan rumah tangga sudah ditangani oleh ART kolektif tersebut. Namun saat ini, rumah kolaboratif sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga setiap unit/rumah memiliki dapur pribadi.

Rumah kolaboratif dapat berupa rumah tapak maupun rumah vertikal. Hal tersebut diputuskan melalui kesepakatan bersama antar anggota. Jumlah unit rumah terbaik untuk mengimplementasikan konsep co-housing adalah 12-36 unit rumah. Namun tidak menutup kemungkinan sebuah area/bangunan co-housing memiliki unit yang lebih sedikit atau lebih banyak dari angka tersebut. Jika jumlah lebih sedikit dari 12 unit, maka dikhawatirkan komunitas tersebut menjadi terlalu intim dan membutuhkan pembiayaan pembangunan yang lebih besar. Namun jika jumlah unit lebih banyak dari 36, dikhawatirkan akan menyulitkan sesama anggotanya untuk bersosialisasi dan menstimulus proses administratif yang sulit (pembagian proporsi iuran listrik, air, dsbg) (Scotthanson, 2005).            

Konsep co-housing disebut-sebut memiliki banyak manfaat. Seorang Arsitek penggiat co-housing, Grace Kim, mengatakan bahwa rumah kolaboratif dapat meminimalisir tingkat stress seseorang. Rasa kesepian karena hidup terisolasi kerap membawa pengaruh buruk terhadap kesehatan jasmani maupun rohani. Tinggal bersama orang-orang yang memiliki kesamaan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut. Selain itu, co-housing juga dapat menjadi salah satu alternatif dalam mensiasati harga tanah di kawasan perkotaan yang semakin mahal. Para anggota dapat membeli tanah dan membangun rumah secara kolektif sehingga biaya yang dikeluarkan tidak akan sebanyak ketika membangun rumah atau membeli apartemen secara swadaya.


Contoh Pengimplementasian Co-Housing
Keterangan ki-ka: Capitol Hill Urban Cohousing Seattle; Mountain View Cohousing; Duwamish Cohousing; dan Hearthstone Cohousing

Sumber: Berbagai Sumber, 2019

Co-Housing Sebagai Jawaban Masalah Perumahan di Indonesia

Bila dikaitkan dengan permasalahan perumahan yang terdapat di Indonesia, konsep co-housing dapat menjadi salah satu alternatif yang layak diperhitungkan oleh seluruh stakeholder perumahan. Konsep co-housing dirasa relevan bila diterapkan di Indonesia melihat tren ketersediaan lahan yang semakin sulit untuk diakses dan semakin mahalnya harga properti khususnya di kawasan perkotaan. Penerapan ­co-housing juga sesuai dengan sifat dan karakter masyarakat Indonesia pada umumnya yaitu suka bergotong-royong. Kekuatan modal sosial tersebut sejalan dengan nyawa dari konsep co-housing itu sendiri yakni, kolaboratif. Hal tersebut dapat menjadi peluang untuk mengatasi permasalahan permukiman informal yang kumuh dan juga sebagai jawaban atas terbatasnya akses serta kemampuan kaum milenial untuk memiliki rumah.

Saat ini, kota-kota besar di Indonesia sedang berlomba-lomba untuk mengentaskan kekumuhan yang terdapat di kawasan permukiman informal. Pemerintah daerah beserta masyarakat ramai-ramai mempercantik dan merehabilitasi permukiman tersebut dengan harapan dapat menciptakan kehidupan yang berkelanjutan dan sehat bagi warganya. Namun, masih sedikit yang mempertimbangkan pengimplementasian konsep co-housing pada penataan kawasan permukiman kumuh tersebut, padahal co-housing sejalan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat di kawasan permukiman informal yang memiliki modal sosial yang tinggi.

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asyah (2014), masyarakat di permukiman kumuh memiliki rasa kebersamaan dan tenggang rasa yang kuat. Hal tersebut terlihat dari kehidupan bertetangga yang saling bahu membahu. Para pemukim di kawasan kumuh tersebut mengaku jika suatu saat terjadi penggusuran, mereka berharap dapat tetap tinggal bersama dengan tetangga-tetangganya terdahulu. Mereka juga mengakui bahwa salah satu faktor yang kerap mempengaruhi kegagalan program pemerintah dalam merelokasi permukiman kumuh adalah kemungkinan terputusnya modal sosial yang sudah dimiliki oleh warga. Mereka berharap kemungkinan relokasi dapat diminimalisir dan digantikan dengan konsep rehabilitasi permukiman kumuh agar mereka tetap bisa bersama dan hidup bertetangga.

Melihat fakta tersebut, konsep co-housing dalam rehabilitasi permukiman kumuh berperan sebagai salah satu alternatif yang mumpuni dan layak untuk dicoba. Dengan konsep rumah kolaboratif, pemerintah tidak perlu menyediakan lahan baru untuk relokasi, melainkan dapat mendayagunakan lahan eksisting dengan desain dan fungsi yang lebih baik. Walaupun mungkin agak berbeda dengan prinsip rumah kolaboratif dimana anggotanya akan secara kolektif membiayai pembangunan rumah, pemerintah dapat memberikan subsidi untuk mengimplementasikan rencana tersebut.  Pemerintah juga dapat memberdayakan masyarakat dalam mendesain rumah mereka sehingga tercipta perencanaan partisipatif dimana hasil yang diharapkan akan lebih sesuai dengan ekspektasi dari user atau dalam hal ini masyarakat di permukiman kumuh.

Rumah kolaboratif juga dapat menjadi strategi pemerintah dalam menangani kawasan permukiman kumuh dan informal yang status kelegalan tanahnya biasanya dipertanyakan. Aspek legalitas pada co-housing nantinyasama dengan legalitas pada model properti lainnya. Untuk membangun, dibutuhkan IMB dari pemerintah. Untuk kepemilikan dari rumah tapak sama dengan prosedur kepemilikan dari rumah tapak pada umumnya. Sedangkan untuk kepemilikan rumah vertikal, skemanya sama dengan skema kepemilikan apartemen yaitu sang pemilik mendapatkan Hak Guna Bangunan (HGB) dalam jangka waktu tertentu.

Tidak hanya sebagai salah satu opsi penataan permukiman kumuh, konsep rumah kolaboratif juga dapat menjadi alternatif pilihan bagi kaum milenial untuk memenuhi kebutuhan papannya. Saat ini sering didengungkan bahwa akan sangat sulit bagi kaum milenial untuk dapat memiliki rumah pribadi. Hal tersebut didasari oleh semakin melambungnya harga properti yang tidak diimbangi dengan ability to pay atau kemampuan untuk membayar dari para milenial. Ditambah lagi dengan kondisi tidak tersedianya lahan kosong di daerah perkotaan yang kerap menjadi sasaran milenial untuk memiliki rumah tinggal.

Dilansir dari MIPIM World Blog, co-housing akan menarik perhatian para milenial karena harganya yang akan jauh lebih murah bila dibandingkan dengan apartemen pada umumnya di lokasi yang sama. Konsep co-housing dianggap sebagai solusi mengingat kaum milenial dapat berkolaborasi dengan komunitasnya sehingga modal sosial yang mereka miliki bisa semakin terjalin. Konsep co-housing ini lebih fleksibel dan sesuai dengan sifat dan ciri khas kaum milenial yang suka berkumpul dan melakukan aktivitas bersama. Para milenial dapat merencanakan tempat tinggal mereka bersama dengan keluarga, kerabat, atau bahkan teman yang memiliki nilai visi dan misi yang sama mengenai kebutuhan akan rumah. Mereka dapat secara kolektif membeli sebidang tanah dan menyepakati bersama desain dan tata letak fungsional ruang publik yang mereka kehendaki.

Masih menurut MIPI World Blog, diketahui bahwa saat ini terdapat pergeseran pola pikir yang dimiliki oleh milenial mengenai kepemilikan properti dan aset. Milenial sudah tidak lagi memprioritaskan status kepemilikan secara general. Sudah banyak keluarga muda yang tidak berniat untuk memiliki rumah pribadi di atas lahan yang luas atau memiliki kendaraan sendiri. Hal tersebut tentunya menjadi angin segar bagi pemerintah kota mengingat konsep co-housing akan meningkatkan kepadatan kawasan permukiman dalam kondisi yang lebih baik dan meminimalisir pergerakan.

Tren Perubahan Pola Pikir Kepemilikan Rumah di Indonesia

Pada bagian sebelumnya, sempat dibahas mengenai tren perubahan pola pikir generasi milenial terhadap kepemilikan rumah. Generasi milenial sudah tidak lagi memprioritaskan status kepemilikan properti/aset dan banyak mengalihkan pilihannya kepada rumah sewa. Hal ini sesuai dengan konsep besar dari co-housing dalam bentuk vertical building, dimana tidak terdapat satu anggota pun yang memegang sertifikat kepemilikan lahan. Hal tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk mengimplementasikan konsep vertikal co-housing di Indonesia mengingat sudah terbatasnya ketersediaan lahan di kota-kota besar di Indonesia. Namun apakah lapisan masyarakat lainnya di Indonesia sudah mengarah kepada tren tersebut?

Dilansir dari laman kompas.com pada tahun 2017, terjadi penurunan tren pembelian rumah karena terdapatnya preferensi masyarakat untuk menyewa terutama di daerah perkotaan. Kecenderungan preferensi terlihat dari keengganan masyarakat kota pada umumnya yang masih memiliki mobilitas tinggi. Menurut Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Lana Winayanti, tren dan perilaku seperti yang dijelaskan di atas termasuk gaya hidup yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah.

Tren perubahan pola pikir kepemilikan rumah juga terjadi pada masyarakat kelas menengah ke bawah secara perlahan. Menurut Asyah (2014), diketahui bahwa masyarakat yang bermukim di bantaran sungai tidak keberatan jika harus direlokasi ke hunian vertikal, dengan catatan memiliki akses kepada transportasi publik dan juga tidak mengganggu ikatan sosial yang sudah terbangun antar sesama warga di permukiman bantaran sungai tersebut. Tren perubahan pola pikir juga didukung oleh kondisi kekinian bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah sedang gencar untuk mengikuti program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang digalakkan oleh pemerintah dimana sebagian jenis rumah yang ditawarkan oleh program subsidi tersebut adalah hunian vertikal.

Dengan memahami terjadinya tren perubahan pola pikir terhadap kepemilikan rumah pada masyarakat Indonesia, maka dapat dilihat bahwa konsep co-housing khususnya dalam bentuk hunianvertikal dapat diimplementasikan di Indonesia.

Program Pemerintah yang Mendukung Penyelenggaraan Co-Housing

Setelah didapatkannya gambaran mengenai alternatif pemanfaatan konsep co-housing di Indonesia, perlu diketahui juga program-program pemerintah yang dapat mendukung terselenggaranya konsep tersebut sehingga akan semakin banyak masyarakat yang merasakan manfaatnya. Salah satu program yang dapat mendukung terselenggaranya konsep co-housing, yang pada dasarnya merupakan rumah dengan konsep swadaya, adalah program rintisan kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang bernama Program Penyelenggaraan Perumahan Berbasis Komunitas. Program perumahan berbasis komunitas ini dilatarbelakangi oleh urgensi adanya inovasi kebijakan, strategi dan program penyelenggaraan di Indonesia.

Nantinya komunitas yang berpartisipasi dalam program tersebut akan mendapatkan dua jenis bantuan dari pemerintah. Yang pertama adalah bantuan Pembangunan Baru Rumah Swadaya (PBRS) dan bantuan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU). Dalam pelaksanaan pembangunan rumah berbasis komunitas tersebut akan dilakukan pengawasan dan pengendalian oleh satuan kerja yang ditunjuk oleh menteri. Sedangkan proses pemantauan dan evaluasi akan dilakukan oleh direktorat teknis pada kementerian.

Adapun persyaratan bagi komunitas yang akan berpartisipasi adalah komunitas yang berbadan hukum atau ditetapkan oleh walikota/bupati; MBR dengan desil 1 s.d 4; tidak memiliki fixed income; belum pernah memiliki rumah; lahan atas nama sendiri atau berkelompok tapi dapat dipecah atas nama masing-masing; sudah berkeluarga; memiliki kemampuan berswadaya dan memiliki kelompok; dan jumlah minimal unit rumah adalah 50 unit. Hal ini cukup berbeda dengan penerapan konsep co-housing yang ideal dimana jumlah unit rumah yang dibangun sebaiknya berkisar antara 12-36 unit.  Selanjutnya mengenai lokasi pelaksanaan bantuan harus memenuhi persyaratan berupa: lokasi sesuai dengan RTR sebagai kawasan perumahan; legalitas kepemilikan tanah jelas; tanah tidak bersengketa; aksesibilitas lokasi baik dan kualitas medan atau lapangan sesuai. Selanjutnya terkait dengan peran pemerintah/pemda adalah memberi bantuan infrastruktur dasar untuk menunjang berfungsinya perumahan komunitas; mempermudah proses perizinan dan memfasilitasi penyusunan rencana. Sedangkan peran akademisi adalah mengembangkan konsep framework kolaborasi dan memfasilitasi penyusunan rencana.

Saat ini, sudah terdapat sekitar 24 komunitas yang akan melaksanakan program perumahan berbasis komunitas yang tersebar di 22 lokasi dengan unit pembangunan rumah mencapai sekitar 7.472 unit. Salah satu implementasi program yang sudah berjalan adalah Pengembangan Perumahan Berbasis Komunitas untuk Persaudaraan Pemangkas Rambut di Garut. Setelah memahami jenis program perumahan berbasis komunitas yang diselenggarakan oleh pemerintah, maka dapat diambil kesimpulan bahwasanya konsep co-housing sangat memungkinkan diterapkan di Indonesia melalui program tersebut yang menyasar masyarakat berpenghasilan rendah

Program Perumahan Berbasis Komunitas di Garut
Sumber: Paparan FGD Satgas Penyediaan Perumahan PU, 2019

Penutup

Setelah mengetahui dan memahami definisi, peluang pengimplementasian konsep Co-housing, tren perubahan pola pikir masyarakat terhadap kepemilikan rumah, dapat disimpulkan bahwa konsep tersebut tampak sebagai sebuah peluang emas dan keniscayaan di tengah-tengah tantangan perkotaan yang menyebabkan sedikitnya lahan yang bisa diakses dan mahalnya harga properti saat ini. Konsep rumah kolaboratif juga sesuai dan sejalan dengan karakteristik masyarakat di Indonesia dimana kekuatan modal sosial menjadi nilai utama yang dijunjung tinggi. Baik masyarakat di permukiman kumuh maupun kaum milenial dapat menentukan dimana dan dengan siapa mereka ingin tinggal serta jenis-jenis fasilitas publik yang sekiranya dibutuhkan oleh komunitas tersebut. Pergeseran pola pikir mengenai kepemilikan aset bagi kaum milenial juga menjadikan co-housing sebagai salah satu opsi yang patut dipertimbangkan. Namun demikian, untuk mewujudkan konsep co-housing dibutuhkan dukungan dari seluruh stakeholder khususnya pemerintah daerah menyusun regulasi terkait permukiman. Saat ini sudah terdapat sebuah program bernama Perumahan Berbasis Komunitas yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Sasaran dari program tersebut adalah komunitas masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan diadakannya program pemerintah tersebut, kita dapat melihat arah kebijakan dan inovasi yang mendukung terimplementasikannya konsep co-housing di Indonesia. Namun belum familiarnya masyarakat luas terhadap konsep ini juga dapat menjadi hambatan dalam pengimplementasiannya. Jadi, apakah konsep rumah kolaboratif ini akan berkembang di Indonesia dalam waktu dekat?

Daftar Pustaka

Vestbro, et al. 2012. Design for gender Equality – The History of Cohousing Ideas and Realities. Aalto University     

Tummers, L. 2016. The Re-emergence of Co-Housing in Europe. New York

Aziz, F. 2017. Cohousing Concept: Commercial Business Model Development For Millenials in Urban Area of Indonesia. Institut Teknologi Bandung           

Scotthanson, et al. 2005. The Cohousing Hanbook. Canada: New Society Publishers

Asyah, AN. 2014. Penentuan Preferensi Bermukim Masyarakat Permukiman Kumuh di Bantaran Sungai Ciliwung, Manggarai Jakarta Selatan. Institut Teknologi Sepuluh Nopember

https://www.schemataworkshop.com/chuc

https://properti.kompas.com/read/2017/12/29/090000021/investor-pilih-sewa-tren-pembelian-rumah-turun?page=all

Gentrifikasi, Sebuah Fenomena Perkotaan dengan Dua Sisi

Oleh : Annabel Noor Asyah

Fenomena gentrifikasi mungkin sudah lama teridentifikasi dan menjadi perbincangan di negara-negara belahan dunia ke-satu seperti di Amerika dan Eropa. Banyak sudut pandang yang menyuarakan pro dan kontranya terhadap fenomena ini karena memang gentrifikasi ibarat sebuah koin dengan dua sisi mata uang yang berbeda. Perdebatan mengenai dampak positif maupun dampak negatif dari gentrifikasi terus didengungkan hingga sekarang. Fenomena gentrifikasi yang menyangkut banyak pihak seperti pemerintah, masyarakat kelas menengah ke atas serta masyarakat kelas bawah menjadikan hal tersebut sebagai suatu hal yang rumit dan membutuhkan banyak pendekatan. Saat ini fenomena gentrifikasi sudah mulai merambah negara-negara di Asia termasuk di Indonesia.

Apa itu Gentrifikasi?

Istilah gentrifikasi pertama kali muncul pada tahun 1964 dengan pencetus pertama Ruth Glass yang merupakan seorang ahli perkotaan. Belum ada definisi pasti mengenai apa itu gentrifikasi, sehingga banyak opini dan pendapat ahli yang mencoba untuk menerjemahkan maksud dari fenomena tersebut. Menurut Lees et.al (2007), gentrifikasi merupakan sebuah proses transformasi kelas sosial atau sebidang lahan kosong di kawasan perkotaan yang tadinya dihuni oleh masyarakat kelas bawah menjadi kawasan kelompok kelas menengah yang biasanya diperuntukkan sebagai kawasan komersial. Sehingga gentrifikasi seringkali diasosiasikan sebagai bentuk penyesuaian kebutuhan kelas menengah atau kaum kapitalis. Gentrifikasi cenderung terjadi pada kawasan-kawasan yang letaknya berdekatan dengan kawasan permukiman kelas menengah atas (Guerrieri, 2013), dekat dengan pusat kota (Helms 2003), kawasan yang dilalui oleh layanan transportasi massal (Helms, 2003), dan pada kawasan yang memiliki stok perumahan lama (Kolko, 2007). Gentrifikasi juga berpotensi menyebabkan perpindahan masyarakat kelas bawah ketika kelompok ekonomi menengah atas datang dan menetap di sebuah kawasan yang mengakibatkan peningkatan harga sewa, harga bahan baku dan harga jasa sehingga secara tidak langsung akan membuat masyarakat kelas bawah tidak sanggup untuk bertahan dan pindah dari kawasan tersebut (Atkinson, 2000). Namun demikian, gentrifikasi juga disebut-sebut sebagai alat bantu yang dapat membawa perkembangan positif ekonomi kota ke arah yang lebih baik, walau terkadang dampak negatifnya lebih banyak terasa (Feagin et.al, 1990). 

Secara garis besar, terdapat dua pihak yang terlibat pada setiap proses gentrifikasi. Yang pertama adalah stakeholder yang melakukan gentrifikasi (gentrifier), dan yang kedua adalah pihak yang tergentrifikasi (gentrified people). Gentrifier biasanya diidentifikasi sebagai bagian dari masyarakat kelas menengah dan datang dari kalangan profesional. Menurut Ley (1996), terdapat dua tahapan gentrifikasi yang dilakukan oleh gentrifier, yang pertama gentrifier sebagai pioner atau yang juga disebut sebagai pihak yang tidak menyadari kemungkinan risiko yang akan terjadi (risk-oblivious). Mereka memilih lokasi di pusat kota karena nilai-nilai kultural, gaya hidup dan nilai sejarah yang terdapat pada lokasi tersebut. Yang kedua adalah kelompok yang menghindari risiko (risk-averse) yang memilih lokasi di pusat kota karena adanya peluang investasi di sana.

Berdasarkan penelitian mengenai gentrifikasi yang sudah dilakukan bertahun-tahun, pada umumnya kawasan-kawasan yang tergentrifikasi memiliki karakteristik yang mirip antara satu dan yang lainnya. Dari segi lokasi, kawasan yang tergentrifikasi cenderung berada di pusat kota. Adapun para gentrifier biasanya berasal dari kalangan profesional dan tidak terkecuali berasal dari kepemerintahan. Status sosial para gentrifier cenderung beragam namun pada umumnya datang dari kelas menengah ke atas. Tabel di bawah ini merupakan rangkuman dari karakteristik fenomena gentrifikasi yang terjadi di berbagai negara:

Karakteristik Gentrifikasi di Berbagai Belahan Dunia
Sumber: Uzun, 2002

Sisi Negatif Gentrifikasi

Setelah memahami definisi, karakteristik serta pelaku dalam fenomena gentrifikasi, selanjutnya akan dibahas mengenai dampak negatif dari fenomena tersebut. Walaupun masih menjadi perdebatan hingga sekarang, banyak ahli perkotaan yang berpendapat bahwa gentrifikasi pada umumnya akan merugikan sebagian unsur masyarakat perkotaan yaitu masyarakat marginal. Gentrifikasi kerap disebut sebagai kolonialisme di era modern. Mengapa demikian?

Sama halnya dengan kolonialisme, gentrifikasi tidak hanya merampas kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat lokal dan melemahkan kondisi ekonomi mereka, tetapi juga menyangkut ketidakseimbangan kondisi sosial dan rasial. Gentrifikasi mendorong terjadinya kapitalisme melalui permintaan pasar (pembangunan real estate), namun sekaligus membuat masyarakat yang tinggal lebih dulu di kawasan tersebut angkat kaki (Wharton et.al, 2008). Perpindahan masyarakat kelas bawah kemudian dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan karakteristiknya. Yang pertama, perpindahan karena adanya paksaan (involuntary). Dan yang kedua adalah proses perpindahan yang dilakukan secara swadaya atau sering disebut dengan voluntary.

Pada jenis perpindahan yang pertama (involuntary), biasanya terjadi pada masyarakat yang tidak memiliki kejelasan terhadap status lahan sehingga ketika terdapat pembangunan properti (untuk komersial atau residensial) yang berlokasi di lahan huniannya, mau tidak mau masyarakat harus menyerahkan lahannya untuk keberlangsungan pembangunan. Walaupun biasanya hal tersebut juga disertai dengan biaya kompensasi. Sedangkan pada jenis perpindahan yang kedua (voluntary), biasanya didahului oleh naiknya harga sewa properti di kawasan tersebut sehingga mengakibatkan ketidakmampuan membayar uang sewa bagi penghuni kontrak dan memutuskan untuk melakukan perpindahan. Jenis perpindahan yang kedua ini juga dapat diinisiasi oleh meningkatnya harga jual properti, sehingga masyarakat penghuni eksisting melihat peluang untuk menjual propertinya dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari sebelumnya. Meningkatnya harga sewa dan harga jual ini biasanya terjadi secara perlahan sehingga fenomena gentrifikasi terkesan tidak kasat mata.

Sisi Positif Gentrifikasi

Meskipun banyak penelitian yang mengatakan bahwa gentrifikasi akan merugikan masyarakat marginal dan merampas hak-hak kehidupan mereka, tidak sedikit pula hasil penelitian dan pendapat ahli yang mengatakan bahwa gentrifikasi juga memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat, terutama bagi perkembangan kawasan perkotaan kedepannya. Menurut Atkinson (2002), gentrifikasi merupakan suatu proses yang mendukung upaya revitalisasi dan perbaikan kawasan perkotaan. Gentrifikasi oleh sebagian orang dianggap sebagai pertanda baik bagi pertumbuhan ekonomi.

Dilansir dari laman money.howstuffworks.com dengan direvitalisasinya sebuah kawasan perkotaan, tentu akan meningkatkan ketertarikan untuk berinvestasi bagi para investor. Hal tersebut berpotensi meningkatkan kondisi ekonomi perkotaan ke arah yang lebih baik. Selain itu dengan meningkatnya perputaran uang di kawasan yang tergentrifikasi melalui revitalisasi kota, banyak aspek kehidupan bermasyarakat yang berpotensi terkena dampak positif. Seperti, bangunan dan ruang hijau yang direnovasi akan menambah keindahan dan nilai estetis suatu kawasan; banyaknya peluang kerja baru yang tersedia setelah meningkatnya konstruksi pembangunan pusat perbelanjaan dan perkantoran; menurunnya tingkat kriminal pada suatu kawasan karena menjadi sebuah kawasan yang lebih ramai; dan kualitas lingkungan yang lebih baik juga lebih bersih dapat dinikmati oleh masyarakat eksisting melalui kehadiran dari masyarakat kelas menengah. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian dari University of Colorado, University of Pittsburgh dan Duke University pada tahun 2008 yang meneliti tentang pendapatan total pada kawasan yang tergentrifikasi pada rentang waktu tertentu. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa kelompok masyarakat yang paling tinggi peningkatan pendapatannya adalah masyarakat kelas bawah dengan jenjang pendidikan minimal SMA. Hal tersebut menjadi salah satu contoh bahwa fenomena gentrifikasi tidak selamanya memarjinalkan masyarakat kelas bawah. 

Ellen dan O’Regan (2011) juga menemukan bahwa tidak adanya peningkatan intensitas atas berpindahnya masyarakat marginal yang terjadi dalam periode pertumbuhan ekonomi pada tahun 1990an. Hasil penelitian ini patut dipertimbangkan mengingat ciri utama dari gentrifikasi adalah terjadinya aktivitas eksodus oleh masyarakat berpenghasilan rendah atau kalangan minoritas yang tergentrifikasi. Selain itu, Vidgor (2010), menggunakan data dari American Housing Survey dan menemukan bahwa revitalisasi sebenarnya menguntungkan bagi seluruh masyarakat melalui peningkatan harga, melalui peningkatan harga sewa maupun harga beli properti. Hal tersebut berbanding lurus dengan perubahan yang disebabkan oleh proses revitalisasi kota. 

Kesimpulan

Gentrifikasi merupakan sebuah fenomena yang sering terjadi di kawasan perkotaan, baik yang prosesnya disadari maupun tidak. Perubahan karakteristik penghuni suatu kawasan, dari kelas menengah ke bawah menjadi kelas menengah ke atas seringkali dipandang merampas hak-hak kehidupan masyarakat yang terdampak. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena gentrifikasi yang biasanya sejalan dengan proses revitalisasi kota juga memberikan manfaat yang tidak sedikit terhadap perkembangan suatu kota. Gentrifikasi sendiri awalnya dikenal di negara-negara di belahan dunia ke-satu, yang disadari setelah meningkatnya harga sewa perumahan setelah masyarakat menengah ke atas bermukim di suatu kawasan marjinal. Saat ini, gentrifikasi juga kerap ditemui di negara-negara global south, tidak terkecuali di Indonesia. Lantas, bagaimanakah bentuk fenomena gentrifikasi yang terlihat di kota-kota di Indonesia? Bagaimanakah seharusnya peran pemerintah menyikapi fenomena ini mengingat banyaknya kepentingan yang ikut andil dalam satu proses gentrifikasi?

Daftar Pustaka

Pratiyudha, P.P. 2019. Gentrifikasi dan Akar-Akar Masalah Sosial: Menakar Identifikasi, Diagnosis, dan Treatment Proses Gentrifikasi Sebagai Masalah Sosial. Reka Ruang

Uzun, C.N. 2002. The Impact of Urban Renewal and Gentrification on Urban Fabric: Three Cases in Turkey. Middle East Technical University Ankara.

Ley, D. 1996. The New Middle Class and the Remaking of the Central City. New York: Oxford University Press.

Mathema, S. 2013. Gentrification An Updated Literature Review. Poverty & Race Research Action Council.

Wharton, J.L. 2008. Gentrification: The New Colonialism in the Modern Era. Stevens Institute of Technology.

https://money.howstuffworks.com/gentrification2.htm